Meskipun Celin gagal mendapatkan bukti, ia tetap bersikeras tidak mau pulang, sementara Evan terus membujuk dan meminta maaf, Evan merasa segala usahanya tidak mempan, maka dari itu ia akhirnya mengancam. "Baiklah, kalau kau tidak mau menuruti perkataanku, aku akan membuatmu tidak bekerja lagi untuk selamanya," ucap Evan, Celin masih tidak ingin pulang, ia tidak takut ancaman Evan sampai akhirnya Evan harus menghubungi bosnya. Benar saja, Pak Seto langsung menelepon dan akan memecatnya jika tidak menuruti Evan. Sungguh kekanak-kanakan sekali. "Waw, kau memang sangat berkuasa, Tuan Evan. Baiklah aku akan pulang, kita lihat tuduhan dan kekerasan apalagi yang akan kamu lakukan padaku nanti? Oh iya, sebaiknya jauhkan aku dari Jeni, aku takut akan benar-benar membunuhnya," Sindir Celin, ucapannya membuat telinga Evan terasa gatal. "Aku sudah minta maaf, aku sudah mengaku salah, kenapa kau masih membahasnya?" Evan merasa sangat greget ingin menutup mulut Celin. "Karena kata maaf
Celin kembali ke rumah Evan, mereka sudah menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi, Evan mengaku sangat bersalah, sementara Celin tidak begitu antusias membahasnya, ia tidak berjanji akan memberi kesempatan seperti yang diinginkan Evan, tapi tidak juga menseriusi masalah perceraian yang ia niatkan. Tapi jika ia mendapat tekanan dan perlakuan berlebihan lagi, ia tidak akan sungkan untuk melakukannya, saat ini prioritasnya adalah kenyamanan saja, ia hanya bertahan karena masih merasa aman dan jauh di dalam hatinya ia takut berstatus janda. Masalah percintaan ia sudah tidak peduli lagi. Celin terpaksa izin tidak masuk bekerja, bosnya juga tidak mempermasalahkan, sementara Evan tetap pergi karena ada rapat penting. Ia sangat bosan hanya berdiam diri di rumah, ia merasa kembali seperti di awal pernikahannya dua tahun yang lalu, sangat menyakitkan jika mengingatnya, ia tidak melakukan apapun karena ingin fokus mengurus rumah tangganya, ia memasak setiap hari untuk Evan, namun Evan ti
Beberapa hari kemudian, Celin merasa lebih kesepian dari sebelumnya, mungkin karena beberapa hari yang lalu, ia menghabiskan banyak waktu dengan Evan. Setelah dipikir-pikir ternyata ia masih rindu seperti sebelumnya, tapi ia menekan dirinya untuk berharap. Ia sudah jengah diperlakukan tidak adil selama dua tahun, teleponnya berdering selagi ia sedang bekerja, "Halo, saya dengan Celin Dian. Ada yang bisa saya bantu?" Mata Celin sedang fokus menatap layar komputer. "Begitu cara menyambut suami yang sedang menelpon?" Suara familiar itu membuat fokus Celin terpecah. Ia buru-buru melihat nama penelpon 'My beloved husband' tertulis di layar. Dulu ia sangat antusias menerima telpon suaminya, walaupun Evan hanya mengabarkan hal-hal biasa seperti ia akan tinggal lebih lama dan sebagainya. Sekarang ia berusaha menahan diri. "Ada apa?" "Tidak ada, hanya ingin menelpon saja," Celin mengerutkan kening, ia memastikan si penelpon benar-benar Evan. Dulu Evan tidak pernah ramah, ia langs
Celin tetap teguh dengan pendiriannya, ia tidak akan ikut dengan Evan, ia malah berangkat ke tempat kerja, Evan juga tidak menghalanginya tapi sepertinya ia sedang memikirkan sebuah rencana. Celin tiba di depan kantornya, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti di dekatnya, ia ditarik oleh beberapa orang yang berada di dalam mobil dan membawanya pergi. Ia berontak sekuat tenaga tapi masih belum bisa melawan kekuatan mereka. "Tenang saja, Nona. Kami tidak akan menyakitimu." Salah seorang menenangkannya. Mereka terus membelah jalanan hingga tiba di bandara. Evan sudah ada menunggunya di sana. "Selamat datang, Celin," ucap Evan tersenyum licik. "Kau ya!" Seru Celin, ia kehabisan kata-kata. "Kalau kamu mau nurut, aku tidak akan melakukan sejauh ini," Celin tidak tau harus berbuat apa, ia hanya bisa merasa kesal di dalam hatinya. "Ayo ikut aku, sebentar lagi pesawatnya berangkat," Celin tiba-tiba ingat kartu identitas dan sebagainya, mana mungkin ia bisa bepergian tanpa i
Evan dan Celin sudah berada di rumah sakit mewah, mereka sudah berada di kamar Jeni yang sedang terbaring lemah tidak berdaya. Evan mendekatinya lalu mengecup keningnya dengan penuh cinta, Celin hanya bisa membuang muka, rasanya masih sakit menyaksikan semuanya. "Hai, Sayang! Aku datang," ucap Evan terdengar sangat lembut. Hati Celin bergejolak aneh, rasanya lebih sakit dari pada menyaksikan adegan sebelumnya. "Aku akan menunggu di luar," ucap Celin, ia langsung keluar tanpa menunggu jawaban Evan. "Orang gila mana yang mau melakukan semua ini?" Lirih Celin mengumpat kebodohan dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian Evan ikut keluar. "Masuklah, tolong temani Jeni, aku sedang ada pertemuan penting," pinta Evan dengan sangat santainya. Celin memandangi Evan tanpa berkedip, ingin sekali memaki dan mengeluarkan kata-kata sumpah serapah, tapi lidahnya kelu. Evan mendekatinya, berdiri tepat di hadapannya dan bersiap untuk mendaratkan sebuah kecupan sebelum pergi, namun sebelum it
Saat di lobi, Celin iseng menanyai petugas resepsionis apakah dia melihatnya digendong seseorang semalam? Jawaban petugas resepsionis membuatnya terhenyak, ternyata Evan memang menggendongnya. "Ayo!" Seru Evan begitu melihat Celin yang sedang menunggunya di lobi, Celin tidak berani menatap Evan. "Kita makan dulu, habis itu ke rumah sakit," ucap Evan. Celin diam saja dan mengikuti arahannya. "Kau butuh sesuatu?" Evan menoleh pada Celin yang kelagapan, responnya tampak sangat berlebihan. Ditambah petugas resepsionis yang senyum-senyum masam membuatnya curiga. "Tidak ada," jawab Celin. "Ada apa denganmu?" "Aku tidak apa-apa. Ayo jalan kasihan Jeni," ucap Celin. Evan tersenyum miring melihatnya, sepertinya ia paham apa yang terjadi. "Sepertinya kau sudah menemukan bukti kalau aku memang menggendongmu semalam," pancing Evan. Kini mereka sudah berada di dalam mobil. "Kamulah yang berbohong pertama kali, jadi aku bingung harus percaya yang mana." Celin tidak mau mengalah.
Celin sudah setengah hari menunggu di luar seperti orang bodoh yang tidak punya tujuan, ia juga mulai lapar, tapi Evan belum juga keluar, ia akhirnya mencari makan sendiri di sekitar rumah sakit. Saat ia kembali, ia mengintip ke dalam, Evan masih sibuk dengan Jeni, saat ia ingin masuk, tiba-tiba seorang perawat datang dan menyuruhnya tetap menunggu di luar. Ia sadar apa yang harus ia lakukan, harusnya ia pergi dari tempat itu sejak tadi. Ia sadar Evan tidak mungkin peduli lagi padanya, ia sudah tau langkah apa yang harus ia lakukan, semoga Evan akan lebih mudah menyetujui perceraiannya setelah Jeni lebih sehat. Kini Ia merasa telah menjadi wanita paling bodoh sedunia. Mau-maunya membantu kesembuhan rivalnya Evan tampak bahagia melihat kondisi Jeni, apalagi Jeni sudah bisa tersenyum samar padanya, ia tidak pernah lepas memegangi tangannya dan mengecupnya berkali-kali, ia mengurusnya dengan telaten sampai lupa siapa yang berjasa untuk Jeni. Hari sudah berganti, Evan masih sibuk ber
Waktu berlalu sangat cepat, proyek yang ditangani perusahaan Setiawan akhirnya selesai, hari ini mereka mengadakan acara launching, tentu semua investor akan hadir. Sayangnya Evan sudah mencabut investasinya, sudah pasti ia tidak akan datang. Celin kurang bersemangat karena memikirkan hal itu. Ia masih menyimpan rindu meskipun ia sudah bulat dengan rencananya, ia merasa yakin, pasti bisa mengatasi perasaannya. Selagi memikirkannya, para pembesar memasuki ruangan, Celin mengerutkan keningnya saat melihat ada Evan di rombongan mereka, bahkan Evan terlihat paling memimpin. "Ada apa? Harusnya dia sudah tidak punya urusan lagi," gumam Celin. Tidak hanya hadir dan tampak mendominasi, ia juga yang memotong pita peresmiannya. Setelah mendengar penjelasan Pak Seto, Ternyata Evan telah mengakuisisi proyek. "Wah luar biasa, calon mantan suamiku." Celin kembali bergumam. Setelah acara peresmian selesai, semua undangan diperbolehkan menyantap hidangan yang disajikan. Celin mengambil b
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend
Evan keluar dari kamar mandi dan mendapati Celine yang sudah rapi dengan penampilannya, Evan terkesima untuk ke sekian kalinya, Celine benar-benar cantik, tapi ia masih canggung untuk memujinya secara terang-terangan, ternyata Celine juga sedang terpesona pada Evan untuk yang kesekian kalinya, dulu ia selalu menantikan penampilan Evan saat keluar dari kamar mandi dengan dada telanjang dan rambut basah yang meneteskan air ke bahunya yang kokoh, pesona Evan tidak pernah pudar dan selalu membuatnya melongo. Mereka menjadi canggung satu sama lain saat menyadari keheningan masing-masing, layaknya remaja yang saling jatuh cinta. "Aku sudah selesai," ucap Celine memecah keheningan. "Oh, oke," balas Evan sambil mengusap tengkuknya karena canggung. "Ini milikmu," Celine menyerahkan paper bag milik Evan. "Terimakasih," ucap Evan. Baru kali ini Celine melihat Evan tampak malu-malu, dahulu Evan adalah manusia egois dan dingin. "Aku akan menunggu di ruang tamu," Celine gegas meninggalkan
Evan menatap Celine sangat dalam dan hangat, Celine begitu salah tingkah karenanya, apa begini rasanya dicintai? Meski cukup terlambat ia menghargainya, ia bahagia, kesalahan selama dua tahun dan perjuangan semasa kuliah terbayarkan tapi ia masih bersikap hati-hati. "Sekarang apa?" ucap Celine tiba-tiba saking gugupnya. Alis Evan terangkat sambil tersenyum penuh makna lalu berkata, "Aku bisa salah paham kalau kamu bertanya seperti itu," goda Evan, biasanya ia akan langsung mengerjai Celine tanpa rasa canggung, sekarang ia begitu berhati-hati dan menghargai perasaan Celine. "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, kenapa jadi gugup begini?" Celine menjadi sangat bingung. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan melakukan apa-apa tanpa persetujuan kamu, tapi izinkan aku melakukan sesuatu," ucap Evan. "Ah iya," Celine menjawab secara asal membuat Evan tersenyum dan mendekatinya. Ia mengecup kening Celine cukup lama, membuat aliran darah di tubuh Celine bekerja lebih cepat. "Anggap saja in
Tiga jam kemudian Celine kembali ke ruang tamu untuk mengecek keberadaan Evan, ternyata Evan masih ada dan sedang tidur di atas sofa. Celine mendekat dengan hati-hati, ia berlutut di depan Evan lalu berbisik, "Selamat ulang tahun, Evan!" Evan tiba-tiba membuka matanya, ia memandang tepat ke dalam mata Celine lalu bergumam, "Terimakasih, Celine." Celine sedikit terhenyak karena merasa terpergok mengamati Evan yang sedang tidur. "Akhirnya aku mendengar ucapan yang paling ingin ku dengar, meskipun terlambat dari perkiraanku," Evan berusaha bangun sambil tersenyum simpul. Celine sedikit bingung mendengarnya. "Apakah itu penting?" "Sangat penting, aku belum pernah seantusias ini di hari ulang tahunku, semua berkat kamu, ini sedikit melukai harga diriku tapi kamu harus tau agar kamu sedikit menghargai perasaanku, aku sengaja datang lebih pagi agar mendengar itu pertama kali dari mulutmu," "Terus kalau aku mengatakan itu sejak awal apa manfaatnya untukku, sekarang saja aku s
Celine sangat mengerti segalanya, ia tahu kenapa Evan menjadi diam, tapi ia harus mengungkit tentang Jenny agar Evan menyerah. Kini ia menangis, dulu ia tidak hanya menunggu setiap hari, ia dengan bodohnya memperhatikan setiap gerak gerik Evan barangkali Evan tiba-tiba memberinya kejutan seperti di film-film atau di novel-novel roman yang pernah ia baca, ia paling berharap saat melihat Evan merogoh saku jasnya untuk mengambil sesuatu tapi yang ia keluarkan hanya ponsel, nyatanya cincin yang ia inginkan itu tidak pernah ada. "Alangkah bodohnya kamu, Celine," ucapnya meratapi kebodohannya di masa lalu, apa yang dilakukan Evan hari ini hanya membuatnya mengingat luka lama. Setalah merasa tenang, ia menyalakan mesin mobilnya dan melesat pergi. Saat sedang melakukan rutinitas di malam hari, ia mendapat notifikasi dari grup perusahaan tentang ulang tahun CEO Grup Mahendra, sudah pasti itu adalah Evan Mahendra. Ia tidak ingat apakah Evan pernah merayakan ulang tahunnya saking sibuknya me