Beranda / Romansa / Antara Dilema & Cinta / 5. Pria tak Dikenal

Share

5. Pria tak Dikenal

Penulis: Faver
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah dari restoran sushi, Gracia segera meluncur pulang ke rumah. Jalanan lengang. Mungkin karena jam pulang kantor sudah lewat, pikirnya. Udara kian menusuk. Salahnya juga tidak mengenakan jaket. Sangat risih soalnya.

Ia lebih suka mengenakan cardigan, tidak berat dan lebih simpel. Lebih modis juga tentunya.

Tak sukanya nongkrong ya begini. Pulang pasti malam. Belum lagi perjalanan ke rumahnya bisa memakan waktu tiga puluh menit dari arah restoran tadi. Belum ditambah macetnya. Dibilang dekat dari kantor dari mana. Itu ujung ke ujung kali.

Wah, idolaku. Tunggu aku sampai rumah ya.

"Gracia, masih mau makan gak?" tanya ibunya.

"Nggak ma. Udah kenyang." teriaknya dari arah ruang tamu.

"Habis dari mana aja kamu? Tumben pulangnya agak malam."

"Biasa, teman-teman kantor. Ajak makan tadi. Aku langsung ke kamar ya ma. Sekalian bersih-bersih."

"Jadi mama gak perlu panasin sayur deh. Balik nonton ah."

Ibu dan anak sama aja. Sama-sama suka nonton.

Drrt...drrt...drrt...

Gawainya bergetar. Diraihnya segera. Namun, sedetik kemudian dilemparkannya ke kasur dengan kasar.

"Ini udah malam juga, masih aja chat tentang kerjaan kantor. Bising deh."

Ia memilih melanjutkan nontonnya. Kali ini ia beralih ke tab. Duduk bersandar di atas tempat tidur sungguh kebahagiaan hakiki.

Tring..tring..tring..

Gawainya kembali bergetar. Ditambah dengan suara ringtone.

Kali ini sebuah telepon masuk. Lagi-lagi kepala editor.

"Chat aja tak kubalas, apalagi telepon. Tak akan kuangkat, wahai Bu Lina."

Kali ini ia memilih untuk membiarkan gawainya berdering sepuasnya. Biarkan saja Bu Lina merasa khawatir.

Orang itu kebiasaan, muncul saat nggak dicari, sekalinya dicari entah hilang kemana. Sekarang rasain!, batinnya membara.

Gracia tahu, jika ia angkat pasti ia akan lembur ataupun balik ke kantor.

Selain itu, sesekali ia ingin Bu Lina merasakan perasaan kalut saat dulunya ia dengan susah payahnya menghubungi Bu Lina. Dan dengan gampangnya keesokan harinya dengan entengnya Bu Lina berkata seperti ini, "Gracia, kamu ada telepon semalam ya! Maaf ibu tidak tahu kalau kamu telepon. Gawai ibu dimainkan anak ibu. Ada yang perlu ibu bantu gak?"

"Artikelnya udah harus masuk ke meja penerbitan kemarin. Jadinya, aku langsung kirim aja." jawabnya judes.

"Maafkan ibu ya. Nanti kita lihat bagian penerbitan ada komentar apa ya. Jika ada revisi lagi, ibu bantu kamu ya."

Tring...tring...tring...

Gawainya kembali berdering.

"Bu Lina yang terhormat, please deh..tunggu beberapa saat lagi ya aku angkatnya." pekiknya pada gawainya. Yang tentu saja belum diangkatnya.

Duar!

Suara petir menggelegar. Sebuah cahaya kilatan masuk ke dalam kamarnya melalui jendela. Kadang ranting pohon dan kabel listrik menampakkan bayangannya.

I am not afraid, katanya dalam hati.

Gawainya berhenti berbunyi. Tak ada suara yang dihasilkannya. Ia berusaha fokus dengan dramanya. Diarahkan pikirannya untuk fokus.

Tek...

Lampu padam.

Duar...

Dag..dig..dug

Kini jantungnya mulai berdegup kencang. Ia mengetuk layar tabnya sekali. Menekan jeda.

Pintunya berderak kecil tanpa bersuara.

"Eric?" Ia berusaha berpikir positif. Sialnya, pikirannya susah dikontrol jika masalah seperti ini.

Apa tidak ada yang hidupin genset?, batinnya dalam hati.

Tak ada yang menjawab. Pintu itu kembali terbuka sedikit. Berhenti sesaat. Kemudian terbuka lebar-lebar dengan cepat.

Matanya juga terbuka lebar. Ada sesosok gelap yang berdiri disana. Tak berbentuk. Hanya seperti gumpalan besar berdiri di depan pintu.

"Aaaa", teriaknya. Sudah tahu pasti melengking. Menarik selimutnya, menutupi sampai muka.

"Hahaha", suara ketawa berpadu dengan teriakan Gracia.

Ia sudah hampir akan menangis jika ia tidak menaruh konsentrasi pada suara ketawa itu.

Ini suara tertawa yang jarang terdengar, namun cukup familiar.

Baru saja ia berusaha untuk berpikir jernih. Terasa selimutnya ada yang menarik. Reflek dengan cengkraman yang kuat, ia menarik dan mempertahankan selimutnya.

Mending dirinya di dalam selimut daripada ia harus melihat hantu itu, ataupun entah siapa dan apa itu.

Tentu saja, terjadi tarik-menarik memperebutkan selimut. Ia sudah meneteskan air matanya. Lampu masih saja padam.

Khayalannya kembali berulah, ia terus memperhatikan arah kakinya. Kedua kakinya kini ditekuknya. Kalau-kalau sebuah tangan dengan kuku panjang menyelinap masuk ke bawah selimut.

Iih,....

"Hei, sudah lah tarik ulurnya dong!" suara berat yang terdengar halus kembali terdengar.

"Kamu?" Gracia menurunkan selimutnya seleher.

Hantu itu terjatuh ke depan. Ya, tentu saja. Tiba-tiba dari satu pihak berhenti tanpa kompromi.

Gracia terjatuh ke belakang. Hantu itu terjatuh ke depan. Kini mereka berhadapan. Muka mereka sejajar di atas tempat tidur.

Tek

Lampu kembali menyala.

"Eh, udah main ranjang aja nih berdua. Saking kangennya ya!" Eric dengan santainya bersender di pintu kamar Gracia. Ia menahan ketawa.

Gracia dan hantu itu yang sebelumnya saling menautkan pandangan. Sekarang sama-sama memelototi Eric.

"Iih seram...turun ah. Takut ganggu."

Perlahan-lahan otaknya kembali berjalan normal. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan si hantu. Yang sebelumnya digunakan untuk menahan.

Untuk kedua kalinya, karena gerakan yang tiba-tiba dari lain pihak. Si hantu yang belum mendapat keseimbangannya. Terjatuh ke bawah.

Bibirnya dan bibir Gracia bertemu. Kiss.

"Sorry..sorry..." Si hantu memutar tubuhnya. Ia duduk di tepi bawah ranjang.

Gracia segera bangkit terduduk. Kedua tangannya segera merapikan rambutnya yang teracak-acak.

Duar!

Petir menggelegar.

"Astaga!"

Kali ini bukan Gracia yang terkejut karena petir. Melainkan si hantu yang ternyata manusia. Kakinya napak.

Gracia memandangnya dari atas sampai bawah. Tak percaya jika ada seorang pria tampan ada di kamarnya. Namun, seperti tidak asing.

"Kau kaget dengan petir?" tanya Gracia. Sekedar basa-basi.

Berusaha melupakan kejadian gila yang barusan terjadi.

"Memangnya kau tidak kenal aku?" Ia memandanginya.

Pandangan mereka saling bertautan.

Bab terkait

  • Antara Dilema & Cinta   6. Sok Kepedean

    Semilir angin masuk melewati jendela yang tak tertutup rapat.Drrt..Sebuah chat masuk"Gracia, jika kamu sudah baca. Segera hubungi ibu kembali ya!"Namun, tentu saja gawainya masih ada di atas kasurnya."Memangnya kamu siapa?" Gracia balik bertanya."Gak mungkin dirimu akan kuingatkan dengan kejadian yang bisa malu-maluin aku. Jadi, mm ... apakah kau masih ingat dengan seorang anak laki-laki yang dengan sengaja kau ngompol di atas pangkuannya?"Gracia duduk kaku. Ia mencerna. Anak laki-laki itu adalah..."Nicholas?" tanyanya mengonfirmasi."Hahaha, akhirnya gadis kecilku mengingatnya." Pria berbadan kekar itu mengacak-acak rambut Gracia. Semakin kusut tentunya."Iih, apaan sih?" Cepat-cepat Gracia menyingkirkan lengan pria itu.Sebelum ia nantinya terlepas kendali. Apalagi baru saja ia mengecap bibir manis pria itu."Berarti kejadian barusan akan menjadi memori baru kita." Ia tersenyum, masih menatap Gracia dengan lembut.Balutan mukanya terlihat segar. Ia mengenakan baju kaos lenga

  • Antara Dilema & Cinta   7. Jangan Pernah Pakai Baju itu Lagi

    Pukul 12 malam. Gracia mulai tidur dari pukul 10 malam. Setelah Nicho dan Eric mengacaukan isi dapur.Sementara, bibi yang biasa beres-beres rumah hanya akan kembali saat pagi hari. Jika dapur yang kotor ini dibiarkan sampai besok pagi. Sudah terbayang bagaimana raut wajah mamanya.Serpihan kentang goreng bertebaran dimana-mana. Kulit ayam goreng juga tak ketinggalan eksis. Ada di meja sampai lantai."Eh, Eric, Nicho. Kalian ya keterlaluan. Dapur dibiarkan acak gini." Gracia mengomel."Yah, emang napa sih. Kan baru makan, yah berantakan lah. Kalau mau rapi itu bukan makan. Tapi makanannya ditatap doang. Lagian situ juga makan kok. Tak perlu keluar uang lagi. Gratis." Eric masih fokus dengan permainan di gawainya.Adu perang dengan tim lain. Jangan sampai ia dan Nicho, defeat."Yah, habis makan bersihin kenapa sih?" Ia turun dari kursi makan. Berjalan cepat ke ruang tengah.Sayangnya, ia tidak memperhatikan bahwa celana pendeknya terangkat sam

  • Antara Dilema & Cinta   8. CEO Baru

    "Selamat pagi semuanya! Saya Bu Lina, Senior Editor yang akan mengawali jalannya pertemuannya ini. Karena ada lain satu hal CEO akan sedikit terlambat karena ada hal darurat yang membuat beliau tidak bisa hadir tepat waktu. Mari kita mulai dengan presentasi dari Bu Ananta."Seluruh mata tertuju kepada Ananta. Ia duduk di barisan tengah di antara meja panjang itu. Sedangkan matanya sendiri kalang kabut. Bingung harus menatap siapa.Gracia yang duduk di sampingnya menyikut lengan kanan Ananta. "Ayo, maju!" bisiknya pelan.Tubuhnya kaku. Seperti pantatnya tertempel di kursi rapat yang dinginnya luar biasa. Ia harus bersusah payah beranjak berdiri. Air Conditioner (AC) di ruang rapat hari ini berfungsi sangat bagus hari ini."Bu Ananta, waktu dan tempat dipersilahkan." Bu Lina mengundang kembali. Ia mencuri pandang ke bangku Ananta. Takut-takut kalau Ananta tidak mendengarnya sedari tadi.Ananta menelan ludah untuk kesekian kalinya. Berjalan melewati bangku karyawan-karyawan lainnya.Seka

  • Antara Dilema & Cinta   9. Bos Gila

    "Pak Nicho adalah pengganti saya. Beliau adalah CEO baru dan beliau juga memang sudah berkecimpung di dunia penerbitan. Ia adalah CEO dari PT. Nicho Jaya Prima. Pasti kalian tidak asing mendengar nama perusahaan tersebut. Perusahaan baru yang langsung masuk ke dalam daftar top ten. Pak Nicho, perusahaan kami akan banyak belajar darimu."Bu CEO menepuk tangannya terlebih dahulu. Lalu, diikuti dengan para karyawan lainnya, spontan bertepuk tangan dan berdiri."Bu Pramita, justru saya yang harus banyak belajar dari Anda. Perusahaan penerbitan Anda sudah lama eksis. Selalu dalam daftar top five dalam sepuluh tahun terakhir ini." Nicho mendongakkan kepalanya, memandang tampilan video call di dinding. Ditampilkan dengan proyektor."Semua itu berkat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu menyertai PT. Pramita dan kami juga memiliki para pegawai yang sungguh berdedikasi tinggi dengan PT. Pramita. Tanpa kalian semua, perusahaan penerbitan kita belum tentu bisa seprestasi saat ini.""Baiklah, saya har

  • Antara Dilema & Cinta   10. Perkara Kopi Pahit

    "Memangnya kau berani bayar berapa?""Gracia! Gitu cara kamu tanya sama bos kamu! Hah? Atau mau saya pecat?""Pecat aja. Biar nanti jadi trending, seorang CEO pengganti memecat seorang karyawan saat hari pertama dia memimpin.""Kau yakin taglinenya akan kayak gitu? Yang lebih cocok adalah, Dikarenakan seorang CEO muda dan ganteng datang memimpin, seorang karyawan melabrak CEO.""Iih...""Mulai besok meja kamu ada di luar pintu ini. Dan masalah gaji, tenang saja. Aku akan membayar gaji pegawai sesuai kinerja dan tanggung jawab yang diembannya.""Apa untungnya bagi saya jadi sekretaris bos?""Hari ini saya sangat bertoleransi dengan sikap judes kamu ya, tidak di hari lain," Nicho berdiri, mengancing jasnya. "Untungnya adalah kamu akan banyak belajar hal mengenai seluk-beluk dunia kepenulisan dan kamu akan belajar langsung dari ahlinya. Ilmu yang mahal loh itu.""Saya tetap nggak minat!" Gracia melipat kedua tangannya di depan dada. Sedang matanya m

  • Antara Dilema & Cinta   11. Dek, udah nikah berapa lama?

    "Tertuang air panas. Cuman karena kamu nih tanganku bisa kayak gini.""Kamunya yang nggak hati-hati. Mengapa salahin saya? Sini coba saya lihat tanganmu."Nicho pelan-pelan menyentuh lengan Gracia."Udah Pak Nicho. Cukup. Tadi air panasnya habis, terpaksa saya buat baru. Saat sudah mendidih, saya angkat pancinya. Namun, karena airnya terlalu banyak, tertumpah. Hasilnya begini. Sekarang puas Pak Nicho?" Ia berbalik ke belakang. Mendongakkan kepala.Jarak antara Pak Nicho dari dirinya tak lebih dari satu meter."Puas menertawakan saya? Puas karena kecerobohan saya?" Ia menahan tangis.Sekarang tangannya sudah cukup perih, ditambah sekarang Nicho tahu kalau dia ceroboh. Bakal batal jadi sekretarisnya kalau begini."Sekarang kita ke rumah sakit!" Nicho tak menjawab pertanyaan Gracia. Ia berbalik ke kursinya. Mengambil jasnya yang ia sematkan disana. Menutup komputer dengan buru-buru."Nggak perlu." jawabnya singkat. Gracia segera berjalan ke arah pin

  • Antara Dilema & Cinta   12. Kepribadian Ganda?

    Masih dengan kebingungan, Gracia menatap sekeliling. Lalu menelisik badannya. Takut-takut ada yang salah dengan penampilannya.Perutnya juga tidak buncit. Hal yang paling ia sukai dari dirinya sendiri adalah perutnya tidak memiliki lemak yang berlebihan. Flat."Iih...apaan sih." Ia ngotot, minta penjelasan."Kita sekarang antri ke dokter spesialis apa?" Nicho malah balik bertanya."Dokter spesialis kulit.""Biasanya dokter spesialis kulit menangani apa lagi?""Ha?" Sepertinya ia melupakan sesuatu. Cepat-cepat ia mencari papan nama kecil di atas pintu ruang praktek dokter.Ketemu."Dokter spesialis kulit dan jenis kelamin."Ia kaku. Jika dirinya bisa lihat mukanya di cermin. Mungkin sekarang ia sedang pucat pasi. Terasa hawa dingin menggerogoti badannya perlahan-perlahan sampai ke wajahnya."Sudah tahu?" Nicho bertanya menelisik.'Sepertinya ia sudah tahu.'Satu per satu pasien masuk dan keluar silih berganti. Hiruk-pikuk pasien ya

  • Antara Dilema & Cinta   13. Mode Malas

    "Tangan kamu gimana sekarang? Masih sakit?" Nicho mencoba mencairkan suasana. Sejak keluar dari jalan Gajahmada, mereka tidak bersua sama sekali."Masih." jawabnya pendek. Gracia hanya memandang depan. Melihat kerumunan kendaraan mungkin lebih baik. Daripada harus melihat Nicho yang kini jadi bosnya.Sinar matahari masuk menembus kaca. Menyinari muka Gracia. Silau. Dengan cepat, ia menurunkan papan cermin dari langit-langit mobil. Setidaknya bisa menghalau silaunya sinar matahari."Maafkan aku ya. Karena saya kamu jadi begini.""Iya nggak apa-apa. Saya yang kurang hati-hati.""Kamu masih marah sama saya?""Nggak kok. Malas ngomong aja."'Buset. Ini anak kalau udah mode malas. Parah sekali.'"Mau singgah makan dulu nggak?""Langsung pulang ke kantor aja pak. Saya lagi malas makan.""Yah, nggak boleh gitu. Kita makan aja sekarang ya.""Iih, bapak ribet sekali sih. Saya bilang pulang, yah pulang. Saya masih banyak kerjaan nih.""Iya.

Bab terbaru

  • Antara Dilema & Cinta   140. Baiklah, Mari Kita Coba Pacaran!

    "Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa

  • Antara Dilema & Cinta   139. Hanya Sedikit Orang yang Bisa Menemukan Cinta Sejati

    Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho

  • Antara Dilema & Cinta   138. Masih Berani Kamu Menampakkan Diri di Hadapanku?

    Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil

  • Antara Dilema & Cinta   137. Kenapa Aku Selalu Kalah Debat darinya?

    Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter

  • Antara Dilema & Cinta   136. Aku tidak perlu Memberitahumu, Karena Tidak Ada Untungnya Bagiku

    "Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra

  • Antara Dilema & Cinta   135. Masih Gracia & Nicho Kecil part 3

    "Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann

  • Antara Dilema & Cinta   134. Gracia & Nicho Kecil part 3

    Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim

  • Antara Dilema & Cinta   133. Ada yang Salah Sama Nicho, Apa Jangan-Jangan...

    "Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke

  • Antara Dilema & Cinta   132. Iya, Aku Mencintaimu

    Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b

DMCA.com Protection Status