Kriss menatap bangunan di depannya dengan tenang. Setelah setengah jam hanya berdiam di dalam mobil, dia memutuskan untuk turun. Dia harus memangkas waktu karena masih banyak hal yang harus dilakukannya.
Setelah meyakinkan diri, Kriss melangkahkan kakinya mendekati bangunan tersebut. Bunyi gesekan sepatu mahal dan lantai menggema, menarik perhatian beberapa orang yang dilewatinya. Kriss hanya menatap lurus ke depan, tidak menghiraukan tatapan penuh pertanyaan dari sekitar.
Orang-orang yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing, menghentikan gerakannya. Mereka serempak menatap Kriss yang lumayan mencolok. Sebuah tempat kumuh di mana kegiatan gelap berlangsung. Judi, minuman, dan juga jual beli manusia.
Kriss menahan diri untuk tidak mendengus jijik. Dia tidak suka dengan keadaan bangunan dan aromanya yang terlalu menyengat. Fokusnya hanya mencari Robin. Menurut informasi anak buahnya, lelaki itu sering berada di sini untuk berjudi.
Kriss jadi berpiki
Mulan mengendap masuk ke dalam ruang kerja Kriss. Setelah memastikan lelaki tersebut berangkat kerja, Mulan tak membuang waktu sedikitpun. Dia mengeledah beberapa berkas dalam laci kerja dalam ruangan itu. Beruntung kunci masih tergantung di sana yang sekaligus memudahkan aksinya. Dia membaca beberapa berkas dengan cepat, melakukan scanning isi berkas siapa tahu hal yang paling dibutuhkannya. Mulan percaya tidak ada hal bersih di dunia ini, termasuk kinerja perusahaan milik Kriss. Dan inilah PR-nya. Mencari rahasia yang bisa menjadi senjatanya untuk menjatuhkan Kriss dan semua kekayaannya saat ini.Mulan terus membuka beberapa kertas, mengacak isi laci dengan tergesa-gesa, hingga tak sengaja menjatuhkan selembar foto. Mulan memungut foto tersebut dan terbelalak. Dadanya berdentum keras melihat siapa orang dalam foto tersebut.Dua lelaki mengampit satu wanita.Mulan mengerjap. Dia jelas sangat tahu siapa orang dalam foto tersebut. Kriss, Ro
Di ruang kerjanya, Kriss tampak melamun. Dia mengetuk meja dengan pen di sela jarinya. Sedangkan tatapan lurus ke depan. Otaknya sedang memutar kilas balik kenangan masa lalu. Suasana yang sepi mendukung perasaan sendu dalam hatinya.Sejak pertemuannya dengan Robin kemarin, tidak ada sehari pun tanpa memikirkan Lucy. Otaknya seakan kembali diingatkan bagaimana hari terakhir mereka bertemu, sekaligus hari terakhir dia melihat tatapan sendu wanita itu.Tiba-tiba kenangan seakan berbondong dan menghajar ketenangannya selama ini. Kriss memejakan mata, menerima semua memori masuk ke dalam pikirannya.“Kita harus berpisah,” ujar Lucy di tengah tangisnya.Kriss diam dengan tangan yang mengepal. “Kenapa?” tanyanya berusaha menjaga intonasi suara agar tidak meledak saat ini juga. Demi Tuhan, sejak memutuskan bersama, perpisahan adahal hal yang sangat Kriss hindari. Dia sangat mencintai wanita ini, meski hubungan ini jelas salah
Sudah beberapa hari ini Maya merasa badannya meriang. Kepalanya seakan diputar, dan perutnya sering bergejolak. Seakan ingin memuntahkan sesuatu. Namun tidak ada yang keluar, selain cairan bening. Maya benar-benar frustasi. Keringat dingin membasahi keningnya. Tubuhnya sudah sangat lemah setelah sepagi ini memuntahkan makanan dari dalam perutnya. Dengan tertatih, dia bergerak menuju ranjang. Meringkuk di sana sambil menekan perutnya sekuat tenaga. Dia mengerang, rasa nyeri teramat perih dirasakannya. Sudah beberapa hari keadaan tubuhnya lemah seperti ini. Kebiasaan muntah hebat di pagi hari dan indera penciumnya yang terlalu sensitif, menolak aroma yang terlalu menyengat. Keadaan tubuhnya ini jelas menghambat pekerjaannya. Maya tidak leluasa bekerja di bar, bahkan dia harus mati-matian menahan gejolak di perutnya karena aroma menyengat dari alkohol dan nikotin di sekitar
Kriss kembali lagi ke tempat ini. Mengunjungi tempat di mana luka bersemayam dan membuat penyesalan yang tidak akan bisa ditebusnya. Tatapannya sangat sayu, seperti musim gugur berkepanjangan yang menantikan semi yang mustahil datang. Hatinya perih, entah kapan terakhir kalinya dia bahagia. Kriss lupa. Seingatnya, saat wanita ini meninggalkannya, saat itu pula senyumnya lenyap. Hatinya hampa, harinya kosong. Dia bagaikan mayat yang masih bernapas. Beruntung dia masih memiliki sekeping kenangan dari cintanya, Maya.Kriss menatap Lucy dengan sendu. Sudah berkali-kali dia kemari, tapi tidak ada satupun respon dari wanita itu. Dia juga sudah menanyakan tentang keluarga Lucy pada suster yang merawatnya. Beruntung, sekarang dia sudah mengantongi alamat di mana putrinya yang lain tinggal.“Lucy, Sayang,” panggilnya dengan suara lemah.Lidahnya terasa nyaman memangil nama wanita itu. Memang sejak dulu, lidahnya hanya terbiasa memanggil nama Lucy. Lucy dan Sa
Setelah Juan kembali ke kantor, Mulan memutuskan membersihkan diri. Hari ini dia berencana mengujungi Joe. Kebetulan siang ini pria itu berada di kampusnya. Jadi, dia bisa beralasan keluar dan bertemu dengan ibunya nanti. Mulan akan membawa sang ibu setelah ini karena tidak mungkin meninggalkan wanita itu sendiri di kota ini. Mereka akan mengukir kehidupan baru di tempat yang lebih baik. Meninggalkan semua luka yang teramat dalam di sini.“Mulan?” panggil sebuah suara yang terdengar sangat berat.Mulan yang baru turun dari tangga menatap jengah pada sosok pria di depannya. “Ada apa?”“Kamu sudah menghubungi Maya?”“Hum?”“Kamu sudah berjanji akan akan mengakhiri permaian ini,” jelas Bruce dengan tatapan datarnya. Beberapa hari belakangan, Bruce memang sanga gencar sekali meneror Mulan dengan masalah yang sama.Mulan merotasikan matanya malas. “Aku tidak pernah berjanji tuh,&rd
Mulan tak berhenti menatap gundukan tanah basah di depannya. Air matanya tak mau berhenti menetes, seperti kesedihan yang tak berkesudahan di hatinya. Kedua tangannya masih terkepal dengan tanah di dalamnya. Dia tidak ingin mempercayai apa yang berada di depannya. Dia ingin kejadian beberapa jam yang lalu hanya sebuah bunga tidur, di mana akan selesai saat dirinya bangun. Namun, sudah dua jam sejak wanita yang dicintainya menutup mata, Mulan tetap saja terjaga. Seakan mengatakan bahwa semua ini nyata. Dia tidak lagi punya siapa-siapa yang dijadikannya sandaran.“Harusnya Mom jangan pergi sendiri. Ajak aku, Mom,” lirihnya dengan pandangan memburam. Air mata tak terbendung, lagi-lagi yang Mulan lakukan hanya terisak pelan.Sudah tidak ada siapapun di sini. Memangnya siapa yang Mulan harapkan? Mereka tidak memiliki keluarga lagi, selaian bajingan Robin yang entah ke mana. Namun, Mulan sudah tidak peduli. Lelaki itu memang tidak bisa diharapkan apa-apa.
Siang ini Mulan sudah menyiapkan semua barang-barang yang akan dibawanya. Keadaan rumah yang sepi memudahkannya membereskan barang tanpa mengundang kecurigaan yang lain. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Mulan segera membawa kopernya keluar.Namun di depan kamar, dia malah bertemu dengan Bruce. Pengawal menyebalkan yang selalu membuatnya kesal. Pria itu memandang kopernya dan mengangguk, seakan puas dengan apa yang sudah dilihatnya. Pengawal yang sejak seminggu lalu selalu merecokinya dan membuat Mulan kesal.“Ini kan yang kamu mau? Tenang saja. Sebentar lagi Maya akan kembali,” kata Mulan dengan nada malas. Dia mendengus saat melihat wajah kelegaan pria itu. Segitu cintanya Bruce pada Maya.“Ya.”“Cih, jika kamu menyukai Maya, harusnya kamu menunjukkannya secara langsung. Bukannya diam dan hanya bisa menjadi pemeran figuran.”“Aku sedang berusaha.”“Berusaha?” ulang Mul
Maya akhirnya benar-benar pulang. Senyum tak pernah luntur dari bibir pucatnya sejak menginjakkan kakinya ke mansion ini lagi. Maya tak langsung masuk ke dalam. Dia hanya berdiri di depan pintu utama, menghirup dalam-dalam aroma yang sangat dirindukannya. Aroma rumah, aroma ketenangan. Dadanya penuh dengan perasaan yang tidak sanggup dijabarkannya. Tanpa sadar, setitik air jatuh dan membasahi pipinya. Dadanya sesak dengan rasa yang membuncah. Perasaan ini benar-benar sangat menyenangkan dan membuatnya semakin ingin menangis saja. Setelah berapa bulan mengenal dunia luar, terjun pada banyak pergaulan dan jenis kehidupan, Maya sadar bahwa tidak ada yang lebih baik dari hidupnya saat ini. Dia seakan disadarkan dengan keras bahwa hanya rumah tempat paling aman dan ternyaman. Bahwa sikapnya yang kurang puas sebelumnya adalah boomerang kehancurannya sendiri. Menjalani hidup yang berat di luar sana, bertemu dengan orang-orang bertopeng yang memasang wajah baik padahal busuk. Bahkan