Home / Romansa / Antara Dua Hati / Bab 5 : Pilihan Yang Sulit

Share

Bab 5 : Pilihan Yang Sulit

Author: Latifah Tee
last update Last Updated: 2021-11-24 09:18:38

Hana menepati janjinya untuk belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik. Di usianya yang baru sembilan belas tahun, dia memilih untuk berhenti kuliah yang baru dijalaninya selama dua semester. Dia ingin menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami juga ibu mertuanya.

Nilai-nilai agama yang meresap dalam dirinya, 'memaksanya' untuk lebih mendahulukan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga. Meski memang hal tersebut sangat berat baginya. Meninggalkan keluarga, pendidikan, kampung halaman, semua dilakukan demi bisa berbakti kepada lelaki yang telah menghalalkannya.

“Assalamu'alaikum.”

“W*'alaikumusalam, Hana, kok lama?” tanya Bu Ratna saat menantunya sampai di rumah.

“Maaf, Bu. Tadi temannya A Razi sakit,” jawab Hana sambil melepas jilbabnya. Udara di ibukota memang terasa begitu panas baginya, terlebih selama ini dia tinggal di daerah yang hawanya sejuk.

“Sakit kenapa, Han?”

“Gak tahu, Bu. Oh ya, apa ibu butuh sesuatu?”

“Gak, ibu gak butuh apa-apa. Oh ya Hana, ini ibu belikan pisang sama jamu buat suamimu.”

Bu Ratna mengeluarkan sebuah botol berisi jamu dari kresek hitam di meja.

“Jamu apa, Bu?” Hana mengambil botol itu dan memerhatikannya.

“Itu ... jamu penambah stamina, buat suamimu biar ....” Bu Ratna sengaja tak melanjutkan ucapannya.

“Biar apa?” tanya Hana semakin penasaran.

“Ah, kamu. Masa harus ibu jelaskan. Sudah, sana istirahat dulu.” Bu Ratna mengambil jamu itu lalu membawanya ke dapur.

●●●●

Razi dan Bian makan dengan lahap makanan yang dibawa oleh Hana.

“Lu beneran gak mau, Mai?” tanya Bian kepada Maida yang sedari tadi hanya minum air putih.

Maida mendelik, tak ingin menjawab pertanyaan sepupunya.

“Lu kenapa sih? Sensi amat sama gue?” tanya Bian dengan mulut yang penuh makanan.

“Gue lagi males ngomong sama lu. Dah ah gue mau pulang.”

“Kamu baik-baik aja, Mai?” tanya Razi.

“Sebenarnya masih pusing. Kamu anterin aku ya, nanti kamu bawa lagi aja mobilku ke sini.”

Razi mengangguk, dia segera menyelesaikan makan siangnya dan bersiap mengantar Maida pulang.

Di dalam mobil, mereka lebih banyak diam. Maida menatap Razi yang sedang fokus menyetir.

Razi yang sadar tengah diperhatikan melirik Maida sekilas. “Kamu kenapa liatin aku terus?”

“Karena kamu gak bikin bosan untuk dilihat,” jawab Maida sambil tersenyum.

“Ah kamu.” Razi tertawa kecil.

“Hari ini aku seneng banget, makasih ya.”

“Untuk?”

“Untuk perhatian kamu saat di kantor tadi.”

“Ya, apa pun yang sudah terjadi, kita kan masih tetap berteman.”

Seketika kalimat Razi melunturkan senyum yang sejak tadi menghiasi wajah Maida.

Perempuan itu mendengkus, dan mengalihkan pandangannya ke luar kaca mobil di sampingnya.

Mereka pun sampai. Razi mengantar Maida hingga ke ruang tamu. Lelaki dengan rahang kokoh itu pamit untuk kembali ke kantor, tetapi Maida menahannya dengan memegang lengan Razi.

“Bagaimana perasaanmu kepadanya?” tanya Maida, ditatapnya mata Razi seolah ingin mencari jawaban di sana. “Kamu tidak mencintainya kan?” lanjutnya.

Razi hanya terdiam, dia tak tahu harus menjawab apa.

“Jika sekarang aku setuju menikah denganmu, apakah kamu akan meninggalkannya?”

Razi terkejut mendengar pertanyaan Maida, dia tidak menyangka bahwa gadis di hadapannya akan bertanya demikian.

“Kamu terlambat Mai,” ujar Razi sambil melepaskan genggaman Maida di lengannya.

“Raz, aku cinta kamu.”

“Maaf Mai, aku harus segera kembali ke kantor.” Razi bergegas meninggalkan rumah Maida.

Hati wanita yang diliputi kepedihan itu terasa begitu sesak. Dia menyesal telah menolak lamaran lelaki yang dicintainya. Dirinya tidak menyangka bahwa penolakannya akan berujung dengan Razi menikahi wanita lain. Dulu dia terlalu percaya diri, bahwa dengan kecantikan dan kedudukan yang dimilikinya, Razi akan setia dan tak mungkin meninggalkannya.

Pertanyaan Maida tadi terngiang-ngiang di telinga Razi. Pikirannya kacau. Di satu sisi, dia masih belum bisa melupakan Maida. Bagaimana tidak, Maida adalah gadis yang disukainya sejak mereka duduk di bangku SMP. Tentu saja perasaan itu tak mudah untuk dihilangkan meski kini ada wanita lain disisinya. Dia menyadari, bahwa menikahi Hana adalah sebuah keputusan yang tidak tepat, karena pernikahan tersebut terjadi atas dasar rasa kecewa, dia khawatir tak mampu berbuat yang semestinya. Namun, dia juga tidak mungkin menyia-nyiakan Hana yang begitu baik kepada dirinya.

“Aaaaaah ....” Razi berteriak sambil memukul kemudi.

●●●●

“Bian, Lu ikut ke rumah Maida, ya! Nanti gue pulang numpang mobil lu,” ujar Razi saat mereka keluar kantor untuk pulang.

Bian berpikir sejenak, lalu tersenyum dan mengangguk.

“Kenapa senyum-senyum?” Razi heran melihat sahabatnya.

“Nanti, gue boleh ketemu Hana, kan?”

Razi tak menggubris pertanyaan Bian. “Balikin dulu mobil, nanti gue cerita.”

●●●●

Setelah mengembalikan mobil Maida, Razi menumpang mobil Bian untuk kembali ke kantor mengambil motor.

“Lu mau ceritain apa? Kayanya serius amat,” tanya Bian.

“Sebenarnya, Hana itu ... istri gue,” aku Razi.

“Jangan bercandalah, gue lagi nyetir nih. Oleng gue nanti.”

“Gue serius,” bisik Razi.

Bian menghentikan laju mobilnya dan menepi. “Lu beneran? serius?” Pemuda itu menatap Razi, berharap bahwa sahabatnya itu tengah mengeprank dirinya.

Razi membalas tatapan Bian. “Gue serius,” ulangnya.

Bian masih tak percaya. “Gue lihat lu masih baik-baik aja dengan Maida. Atau, dia belum tahu?”

“Dia sudah tahu.”

“Apa?” Bian semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi. “Kita ngobrol di luar.” Bian membuka pintu mobil, kemudian duduk di bagian depannya.

Razi mengikuti sahabatnya. “Gue tahu, gue salah. Saat itu gue kecewa dengan keputusan Maida. Pas gue pulang, ibu ....”

“Lu gila, Raz!” potong Bian. “Dengan keputusan lu, ada berapa orang yang lu sakitin?”

Razi hanya bisa terdiam mendengarkan ucapan Bian.

“Bagaimana perasaan lu sama Hana?”

Razi menatap sahabatnya. “Gue gak tahu.”

“Apa? Gak tahu? Lu ... ah, gue gak tahu harus ngomong apa. Lu pikir pernikahan itu mainan? Heh, dengar ya! Gue emang brengsek, selama ini gue gonta ganti cewek, tapi sebrengsek-brengseknya gue, gue gak akan mempermainkan pernikahan.” Bian marah, dia tak menyangka bahwa lelaki yang selama ini dianggapnya dewasa, alim, bisa berbuat seperti itu.

“Gue gak mempermainkan pernikahan. Anggap aja waktu itu gue khilaf,” timpal Razi membela diri.

“Khilaf lu bilang? Lu nikahin Hana, sementara hati lu masih cinta sama Maida. Gimana sih lu? Apa lu pikir Hana gak punya perasaan? Gimana kalau dia tahu kenyataan yang sebenarnya? Lu bukan cuma menipu Hana, tapi lu juga sudah menipu keluarga lu, ibu lu!” Bian meninggalkan Razi dan masuk ke mobil kemudian menyalakan mobilnya.

“Hei, Bian! Lu mau ninggalin gue sendiri di jalan?” Razi mengetuk-ngetuk kaca mobil. Tapi Bian tak menghiraukan, dia langsung tancap gas meninggalkan sahabatnya dengan kecewa.

Razi berjalan menyusuri trotoar di sore yang cukup panas. Pikirannya berusaha mengeja kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Bian. Dia tak menyangkal bahwa yang diucapkan sahabatnya itu memang benar. Namun, memilih satu dari wanita itu dan melepaskan satunya begitu berat untuknya. Sepanjang jalan, pikirannya tertuju kepada permasalahan itu hingga tak sadar sudah berada di depan rumahnya sendiri. Terlihat Hana sedang duduk di kursi teras, seperti biasa gadis itu menunggu untuk menyambut suaminya pulang.

Hana yang melihat Razi berjalan kaki tanpa menaiki motornya segera beranjak dan menghampiri.

“Loh A, kok keringetan gini? Trus, motornya mana?” tanya Hana heran.

“Tadi jalan kaki,” ucap Razi seraya masuk ke dalam rumah, dia menghempaskan tubuh ke sofa lalu membuka dua kancing kemeja paling atas.

Hana menyodorkan segelas air untuk suaminya dengan raut muka penuh tanya. Razi langsung meminumnya hingga habis, cukup membasahi kerongkongannya yang sejak tadi menyempit karena haus.

“Motor Aa rusak?” tanya Hana.

Razi menggeleng. “Enggak, tadi pulang bareng Bian. Cuma dia ada urusan, jadi gak bisa antar sampai sini,” ucap Razi bohong.

“Oh, ya udah, Aa mau mandi dulu?” tanya Hana. Sebenarnya ada begitu banyak pertanyaan di benaknya, tapi melihat suaminya yang tampak kelelahan, akhirnya dia menunda untuk bertanya hal lain.

Razi bangkit untuk mandi, sedang Hana menyiapkan teh hangat dan pisang goreng untuk disantap.

“Hana, Razi mana?” tanya Bu Ratna.

“Lagi mandi, Bu.”

Bu Ratna melangkah menuju dapur, tak lama dia kembali lagi dengan membawa botol jamu yang sudah disiapkannya.

“Ibu gak sabar pengen buru-buru ngasih ini.” Bu Ratna menunjukkan botol berisi jamu yang dipegangnya.

Hana hanya tersenyum melihat ibu mertuanya, dia pun sebenarnya tak terlalu paham isi dari jamu itu untuk apa.

Razi yang baru selesai mandi duduk di ruang televisi. Bu Ratna bergegas menemui anak lelaki satu-satunya, di susul Hana yang membawa sepiring pisang goreng dan teh hangat.

“Minum ini!” Bu Ratna menyodorkan botol jamu kepada Razi.

“Ini apa, Bu?” Razi melihat-lihat botol yang diberikan ibunya.

“Itu jamu.”

“Jamu apa?”

“Penambah stamina, kamu kan capek tiap hari kerja, minum ini biar gak cepat lelah,” ujar Bu Ratna yang tak sabar agar putranya segera meminum jamu itu.

Razi masih memerhatikan botol jamu itu.

“Ayo minum!” Bu Ratna mengambil botol yang digenggam Razi dan membuka tutupnya.

“Minum!” perintahnya lagi.

Razi menurut. “Pahit,” katanya.

“Gak apa-apa, yang penting khasiatnya,” ucap Bu Ratna sembari tersenyum.

●●●●

Jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Seperti biasa Bu Ratna sejak dari setelah salat isya tak keluar kamar lagi.

Razi masih sibuk dengan laptop di pangkuannya. Hana menghampiri suaminya lalu duduk di sebelahnya.

“A, Maida itu siapa?”

Razi menutup laptop dan menaruhnya di nakas samping ranjang. Dia sudah menduga bahwa Hana akan bertanya tentang Maida lagi.

“Dia anak Pak Robi, pemilik perusahaan tempatku bekerja.” Jawaban Razi persis seperti yang diucapkan satpam di kantornya.

“Hana tahu, maksudnya ada hubungan apa Aa dengan dia?”

Razi menatap wajah Hana yang dipenuhi oleh raut tanya. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. Dia menggenggam tangan Hana dan menciumnya.

“Tolong jangan pedulikan apa yang aku lakukan terhadap Maida,” pinta Razi.

“Kenapa?”

Razi menarik napas lalu mengembuskannya pelan. Pandangannya menyorot wajah Hana yang jika diperhatikan, dia tak kalah cantik dengan Maida.

“Maaf ya A, tapi Hana melihat kalau ... ada sesuatu di antara kalian,” lanjut Hana.

Razi tersenyum. “Apa kamu cemburu?”

“Enggak, kenapa harus cemburu?” Hana melepaskan genggaman Razi dan berbalik memunggunginya. Razi tertawa melihat tingkah istrinya.

“Hana, kenapa ya malam ini panas sekali?”

Hana berbalik. “Apa kipasnya kurang kenceng?” Hana memencet tombol kipas agar embusan anginnya semakin besar.

Razi melepas bajunya, Hana yang melihat itu menutup mata.

“Kenapa tutup mata? Kita kan suami istri,” ujar Razi sambil menarik tangan Hana yang menutupi wajahnya.

Hana membuka matanya perlahan. "Maida itu, sudah cantik, kaya lagi. Dia memang sempurna,” ujar Hana.

“Kenapa bahas dia lagi?”

“Karena tampaknya Aa suka dia.”

“Tuh kaaan, kamu cemburu?” Razi mencolek hidung Hana.

“Enggak!”

“Kalo enggak, kenapa pipinya jadi merah,” ledek Razi.

Hana memegang kedua pipinya.

“Iya kan?” Razi tersenyum lalu menyerang menggelitik Hana. Hana tertawa geli hingga jatuh terbaring. Razi mendekatkan wajahnya, hingga embusan napasnya terasa di wajah Hana. Napas Razi semakin memburu, dia tak lagi bisa  menahannya. Hana memejamkan mata, lalu terjadilah apa yang seharusnya terjadi di antara pasangan yang telah halal.

Malam berganti pagi. Hana sudah selesai menyiapkan sarapan saat Razi menuju meja makan.

“Enak nih.” Razi mencubit pipi Hana.

Hanya tersenyum, lalu mengambilkan nasi dan menaruhnya di piring suaminya.

“Ehm.” Bu Ratna berdehem melihat anak dan menantunya. “Kayanya kamu seneng banget, Raz.”

“Masa sih, Bu?” Razi tersenyum lalu menyuapkan nasi ke mulutnya.

Selesai sarapan Razi bersiap untuk berangkat bekerja, karena motornya tertinggal di kantor jadi dia memesan ojek Online. Sesampainya di kantor, Razi berpapasan dengan Bian, tetapi sahabatnya itu seperti menghindar darinya. Sikapnya tak seramah seperti biasa. Razi membiarkan hal itu, dia memberi waktu untuk Bian agar bisa memahami keadaan dirinya.

“Razi, dipanggil Bu Maida," ujar salah seorang kawan kerjanya.

Razi beranjak dari kursi kemudian berjalan menuju ruangan Maida. Dia mengetuk pintu.

“Masuk.” Perintah Maida.

Razi berdiri di depan meja.

“Duduklah!”

Razi menurut. “Ada apa?” tanyanya.

“Aku gak bisa menunggu jawaban kamu terlalu lama, jika aku mau menikah denganmu apa kamu akan meninggalkan wanita itu?” Maida kembali bertanya hal yang sama seperti kemarin.

“Ini bukan saatnya membahas itu, bukankah dulu kamu sendiri yang bilang bahwa saat jam kerja kita harus profesional. Kesampingkan kehidupan pribadi saat di kantor.” Razi beranjak dari kursi hendak keluar ruangan. Belum sampai menuju pintu, Maida mengejar Razi dan memeluknya dari belakang.

-Bersambung-

Related chapters

  • Antara Dua Hati   Bab 6 : Tak Ingin Kalah

    Terlahir dari keluarga kaya membuat Maida terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa sadar hal tersebut mendidiknya bahwa apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya. Maida adalah sosok pekerja keras, tetapi egois. Dia adalah seorang wanita yang tidak mudah menyerah atas sesuatu.“Mai ...,” bisik Razi. “Jangan seperti ini.”Maida semakin mengeratkan pelukannya.“Aku gak akan lepasin sampai kamu jawab pertanyaanku.”Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Baiklah, aku jawab sekarang.”Maida melepaskan pelukannya.Razi memutar tubuh, kini keduanya saling berhadapan. Lelaki yang awalnya diliputi keraguan itu menatap kedua manik coklat Maida, dia meletakan tangannya di kedua bahu wanita yang begitu mengharapkan cintanya.“Mai, terima kasih, karena ... kamu sudah mencintaiku yang bukan siapa-siapa ini. Aku berusaha untuk melupakanmu, jujur ... itu memang sulit. Ta

    Last Updated : 2021-11-25
  • Antara Dua Hati   Bab 7 : Perjodohan Yang Gagal

    Keterkejutan Hana belum usai, ribuan tanya berkecamuk dalam hatinya.“Maksud kamu apa?” tanya Hana dengan raut muka penuh tanya, matanya mulai menghangat.“Hana, ada tamu? Kok gak diajak masuk?” Bu Ratna berbicara dari dalam rumah, lalu menghampiri menantunya yang berdiri di depan pintu.“Loh, Neng Maida?” ujar Bu Ratna saat melihat gadis itu.Maida tersenyum. “Iya, Bu.”Hana tidak menyangka kalau mertuanya mengenal Maida. Dia semakin merasa tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Sudah lama ya? Sekarang Neng Maida tambah cantik. Hayuk masuk dulu,” ujar Bu Ratna ramah.“Iya , Bu, pengen sih ngobrol-ngobrol sama ibu lagi. Tapi sekarang Maida harus kerja, tadi kebetulan aja lewat sini jadi mampir.”“Kalau begitu kapan-kapan main ke sini, ya? Sudah nikah?”“Belum, Bu.&rd

    Last Updated : 2021-11-26
  • Antara Dua Hati   Bab 8 : Ujian Pernikahan

    Bisakah cinta sejati itu dikenali sejauh mana kesucian dan ketulusannya? Apakah cinta sejati itu berarti harus bisa menyatukan dua orang yang saling mencinta?Hidup manusia sudah ditulis sejak lima puluh ribu tahun sebelum manusia diciptakan. Dengan siapa dia berjodoh, dengan siapa cinta pada akhirnya berlabuh, pun sudah ada dalam suratan takdir. Terkadang, manusia menjadi tak sadar, juga tak mampu menerima takdir yang telah digariskan-Nya. Terlebih dalam urusan cinta, sebagian manusia telah dibutakan olehnya.Dalam pepatah Arab dinyatakan : “Cintamu kepada sesuatu menjadikanmu buta dan tuli.”Ketika badai asmara yang menggelora tak lagi mampu dibendung, mata seolah tak mampu melihat mana yang baik dan buruk. Telinga menolak untuk mendengar nasihat yang benar. Dan hati tak lagi peduli bahwa akan ada orang lain yang mungkin tersakiti.Tampaknya, cinta itu telah membutakan mata dan hati Maida. Dia tak lagi peduli akan kon

    Last Updated : 2021-11-26
  • Antara Dua Hati   Bab 9 : Permintaan Yang Egois

    Kedua lelaki itu menghampiri Hana.“Hana, bisa kita bicara sebentar?” ucap Pak Robi dengan tersenyum.Hana mengangguk. Mereka berjalan ke kantin dan memilih satu meja yang cukup sepi di belakang. Memang, saat itu bukan jadwal makan siang, jadi belum banyak pengunjung di kantin Rumah Sakit tersebut.Seorang pramusaji mengantarkan minuman untuk ketiganya. Hana sedikit gelisah, ada perasaan tak enak menjalari hatinya. Gerangan apa yang membuat pak Robi ingin bicara dengannya, Hana masih menerka.“Kamu menjenguk Maida?” tanya Pak Robi.Hana mengangguk pelan.Pak Robi tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lelaki yang duduk di sebelah lelaki paruh baya itu menatap Hana lekat, seolah sedang memindai wajah perempuan berjilbab ungu itu.“Baik, langsung aja ke permasalahannya ya Nak Hana.” Pak Robi berhenti sejenak, lalu menyeruput kopi yang dipesan. Seraut kekhawatiran tam

    Last Updated : 2021-11-27
  • Antara Dua Hati   Bab 10 : Kesepakatan Yang Sulit

    Keadaan Maida semakin membaik dan sudah bisa pulang. Setelah di rumah, perempuan berambut sebahu itu lebih sering diam di balkon atau tiduran di kamar. Tak ada keinginan untuknya keluar.“Mai!”Bian datang menjenguk, membawa sekotak coklat kesukaan sepupunya.Maida yang sedang duduk di balkon hanya menoleh Bian sekilas. Pemuda tinggi tegap itu menghampirinya, lantas memberikan coklat.“Gue belum boleh makan coklat,” ujar Maida, tapi tetap saja dia membuka kotak dan memeriksa isinya.“Halah, emangnya lu sakit apaan? Lu udah sehat?” Bian menempelkan telapak tangannya di kening Maida.Maida menepis tangan Bian. “Gue gak demam.”“Mai, lu kenapa sih bisa senekat itu?” tanya Bian seraya mengambil sebungkus coklat di tangan Maida dan memakannya.“Gue juga gak tahu.”“Masa gak tahu? Aneh, Lu!”

    Last Updated : 2021-11-28
  • Antara Dua Hati   Bab 11 : Sebuah Keputusan

    Apa yang dirasakan seorang istri tatkala mengetahui perasaan suaminya yang masih mengharapkan perempuan lain? Tentu perih. Itulah yang tengah dirasakan Hana sekarang. Dia berusaha menerjemahkan hatinya yang kian poranda. Dicobanya menepis segala lara, akan tetapi tak bisa. Kenyataan itu bagaikan sebuah pisau yang mengiris hati.Hana berpura-pura tidur tatkala terdengar Razi membuka pintu kamar. Tak lama, terdengar dengkuran halus dari suaminya. Perempuan pemilik mata teduh itu menatap lekat lelaki yang dicintainya. Mengetahui kenyataan tentang adanya wanita lain dihatinya, membuat Hana putus asa mempertahankan rasa. 'Haruskah aku menyerah?' batinnya.Pagi menjelang. Seperti biasa mereka sarapan bersama. Hana lebih sering memainkan sendoknya, tampaknya dia sedang tak berselera. Pikirannya masih tertuju pada apa yang diucapkan Razi semalam kepada Bian. Andai dia mendengarkan ucapan suaminya hingga selesai, mungkin dia tak akan sesedih ini.&ldquo

    Last Updated : 2021-11-28
  • Antara Dua Hati    Bab 12 : Pilihan Sulit Maida

    Api mulai menjalar membakar dinding kamar. Beruntung, orang itu keburu ketahuan saat menyiramkan bensin, sehingga dia tidak sempat menyiramkan ke bagian rumah yang lain.“Hana.” Razi teringat istrinya masih di kamar, dia berlari mencari Hana tapi tak menemukannya.“Hana!” teriak Razi panik.“Hana di kamar ibu, A.” Rupanya Hana sudah bangun dan berusaha menyelamatkan mertuanya.Api sudah menjalar ke jendela. Kacanya pecah, dan api mulai membakar tirai, lalu merambat ke atap.Razi membawa istri dan ibunya keluar. Api begitu cepat menyebar hingga sudah membakar separuh kamar. Razi menyemprotkan air dengan selang dari keran yang berada di luar. Para tetangga pun berdatangan untuk membantu menghentikan amukan si jago merah. Api pun padam tanpa harus memanggil pemadam kebakaran.Tampak sebagian dinding kamar yang menghitam, dengan jendela yang tak bersisa.“

    Last Updated : 2021-11-29
  • Antara Dua Hati   Bab 13 : Cinta Itu Untuk Siapa?

    Cinta, sebuah kata singkat yang abstrak dalam kehidupan manusia. Katanya, jatuh cinta itu berjuta rasanya. Ya, begitulah yang dikatakan para pencinta. Lalu, cinta seperti apakah yang mampu membutakan mata dan mengobrak abrik hati? ●●● “Razi,” ucap Maida kala pintu terbuka. Matanya sembab, penampilannya berantakan. “Siapa, Han?” Razi menghampiri Hana yang berdiri di depan pintu. Maida menoleh kepada Razi lalu melangkah ke arahnya. “Razi, kenapa kamu melakukan ini padaku?” Maida tak lagi bisa menahan perasaannya. Tubuhnya hampir ambruk jika Razi tak menahannya. Maida menangis, meraung tak bisa menerima pilihan Razi. Hana hanya terdiam menyaksikan ulah seorang wanita di hadapannya. “Ayo masuk dulu, malu dilihat tetangga,” ujar Hana lalu masuk terlebih dahulu ke rumah. Razi mendudukkan Maida di sofa, sedang Hana pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. “Mai, ada apa sama kamu?”

    Last Updated : 2021-11-30

Latest chapter

  • Antara Dua Hati   Bab 36 : Berlabuh Kepada Orang Yang Tepat

    Dua bulan berlalu sejak kematian Maida. Razi dan ibunya kembali ke rumah yang dulu. Meski rumah itu diberikan kepadanya, tetapi lelaki pemilik wajah rupawan itu menolak secara halus. Dia merasa tak berhak memiliki rumah itu. Kenangan masa lalu tentang wanita itu kembali terputar dalam memori ingatan. Baik ketika mereka masih saling mencinta, pun ketika prahara mulai membersamai keduanya. Razi berpikir, perubahan sikap Maida adalah salahnya, wanita itu menjadi jahat karena dirinya. Lelaki itu melamun di sudut ruangan, di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan jendela. Menatap sekumpulan anak-anak yang berlarian ke sana kemari seolah memiliki energi yang tak pernah habis. Bu Ratna menatap putra semata wayangnya. Wanita itu meletakan telapak tangannya di bahu lelaki yang tengah diselimuti rasa bersalah. “Nak, ikhlaskan!” ujarnya singkat. Lelaki itu menengadah menatap wajah ibunya yang mulai dihiasi keriput.

  • Antara Dua Hati   Bab 35 : Selamat Tinggal Dunia

    Razi menutup mata tatkala Andrean mengarahkan moncong senjata api ke arahnya. Tak henti hatinya merapal kalimat 'Laa ilaha illlallah', berharap jika saat itu adalah waktu ajalnya tiba, dia dalam keadaan mengingat Rabb-nya.Sejurus kemudian, sebuah letusan terdengar nyaring, dan tubuh itu pun ambruk.Razi membuka mata, jantungnya berdetak kencang, tubuh lelaki di hadapannya telah ambruk tertelungkup.Razi menghela napas lega. Jika saja polisi datang terlambat, mungkin saat ini dirinyalah yang tengah terbaring bersimbah darah.Maida segera dibawa Ambulans menuju rumah Sakit untuk mendapat perawatan, begitu juga dengan Andrean.Razi keluar dari rumah itu dengan dipapah seorang polisi. Di luar, Hana dan Tsabit telah menunggu dengan perasaan cemas.“Itu ayah!” ujar Tsabit, anak itu menghambur ke pelukan Razi.Razi berjongkok untuk menyambut Tsabit dan memeluknya erat. “Kamu gak ap

  • Antara Dua Hati   Bab 34 : Pengorbanan

    “Kita ke mana?” tanya Maida.“Puncak.”Maida menghela napas. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. “Mungkinkah ini perbuatan Mas Andrean?” tanya Maida. Pandangannya mengarah ke luar.“Apa dia bilang akan melakukan sesuatu?” tanya Andrean.Maida mengangguk.“Bodoh! Apa lu menyuruhnya?” Bian kembali bertanya dengan nada tinggi.“Enggak, Bian. Gue udah nyuruh dia buat gak ngelakuin apa pun.” Maida memijat keningnya.“Apa yang harus gue lakukan?”“Lu telepon dan tanya dia lagi di mana dan lagi ngapain, tapi lu pura-pura kalau gak tau Tsabit diculik. Gue khawatir, Andrean tuh psikopat, lu ngerti kan?”Maida mengangguk. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Andrean.“Halo Mai, ada apa?” tanya Andrean.“Mas, lagi di mana?”

  • Antara Dua Hati   Tsabit Diculik!

    Ponsel Maida bergetar. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau miliknya. Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu mengambil gawai dan membukanya. Seketika matanya terbuka lebar, dadanya naik turun menahan amarah.“Kurang ajar kalian!”Maida menutup pesan yang memperlihatkan sebuah foto Razi dan Hana tengah duduk berdua.Perempuan itu mencoba menghubungi Razi, tetapi tak aktif. Maida memejamkan mata, baru saja dia ingin berubah menjadi lebih baik, mencoba membuka hati bagi Tsabit, tetapi melihat foto itu hatinya kembali memanas. Dia tak lagi bisa bersabar. Dirinya bermaksud untuk menyusul suaminya.●●●Razi menghela napas, tak menyangka bahwa perkataannya beberapa tahun yang lalu begitu membekas di hati Hana. Segurat penyesalan kembali hadir menyelusup hati.“Hana,” panggil lelaki itu sambil mengetuk pintu.Tak lama, Hana membuka pintu.“Hana ... sebena

  • Antara Dua Hati   Bab 32 : Rencana Lamaran

    Rinai hujan mendentum bumi. Gemercik airnya terasa merdu berpadu dengan tarian dedaunan yang tertimpa tetesnya. Seorang perempuan tengah menikmati indahnya rintikan air kali ini dari sudut jendela. Sesekali, ia mengulurkan tangannya agar terbasahi sang hujan.Secangkir teh hangat menemaninya menikmati sore yang cukup dingin kala itu. Ia menarik napas, lalu mengembuskannya bersama kebimbangan akan sebuah pilihan.“Mantapkan hatimu, istikharah lebih baik,” ucap wanita di seberang meja.“Bagaimana mas Bian menurut Bibi?”“Dia baik, tampaknya juga sayang sama Tsabit.”Perempuan itu kembali menarik napas. ‘Haruskah aku menerimanya?’ tanyanya dalam hati.●●●Razi kembali melihat sosok lelaki yang saat itu dilihatnya tengah berbicara dengan Andrean di sebuah jalan. Lelaki itu melirik ke arah Razi. Tak lama, lelaki itu pun pergi.Razi melaju

  • Antara Dua Hati   Bab 31 : Tak Rela Dilamar Orang

    Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Razi sampai di kediaman Hana. Tampak sepi, seperti tak ada tamu yang hadir. Lelaki bersurai hitam itu menarik napas dan memberanikan diri mendekati rumah itu. Dia tak lagi memedulikan bahwa dirinya bukan siapa-siapa lagi bagi Hana, yang ada di pikirannya saat itu adalah, tak ingin wanita itu menjadi milik orang lain.Dengan ragu, Razi mengetuk pintu. Sekali, tak ada jawaban. ‘Apakah lamarannya tidak di rumah?’ batinnya gusar.Razi melangkah bermaksud meninggalkan rumah itu. Baru beberapa langkah, terdengar suara pintu terbuka. Razi berbalik. Tampak di hadapannya seorang wanita berjilbab menatapnya heran. Razi tersenyum, berjalan mendekat dan berusaha meraih tubuhnya. Sontak, wanita itu beringsut mundur.“Ah, maaf.” Razi tak bisa menahan perasaannya. “Hari ini kamu lamaran, Hana?”Perempuan bermata teduh itu mengernyit heran. “Enggak.”

  • Antara Dua Hati    Bab 30 : Polycystic Ovarian Sindrome

    Tangan Maida mengepal, matanya memerah, sedang dadanya naik turun menahan amarah. Tatapan matanya tajam menyorot bros yang dikenakan oleh Hana.Hana yang mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Maida, memberi isyarat kepada Razi.Awalnya Razi tak paham, tapi kemudian dia mengarahkan pandangannya kepada wanita di sampingnya. Lelaki itu menepuk pelan bahu Maida.“Mai.”Maida menengadah menatap mata lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Matanya memanas. Razi yang belum mengerti apa yang terjadi mengerutkan dahinya.“Kenapa kamu melakukan itu?” teriak Maida yang membuat seisi ruangan menatap ke arahnya.Razi gelagapan, lalu menarik lengan wanita itu dan membawanya ke belakang. Sampai di halaman belakang rumah, Maida menepis tangan Razi dengan kasar.“Ada apa dengan kamu, Mai?” tanya Razi dengan setengah berbisik. Matanya mengawasi sekitar.&ldqu

  • Antara Dua Hati   Bab 29 : Rasa yang Tak Hilang

    Manusia mulia sang pembawa risalah, menyerupakan wanita serupa dengan gelas kaca. Beliau berpesan kepada para lelaki agar menjaga gelas-gelas kaca itu dengan baik. Jika gelas kaca pecah, maka tak mungkin lagi bisa diperbaiki dan dikembalikan seperti semula. Seorang wanita, mampu menahan rasa sakit, tetapi sulit untuk melupakan rasa sakit itu. Serupa kaca, keras dan rapuh di saat bersamaan.Itu pula yang dirasakan wanita yang tengah mendekap bayinya di sudut jendela. Meski selama ini dia mampu menahan perasaan sakit, tapi rasa itu masih saja bercokol di dalam hatinya. Seberapa kuat pun dia mencoba menepis, nyatanya, tak mudah hilang begitu saja.“Hana,” Fatimah menyentuh pundak wanita yang kini telah menjadi ibu itu.“Ah, iya, ada apa, Bi?”“Tidurkan dulu anakmu di kasur.”Hana mengangguk, lalu meletakan bayinya di kasur. Kedua wanita itu keluar dari kamar dan duduk di sebuah sofa pan

  • Antara Dua Hati   Bab 28 : Ungkapan Hati

    “Mas Bian,” ucap Hana tak percaya.“Maafkan aku Hana, yang seharusnya aku lakukan memang berbicara dengan pamanmu dulu. Tapi ... aku tak bisa menahan perasaanku.” Pemuda itu menundukkan wajahnya. Dia menyiapkan mental untuk segala kemungkinan jawaban Hana. Meski sebenarnya, dia tahu, perempuan itu tak mungkin menerimanya begitu saja. Yang terpenting, perempuan berjilbab besar itu tahu perasaannya.Bian mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Gak perlu dijawab sekarang, Hana. Lupakan! Fokus saja ke bayimu dulu.” Mata Bian menoleh ke dua tas yang tadi dibawanya dari klinik. “Ah, aku akan bereskan ini, istirahatlah.” Bian meninggalkan Hana yang masih mematung tak percaya.Setelah tahu Bian tak bersama Hana, Razi masuk ke rumah yang pintunya memang terbuka. Hana melempar pandangan kepada lelaki yang baru saja masuk hingga kedua manik coklat mereka saling berserobok.“Hana ... Alhamdulil

DMCA.com Protection Status