H Salahkah jika kita mempunyai hati yang gampang luluh? Jujur aku benci mengakuinya. Tapi sekarang aku sedang duduk berhadapan dengan seseorang yang sebelumnya aku sebut tidak baik. Ya, karena Andre meminta waktuku sebentar untuk berbicara mau tidak mau aku harus menurutinya. Aku melakukan ini karena rasa kasihan. Ingat! Kasihan, aku sama sekali tidak berniat untuk memaafkannya begitu saja.
"Kau masih marah ternyata," celetuk Andre saat keheningan menyelimuti kami cukup lama.
"Aku tau kau pasti bosan mendengarnya, tapi aku sungguh minta maaf."
"Setelah hari itu aku menyakiti perasaanmu, aku merasa seperti orang paling bodoh di dunia. Tapi, apa kau tau? Aku mengatakan itu secara tidak sadar, aku tidak bermaksud untuk menuduh mu sebagai .... "
"Maaf, pelacur."
Mataku masih enggan menatap Andre, entah mengapa aku sangat membenci kata i
Mataku membola saat mengenali siapa pemilik suara tersebut, dengan cepat tangan ku langsung bergerak untuk membuka pintu yang terkunci.Tak lama pintu terbuka dan tubuh ku serasa beku karena hembusan angin yang menerpa. Tangan ku ikut bergetar kala melihat seseorang itu sedang meringkuk di lantai.Andre! Apa yang telah terjadi sampai dia terlihat kesakitan seperti ini, aku langsung berjongkok dan meraih tubuhnya agar duduk."Andre! Apa yang terjadi padamu, kenapa kau hujan hujanan seperti ini." Tanyaku sambil menepuk pipinya pelan, dia seperti hampir tidak sadarkan diri.Tunggu! Samar samar aku mencium bau yang khas dari tubuhnya. Apa ini? Kenapa bau alkohol jangan-jangan Andre mabuk. Ya Tuhan, berani-beraninya dia menyentuh minuman keras tanpa sepengetahuanku. Jika aku tau, aku pasti sudah melarangnya.Melihat Andre yang hanya berguman tidak jelas m
Setelah pulang sekolah, Gema benar-benar membawaku ke sebuah salah satu rumah sakit yang ada dikota in. Katanya, adik Biru sedang dalam masa perawatan yang intensif ada banyak luka dalam yang membuatnya belum sadarkan diri.Sebagai seorang teman tidak ada salahnya juga aku ikut berbela sungkawa atas kejadian ini, meskipun aku terlalu canggung saat bertemu langsung dengan orangtua Biru."Kau ini kenapa?" tanya Gema saat aku masih berdiri di belakangnya.Sekarang kami sudah sampai di depan pintu ruangan--tempat dimana adiknya Biru dirawat."Malu." Balasku sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal.Gema menggelengkan kepalanya seraya menghembuskan napas panjang."Kita hanya menjenguk orang sakit, bukan akan melakukan pertunjukan di depan banyak orang. Kenapa harus malu? Aneh sekali," ujar Gema dengan sinis.
Mataku membola dengan mulut yang terbuka, diri ini masih tidak percaya dengan apa yang terjadi."G-gentara, kau .... " ucapku terbata.Jadi, seseorang yang sedari tadi mengikuti ku adalah Gentara? Tapi hal yang paling mengejutkan itu wujudnya saat ini.Kemana sayapnya!Hari sudah gelap seharusnya Gentara mulai mengeluarkan sayap, tapi anehnya sekarang dia seperti manusia."Gentara, apa yang terjadi. Kemana sayapmu?""Aku juga tidak tahu," jawabnya singkat.Karena masih tidak percaya, aku memeriksa tubuhnya hingga keseluruhan. Mungkin saja dia terluka, tapi aku tidak menemukan apapun."Kau baik-baik saja 'kan? Maafkan aku karena lupa untuk menemuimu."Gentara tidak merespon, dia malah melewatiku dan duduk disalah satu kursi kayu di pinggir jalan. Sontak aku langs
H"Aku tidak marah, hanya saja dari sorot matamu kau seperti menuduh kami. Bu Adit, bukankah itu tidak baik?" ujar Laras mencari pembelaan."Itu benar. Ana, jika memang kau tidak mengerjakan tugas dari saya lebih baik jujur saja tidak usah beralasan bahwa bukumu hilang."Untuk apa aku berbohong? Aku sungguh-sungguh sudah mengerjakan tugasnya, tapi nyatanya buku biologiku hilang."Tapi, bu ... saya tidak berbohong, buku itu masih ada ketika saya melakukan piket kelas, dan tiba-tiba saat saya masuk bukunya--""Kau yang lupa, kenapa tidak mengaku? Di dalam kelas kami juga tidak melihat buku milikmu!" Clara memotong ucapanku membuat Bu Adit menatapku tajam."Sudah, Ana. Sekarang keluar!"Deg!Apa-apaan ini, kenapa tidak ada satupun yang percaya padaku. Sungguh! Aku sudah mengerjakannya.
H Setelah mengantarkan Gentara pulang kembali ke tepi danau di mana pohon itu berada, kini aku duduk melamun di meja belajar.Pikiranku masih terganggu saat Gentara mengatakan jika ada seseorang yang mencari ku, dan tujuannya adalah mengatarkan buku biologiku yang hilang.Aku semakin heran, siapa dia? Kenapa buku biologiku bisa ada padanya dan darimana dia tahu alamat rumah ku. Mengingat jika hanya beberapa saja teman sekolah yang tahu dimana aku tinggal.Kecuali ... satu orang.Miki! Hanya dia yang tahu, apa mungkin dia juga yang menyembunyikan buku milik ku? Lalu kenapa dia repot-repot mengembalikannya ke rumah."Arghhh!" aku berteriak frustrasi.Dendam apa yang dia miliki sampai-sampai berniat jahat seperti itu, tindakannya memang tidak terlalu parah. Tapi, karena itu juga aku dihukum dan tidak mendapatkan nilai.
Mataku mengerjap beberapa kali, mencoba mengendalikan diri agar sepenuhnya bisa membuka mata. Aku merasa heran karena seluruh ruangan berubah menjadi putih, dan indra penciuman ku menangkap bau obat-obatan. Dimana ini? Setelah melihat ke sekitar ternyata aku berada di uks sekolah, lalu aku dikejutkan oleh Miki yang datang dengan segelas teh hangat. Dia menarik kursi dan duduk di atasnya. "Bangunlah, minum ini dulu." Miki meletakkan gelas itu diatas meja. Aku berusaha bangkit walaupun sedikit kesulitan, Miki bergerak hendak membantu, tapi aku langsung menepis tangannya. "Tidak perlu, aku bisa sendiri." Terdengar dia hanya menghela napas, lalu duduk kembali. Melihatnya, dadaku kembali merasakan sesak, kejadian di kelas tadi benar-benar membuat trauma di masa lalu kembali berputar di otak.
Sungguh, aku tidak mengerti dengan apa yang ia katakan. Apakah aku terlalu sering terluka saat berada di sekolah? Sampai-sampai Gentara bisa menyimpulkan hal tersebut."Ini hanya kebetulan. Tidak ada yang melukai ku.""Aku tidak percaya. Dulu saat pertama kali aku menolong mu di sekolah, waktu itu ada seseorang yang berniat buruk padamu 'kan."Senyumku perlahan luntur ketika mengingat kembali kejadian itu, saat dimana Zico dan kedua temannya hendak melecehkan ku di gudang.Rasa takut kembali hadir, karena di sekolah aku berusaha untuk tidak bertemu dengannya. Tapi, entah sampai kapan aku bisa melakukan itu."Ya, baiklah. Kehidupan ku di sekolah memang tidak terlalu baik, maka dari itu aku tidak punya teman." Perlahan aku mulai menjelaskan semuanya pada Gentara.Seperti biasa dia hanya mengangguk dan sesekali bertanya ketika
Setelah mengobati kakiku yang memar, aku memutuskan untuk menyusul ayah ke rumah sakit. Lagipula dari dulu aku tidak pernah absen untuk mengantarkannya cuci darah, maka setidaknya hari ini aku yang menjemputnya pulang.Gentara masih sibuk membereskan alat-alat menggambar, dia tidak mengizinkan ku untuk membantunya. Dia bilang, takut aku kelelahan."Ana, cuci darah itu apa?" Gentara bertanya dengan tangan yang masih sibuk merapihkan alat tulis.Tanganku bergerak untuk memegang dahu seraya berpikir. Aku harus memilih kata yang tepat agar dia mudah memahaminya."Eum ... semacam terapi yang dilakukan untuk kesembuhan orang-orang yang terkena penyakit."Benarkan? Sebenarnya terapi cuci darah juga tidak bisa menyembuhkan secara total, tapi setidaknya ini bisa membuat penyakitnya tidak bertambah parah. Dengan kata lain, kita memperlambat penyakit itu agar tidak s
Seberkas cahaya masuk ke netra mataku yang perlahan mulai terbuka, aku meringis kecil kala merasakan sakit dibagian kepala. Ada apa ini? Sepertinya sudah terjadi sesuatu padaku dan juga... Andre, dimana lelaki itu? Lekas aku langsung terjaga dengan degub jantung yang tak beraturan, aku menoleh ke sekitar dan menyadari bahwa kini aku sedang berada di sebuah kamar mewah. Itu terbukti dari barang-barang yang ada di sini, semua ini jelas merek terkenal dan harganya tidak main-main. Sejenak aku kembali memejamkan mata untuk mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, siang tadi aku dan Andre sedang mengantarkan pesanan bunga disebuah perusahaan. Tapi saat hendak pulang, seseorang membekap mulutku hingga aku tidak sadarkan diri. Oh Tuhan ... lalu bagaimana nasib Andre sekarang? Kenapa dia tidak ada di sini. Juga, apa yang harus aku lakukan di tempat ini. Sepertinya seseorang dengan sengaja membawaku kemari dan berniat buruk. Karena aku baru sadar j
Ketika hari menjelang siang, ada seseorang yang memesan banyak bunga untuk diantarkan sekarang juga. Orang tersebut hanya mencantumkan alamat tanpa pesan tersirat lain. Andre sedang bersiap menata sekitar sepuluh buket bunga dengan aneka warna ke atas ranjang, sedangkan aku masih merapihkan serpihan kelopak bunga yang berceceran di lantai toko. Aku berencana untuk ikut mengantarkan pesanan itu, karena tidak mungkin Andre bisa mengantarkan bunga itu sekaligus jika sendirian. Meskipun awalnya dia sempat menolak bantuanku, pada akhirnya Andre hanya bisa menghela napas karena aku yang keras kepala ini. "Sudah siap?" tanyanya. Tangan lelaki itu sudah membopong ranjang berisi bunga. "Sudah, kita antar sekarang saja." "Let's go .... " Aku menggelengkan kepala melihat dia yang berjalan sambil mengehentakkan kaki, persis seperti anak kecil yang bahagia karena hendak berlibur. Langkah ini mengikutinya keluar menuju pintu, sebelum berangkat aku
Tetesan air hujan terus membasahi wajahku yang sedang mendongak, menatap Zico dengan raut wajah yang penuh dengan tanda tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Terlebih lagi tangannya masih melekat dikedua pundakku dan perlahan mendekapnya dengan hangat. Dia menarik tubuhku agar berjalan menuju sebuah warung kopi yang terletak dipinggir jalan, aku bahkan tidak sadar jika hujan sudah turun dengan sangat deras. Kilatan putih juga saling menyambar membuat gemuruh yang menggetarkan jiwa. Zico masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dan aku juga tidak berminat untuk bertanya terlebih dahulu. "Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja," ujarnya yang sama sekali tidak aku tanggapi. Entah ini kebetulan atau memang takdir, tapi kenapa harus Zico yang datang dan memberiku pertolongan. Dengan bibir terbuka aku mulai menggigil karena kedinginan, tapi mataku tetap saja menatap jalanan basah itu dengan tatapan kosong. "Ingin minum sesuatu?" Di
Kerutan didahiku tercetak semakin dalam, mencoba memahami maksud dari perkataan Gentara. Hal bodoh apa lagi ini? Seharusnya aku sudah tidur pulas sedari tadi jika saja dia tidak datang dan mengganggu pikiranku. "Apa maksudmu?" Aku memilih untuk duduk agar bisa mendengarkan dengan seksama. "Sebelum pesta itu dimulai, Laras memintaku agar berpura-pura menjadi kekasihnya. Katanya, dia malu jika masih lajang saat umurnya sudah delapan belas tahun," jelasnya dengan panjang lebar. Gentara juga memberitahukan hal-hal yang harus dilakukan jika sedang bersama Laras, seketika aku merasa geram mengetahui kenyataan ini. Laras! Dia benar-benar bukan manusia, aku yakin semua ini pasti terjadi karena sudah direncanakan olehnya. Laras sengaja mencari kesempatan untuk mendekati Gentara, padahal tujuan utamanya adalah untuk membuatku semakin menderita. Tidak! Aku tidak bisa selalu dalam bayang-bayang ketakutan, aku harus bisa melawan sikap semena-mena yang dila
Lagi-lagi aku dibuat terdiam olehnya, entah apa maksud Biru berkata demikian. Yang jelas itu bukan untukku, mana mungkin dia mencintaiku 'kan? Demi apapun sekarang aku langsung merasa kesal. Mimpi apa yang sedang ia alami sampai mengigau seperti ini."Biru, bangunlah!" Aku menaikan nada bicara. Benar saja, lelaki itu perlahan membuka matanya diiringi erangan kecil khas orang bangun tidur. Dia terlihat masih belum sadar sepenuhnya, sedangkan aku mulai memasukan barang-barang dan bersiap untuk berdiri. Hatiku sangat dongkol, aku ingin cepat menyelesaikan kegiatan ini. "Apa aku tertidur di pundakmu? Ah maaf." "Tidak masalah. Ayo turun." Ajakku sambil berdiri dari kursi bus. Namun, bukannya memberi jalan untuk aku berlalu Biru malah tetap duduk dengan posisi terus menatapku. Kedua alisku saling bertaut, "Kenapa? Kau tidak mau turun?" tanyaku heran. "Kau yang kenapa? Sepertinya sedang marah." Aku mengalihkan p
Semua orang terperangah tak percaya, termasuk diriku sendiri. Tapi sedetik kemudian para tamu langsung bertepuk tangan dan berteriak histeris kala Gentara menganggukkan kepalanya. Aku terdiam dengan napas yang mulai tercekat, jantungku berdebar seakan dihujani ribuan anak panah. Sakit, hati ku seperti digores belati tajam yang mengandung racun. Untuk bergerak dari tempat ini saja sungguh terasa sulit, Gentara ... kenapa dia tega membuat luka baru untuk kedua kalinya. Tuhan! Takdir macam apa ini? Kenapa orang yang aku benci malah menjadi kekasih dari orang yang sangat aku percaya. Laras, kenapa dia secepat itu jatuh cinta pada Gentara? Rencana apa yang akan dia lakukan. "Kalian sangat serasi, tampak seperti raja dan ratu di dunia nyata," celetuk dari salah seorang remaja putri bergaun selutut. "Benar, yang satu tampan yang satu cantik." "Hubungan kalian pasti sangat romantis.""Sepertinya kalian memang ditakdirkan untuk bersa
"Ayo! Makan." Seru Bu Syifa yang datang menghampiri ku dengan satu piring nasi goreng. Aku yang sedang mencatat belanjaan langsung menoleh, lalu tersenyum saat harum masakan itu menyeruak ke hidung. Ah, kebetulan sekali perut ini sudah berbunyi sedari tadi. "Terimakasih, Bunda. Ini pasti enak." Aku mengambil alih piring tersebut dan beralih untuk duduk. Satu suap nasi goreng berhasil aku kunyah dengan sempurna, aku memuji masakannya yang tak pernah gagal. Semua makanan yang ia buat memiliki ciri khas berbeda, dan aku pikir ini hanya bisa ditemukan dibeberapa tempat saja. "Pipimu terlihat memar," ujar Bu Syifa yang ikut duduk di depanku. Seketika aku berhenti mengunyah, tatapanku langsung berhenti pada butiran nasi yang hampir habis. Tadi Andre juga sempat menanyakan pipi memarku, tapi aku berhasil memberi masukan yang masuk akal. Jadi, untuk kedua kalinya aku harus berbohong. Karena kejujuran ku saat ini sedang tidak perlu
Suara gelak tawa langsung terdengar kala air kotor itu membasahi seluruh tubuhku. Aku menunduk dengan hati yang terasa sakit, lagi dan lagi mereka melakukan hal yang keterlaluan. Dan bodohnya aku tidak bisa melawan.Clara melemparkan ember itu ke arah kepalaku, dengan rasa sakit aku mencoba untuk berdiri dan meninggalkan tempat ini. Tapi, Laras terlebih dahulu menghempaskan tubuhku kembali ke lantai. Aku meringis kesakitan dan meringkuk di bawah sana, berharap ada seseorang yang bisa memberikan pertolongan. Pasrah, aku hanya bisa diam seperti mayat hidup air mataku turut menetes bercampur dengan debu. Laras menyibak rambutku yang menutupi wajah. "Jauhi Gentara, atau ... kau akan semakin menderita," ujarnya tersenyum simpul. Bibirku bergetar karena menggigil, rasa dingin ini semakin menyeruak hingga ke tulang. Permintaan Laras sungguh tidak masuk akal, aku tidak mungkin menjauhi Gentara. Dia adalah salah satu tanggung jawab yang harus aku j
Kami mendekat ke salah satu rumah yang berada dipaling ujung, di sana nampak ada cctv yang mengarah kemari. Kemungkinan besar, sang pemilik rumah itu memiliki rekaman video saat Andre dikeroyok.Namun, rumah ini seperti sudah tidak berpenghuni. Bahkan pintu rumahnya sudah dihinggapi banyak tanaman liar."Kau yakin, Ana? Jika di dalam sana ada orang?" Tanya Andre sambil sesekali mengintip lewat jendela luar.Awalnya aku tidak yakin, tapi setelah melihat cahaya di lantai atas pasti ada seseorang di sana. Rumah ini berlantai dua, dari luar terlihat sangat kumuh dan menyeramkan. Persis seperti rumah hantu."Lihat di sana." Aku menunjuk ruangan atas yang bercahaya, "Rumah ini pasti berpenghuni.""Ana, ini terlihat menyeramkan. Sebaiknya kita pulang saja." Aku hanya bisa menghela napas mendengar Gentara mulai merengek."Heh! Orang aneh