“Jadi, siapa cewek yang tadi?” tanya Bian sambil tetap konsentrasi menyetir.
“Kepo,” jawab Razi sekenanya. “Aaahhh ... gak asik, Lu!”Razi tersenyum puas. “Heh, playboy kaya lu gak cocok sama cewek kaya Hana. Lu liat dong penampilan dia! Pake jilbab gede, pake gamis, alim kaya gitu. Nah, elu?”“Oh, jadi namanya Hana.” Bian tersenyum. “Gue tuh bukan playboy. Gue cuma belum menemukan cinta sejati aja, jadi yaaa selama ini gue lagi dalam masa pencarian cinta sejati gitu lah pokoknya,” lanjutnya sambil terkekeh.Razi hanya geleng-geleng mendengarkan ocehan sahabatnya. Pandangan pemuda itu masih tertuju kepada kertas-kertas laporan di pangkuannya.Tring!Sebuah pesan mendarat di ponsel Razi.[Aku sakit, kamu bisa ke sini?]Sebuah pesan dari Maida.[Kerja]Balas Razi singkat, lalu mematikan ponselnya.●●●●Maida masih berkutat di kamarnya. Dia berjalan ke arah meja rias, lalu duduk di hadapan sebuah cermin dengan ukuran yang cukup besar. Dia membereskan rambutnya yang kusut.“Aku lebih cantik dari wanita itu kan?” tanyanya kepada bayangan dirinya di cermin.Wanita berambut sebahu itu merenung, bagaimana bisa dirinya dicampakkan begitu saja hanya karena menolak lamaran.“Kamu tega, Razi. Aku bukan menolakmu, aku hanya menundanya,” gumamnya.Maida mengambil kembali ponselnya, lalu mencoba menghubungi Razi tetapi tak bisa tersambung.“Menyebalkan!” keluhnya. Gadis itu menenggelamkan kepalanya di atas meja rias.●●●Razi pulang sedikit lebih cepat dari biasanya. Dia sudah berjanji bahwa hari ini akan membeli perabotan bersama Hana.“Ibu gak ikut?” tanya Razi kepada ibunya.“Ibu mau duduk di mana? Kalian naik motor,” jawab Bu Ratna.“Kalau ibu mau ikut kita bisa pesan taksi,” timpal Razi.“Gak usah, kalian berdua aja. Ibu percaya sama Hana, dia bisa memilih perabotan yang bagus,” ujar Bu Ratna.Hana tersenyum mendengar ucapan mertuanya. Bu Ratna sejak dulu memang menaruh kepercayaan yang besar kepada Hana. Bukan hanya dalam masalah perabotan, tapi juga begitu memercayai wanita itu dalam segala hal.Mereka berdua pun berangkat untuk membeli furnitur dan beberapa alat elektronik.Persis seperti yang dikatakan Bu Ratna, Hana mampu memilih perabotan mana saja yang penting dan dibutuhkan. Dia menolak dengan lembut ketika Razi menawarkan beberapa barang yang menurutnya belum terlalu butuh. Dalam hal ini, Razi pun setuju bahwa Hana memang bisa diandalkan.“Bagaimana belanjanya?” tanya Bu Ratna saat anak dan menantunya baru menginjakkan kaki di rumah.Razi mengacungkan jempolnya. “Bentar lagi barangnya sampai.”●●●●Sebelum subuh, Hana sudah beres-beres rumah. Dia merapikan barang-barang yang kemarin tersisa belum dirapikan. Dirinya kini juga sudah mulai bisa memasak untuk suami dan mertuanya.Setelah Razi berangkat bekerja, Bu Ratna mengajak menantunya ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Setelah itu keduanya memasak bersama. Bu Ratna hari itu sengaja ingin membuatkan makanan untuk makan siang putranya.●●●●Rintik gerimis menyambut kedatangan Hana yang baru saja menginjakkan kaki di trotoar selepas turun dari bis, dia berjalan sembari matanya memandang takjub gedung-gedung yang menjulang. Dengan sedikit terburu-buru dia mempercepat jalannya agar segera sampai di kantor Razi. Ditentengnya sebuah rantang berisi makanan kesukaan suaminya.“Ini dia,” gumamnya tatkala melihat gedung besar dengan beberapa lantai yang tersusun.“Maaf mbak, mau ke mana?” tanya seorang lelaki berseragam satpam menghentikan langkah Hana.“Saya mau bertemu suami saya, Pak.” Jawab Hana ramah.“Nama suaminya siapa, Mbak?”“Razi ... Arrazi El Fathan.”Satpam tersebut mengernyitkan keningnya. Dia heran karena setahunya Razi belum menikah. Bahkan hampir semua orang tahu bahwa Razi memiliki hubungan dengan Maida. Razi memang terbilang akrab dengan sosok lelaki paruh baya yang biasa dipanggil Pak Sardi itu. Sepuluh tahun lebih dia telah bekerja di perusahaan milik ayah Maida. Mereka sedikit berbincang di luar pos satpam.Tak lama, meluncur sebuah mobil Mini Cooper berwarna merah melewati Hana dan Pak Sardi, lalu keluar seorang wanita memakai dress berwarna marun selutut yang dipadukan dengan stoking hitam dan sepatu dengan warna senada. Sebuah kaca mata hitam membingkai menutupi netranya. Anggun dan elegan.“Itu siapa, Pak?” tanya Hana menunjuk wanita yang masuk ke dalam kantor dengan dagunya.“Oh, itu Bu Maida, anaknya Pak Robi pemilik perusahaan ini.”Hana menganggukkan kepalanya. Dia sadar bahwa wanita itu adalah orang yang datang ke rumah sehari sebelumnya. Ingin rasanya Hana bertanya mengenai hubungan wanita itu dengan suaminya. Namun urung dia lakukan karena merasa tak pantas bertanya hal itu kepada orang lain.“Saya masuk dulu ya, Pak.” Pamit Hana lalu berjalan ke arah kantor.Pak Sardi mengangguk. “Duh, bisa rame ini,” celetuknya.Waktu makan tiba sejak beberapa menit yang lalu. Beberapa pegawai lain mulai keluar mencari makan. Ada juga yang masih duduk-duduk mengobrol di ruangan cukup besar yang diisi oleh beberapa pekerja termasuk Razi.Razi menggeliat merenggangkan badannya yang terasa kaku berjam-jam duduk di depan komputer. Kemudian dia merapikan berkas-berkas dan mematikan komputer sebelum beranjak dari kursinya.“Kantin yuk bro!” ajak Bian melambaikan tangannya.“Salat dulu.”Bian berjalan malas ke arah Razi. Pemuda itu memang tipe orang yang semaunya. Salat pun semaunya jika sedang ingin saja. Itu pun dilakukan setelah dirinya berteman dekat dengan Razi. Selesai salat, mereka berjalan hendak menuju kantin yang terletak di lantai bawah untuk makan siang. Saat lift terbuka, di dalam ternyata sudah ada Maida yang hendak menemui Razi. Akhirnya dia ikut turun kembali untuk ke kantin.
“Kamu sudah sembuh, Mai?” tanya Razi mencairkan suasana yang sedari tadi hening.“Belum, tapi aku sengaja datang ke sini karena dari kemarin kamu gak bisa dihubungi,” jawab Maida.“Emang, lu sakit apa Mai?” sela Bian yang berdiri di belakang Maida.Maida tak menjawab pertanyaan sepupunya itu.“Mai, lu tahu gak? Di rumah cowok lu ada cewek cakep banget. Masa Razi bilang doi istrinya. Kurang ajar banget kan? Hajar Mai, hajar!” ujar Bian meledek Maida.Maida menoleh ke arah Bian, lalu mengepalkan tangannya. Lelaki itu tertawa merasa candanya berhasil membuat sepupunya jengkel.Pintu lift terbuka, pada saat bersamaan muncul Hana yang bermaksud akan menggunakan lift untuk menemui Razi.Razi kaget melihat Hana ada di kantornya. Buru-buru Razi menghampiri istrinya.“Hana, ada apa ke sini?” bisik Razi.“Ini, A, ibu nyuruh Hana nganterin ini ke kantor Aa, katanya buat makan siang.”“Oh iya, makasih,” ucap Razi sambil meraih rantang dari tangan Hana.Bian yang berdiri dengan Maida di depan lift menghampiri Razi dan Hana yang tampak saling berbisik.“Eh, Hana, kita ketemu lagi. Ada apa ke sini, Han?” tanya Bian sok akrab. “Wah apa itu?” tanyanya kala melihat rantang di tangan Razi.“Oh, itu makanan kesukaan A Razi, tadi saya dan ibu yang masak dan suruh diantar ke sini.”“Wah, pasti enak tuh.”Mereka bertiga sedikit berbincang, hingga lupa dengan keberadaan Maida di depan lift.Maida memerhatikan Hana dari ujung kaki hingga kepala. Gamis berwarna ungu tua yang dipadukan dengan jilbab ungu muda sepaha memang terlihat begitu sederhana dikenakan wanita itu. Maida tersenyum sinis melihat penampilan Hana.“Kamu, siapanya Razi? Sepupu atau ponakan? Kayanya kamu lebih muda dari orang ini,” tanya Bian menunjuk Razi.Hana hanya tersenyum mendapat pertanyaan dari Bian. Sedang mulut Razi bergerak-gerak menggerutu.Maida yang sejak tadi berdiri dekat lift merasa diabaikan. Dia berdehem untuk menarik perhatian mereka. Lalu, tangannya memegang kepala dan bersandar ke dinding. Maida bertingkah seperti orang yang akan pingsan. Melihat hal itu, Razi dan Bian berlari ke arah Maida. Dengan sigap, Razi menyangga tubuhnya yang mau ambruk. Rantang yang sejak tadi ditentengnya diserahkan kepada Bian.“Mai, kamu kenapa?” tanya Razi dengan raut wajah khawatir.“Aku pusing,” jawab Maida pura-pura.“Kita ke dokter, ya?”“Gak usah, tolong bawa aku ke ruanganku aja.”Mereka pun naik lagi ke lantai atas. Hana yang bingung akhirnya ikut naik karena khawatir juga melihat Maida yang hampir pingsan.Razi mendudukkan Maida di sofa panjang berwarna biru muda. Lalu mengambil air mineral dan memberikannya kepada wanita itu. Rasa panas menjalari hati Hana kala Melihat Razi memperlakukan Maida. Dia bisa melihat, kalo suaminya begitu khawatir dengan wanita itu.“Makasih ya, aku tahu kamu masih peduli padaku,” ucap Maida kepada Razi, dia menyenderkan kepalanya di bahu Razi. Sengaja untuk membuat Hana cemburu.Hana memalingkan muka, dia mencoba bersabar dengan apa yang dilakukan Maida kepada suaminya. Sedang Bian geleng-geleng mendengar ucapan Maida yang dianggapnya terlalu lebay.“Wah, nasi liwet sama ikan asin, tumis kangkung, sambal terasi, lalapan, enak ini,” seru Bian yang duluan membongkar rantang milik Razi.“A, Hana pulang dulu, ya. Kasihan ibu sendirian di rumah.” Hana pamit kepada Razi.
Dirinya juga sudah tak tahan melihat pemandangan menyebalkan di depannya.
“Ya, hati-hati di jalan.” Razi beranjak bermaksud mengantarkan Hana ke luar, tetapi dicegah oleh Maida dengan menggenggam tangannya.Hana berjalan ke luar dari ruangan Maida dengan perasaan tak menentu. Dia semakin yakin bahwa pernikahan yang dijalaninya memang tidak baik-baik saja. Gadis berjilbab besar itu pun masuk lift, saat pintu hendak tertutup, tangan seseorang menahan pintu itu. Seorang lelaki tersenyum dan ikut masuk ke dalam lift.“Hana, aku antar kamu pulang ya? Sepertinya di luar masih gerimis.” Bian mengangkat-angkat alisnya.Hana tersenyum dan menggeleng.“Kenapa? Oh ya, kita belum sempat kenalan. Aku Bian ... Fabian Satya Perdana, teman Razi sekaligus sepupu Maida.” Bian mengulurkan tangannya untuk bersalaman.Hana tak menyambut uluran tangan Bian, dia hanya menangkupkan tangannya di dada.“Hana Faqiha.”
Pintu lift terbuka, Hana pamit kepada Bian dan berjalan cepat menuju pintu kaca besar tempat keluar dan juga masuk.“Hana, tunggu!” Bian mengejar. “Kamu saudaranya Razi yang dari Tasik?” Bian masih penasaran. Memang, wanita dengan pakaian tertutup bukanlah tipenya, tapi entah mengapa perempuan itu memiliki daya tarik yang berbeda baginya.“Saya istrinya.” Hana berlalu meninggalkan Bian yang bengong.“Dasar! Dua orang ini ngebecandain gue,” gumam Bian sambil garuk-garuk kepala.-Bersambung-
Hana menepati janjinya untuk belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik. Di usianya yang baru sembilan belas tahun, dia memilih untuk berhenti kuliah yang baru dijalaninya selama dua semester. Dia ingin menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami juga ibu mertuanya.Nilai-nilai agama yang meresap dalam dirinya, 'memaksanya' untuk lebih mendahulukan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga. Meski memang hal tersebut sangat berat baginya. Meninggalkan keluarga, pendidikan, kampung halaman, semua dilakukan demi bisa berbakti kepada lelaki yang telah menghalalkannya.“Assalamu'alaikum.”“Wa'alaikumusalam, Hana, kok lama?” tanya Bu Ratna saat menantunya sampai di rumah.“Maaf, Bu. Tadi temannya A Razi sakit,” jawab Hana sambil melepas jilbabnya. Udara di ibukota memang terasa begitu panas baginya, terlebih selama ini dia tinggal di daerah yang hawanya sejuk.“Sakit kenapa, Han?
Terlahir dari keluarga kaya membuat Maida terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa sadar hal tersebut mendidiknya bahwa apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya. Maida adalah sosok pekerja keras, tetapi egois. Dia adalah seorang wanita yang tidak mudah menyerah atas sesuatu.“Mai ...,” bisik Razi. “Jangan seperti ini.”Maida semakin mengeratkan pelukannya.“Aku gak akan lepasin sampai kamu jawab pertanyaanku.”Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Baiklah, aku jawab sekarang.”Maida melepaskan pelukannya.Razi memutar tubuh, kini keduanya saling berhadapan. Lelaki yang awalnya diliputi keraguan itu menatap kedua manik coklat Maida, dia meletakan tangannya di kedua bahu wanita yang begitu mengharapkan cintanya.“Mai, terima kasih, karena ... kamu sudah mencintaiku yang bukan siapa-siapa ini. Aku berusaha untuk melupakanmu, jujur ... itu memang sulit. Ta
Keterkejutan Hana belum usai, ribuan tanya berkecamuk dalam hatinya.“Maksud kamu apa?” tanya Hana dengan raut muka penuh tanya, matanya mulai menghangat.“Hana, ada tamu? Kok gak diajak masuk?” Bu Ratna berbicara dari dalam rumah, lalu menghampiri menantunya yang berdiri di depan pintu.“Loh, Neng Maida?” ujar Bu Ratna saat melihat gadis itu.Maida tersenyum. “Iya, Bu.”Hana tidak menyangka kalau mertuanya mengenal Maida. Dia semakin merasa tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Sudah lama ya? Sekarang Neng Maida tambah cantik. Hayuk masuk dulu,” ujar Bu Ratna ramah.“Iya , Bu, pengen sih ngobrol-ngobrol sama ibu lagi. Tapi sekarang Maida harus kerja, tadi kebetulan aja lewat sini jadi mampir.”“Kalau begitu kapan-kapan main ke sini, ya? Sudah nikah?”“Belum, Bu.&rd
Bisakah cinta sejati itu dikenali sejauh mana kesucian dan ketulusannya? Apakah cinta sejati itu berarti harus bisa menyatukan dua orang yang saling mencinta?Hidup manusia sudah ditulis sejak lima puluh ribu tahun sebelum manusia diciptakan. Dengan siapa dia berjodoh, dengan siapa cinta pada akhirnya berlabuh, pun sudah ada dalam suratan takdir. Terkadang, manusia menjadi tak sadar, juga tak mampu menerima takdir yang telah digariskan-Nya. Terlebih dalam urusan cinta, sebagian manusia telah dibutakan olehnya.Dalam pepatah Arab dinyatakan : “Cintamu kepada sesuatu menjadikanmu buta dan tuli.”Ketika badai asmara yang menggelora tak lagi mampu dibendung, mata seolah tak mampu melihat mana yang baik dan buruk. Telinga menolak untuk mendengar nasihat yang benar. Dan hati tak lagi peduli bahwa akan ada orang lain yang mungkin tersakiti.Tampaknya, cinta itu telah membutakan mata dan hati Maida. Dia tak lagi peduli akan kon
Kedua lelaki itu menghampiri Hana.“Hana, bisa kita bicara sebentar?” ucap Pak Robi dengan tersenyum.Hana mengangguk. Mereka berjalan ke kantin dan memilih satu meja yang cukup sepi di belakang. Memang, saat itu bukan jadwal makan siang, jadi belum banyak pengunjung di kantin Rumah Sakit tersebut.Seorang pramusaji mengantarkan minuman untuk ketiganya. Hana sedikit gelisah, ada perasaan tak enak menjalari hatinya. Gerangan apa yang membuat pak Robi ingin bicara dengannya, Hana masih menerka.“Kamu menjenguk Maida?” tanya Pak Robi.Hana mengangguk pelan.Pak Robi tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lelaki yang duduk di sebelah lelaki paruh baya itu menatap Hana lekat, seolah sedang memindai wajah perempuan berjilbab ungu itu.“Baik, langsung aja ke permasalahannya ya Nak Hana.” Pak Robi berhenti sejenak, lalu menyeruput kopi yang dipesan. Seraut kekhawatiran tam
Keadaan Maida semakin membaik dan sudah bisa pulang. Setelah di rumah, perempuan berambut sebahu itu lebih sering diam di balkon atau tiduran di kamar. Tak ada keinginan untuknya keluar.“Mai!”Bian datang menjenguk, membawa sekotak coklat kesukaan sepupunya.Maida yang sedang duduk di balkon hanya menoleh Bian sekilas. Pemuda tinggi tegap itu menghampirinya, lantas memberikan coklat.“Gue belum boleh makan coklat,” ujar Maida, tapi tetap saja dia membuka kotak dan memeriksa isinya.“Halah, emangnya lu sakit apaan? Lu udah sehat?” Bian menempelkan telapak tangannya di kening Maida.Maida menepis tangan Bian. “Gue gak demam.”“Mai, lu kenapa sih bisa senekat itu?” tanya Bian seraya mengambil sebungkus coklat di tangan Maida dan memakannya.“Gue juga gak tahu.”“Masa gak tahu? Aneh, Lu!”
Apa yang dirasakan seorang istri tatkala mengetahui perasaan suaminya yang masih mengharapkan perempuan lain? Tentu perih. Itulah yang tengah dirasakan Hana sekarang. Dia berusaha menerjemahkan hatinya yang kian poranda. Dicobanya menepis segala lara, akan tetapi tak bisa. Kenyataan itu bagaikan sebuah pisau yang mengiris hati.Hana berpura-pura tidur tatkala terdengar Razi membuka pintu kamar. Tak lama, terdengar dengkuran halus dari suaminya. Perempuan pemilik mata teduh itu menatap lekat lelaki yang dicintainya. Mengetahui kenyataan tentang adanya wanita lain dihatinya, membuat Hana putus asa mempertahankan rasa. 'Haruskah aku menyerah?' batinnya.Pagi menjelang. Seperti biasa mereka sarapan bersama. Hana lebih sering memainkan sendoknya, tampaknya dia sedang tak berselera. Pikirannya masih tertuju pada apa yang diucapkan Razi semalam kepada Bian. Andai dia mendengarkan ucapan suaminya hingga selesai, mungkin dia tak akan sesedih ini.&ldquo
Api mulai menjalar membakar dinding kamar. Beruntung, orang itu keburu ketahuan saat menyiramkan bensin, sehingga dia tidak sempat menyiramkan ke bagian rumah yang lain.“Hana.” Razi teringat istrinya masih di kamar, dia berlari mencari Hana tapi tak menemukannya.“Hana!” teriak Razi panik.“Hana di kamar ibu, A.” Rupanya Hana sudah bangun dan berusaha menyelamatkan mertuanya.Api sudah menjalar ke jendela. Kacanya pecah, dan api mulai membakar tirai, lalu merambat ke atap.Razi membawa istri dan ibunya keluar. Api begitu cepat menyebar hingga sudah membakar separuh kamar. Razi menyemprotkan air dengan selang dari keran yang berada di luar. Para tetangga pun berdatangan untuk membantu menghentikan amukan si jago merah. Api pun padam tanpa harus memanggil pemadam kebakaran.Tampak sebagian dinding kamar yang menghitam, dengan jendela yang tak bersisa.“
Dua bulan berlalu sejak kematian Maida. Razi dan ibunya kembali ke rumah yang dulu. Meski rumah itu diberikan kepadanya, tetapi lelaki pemilik wajah rupawan itu menolak secara halus. Dia merasa tak berhak memiliki rumah itu. Kenangan masa lalu tentang wanita itu kembali terputar dalam memori ingatan. Baik ketika mereka masih saling mencinta, pun ketika prahara mulai membersamai keduanya. Razi berpikir, perubahan sikap Maida adalah salahnya, wanita itu menjadi jahat karena dirinya. Lelaki itu melamun di sudut ruangan, di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan jendela. Menatap sekumpulan anak-anak yang berlarian ke sana kemari seolah memiliki energi yang tak pernah habis. Bu Ratna menatap putra semata wayangnya. Wanita itu meletakan telapak tangannya di bahu lelaki yang tengah diselimuti rasa bersalah. “Nak, ikhlaskan!” ujarnya singkat. Lelaki itu menengadah menatap wajah ibunya yang mulai dihiasi keriput.
Razi menutup mata tatkala Andrean mengarahkan moncong senjata api ke arahnya. Tak henti hatinya merapal kalimat 'Laa ilaha illlallah', berharap jika saat itu adalah waktu ajalnya tiba, dia dalam keadaan mengingat Rabb-nya.Sejurus kemudian, sebuah letusan terdengar nyaring, dan tubuh itu pun ambruk.Razi membuka mata, jantungnya berdetak kencang, tubuh lelaki di hadapannya telah ambruk tertelungkup.Razi menghela napas lega. Jika saja polisi datang terlambat, mungkin saat ini dirinyalah yang tengah terbaring bersimbah darah.Maida segera dibawa Ambulans menuju rumah Sakit untuk mendapat perawatan, begitu juga dengan Andrean.Razi keluar dari rumah itu dengan dipapah seorang polisi. Di luar, Hana dan Tsabit telah menunggu dengan perasaan cemas.“Itu ayah!” ujar Tsabit, anak itu menghambur ke pelukan Razi.Razi berjongkok untuk menyambut Tsabit dan memeluknya erat. “Kamu gak ap
“Kita ke mana?” tanya Maida.“Puncak.”Maida menghela napas. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. “Mungkinkah ini perbuatan Mas Andrean?” tanya Maida. Pandangannya mengarah ke luar.“Apa dia bilang akan melakukan sesuatu?” tanya Andrean.Maida mengangguk.“Bodoh! Apa lu menyuruhnya?” Bian kembali bertanya dengan nada tinggi.“Enggak, Bian. Gue udah nyuruh dia buat gak ngelakuin apa pun.” Maida memijat keningnya.“Apa yang harus gue lakukan?”“Lu telepon dan tanya dia lagi di mana dan lagi ngapain, tapi lu pura-pura kalau gak tau Tsabit diculik. Gue khawatir, Andrean tuh psikopat, lu ngerti kan?”Maida mengangguk. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Andrean.“Halo Mai, ada apa?” tanya Andrean.“Mas, lagi di mana?”
Ponsel Maida bergetar. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau miliknya. Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu mengambil gawai dan membukanya. Seketika matanya terbuka lebar, dadanya naik turun menahan amarah.“Kurang ajar kalian!”Maida menutup pesan yang memperlihatkan sebuah foto Razi dan Hana tengah duduk berdua.Perempuan itu mencoba menghubungi Razi, tetapi tak aktif. Maida memejamkan mata, baru saja dia ingin berubah menjadi lebih baik, mencoba membuka hati bagi Tsabit, tetapi melihat foto itu hatinya kembali memanas. Dia tak lagi bisa bersabar. Dirinya bermaksud untuk menyusul suaminya.●●●Razi menghela napas, tak menyangka bahwa perkataannya beberapa tahun yang lalu begitu membekas di hati Hana. Segurat penyesalan kembali hadir menyelusup hati.“Hana,” panggil lelaki itu sambil mengetuk pintu.Tak lama, Hana membuka pintu.“Hana ... sebena
Rinai hujan mendentum bumi. Gemercik airnya terasa merdu berpadu dengan tarian dedaunan yang tertimpa tetesnya. Seorang perempuan tengah menikmati indahnya rintikan air kali ini dari sudut jendela. Sesekali, ia mengulurkan tangannya agar terbasahi sang hujan.Secangkir teh hangat menemaninya menikmati sore yang cukup dingin kala itu. Ia menarik napas, lalu mengembuskannya bersama kebimbangan akan sebuah pilihan.“Mantapkan hatimu, istikharah lebih baik,” ucap wanita di seberang meja.“Bagaimana mas Bian menurut Bibi?”“Dia baik, tampaknya juga sayang sama Tsabit.”Perempuan itu kembali menarik napas. ‘Haruskah aku menerimanya?’ tanyanya dalam hati.●●●Razi kembali melihat sosok lelaki yang saat itu dilihatnya tengah berbicara dengan Andrean di sebuah jalan. Lelaki itu melirik ke arah Razi. Tak lama, lelaki itu pun pergi.Razi melaju
Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Razi sampai di kediaman Hana. Tampak sepi, seperti tak ada tamu yang hadir. Lelaki bersurai hitam itu menarik napas dan memberanikan diri mendekati rumah itu. Dia tak lagi memedulikan bahwa dirinya bukan siapa-siapa lagi bagi Hana, yang ada di pikirannya saat itu adalah, tak ingin wanita itu menjadi milik orang lain.Dengan ragu, Razi mengetuk pintu. Sekali, tak ada jawaban. ‘Apakah lamarannya tidak di rumah?’ batinnya gusar.Razi melangkah bermaksud meninggalkan rumah itu. Baru beberapa langkah, terdengar suara pintu terbuka. Razi berbalik. Tampak di hadapannya seorang wanita berjilbab menatapnya heran. Razi tersenyum, berjalan mendekat dan berusaha meraih tubuhnya. Sontak, wanita itu beringsut mundur.“Ah, maaf.” Razi tak bisa menahan perasaannya. “Hari ini kamu lamaran, Hana?”Perempuan bermata teduh itu mengernyit heran. “Enggak.”
Tangan Maida mengepal, matanya memerah, sedang dadanya naik turun menahan amarah. Tatapan matanya tajam menyorot bros yang dikenakan oleh Hana.Hana yang mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Maida, memberi isyarat kepada Razi.Awalnya Razi tak paham, tapi kemudian dia mengarahkan pandangannya kepada wanita di sampingnya. Lelaki itu menepuk pelan bahu Maida.“Mai.”Maida menengadah menatap mata lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Matanya memanas. Razi yang belum mengerti apa yang terjadi mengerutkan dahinya.“Kenapa kamu melakukan itu?” teriak Maida yang membuat seisi ruangan menatap ke arahnya.Razi gelagapan, lalu menarik lengan wanita itu dan membawanya ke belakang. Sampai di halaman belakang rumah, Maida menepis tangan Razi dengan kasar.“Ada apa dengan kamu, Mai?” tanya Razi dengan setengah berbisik. Matanya mengawasi sekitar.&ldqu
Manusia mulia sang pembawa risalah, menyerupakan wanita serupa dengan gelas kaca. Beliau berpesan kepada para lelaki agar menjaga gelas-gelas kaca itu dengan baik. Jika gelas kaca pecah, maka tak mungkin lagi bisa diperbaiki dan dikembalikan seperti semula. Seorang wanita, mampu menahan rasa sakit, tetapi sulit untuk melupakan rasa sakit itu. Serupa kaca, keras dan rapuh di saat bersamaan.Itu pula yang dirasakan wanita yang tengah mendekap bayinya di sudut jendela. Meski selama ini dia mampu menahan perasaan sakit, tapi rasa itu masih saja bercokol di dalam hatinya. Seberapa kuat pun dia mencoba menepis, nyatanya, tak mudah hilang begitu saja.“Hana,” Fatimah menyentuh pundak wanita yang kini telah menjadi ibu itu.“Ah, iya, ada apa, Bi?”“Tidurkan dulu anakmu di kasur.”Hana mengangguk, lalu meletakan bayinya di kasur. Kedua wanita itu keluar dari kamar dan duduk di sebuah sofa pan
“Mas Bian,” ucap Hana tak percaya.“Maafkan aku Hana, yang seharusnya aku lakukan memang berbicara dengan pamanmu dulu. Tapi ... aku tak bisa menahan perasaanku.” Pemuda itu menundukkan wajahnya. Dia menyiapkan mental untuk segala kemungkinan jawaban Hana. Meski sebenarnya, dia tahu, perempuan itu tak mungkin menerimanya begitu saja. Yang terpenting, perempuan berjilbab besar itu tahu perasaannya.Bian mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Gak perlu dijawab sekarang, Hana. Lupakan! Fokus saja ke bayimu dulu.” Mata Bian menoleh ke dua tas yang tadi dibawanya dari klinik. “Ah, aku akan bereskan ini, istirahatlah.” Bian meninggalkan Hana yang masih mematung tak percaya.Setelah tahu Bian tak bersama Hana, Razi masuk ke rumah yang pintunya memang terbuka. Hana melempar pandangan kepada lelaki yang baru saja masuk hingga kedua manik coklat mereka saling berserobok.“Hana ... Alhamdulil