Mendengar ucapan itu, Harvest langsung menangis dan berteriak, "Ibu, aku mau Ibu!"Harvest adalah anak yang penurut, bahkan jarang sekali dirinya menangis. Namun, saat ada yang berkaitan dengan Selena, dia bisa menangis pilu.Harvey menghela napas dengan putus asa. "Ya, terakhir kalinya. Setelah bertemu dengan Ibu, kita harus pergi, oke?"Harvest tidak mengerti apa yang ayahnya katakan sebab dia hanya ingin bertemu dengan sang ibu. Diiringi air mata yang masih mengalir di pipinya, dia mengangguk patuh.Harvey mengulurkan tangan untuk menyeka air mata di sudut mata anak itu, sekaligus menyeka air liur yang mengalir dari mulutnya. "Ayo, kita pergi temui Ibu sekarang."Tenda itu dihiasi lampu kuning berkelap-kelip, bagai bintang kecil.Biasanya, Harvest sudah tidur pada jam segini. Namun, malam ini, mata besarnya berbinar. Dia belum tiba di tempat tujuan, tetapi sudah turun dulu dari pelukan Harvey dan berlari dengan kaki mungilnya menuju tenda.Selena tidak merasa mengantuk. Dia duduk di
Selena ingin membantah, tetapi ketika dia berpikir anak itu tidak akan mengerti, dia pun tidak perlu banyak bicara.Tumbuh dengan aman dan bahagia bagi anak pun sudah cukup, sebab itu yang terpenting.Tak lama kemudian, Harvest memejamkan matanya. Kepalanya disandarkan di pangkuan Selena, lalu tertidur pulas dengan napas teratur. Di sudut bibirnya, terlihat segaris air liur yang berkilau.Selena mengulurkan tangan untuk mengusap wajah Harvest. Matanya penuh kasih sayang saat mengamatinya.Selena sempat membatin, 'Aku pun nggak tahu apakah saat lahir nanti, anak dalam perutku akan mirip dengan Harvest tidak, ya? Bagaimanapun juga, mereka tetap anak-anaknya Harvey.'"Seli."Di malam yang sunyi, suara Harvey terdengar serak dan kasar, memecah keheningan malam.Raut wajah Selena seketika membeku. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya menunggu dengan tenang kata-kata Harvey selanjutnya.Harvey berdeham. Dia memikirkan kata-katanya dengan baik sebelum diucapkan, "Harvest sangat suka denganmu.
Selena sudah terbiasa dengan sikap dingin Harvey. Awalnya, dia kira hal yang paling mengerikan adalah sifat Harvey yang kasar di masa lalu.Kini, dia baru menyadari, bertatap muka secara langsung tidak semenakutkan itu karena saat ini, Harvey tersenyum dan tampak penuh kasih sayang di matanya.Dia hanya menduga-duga saja, sungguh enggan mengungkapkan bahwa dia sudah hamil."Harvey, aku nggak akan pernah mencintaimu."Sayangnya, Harvey tidak peduli akan hal itu. "Seli, masa depan masih panjang," tampiknya.Selena tidak berdebat dengannya. Dia meringkuk patuh, tidak berani membuat Harvey makin marah.Bicara secara logika dengan seseorang yang tidak waras, entah karena dia sudah bosan hidup atau dia merasa bosan dengan Harvey.Hal yang bisa dia lakukan sekarang hanya menunggu Arya pulih, menunggu anak dalam perutnya tumbuh besar dan melahirkan dengan lancar, serta berusaha hidup lebih lama.Sebelum itu, dia tidak bisa bertingkah onar.Melihat Selena menutup matanya, Harvey menyelimutinya
Hampir semua mimpinya berkaitan dengan anak-anak. Ada satu masa dia bermimpi setiap hari, menggambarkan keberadaannya di sebuah taman bunga yang indah. Seorang anak berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah mahkota bunga yang cantik, kemudian memakaikan mahkota bunga itu ke kepalanya sambil tersenyum.Selena mengernyitkan keningnya. "Makasih, sayang.""Ibu, cantik." Harvest sangat senang, sampai-sampai senyumnya mengembang lebar.Selena merasa, anak ini kelak akan jadi pria yang hangat karena sejak kecil sudah begitu perhatian.Dia menangkup wajah Harvest dan mengecupnya lembut. Sekali lagi dia mengeluh dalam hati dan berpikir betapa indahnya jika Harvest adalah putranya.Selena menepuk lutut anak itu, membersihkan beberapa rumput dan tanah yang menempel di sana.Dari sudut matanya, dia melihat Harvey berdiri jauh di lereng bukit. Mungkin dia takut datang dan mengganggu suasana hatinya, jadi dia hanya memilih untuk melihat dari jauh.Harvey duduk di sisinya, menyaksikan air yang mengal
Selena yang gemetar, menatap Harvey kebingungan."Apa maksudmu?"Harvey menghela napas sebelum bicara, "Kejadian tadi malam bukan kecelakaan. Ada orang yang menyerang Harvest dan mendorong dia dari tangga yang tinggi banget."Wajah Selena berubah pucat. "Siapa yang melakukan ini?""Saat ini, petunjuknya masih terlalu sedikit, jadi belum bisa dipastikan. Dilihat dari perawakannya, mereka bukan orang biasa. Kemungkinan besar mereka adalah pembunuh bayaran. Makanya, aku harus bawa mereka ke tempat yang aman."Selena bertanya dengan ragu-ragu, "Apa ini ada hubungannya dengan Poison Bug?""Aku rasa bukan. Poison Bug adalah organisasi yang ahli di bidang medis. Kalau mereka membunuh, mereka biasanya menggunakan obat-obatan. Contohnya macam Bibi Maisha. Tapi, yang terjadi pada Harvest berbeda. Jelas mereka ingin membunuhnya. Anak sekecil itu didorong dari tangga spiral. Untungnya Harvest bisa berpegangan pada tepi tangga dan berhenti tepat waktu. Kalau nggak, akibatnya akan sangat mengerikan.
Sebelum fajar menyingsing, Selena dan Arya sudah dibawa pergi. Bahkan, Selena sendiri tidak tahu ke mana mereka akan dibawa.Ketika Selena sampai di sana, dia baru menyadari, tempat itu adalah sebuah rumah bergaya kuno. Dia berpikir sejenak dan menyadari, sepertinya tidak ada rumah seperti ini atas nama Harvey Irwin.Tampaknya untuk berjaga-jaga, Harvey telah menemukan tempat aman di mana tidak ada yang bisa menebak bahwa dia akan berada di sini.Arya sangat menyukai tempat ini, rasanya mirip dengan kediaman keluarga Bennett yang lama.Setelah turun dari mobil, Arya berdiri seraya berjalan beberapa langkah tanpa bantuan kruk.Melihat itu, Selena pun maju dan menopangnya. "Ayah, hati-hati."Wajah ramah Arya bersinar dengan sentuhan bahagia. "Selena, aku bisa jalan sendiri,""Ya, Ayah. Nggak usah buru-buru. Pelan-pelan aja. Jangan sampai jatuh."Melihat tubuh Arya yang makin membaik hari ke hari, Selena merasa sangat puas. Ketika kondisi ayahnya sudah stabil, dia juga bisa menanyakan keb
Harvey menerima telepon dari Lian. Meskipun dia tidak menemui Selena Bennett selama ini, dia tahu semua tentang apa yang Selena lakukan.Lian tidak tahu apa yang Harvey pikirkan. Dia hanya berpikir, pria itu adalah mantan suami terbaik yang diam-diam memperhatikan Selena dan melindunginya."Tuan Harvey, Nona Selena mau periksa kehamilan."Di atas meja Harvey, sepasang cincin kawin tergeletak di sana. Jarinya mengusap berlian besar di cincin itu, sementara raut wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan ataupun pilu."Oke, biar aku yang urus," pungkasnya.Lian menghela napas lega. "Sudah kubilang, Tuan Harvey sangat peduli pada Nona Selena. Aku benar-benar nggak paham kenapa Nona Selena menyembunyikan kehamilannya darimu."Harvey tersenyum sinis, lalu menutup sambungan telepon. Dia mengembalikan cincin itu ke kotak.Dia bangkit dan berjalan ke jendela besar. Langit tampak kelabu, bak pertanda akan turun hujan.Saat ini, sudah waktunya pulang kerja. Jalanan ramai dengan orang-orang yang lalu
Tidak hanya Selena, Harvey pun selalu menolak ketika ada percakapan tentang penggunaan ponsel. Setelah beberapa kali, Arya juga mulai mengerti.Bagaimanapun juga, Arya bukan anak kecil berusia tiga tahun lagi. Jadi, Selena buru-buru menjelaskan, "Ayah, memang ada beberapa hal yang terjadi selama Ayah koma. Awalnya, aku mau menunggu Ayah pulih dulu sebelum menceritakan hal ini satu per satu."Begitu mendengar perkataan itu, tangan Arya mulai gemetar lagi. "Aku tahu pasti ada yang nggak beres. Pas aku bangun, tanganmu terluka dan hubunganmu dengan Harvey juga buruk. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Arya dengan hati-hati.Melihat ayahnya begitu gelisah, Selena buru-buru membantunya duduk. "Ayah, lihat. Ini alasan kenapa aku nggak kasih tahu Ayah. Sebenarnya, ini bukan masalah besar. Hanya saja, dia dan aku bertengkar karena sesuatu. Bukannya Ayah lihat dia seharian ini memohon maaf padaku? Kalau memang ada masalah yang serius, kami nggak akan terus bersikap begini."Arya, yang sempat e