Pukul 11.00 mall belum ramai. Ada beberapa pekerja dari staff kebersihan sedang membersihkan beberapa area. Eskalator baru saja dinyalakan. Karena tadi sempat mati lampu, sepertinya.Ananta masih terduduk kaku. Namun, kepalanya sibuk untuk menoleh kesana-kemari. Berusaha mencari topik lain yang bisa mengubah arah pembicaraan."Ananta! Tatap mata saya. Apakah kamu tidak pernah diajarkan sopan santun?""Mm..maaf pak. Saya bukannya tidak sopan. Saya hanya..." Baru pertama kali, Ananta bertatapan langsung dengan seorang atasan. Lebih tepatnya seorang CEO.Karena selama ini, atasan yang pernah ia ajak bicara secara langsung yah setinggi-tingginya adalah Bu Lina. Mana ia pernah berpikir bisa berbicara langsung dengan CEO secara langsung. Bahkan Bu Pramita saja ia tak pernah."Hanya apa?" Nicho bertanya lantang. Namun, masih terkesan lembut.'Ini saatnya kamu harus lebih berani Ana! Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengaku atas semua kesalahanmu.'"Saya...""Nicho! Hei, kamu pagi-pa
"Pak, alamatnya sesuai titik lokasi ya,""Baik, mbak!"Ananta merebahkan badannya di kursi mobil barisan belakang. Ia memilih untuk memesan ojek mobil daring dibandingkan harus pulang dengan atasannya. Alasan lainnya adalah Nicho adalah teman kecil Gracia dan ia sangat yakin jika Nicho bisa saja mencintai Gracia. Mana ada sih cowok yang sepeduli itu dengan seorang cewek tanpa rasa? Mungkin ada, tapi kemungkinannya kecil.Ananta tak banyak bicara. Ia sedang mode malas untuk berbasa-basi dengan supir ojek."Pak, saya izin buka kaca jendela ya,""Baik, mbak. Silakan."Ia merasa sesak. Udara pagi menjelang siang ini semoga saja bisa membantu. Demi mengalihkan rasa bosan dalam perjalanan, ia memperhatikan setiap papan iklan. Yang tak lain tak bukan adalah iklan acara musik yang mengundang sejumlah penyanyi nasional sampai iklan kampanye yang berseliweran dimana-mana.Saat melewati kedai Koopi, matanya berhenti memperhatikan papan iklan. Kedai sudah buka dan sepertinya sudah ada konsumen, k
Violla menuju mobil BMW-nya. Terparkir rapi di halaman tamu hotel."Siap menuju kediaman calon suami. Eh, dia udah nggak tinggal di hotel ya. Aku ke rumahnya aja deh. Siap menuju rumah calom suami. Let's go!"Mobilnya meluncur halus di jalan Ayani. Salah satu jalan utama yang ada di Kota Pontianak. Jam masih menunjukkan pukul 09.00 saat Violla meluncur."Apa yang aku harus bilang saat ketemu dia ya? Kalau dia tanya, kenapa aku tahu dia ada di Pontianak, nanti dikira mata-matain. Tapi, emang benar sih. Aduh, apa ya?"Violla gusar. Ia bingung apa yang harus dikatakan."Jika aku nggak ketemu dia, aku kangen. Tapi kalau ketemu dia, bingung mau ngomong apa."Ia hampir saja menerobos lampu merah kalau saja ia tak mendengar bunyi klakson yang mengagetkannya."Aduh, Violla. Fokus. Jangan sampai orang pikir kalau orang kaya kayak aku ini di cap sebagai tak tahu aturan. Nanti kalau ditilang lebih susah. Ditilang lalu ikut aturan dan berjalan lancar dikira nyog
Pagi ini jalanan nampak lengang. Orang yang berbelanja di pasar Mawar mulai sepi. Lokasi pasar ada di seberang hotel. Sederet hotel ada ATM dan juga perusahaan.Violla masih sedang dalam keadaan terjepit.'Kenapa tidak ada orang disini? Kemana orang-orang yang ingin menarik uang di mesin ATM? Kemana tamu-tamu hotel dan terutama satpam? Kemana mereka semua?', Violla berbicara dalam hati.Violla berharap ada seseorang yang menolong dirinya. Berteriak minta tolong sepertinya manjur untuk saat ini."Jika kamu berniat untuk minta tolong. Muka kamu akan siap jadi pajangan majalah gosip di pagi besok. Judul utama cocoknya apa ya?"Stanley lebih cepat mengeluarkan pernyataan."Anak konglomerat, baru pulang dari luar negeri dan sudah mencari masalah.""Diam kamu!""Apa? Benar kan?""Jangan main-main ya! Aku ini masih punya banyak urusan,""Tenang, kok! Aku nggak main-main. Ini serius," Stanley mendekatkan mulutnya ke telinga Violla. "Aku akan cepa
"Hei, aku Violla. Sepertinya aku akan mengambil alih bab ini. Tapi tenang saja, hanya sedikit kok."Bagaimana pun tidak ada yang pernah menolak kecantikan visual Violla. Dari kecil ia sudah terkenal dengan parasnya. Kalau hati dan perilaku? Ia tidak terlalu menonjol dengan dua karakter tersebut.Bahkan saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, ia pernah dirundung. Teman-temannya melakukan perundungan secara verbal padanya."Tidak ada yang boleh berteman dengan cewek gendut dan dekil seperti dia. Aku yakin dia bisa masuk ke sekolah kita karena cuman modal beasiswa."Setiap pergi dan pulang sekolah, Violla seolah sedang memasuki neraka kedua. Neraka pertama tentunya adalah rumahnya sendiri. Terkadang, pembantu di rumahnya melihat ada garis merah di tangan Violla kecil. Namun, dengan cepat Violla akan menarik tangannya dan menyembunyikannya di balik baju lengan panjang."Nona, itu apa? Nona jatuh atau kenapa?""Nggak. Ini bukan apa-apa,""Saya obatin
"Udah ah, aku malas ngomong sama kamu Ana. Aku kira aku mengenal kamu. Ternyata nggak. Apa yang kamu bilang saat aku kasih tumpukan buku untuk diperiksa kemarin?""Kalau itu ya, aku bingung aja. Tapi karena kamu minta aku periksa, yah saya periksa buku dengan daftarnya,""Lalu? Kenapa kembalikan kesini?""Yah kan memang dari awal kemungkinan besar buku-buku itu masuk ke editor. Dijadikan sebagai bahan referensi,""Coba kamu sebutin, apa yang dibilang sama Bu Pramita?""Pada saat buku-buku itu diberikan oleh Bu Pramita, beliau info ini adalah buku-buku yang didapat dari kliennya. Minta aku atau kamu untur sortir. Buat tabel judul-judulnya dan ada berapa buku masing-masingnya. Lalu, laporkan kepada Bu Pramita,""Oh ya?""Nah iya, kan Bu Pramita hanya minta laporkan hasil rekapnya. Lalu, saat itu aku juga tanya dirimu. Tabelnya mau yang saya buat atau kamu. Kamu bilangnya kamu saja, karena aku nggak bisa atur ini.""Yakin cuman itu?""Apa? Apa lagi?""Apa lagi yang kamu bilang ke Bu Lina
"Ini siapa ya?" Ibunya Gracia berjalan ke depan."Salam kenal, Tante! Saya Stanley, pacarnya Ananta. Maaf, Tante. Saya ganggu pagi-pagi. Soalnya tadi Ananta bilang ke aku kalau dia kesini. Udah sampai belum ya?""Sst...Jangan keras-keras ngomongnya. Kita keluar aja yuk!""Apa Tante?""Yuk, ah! Dengerin kata Tante. Nanti Tante jelaskan sambil jalan," Ibunya Gracia menutup gerbang. Berjalan menuju ke motor Stanley. "Ayo, kok malah bengong! Antarin Tante ke depan."Stanley terdiam. Lagi-lagi ia kaku sesaat. Kenapa ada dua wanita yang membuatnya speechless sepagi ini?Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal."Ayo, kamu mau tahu tentang Ana nggak? Tadi dia udah datang, tapi...ya sudah lah ayo, kita ke restoran depan,""Baik, Tante." Setelah ibunya Gracia menyebutkan nama Ananta, ia langsung semangat. Apapun yang menyangkut mengenai pacar yang sangat ia cintai, ia akan lakukan.Mereka sampai di sebuah restoran di kawasan jalan M. Sohor. Rumah makan dengan menu utamanya adalah soto.
Stanley membawa motornya semakin laju. Ia benar-benar ingin bertemu dengan Ana secepatnya. Ia bisa nggak waras kalau ia belum bertemu dengannya.Cit.Ban motornya berbunyi saat ia menginjak rem belakang dengan cepat. Sebuah mobil hitam Toyota Land Cruiser baru saja keluar dari gang.Mobil itu juga dengan cepat menginjak remnya sekuat tenaga. Patut diuntungkan, ia tidak mengendarainya dengan kecepatan tinggi."Ini motor apa-apaan sih? Mau cari mati apa?" Eric kesal. Ia sudah akan turun, jika Nicho tak menahannya."Biar saya saja. Saya tidak mau ribut sama orang. Lagian kita pakai mobil, dia pakai motor. Jika terjadi kecelakaan, sudah pasti dia yang paling rugi," Nicho turun dari mobil. Membantu si pengendara menaikkan motornya yang terjatuh."Kamu nggak apa-apa?"Si pengendara motor itu melepaskan helmetnya. Membenarkan rambutnya sebelum ia melihat wajah si penabrak."Nicho?""Stanley ya, astaga. Maaf,""Iya, nggak apa-apa. Aku yang salah
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b