Tak ada resepsi mewah. Pernikahan yang terbilang mendadak ini hanya dihadiri oleh keluarga terdekat saja. Razi lebih sering terlihat diam, begitu juga dengan Hana. Meski tak banyak bicara, aura kebahagiaan jelas terpancar dari wajahnya. Gadis berparas jelita itu memang tak sering jumpa dengan Razi, karena sejak SMP lelaki itu tinggal di Jakarta. Hanya sesekali saja saat pulang kampung. Namun, ada perasaan tersembunyi yang sejak dulu dipendamnya.
Hawa gigil menyergap kulit. Udara pedesaan di Kota Resik itu memang dingin tatkala malam menyapa. Hana masih terjaga menunggui suaminya di larut malam yang semakin beranjak. Tak lama, terdengar suara daun pintu di tekan, lalu pintu kamar itu pun terbuka perlahan.Razi sedikit terkejut tatkala melihat seorang gadis berada di kamarnya. Sejurus kemudian tersadar bahwa dirinya telah menikah.“Belum tidur?” tanya Razi dengan sedikit gugup. Ini adalah pertama kali baginya sekamar dengan perempuan selain ibunya.Hana tersenyum, kemudian menunduk. Perasaan malu dan canggung menyelimuti dirinya.“Tidurlah, kamu pasti capek,” titah Razi yang diikuti hempasan tubuhnya ke kasur, lalu berbalik memunggungi Hana.Ada sedikit perasaan kecewa dalam hati gadis itu. Namun, dia segera menepisnya. Dia berusaha memaklumi dan berpikir bahwa mungkin suaminya kelelahan. Hana merebahkan tubuhnya di samping Razi, tubuhnya menghadap punggung lelaki yang beberapa jam lalu telah sah menjadi suaminya. Meski dia berusaha untuk tidur, tetapi matanya seperti enggan untuk terpejam.“Aa sudah tidur?” Hana membuka percakapan.“Belum, ada apa?” jawab Razi. Dia segera mengubah posisi tidurnya menghadap Hana, dan kini wajah mereka saling berhadapan.Hana sedikit gugup, lalu memalingkan wajahnya dengan berbaring menghadap langit-langit. Dia berusaha menyembunyikan debaran jantung di dadanya. Khawatir detaknya terdengar oleh lelaki di sampingnya.“Gak jadi, nanti aja.”Sebenarnya, ada banyak pertanyaan dalam diri Hana yang memaksa untuk ditanyakan. Tentang mengapa Razi bersedia menikah dengannya, juga tentang apakah perasaan yang dimiliki lelaki itu terhadapnya sama dengan perasaannya terhadap Razi. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu urung ditanyakan. Biarlah nanti akan menemukan jawabannya sendiri, pikirnya.“A, bangun! Sudah subuh.” Hana mengguncang tubuh Razi.Razi menggeliat lalu duduk. Dengan mata yang masih mengantuk, tiba-tiba lelaki itu memeluk wanita yang duduk di sebelahnya. Hana sedikit terkejut, tetapi hal tersebut membuatnya senang dan agak salah tingkah. Razi yang baru sadar akan apa yang dilakukannya, buru-buru melepaskan pelukan, dan beranjak berdiri.“Wudu dulu,” ucapnya lalu ke luar dari kamar dengan setengah berlari.●●●●“Razi, pamanmu menawarkan Vila-nya. Barangkali ... kalian ingin bulan madu di sana,” ujar Bu Ratna saat mereka sarapan.Sontak ucapan ibunya membuat Razi yang sedang minum tersedak. Dia terbatuk-batuk dibuatnya.“Kamu gak apa-apa?” Bu Ratna sedikit khawatir.“Enggak apa-apa, Bu” Razi kembali meminum sisa air di gelas. “Waktu cuti Razi kan hanya seminggu, Bu. Itu berarti tinggal satu hari lagi di sini. Oh ya, Razi ingin mengajak ibu dan Hana pindah ke Jakarta. Bagaimana, Bu?”“Bagaimana dengan rumah ini? Kalau ibu pergi, siapa yang menjaga rumah ini?”“Rumah ini biar W* Haji yang menjaganya. Apa ibu gak mau tinggal bersama Razi?”“Tentu saja ibu mau. Tapi ....”“Tapi apa lagi, Bu?” Razi memasang wajah memelas.“Baiklah, ibu akan pergi bersama kalian.”Razi dan Hana tersenyum senang bahwa Sang Ibu bersedia tinggal bersama mereka.Selesai sarapan, Razi bersantai di ruang keluarga. Sedang Hana mencuci piring di dapur. Setelah selesai, Hana menghampiri suami dan mertuanya sambil membawa nampan berisi teh.“Oh ya, apa kalian tidak mau berjalan-jalan dulu sebelum meninggalkan kota ini? Pergi dan bersenang-senanglah! Kalian gak bisa bulan madu, jadi paling tidak kalian bisa bersenang-senang pergi ke tempat-tempat yang indah,” ujar Bu Ratna.Hana menatap suaminya, berharap lelaki itu mau mengajaknya jalan-jalan. Razi yang sadar tengah diperhatikan membalas tatapan istrinya. Buru-buru Hana mengalihkan pandangan ke arah lain.“Iya, Bu, kami mau jalan-jalan,” ucap Razi tanpa mengalihkan pandangan dari istrinya.Hana sedikit terkejut Razi menyetujui untuk jalan-jalan, dia menyembunyikan senyum dibalik wajahnya yang menunduk.Saat Hana bersiap-siap di kamar, ponsel Razi berdering. Awalnya Hana membiarkannya, tapi berkali-kali benda pipih itu berbunyi kembali. Perempuan berjilbab biru itu mengambilnya. Di layar, tampak sebuah nama seorang wanita. Maida.Hana ragu, tapi kemudian dia memberanikan diri mengangkat telepon itu. Belum dia mengucapkan salam, wanita di ujung telepon memberondong dengan pertanyaan.“Lama banget sih angkatnya? Kamu lagi apa? Kapan ke Jakarta? Emangnya gak kangen?”Hana terdiam. Pikirannya berusaha mencerna keadaan.“Haloo Raaz ... kok, diem aja, sih?”“Ma-maf, A Razi lagi di luar,” sahut Hana dengan gugup. Perasaannya tak menentu.“Oh, kalau sudah kembali tolong sampaikan untuk telepon balik, ya!” perintah wanita di seberang telepon.“Iya. Mm, maaf ini dengan si ...." Belum selesai Hana bicara, wanita itu menutup teleponnya.Hana meletakan kembali ponsel suaminya. Perempuan itu menarik napas berat. Rasa penasaran dan cemburu saling berebut menguasai hatinya.“Udah siap belum?” tanya Razi di depan pintu kamar.Hana mengangguk. “Sudah. Emm ... A, itu tadi ada yang telepon. Karena bunyi terus, jadi Hana angkat. Katanya ... suruh telepon balik.”“Siapa?” Razi berjalan mendekat.“Maida.”Razi sedikit terkejut, tapi berusaha untuk bersikap biasa.“Dia siapa?” tanya Hana dengan ragu.“Teman,” jawab Razi singkat. Razi mengambil ponsel miliknya dan berjalan ke halaman belakang. Hana yang melihat suaminya tengah menelepon merasa sedikit kecewa. Namun, dia berusaha menepis perasaannya. Perempuan itu pun keluar dari kamar dan lebih memilih menunggu di ruang tamu dari pada melihat suaminya bertelepon dengan perempuan lain.●●●●“Ada apa Mai?”“Kok pertanyaannya gitu banget sih, Raz? Emang kamu gak kangen aku?” tanya Maida yang saat itu tengah berada di Spa untuk merawat kulitnya.“Aku lagi sibuk, aku tutup teleponnya, ya!”“Tunggu! Kamu susah banget dihubungi,sekalinya nyambung pengen tutup gitu aja, emangnya kamu gak kangen sama aku?” tanya Maida dengan suara manja.
“Aku masih banyak urusan,” jawab Razi dengan malas.
“Oke, oke. Jadi ... kapan kamu balik ke Jakarta?”“Mungkin lusa. Udah ya, aku masih ada urusan.” Razi langsung menutup teleponnya.●●●●Sepasang pengantin baru itu telah sampai di kawasan wisata Gunung Galunggung. Razi yang terbiasa dengan udara ibu kota begitu senang bisa menghirup udara segar gunung yang memiliki ketinggian 2.168 mdpl itu.Setelah puas menikmati pemandangan di kaki gunung yang memiliki banyak kolam pemandian air panas, Razi mengajak istrinya menuju kawah di atas.Ratusan anak tangga menyambut keduanya sebelum sampai di kawah. Mereka pun mulai menaiki tangga yang berjumlah 620 itu.Baru setengah perjalanan, Hana sudah terengah. Dia meminta untuk istirahat terlebih dahulu. Razi memberikan air mineral kepada istrinya lalu duduk sejenak di tangga dengan lebar sekitar tiga meter itu.“Lanjut?” tanya Razi. Hana mengangguk seraya tersenyum.Razi menggenggam tangan Hana saat keduanya hendak melanjutkan menaiki anak tangga yang tersisa. Tak dipungkiri, hal tersebut membuat Hana begitu senang. Sejenak, dia bisa melupakan rasa kecewa dan cemburu yang sedari tadi disembunyikannya.Mereka pun sampai di puncak Galunggung. Rasa lelah perjalanan terbayarkan dengan keindahan alam yang memanjakan mata.●●●●
Sehari berikutnya, mereka mulai berkemas untuk pindah ke Jakarta. Mereka akan menempati rumah yang dibeli Razi dengan cara mencicil ke temannya. Lelaki bertubuh tegap itu memang tidak ingin terlibat dengan pinjaman ke Bank, karena dia memiliki prinsip untuk sebisa mungkin menjauhi riba.Mereka pun sampai di Jakarta. Rumah bergaya minimalis itu belum terlalu banyak memiliki perabotan, hanya ada beberapa furnitur sepeti kasur, sofa, lemari dan televisi. Karena dulunya Razi tinggal sendiri jadi dia tak terlalu memikirkan untuk melengkapi isi rumahnya dengan perabotan.Ibu Razi kelelahan hingga sejak sore sudah istirahat di kamar. Saat Razi dan Hana bersantai sambil menonton televisi, terdengar suara ketukan di pintu. Hana segera beranjak untuk membukanya.Pintu terbuka, tampak seorang wanita berambut sebahu, mengenakan blazer berwarna pastel berdiri dengan highhells berwarna hitam. Penampilan yang sangat cantik.Kedua netra perempuan itu saling bertemu.“Siapa, Hana?” tanya Razi sambil berjalan mendekat ke pintu.Mata perempuan itu berbinar tatkala melihat Razi.“Razi, kenapa lama banget perginya?” pekik Maida. Perempuan berparas cantik itu berlari ke arah Razi dan memeluknya.Hana yang melihat itu begitu terkejut dan tidak menyangka bahwa perempuan itu tiba-tiba saja memeluk suaminya.-Bersambung-
“Mai,” desis Razi sembari berusaha melepaskan pelukan Maida.“Maaaaaf, kamu sih lama banget perginya,” ujar Maida sembari melepaskan pelukannya lalu mengaitkan tangannya di lengan Razi.“Mai.” Razi melepaskan genggaman Maida di lengannya.Hana memalingkan pandangan ke halaman rumah di depannya, tak ingin melihat suami dan perempuan yang menurutnya sangat tidak sopan.Maida memandang ke arah Hana. “Ini siapa, Raz? Sodaramu dari kampung?” tanya Maida sembari menunjuk Hana dengan telunjuknya.“Itu ...." Razi menjeda ucapannya lalu menggenggam tangan Maida dan membawanya ke halaman menuju mobil Maida berada.“Hana, nanti aku jelaskan,” ucap Razi kepada Hana sebelum mereka berdua masuk ke mobil.Hana hanya mematung menyaksikan suaminya pergi bersama wanita lain. Tanpa terasa, buliran bening jatuh melewati pipinya.Razi m
“Jadi, siapa cewek yang tadi?” tanya Bian sambil tetap konsentrasi menyetir.“Kepo,” jawab Razi sekenanya.“Aaahhh ... gak asik, Lu!”Razi tersenyum puas. “Heh, playboy kaya lu gak cocok sama cewek kaya Hana. Lu liat dong penampilan dia! Pake jilbab gede, pake gamis, alim kaya gitu. Nah, elu?”“Oh, jadi namanya Hana.” Bian tersenyum. “Gue tuh bukan playboy. Gue cuma belum menemukan cinta sejati aja, jadi yaaa selama ini gue lagi dalam masa pencarian cinta sejati gitu lah pokoknya,” lanjutnya sambil terkekeh.Razi hanya geleng-geleng mendengarkan ocehan sahabatnya. Pandangan pemuda itu masih tertuju kepada kertas-kertas laporan di pangkuannya.Tring!Sebuah pesan mendarat di ponsel Razi.[Aku sakit, kamu bisa ke sini?]Sebuah pesan dari Maida.[Kerja]Balas Razi sing
Hana menepati janjinya untuk belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik. Di usianya yang baru sembilan belas tahun, dia memilih untuk berhenti kuliah yang baru dijalaninya selama dua semester. Dia ingin menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami juga ibu mertuanya.Nilai-nilai agama yang meresap dalam dirinya, 'memaksanya' untuk lebih mendahulukan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga. Meski memang hal tersebut sangat berat baginya. Meninggalkan keluarga, pendidikan, kampung halaman, semua dilakukan demi bisa berbakti kepada lelaki yang telah menghalalkannya.“Assalamu'alaikum.”“Wa'alaikumusalam, Hana, kok lama?” tanya Bu Ratna saat menantunya sampai di rumah.“Maaf, Bu. Tadi temannya A Razi sakit,” jawab Hana sambil melepas jilbabnya. Udara di ibukota memang terasa begitu panas baginya, terlebih selama ini dia tinggal di daerah yang hawanya sejuk.“Sakit kenapa, Han?
Terlahir dari keluarga kaya membuat Maida terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa sadar hal tersebut mendidiknya bahwa apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya. Maida adalah sosok pekerja keras, tetapi egois. Dia adalah seorang wanita yang tidak mudah menyerah atas sesuatu.“Mai ...,” bisik Razi. “Jangan seperti ini.”Maida semakin mengeratkan pelukannya.“Aku gak akan lepasin sampai kamu jawab pertanyaanku.”Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Baiklah, aku jawab sekarang.”Maida melepaskan pelukannya.Razi memutar tubuh, kini keduanya saling berhadapan. Lelaki yang awalnya diliputi keraguan itu menatap kedua manik coklat Maida, dia meletakan tangannya di kedua bahu wanita yang begitu mengharapkan cintanya.“Mai, terima kasih, karena ... kamu sudah mencintaiku yang bukan siapa-siapa ini. Aku berusaha untuk melupakanmu, jujur ... itu memang sulit. Ta
Keterkejutan Hana belum usai, ribuan tanya berkecamuk dalam hatinya.“Maksud kamu apa?” tanya Hana dengan raut muka penuh tanya, matanya mulai menghangat.“Hana, ada tamu? Kok gak diajak masuk?” Bu Ratna berbicara dari dalam rumah, lalu menghampiri menantunya yang berdiri di depan pintu.“Loh, Neng Maida?” ujar Bu Ratna saat melihat gadis itu.Maida tersenyum. “Iya, Bu.”Hana tidak menyangka kalau mertuanya mengenal Maida. Dia semakin merasa tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Sudah lama ya? Sekarang Neng Maida tambah cantik. Hayuk masuk dulu,” ujar Bu Ratna ramah.“Iya , Bu, pengen sih ngobrol-ngobrol sama ibu lagi. Tapi sekarang Maida harus kerja, tadi kebetulan aja lewat sini jadi mampir.”“Kalau begitu kapan-kapan main ke sini, ya? Sudah nikah?”“Belum, Bu.&rd
Bisakah cinta sejati itu dikenali sejauh mana kesucian dan ketulusannya? Apakah cinta sejati itu berarti harus bisa menyatukan dua orang yang saling mencinta?Hidup manusia sudah ditulis sejak lima puluh ribu tahun sebelum manusia diciptakan. Dengan siapa dia berjodoh, dengan siapa cinta pada akhirnya berlabuh, pun sudah ada dalam suratan takdir. Terkadang, manusia menjadi tak sadar, juga tak mampu menerima takdir yang telah digariskan-Nya. Terlebih dalam urusan cinta, sebagian manusia telah dibutakan olehnya.Dalam pepatah Arab dinyatakan : “Cintamu kepada sesuatu menjadikanmu buta dan tuli.”Ketika badai asmara yang menggelora tak lagi mampu dibendung, mata seolah tak mampu melihat mana yang baik dan buruk. Telinga menolak untuk mendengar nasihat yang benar. Dan hati tak lagi peduli bahwa akan ada orang lain yang mungkin tersakiti.Tampaknya, cinta itu telah membutakan mata dan hati Maida. Dia tak lagi peduli akan kon
Kedua lelaki itu menghampiri Hana.“Hana, bisa kita bicara sebentar?” ucap Pak Robi dengan tersenyum.Hana mengangguk. Mereka berjalan ke kantin dan memilih satu meja yang cukup sepi di belakang. Memang, saat itu bukan jadwal makan siang, jadi belum banyak pengunjung di kantin Rumah Sakit tersebut.Seorang pramusaji mengantarkan minuman untuk ketiganya. Hana sedikit gelisah, ada perasaan tak enak menjalari hatinya. Gerangan apa yang membuat pak Robi ingin bicara dengannya, Hana masih menerka.“Kamu menjenguk Maida?” tanya Pak Robi.Hana mengangguk pelan.Pak Robi tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lelaki yang duduk di sebelah lelaki paruh baya itu menatap Hana lekat, seolah sedang memindai wajah perempuan berjilbab ungu itu.“Baik, langsung aja ke permasalahannya ya Nak Hana.” Pak Robi berhenti sejenak, lalu menyeruput kopi yang dipesan. Seraut kekhawatiran tam
Keadaan Maida semakin membaik dan sudah bisa pulang. Setelah di rumah, perempuan berambut sebahu itu lebih sering diam di balkon atau tiduran di kamar. Tak ada keinginan untuknya keluar.“Mai!”Bian datang menjenguk, membawa sekotak coklat kesukaan sepupunya.Maida yang sedang duduk di balkon hanya menoleh Bian sekilas. Pemuda tinggi tegap itu menghampirinya, lantas memberikan coklat.“Gue belum boleh makan coklat,” ujar Maida, tapi tetap saja dia membuka kotak dan memeriksa isinya.“Halah, emangnya lu sakit apaan? Lu udah sehat?” Bian menempelkan telapak tangannya di kening Maida.Maida menepis tangan Bian. “Gue gak demam.”“Mai, lu kenapa sih bisa senekat itu?” tanya Bian seraya mengambil sebungkus coklat di tangan Maida dan memakannya.“Gue juga gak tahu.”“Masa gak tahu? Aneh, Lu!”
Dua bulan berlalu sejak kematian Maida. Razi dan ibunya kembali ke rumah yang dulu. Meski rumah itu diberikan kepadanya, tetapi lelaki pemilik wajah rupawan itu menolak secara halus. Dia merasa tak berhak memiliki rumah itu. Kenangan masa lalu tentang wanita itu kembali terputar dalam memori ingatan. Baik ketika mereka masih saling mencinta, pun ketika prahara mulai membersamai keduanya. Razi berpikir, perubahan sikap Maida adalah salahnya, wanita itu menjadi jahat karena dirinya. Lelaki itu melamun di sudut ruangan, di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan jendela. Menatap sekumpulan anak-anak yang berlarian ke sana kemari seolah memiliki energi yang tak pernah habis. Bu Ratna menatap putra semata wayangnya. Wanita itu meletakan telapak tangannya di bahu lelaki yang tengah diselimuti rasa bersalah. “Nak, ikhlaskan!” ujarnya singkat. Lelaki itu menengadah menatap wajah ibunya yang mulai dihiasi keriput.
Razi menutup mata tatkala Andrean mengarahkan moncong senjata api ke arahnya. Tak henti hatinya merapal kalimat 'Laa ilaha illlallah', berharap jika saat itu adalah waktu ajalnya tiba, dia dalam keadaan mengingat Rabb-nya.Sejurus kemudian, sebuah letusan terdengar nyaring, dan tubuh itu pun ambruk.Razi membuka mata, jantungnya berdetak kencang, tubuh lelaki di hadapannya telah ambruk tertelungkup.Razi menghela napas lega. Jika saja polisi datang terlambat, mungkin saat ini dirinyalah yang tengah terbaring bersimbah darah.Maida segera dibawa Ambulans menuju rumah Sakit untuk mendapat perawatan, begitu juga dengan Andrean.Razi keluar dari rumah itu dengan dipapah seorang polisi. Di luar, Hana dan Tsabit telah menunggu dengan perasaan cemas.“Itu ayah!” ujar Tsabit, anak itu menghambur ke pelukan Razi.Razi berjongkok untuk menyambut Tsabit dan memeluknya erat. “Kamu gak ap
“Kita ke mana?” tanya Maida.“Puncak.”Maida menghela napas. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. “Mungkinkah ini perbuatan Mas Andrean?” tanya Maida. Pandangannya mengarah ke luar.“Apa dia bilang akan melakukan sesuatu?” tanya Andrean.Maida mengangguk.“Bodoh! Apa lu menyuruhnya?” Bian kembali bertanya dengan nada tinggi.“Enggak, Bian. Gue udah nyuruh dia buat gak ngelakuin apa pun.” Maida memijat keningnya.“Apa yang harus gue lakukan?”“Lu telepon dan tanya dia lagi di mana dan lagi ngapain, tapi lu pura-pura kalau gak tau Tsabit diculik. Gue khawatir, Andrean tuh psikopat, lu ngerti kan?”Maida mengangguk. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Andrean.“Halo Mai, ada apa?” tanya Andrean.“Mas, lagi di mana?”
Ponsel Maida bergetar. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau miliknya. Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu mengambil gawai dan membukanya. Seketika matanya terbuka lebar, dadanya naik turun menahan amarah.“Kurang ajar kalian!”Maida menutup pesan yang memperlihatkan sebuah foto Razi dan Hana tengah duduk berdua.Perempuan itu mencoba menghubungi Razi, tetapi tak aktif. Maida memejamkan mata, baru saja dia ingin berubah menjadi lebih baik, mencoba membuka hati bagi Tsabit, tetapi melihat foto itu hatinya kembali memanas. Dia tak lagi bisa bersabar. Dirinya bermaksud untuk menyusul suaminya.●●●Razi menghela napas, tak menyangka bahwa perkataannya beberapa tahun yang lalu begitu membekas di hati Hana. Segurat penyesalan kembali hadir menyelusup hati.“Hana,” panggil lelaki itu sambil mengetuk pintu.Tak lama, Hana membuka pintu.“Hana ... sebena
Rinai hujan mendentum bumi. Gemercik airnya terasa merdu berpadu dengan tarian dedaunan yang tertimpa tetesnya. Seorang perempuan tengah menikmati indahnya rintikan air kali ini dari sudut jendela. Sesekali, ia mengulurkan tangannya agar terbasahi sang hujan.Secangkir teh hangat menemaninya menikmati sore yang cukup dingin kala itu. Ia menarik napas, lalu mengembuskannya bersama kebimbangan akan sebuah pilihan.“Mantapkan hatimu, istikharah lebih baik,” ucap wanita di seberang meja.“Bagaimana mas Bian menurut Bibi?”“Dia baik, tampaknya juga sayang sama Tsabit.”Perempuan itu kembali menarik napas. ‘Haruskah aku menerimanya?’ tanyanya dalam hati.●●●Razi kembali melihat sosok lelaki yang saat itu dilihatnya tengah berbicara dengan Andrean di sebuah jalan. Lelaki itu melirik ke arah Razi. Tak lama, lelaki itu pun pergi.Razi melaju
Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Razi sampai di kediaman Hana. Tampak sepi, seperti tak ada tamu yang hadir. Lelaki bersurai hitam itu menarik napas dan memberanikan diri mendekati rumah itu. Dia tak lagi memedulikan bahwa dirinya bukan siapa-siapa lagi bagi Hana, yang ada di pikirannya saat itu adalah, tak ingin wanita itu menjadi milik orang lain.Dengan ragu, Razi mengetuk pintu. Sekali, tak ada jawaban. ‘Apakah lamarannya tidak di rumah?’ batinnya gusar.Razi melangkah bermaksud meninggalkan rumah itu. Baru beberapa langkah, terdengar suara pintu terbuka. Razi berbalik. Tampak di hadapannya seorang wanita berjilbab menatapnya heran. Razi tersenyum, berjalan mendekat dan berusaha meraih tubuhnya. Sontak, wanita itu beringsut mundur.“Ah, maaf.” Razi tak bisa menahan perasaannya. “Hari ini kamu lamaran, Hana?”Perempuan bermata teduh itu mengernyit heran. “Enggak.”
Tangan Maida mengepal, matanya memerah, sedang dadanya naik turun menahan amarah. Tatapan matanya tajam menyorot bros yang dikenakan oleh Hana.Hana yang mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Maida, memberi isyarat kepada Razi.Awalnya Razi tak paham, tapi kemudian dia mengarahkan pandangannya kepada wanita di sampingnya. Lelaki itu menepuk pelan bahu Maida.“Mai.”Maida menengadah menatap mata lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Matanya memanas. Razi yang belum mengerti apa yang terjadi mengerutkan dahinya.“Kenapa kamu melakukan itu?” teriak Maida yang membuat seisi ruangan menatap ke arahnya.Razi gelagapan, lalu menarik lengan wanita itu dan membawanya ke belakang. Sampai di halaman belakang rumah, Maida menepis tangan Razi dengan kasar.“Ada apa dengan kamu, Mai?” tanya Razi dengan setengah berbisik. Matanya mengawasi sekitar.&ldqu
Manusia mulia sang pembawa risalah, menyerupakan wanita serupa dengan gelas kaca. Beliau berpesan kepada para lelaki agar menjaga gelas-gelas kaca itu dengan baik. Jika gelas kaca pecah, maka tak mungkin lagi bisa diperbaiki dan dikembalikan seperti semula. Seorang wanita, mampu menahan rasa sakit, tetapi sulit untuk melupakan rasa sakit itu. Serupa kaca, keras dan rapuh di saat bersamaan.Itu pula yang dirasakan wanita yang tengah mendekap bayinya di sudut jendela. Meski selama ini dia mampu menahan perasaan sakit, tapi rasa itu masih saja bercokol di dalam hatinya. Seberapa kuat pun dia mencoba menepis, nyatanya, tak mudah hilang begitu saja.“Hana,” Fatimah menyentuh pundak wanita yang kini telah menjadi ibu itu.“Ah, iya, ada apa, Bi?”“Tidurkan dulu anakmu di kasur.”Hana mengangguk, lalu meletakan bayinya di kasur. Kedua wanita itu keluar dari kamar dan duduk di sebuah sofa pan
“Mas Bian,” ucap Hana tak percaya.“Maafkan aku Hana, yang seharusnya aku lakukan memang berbicara dengan pamanmu dulu. Tapi ... aku tak bisa menahan perasaanku.” Pemuda itu menundukkan wajahnya. Dia menyiapkan mental untuk segala kemungkinan jawaban Hana. Meski sebenarnya, dia tahu, perempuan itu tak mungkin menerimanya begitu saja. Yang terpenting, perempuan berjilbab besar itu tahu perasaannya.Bian mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Gak perlu dijawab sekarang, Hana. Lupakan! Fokus saja ke bayimu dulu.” Mata Bian menoleh ke dua tas yang tadi dibawanya dari klinik. “Ah, aku akan bereskan ini, istirahatlah.” Bian meninggalkan Hana yang masih mematung tak percaya.Setelah tahu Bian tak bersama Hana, Razi masuk ke rumah yang pintunya memang terbuka. Hana melempar pandangan kepada lelaki yang baru saja masuk hingga kedua manik coklat mereka saling berserobok.“Hana ... Alhamdulil