Share

2. Dasar Siput

Author: Faver
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Ananta, ialah namanya. Seorang penulis di sebuah perusahaan penerbit. Pagi ini, seperti biasa ia memencet setiap alarm yang dipasangnya sebanyak tiga kali.

"Ananta, ayo bangun! Alarm kamu udah bunyi entah berapa kali. Masih belum bangun juga?" Ibunya masuk ke dalam kamarnya. Menggeser tirai jendela sedikit, supaya cahaya matahari bisa masuk. Menghangatkan kamarnya.

"Iya, ma. Ini aku bangun." Ananta duduk di atas tempat tidurnya. Rambutnya yang lurus sebahu tergerai indah. Tak kusut sama sekali. Keturunan keluarga.

Semua anggota keluarganya termasuk dirinya, mempunyai rambut lurus berwarna hitam legam. Bahkan hanya disapu dengan tangan saja, sudah rapi. Sisir saja tak ada gunanya di rumah mereka.

"Sarapan bentar lagi siap ya! Mama ke dapur dulu."

"Iya."

Berbeda dengan kamar Gracia. Kamarnya Ananta terbilang kecil. Hanya sebuah tempat tidur, lemari baju, meja rias, dan sebuah meja belajar. Namun, jika dibandingkan. Kamar Ananta jauh lebih rapi dan bersih.

Walaupun ya memang, mereka memiliki kesamaan yaitu pemalas. Di kamarnya masih ada beberapa sudut yang bisa menjadi sarang makhluk hidup lainnya. Laba-laba masih saja nakal untuk membuat rumahnya di sudut lemari.

Yang tentu saja akan dibersihkan Ananta setahun sekali. Tepatnya saat pergantian tahun. Jadi, laba-labanya hanya bisa numpang nginap di kamarnya setahun. Kalau mau perpanjang kontrak nginap. Tunggu rasa malasnya memuncak saja.

Setelah ia sudah tersadar dari alam mimpinya. Ia beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan santai ke luar kamar. Mengambil peralatan mandinya. Lalu, merangsek masuk ke dalam kamar mandi. Namun, terkunci dari dalam.

"Papa lagi di dalam. Kamu gosok gigi di bak cuci piring aja ya. Sini, mama udah cuci semua piring. Jadi, udah gak kotor."

Kamar mandi di rumah mereka hanya satu. Jadi harus berbagi. Itulah drama yang terjadi hampir setiap pagi.

"Ok"

Dua puluh menit kemudian, dengan terburu-buru ia memakai baju kerjanya. Sebuah kemeja dengan celana panjang hitamnya. Simpel.

"Ma, nanti sepertinya aku lembur lagi," Ia menyeruput susunya. Susu yang telah dicampur oatmeal. Sedang tangan satunya tidak sabar mengambil roti tawar.

"Sudah beberapa hari ini kamu lembur terus. Apa ada teman lain juga yang lembur? Atau hanya kamu?"

"Yah, gak semua lembur sih. Ada satu dua orang aja. Soalnya kami harus kejar deadline majalah yang harus selesai akhir bulan ini." Ia mengoleskan selai srikaya ke atas rotinya. Memakannya dengan lahap.

"Perlu mama siapin bekal?"

"Gampang itu. Biasa kantor ada kasih cemilan kecil kok. Stok snack di laci kantorku juga masih ada."

"Okelah. Tapi kalau mau makanan. Nanti ibu minta ojek antarin ya!"

"Siap bosku!"

Pukul 07.30, skuter merahnya sudah bergabung ke jalanan utama. Udara di pagi ini terasa sejuk menusuk ke tulang. Habis diguyur hujan semalaman.

Sepanjang perjalanan, nampak beberapa orang mengenakan mantel. Pasti ada daerah yang hujan sekarang, pikirnya.

Ia sampai di kantor sekitar pukul 07.45. Waktu yang aman untuk menaruh jempolnya di mesin absen. Tak perlu antri. Kecuali jika ia sampai pukul 07.55. Sudah pasti antrian panjang akan terjadi. Itulah drama yang sering terjadi di kantornya.

Drama selanjutnya adalah, ia perlu melewati rintangan beberapa orang untuk sampai ke mejanya. Malas jika harus bertegur sapa dengan yang lain. Apalagi jika itu hanya basa-basi, seperti...

"Pagi sekali kamu datang!"

"Hai, pendiam!"

"Projekmu gimana? Belum kelar-kelar?"

Yah, atau mungkin itu bukan basa-basi. Lebih tepatnya teguran mungkin.

Introvert. Mereka tidak tahu saja, ia bisa ekstrovet ke orang yang sudah dikenal. Yah, sudahlah.

Menyapa orang masih tugas ringan baginya. Tetapi, mengobrol yang lama dengan orang adalah beban baginya.

Ia berhasil melewati rintangan karyawan-karyawan lainnya. Akhirnya, ia bisa bernapas lega. Duduk di meja kesayangannya. Membuka lacinya, mengambil tag namanya. Mengalungkannya di leher.

"Ana, revisi lagi ini. Saya udah tambahin beberapa catatan yang bisa kamu pakai. Fokus, An. Tumben kau gak fokus. Biasa pemilihan kata-katamu tuh bagus loh. Sekarang kok nggak. Kalimat kau tuh biasa berdaging. Sekarang malah kopong." tegur Bu Lina, kepala editor.

"Iya bu. Saya revisi lagi ya!"

"Daging loh ingat daging, ya!"

"Iya bu!"

Bu Lina beranjak pergi. Matanya awas memandang kiri kanan. Keluar ruangan. Masuk ke ruang editor. Celingak-celinguk. Lalu, keluar lagi. Menyenderkan tubuhnya ke pintu. Seperti ada yang sedang ditunggu.

Ananta menyenderkan punggungnya ke kursi. Matanya menatap langit-langit. Satu tarikan napasnya dalam-dalam. Dihempaskannya kemudian dengan sangat berat.

Ini sudah revisi ketujuh, ayo semangat Ananta!

Tek..tek..tek

Inspirasi datang. Saat ia mulai mengetik. Fokus diarahkannya ke layar komputer.

Untungnya kali ini revisinya tak banyak.

Tak lama kemudian suara printer terdengar. Yang artinya dua kemungkinan. Artikelnya diterima atau direvisi lagi. Ia membaca kembali, takut-takut ada yang salah eja. Atau tanpa sengaja ia malah terketik bos galak. Bisa ditegur habis-habisan nanti.

Fokusnya terarah, sampai sebuah suara melengking dari Bu Lina terdengar, "Kau telat lagi Gracia!"

***

"Hei, gimana revisi tadi? Aman?" tanya Gracia penuh tahu. Pertanyaannya kurang terdengar jelas. Karena ia baru saja memasukkan segenggam penuh kentang goreng ke mulutnya.

"Untuk sekarang sih masih aman. Nggak tahu deh artikel selanjutnya." Ia menaikkan kedua bahunya. Kembali menyenderkan punggungnya di kursi kantin.

"Kau juga sih..udah tahu Bu Lina gayanya kayak gimana. Masih aja salah."

"Iya-iya. Aku salah. Tapi deadlinenya begitu banyak. Sebentar-bentar artikel tentang binatang, lalu bisnis, kolom opini, artikel kesehatan. Ini otak cuman satu, Gracia!"

"Hahaha. Itu kan udah kerjaan dari beberapa bulan yang lalu juga. Kamunya aja yang siput." Komentarnya tanpa difilter. Orang yang sangat blak-blakan.

Ananta tak banyak berkomentar. Pikirnya memang sepatutnya dirinya dibilang siput. Benar juga apa kata Gracia. Semua artikel itu sudah dicanangkan di program kerja tahunan. Namun, masih saja ia keteteran.

Dasar siput!

Related chapters

  • Antara Dilema & Cinta   3. Irasshaimase

    "Gracia, habis ini kami mau nongkrong. Teman-teman dari divisi penulis juga ikut. Kamu ikut gak?""Nggak deh. Malas. Kalian aja.""Tak seru, iih. Ananta aja ikut loh!""Aku mau ketemu suamiku malam ini. Tak bisa!""Suami pula. Pasti artis K-drama. Memangnya ia kenal dirimu?""Sst...kalian gak tahu aja. Tiap malam kami teleponan." Ia mendekatkan jari telunjuknya ke bibirnya."Nampaknya pengen kupanggil Ananta nih! Aku minta dia bujuk kamu.""Ayolah, Gracia. Kita mau ke restoran sushi loh. Yang baru buka minggu kemarin itu loh.""Iya-iya. Aku ikut! Ngeselin emang kalian!"Ruangan riuh sesaat. Kemudian, diam seketika saat Bu Lina masuk ke dalam ruangan. Semuanya kurang suka padanya. Bossy, katanya.Seorang karyawan dari ruang editor, pergi ke ruang penulis. Memberitahu jika acara nongkrong malam ini akan diadakan di restoran sushi sekitar sini.Ananta mendengarnya, menatap sekilas. Lalu, melanjutkan kembali. Begitulah ia, tak banyak bicara saat bekerja. Nongkrong ya urusan nanti.Pukul l

  • Antara Dilema & Cinta   4. Hujan Deras

    Kantor dengan empat lantai itu terlihat gelap dan sepi. Hanya ada satu satpam yang sedang duduk di pos, sedang satu satpam lainnya berpatroli di dalam kantor.Ananta mengetuk pagar besi dengan kunci motornya. Seorang satpam yang tadinya duduk di pos segera berlari menghampirinya, "Eh mbak Ananta. Malam-malam kesini ada apa ya? Ada barang ketinggalan?""Bukan. Barang saya aman kok. Aku mau lembur sebentar. Ada kerjaan yang harus diselesaikan malam ini.""Oo begitu ya mbak. Silakan masuk!""Ngg, bagaimana saya bisa masuk ya? Pagarnya masih digembok.""Oalah mbak. Maaf-maaf mbak. Saya lupa. Tunggu sebentar. Saya bukakan." Satpam itu segera mengambil kunci dari saku celananya. Segera ia menstarter skuternya, masuk ke dalam parkiran."Terima kasih pak!""Sama-sama mbak!"Ia berjalan masuk ke dalam kantor. Pintu depan tidak dikunci, karena masih ada satpam yang berpatroli di dalam.Dalam ruangan terbilang cukup gelap. Hanya ada beberapa kilasan lampu dari luar. Dari arah balkon dan parkira

  • Antara Dilema & Cinta   5. Pria tak Dikenal

    Setelah dari restoran sushi, Gracia segera meluncur pulang ke rumah. Jalanan lengang. Mungkin karena jam pulang kantor sudah lewat, pikirnya. Udara kian menusuk. Salahnya juga tidak mengenakan jaket. Sangat risih soalnya.Ia lebih suka mengenakan cardigan, tidak berat dan lebih simpel. Lebih modis juga tentunya.Tak sukanya nongkrong ya begini. Pulang pasti malam. Belum lagi perjalanan ke rumahnya bisa memakan waktu tiga puluh menit dari arah restoran tadi. Belum ditambah macetnya. Dibilang dekat dari kantor dari mana. Itu ujung ke ujung kali.Wah, idolaku. Tunggu aku sampai rumah ya."Gracia, masih mau makan gak?" tanya ibunya."Nggak ma. Udah kenyang." teriaknya dari arah ruang tamu."Habis dari mana aja kamu? Tumben pulangnya agak malam.""Biasa, teman-teman kantor. Ajak makan tadi. Aku langsung ke kamar ya ma. Sekalian bersih-bersih.""Jadi mama gak perlu panasin sayur deh. Balik nonton ah."Ibu dan anak sama aja. Sama-sama suka nonton.Drrt...drrt...drrt...Gawainya bergetar. Dir

  • Antara Dilema & Cinta   6. Sok Kepedean

    Semilir angin masuk melewati jendela yang tak tertutup rapat.Drrt..Sebuah chat masuk"Gracia, jika kamu sudah baca. Segera hubungi ibu kembali ya!"Namun, tentu saja gawainya masih ada di atas kasurnya."Memangnya kamu siapa?" Gracia balik bertanya."Gak mungkin dirimu akan kuingatkan dengan kejadian yang bisa malu-maluin aku. Jadi, mm ... apakah kau masih ingat dengan seorang anak laki-laki yang dengan sengaja kau ngompol di atas pangkuannya?"Gracia duduk kaku. Ia mencerna. Anak laki-laki itu adalah..."Nicholas?" tanyanya mengonfirmasi."Hahaha, akhirnya gadis kecilku mengingatnya." Pria berbadan kekar itu mengacak-acak rambut Gracia. Semakin kusut tentunya."Iih, apaan sih?" Cepat-cepat Gracia menyingkirkan lengan pria itu.Sebelum ia nantinya terlepas kendali. Apalagi baru saja ia mengecap bibir manis pria itu."Berarti kejadian barusan akan menjadi memori baru kita." Ia tersenyum, masih menatap Gracia dengan lembut.Balutan mukanya terlihat segar. Ia mengenakan baju kaos lenga

  • Antara Dilema & Cinta   7. Jangan Pernah Pakai Baju itu Lagi

    Pukul 12 malam. Gracia mulai tidur dari pukul 10 malam. Setelah Nicho dan Eric mengacaukan isi dapur.Sementara, bibi yang biasa beres-beres rumah hanya akan kembali saat pagi hari. Jika dapur yang kotor ini dibiarkan sampai besok pagi. Sudah terbayang bagaimana raut wajah mamanya.Serpihan kentang goreng bertebaran dimana-mana. Kulit ayam goreng juga tak ketinggalan eksis. Ada di meja sampai lantai."Eh, Eric, Nicho. Kalian ya keterlaluan. Dapur dibiarkan acak gini." Gracia mengomel."Yah, emang napa sih. Kan baru makan, yah berantakan lah. Kalau mau rapi itu bukan makan. Tapi makanannya ditatap doang. Lagian situ juga makan kok. Tak perlu keluar uang lagi. Gratis." Eric masih fokus dengan permainan di gawainya.Adu perang dengan tim lain. Jangan sampai ia dan Nicho, defeat."Yah, habis makan bersihin kenapa sih?" Ia turun dari kursi makan. Berjalan cepat ke ruang tengah.Sayangnya, ia tidak memperhatikan bahwa celana pendeknya terangkat sam

  • Antara Dilema & Cinta   8. CEO Baru

    "Selamat pagi semuanya! Saya Bu Lina, Senior Editor yang akan mengawali jalannya pertemuannya ini. Karena ada lain satu hal CEO akan sedikit terlambat karena ada hal darurat yang membuat beliau tidak bisa hadir tepat waktu. Mari kita mulai dengan presentasi dari Bu Ananta."Seluruh mata tertuju kepada Ananta. Ia duduk di barisan tengah di antara meja panjang itu. Sedangkan matanya sendiri kalang kabut. Bingung harus menatap siapa.Gracia yang duduk di sampingnya menyikut lengan kanan Ananta. "Ayo, maju!" bisiknya pelan.Tubuhnya kaku. Seperti pantatnya tertempel di kursi rapat yang dinginnya luar biasa. Ia harus bersusah payah beranjak berdiri. Air Conditioner (AC) di ruang rapat hari ini berfungsi sangat bagus hari ini."Bu Ananta, waktu dan tempat dipersilahkan." Bu Lina mengundang kembali. Ia mencuri pandang ke bangku Ananta. Takut-takut kalau Ananta tidak mendengarnya sedari tadi.Ananta menelan ludah untuk kesekian kalinya. Berjalan melewati bangku karyawan-karyawan lainnya.Seka

  • Antara Dilema & Cinta   9. Bos Gila

    "Pak Nicho adalah pengganti saya. Beliau adalah CEO baru dan beliau juga memang sudah berkecimpung di dunia penerbitan. Ia adalah CEO dari PT. Nicho Jaya Prima. Pasti kalian tidak asing mendengar nama perusahaan tersebut. Perusahaan baru yang langsung masuk ke dalam daftar top ten. Pak Nicho, perusahaan kami akan banyak belajar darimu."Bu CEO menepuk tangannya terlebih dahulu. Lalu, diikuti dengan para karyawan lainnya, spontan bertepuk tangan dan berdiri."Bu Pramita, justru saya yang harus banyak belajar dari Anda. Perusahaan penerbitan Anda sudah lama eksis. Selalu dalam daftar top five dalam sepuluh tahun terakhir ini." Nicho mendongakkan kepalanya, memandang tampilan video call di dinding. Ditampilkan dengan proyektor."Semua itu berkat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu menyertai PT. Pramita dan kami juga memiliki para pegawai yang sungguh berdedikasi tinggi dengan PT. Pramita. Tanpa kalian semua, perusahaan penerbitan kita belum tentu bisa seprestasi saat ini.""Baiklah, saya har

  • Antara Dilema & Cinta   10. Perkara Kopi Pahit

    "Memangnya kau berani bayar berapa?""Gracia! Gitu cara kamu tanya sama bos kamu! Hah? Atau mau saya pecat?""Pecat aja. Biar nanti jadi trending, seorang CEO pengganti memecat seorang karyawan saat hari pertama dia memimpin.""Kau yakin taglinenya akan kayak gitu? Yang lebih cocok adalah, Dikarenakan seorang CEO muda dan ganteng datang memimpin, seorang karyawan melabrak CEO.""Iih...""Mulai besok meja kamu ada di luar pintu ini. Dan masalah gaji, tenang saja. Aku akan membayar gaji pegawai sesuai kinerja dan tanggung jawab yang diembannya.""Apa untungnya bagi saya jadi sekretaris bos?""Hari ini saya sangat bertoleransi dengan sikap judes kamu ya, tidak di hari lain," Nicho berdiri, mengancing jasnya. "Untungnya adalah kamu akan banyak belajar hal mengenai seluk-beluk dunia kepenulisan dan kamu akan belajar langsung dari ahlinya. Ilmu yang mahal loh itu.""Saya tetap nggak minat!" Gracia melipat kedua tangannya di depan dada. Sedang matanya m

Latest chapter

  • Antara Dilema & Cinta   140. Baiklah, Mari Kita Coba Pacaran!

    "Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa

  • Antara Dilema & Cinta   139. Hanya Sedikit Orang yang Bisa Menemukan Cinta Sejati

    Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho

  • Antara Dilema & Cinta   138. Masih Berani Kamu Menampakkan Diri di Hadapanku?

    Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil

  • Antara Dilema & Cinta   137. Kenapa Aku Selalu Kalah Debat darinya?

    Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter

  • Antara Dilema & Cinta   136. Aku tidak perlu Memberitahumu, Karena Tidak Ada Untungnya Bagiku

    "Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra

  • Antara Dilema & Cinta   135. Masih Gracia & Nicho Kecil part 3

    "Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann

  • Antara Dilema & Cinta   134. Gracia & Nicho Kecil part 3

    Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim

  • Antara Dilema & Cinta   133. Ada yang Salah Sama Nicho, Apa Jangan-Jangan...

    "Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke

  • Antara Dilema & Cinta   132. Iya, Aku Mencintaimu

    Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b

DMCA.com Protection Status