"Heh!" Brian kini menimpuk bahu Heni keras-keras. "Aku panik setengah mati lihat kamu nangis kayak gini dan ternyata kamu nangis kayak gini cuma karena nonton drakor?" Hampir saja Brian berteriak keras-keras, matanya melotot tajam. Sungguh dia tidak mengerti kalau wanita bisa seabsurd ini!
"Mas nggak tahu, tadi itu--.""Dah-dah! Sana deh! Kesel aku sama kamu!" Brian bangkit melangkah hendak kembali ke IGD. Baru beberapa langkah dia kembali menoleh, menatap tajam ke arah Heni yang melongo menatap kepergiannya. "Nanti pulang bareng, awas pulang sendiri!" Ancam Brian lalu kembali melangkah pergi meninggalkan Heni.Heni tersenyum geli. Ia menghela napas lega ketika sosok itu lenyap di belokan. Satu tangan Heni menyeka air mata. Hampir saja dia bablas bicara apa yang tadi dia dengar dan lihat dengan mata kepalanya sendiri. Brian sahabat kakak Karina, bisa heboh nanti kalau Heni menceritakan semua itu pada Brian.Heni menyandarkan tubuh di kursi itu."Rin ..."Karina mengangkat wajah mendengar panggilan itu. Memaksakan diri tersenyum sambil menatap Heni yang melangkah masuk mendekatinya. "Kamu kenapa? Kok nangis?" Tanya Heni yang kembali membuat Karina kembali memaksakan diri tersenyum. "Aku nggak nangis kok!" Jawabnya berdusta. Heni menghela napas panjang, satu tangannya terulur menyingkap rambut Karina yang menutupi sebagian wajah, membawa rambut itu kebelakang telinga. "Kita temenan berapa tahun sih, Rin? Aku tahu betul, kamu habis nangis!" Heni tidak mau dibohongi, meskipun kini sebenarnya dia lah yang membohongi Karina. Ah ... Bukan bermaksud berbohong, tetapi Heni tahu betul dia tidak seharusnya masuk ke sana. Dia orang lain dalam masalah ini, tidak peduli dia begitu dekat dengan Karina. Mungkin nanti ada saatnya memang Heni harus bicara, tapi tidak saat ini. Karina menghela napas panjang, ia memejamkan mata barang sejenak lalu menatap Heni dengan mata me
"Positif!"Desis Karina lirih. Sebenarnya dia tidak terlalu terkejut, bukankah tadi dokter Retno sudah memberitahunya? Dari tiga buah testpack, Karina hanya menggunakan satu. Untuk apa dipakai semua? Toh semua sudah sangat jelas. Karina mendesah, dengan lunglai dia melangkah keluar dari kamar mandi. Dokter Retno berbaik hati menyuruhnya istirahat hari ini. Dia hanya diminta visiting beberapa pasien yang akan dokter Hanif tindak besok pagi. Benar kata Heni tadi, besok akan ada banyak bayi lahir dan mereka akan jadi saksi bagaimana para bayi itu kemudian harus menjalani kehidupan di dunia tipu-tipu ini. Karina meraih ponselnya, mencoba menghubungi sang suami. Biasanya di jam-jam seperti ini, Yudha tengah bersiap masuk ke dalam OK. Jadi sebelum dia masuk dan berperang di dalam, lebih baik Karina temui dan hendak sampaikan dulu kabar ini. Karina menempelkan ponsel di telinga. Berharap Yudha segera mengangkat panggilannya dan mengatakan di mana posi
"Ka-kamu hamil, Sayang?"Karina mengangguk pelan, hal yang sontak membuat Yudha kembali meraih tubuh itu ke dalam pelukannya. Air mata Yudha menitik. Ia terlampau bahagia sampai menitikkan air mata. Sementara sang istri, bisa Yudha dengar isak tangis Karina kembali pecah."Koasku gimana, Mas? Jujur aku belum siap."Sebuah rintihan yang membuat hati Yudha mencelos. Bukankah sejak awal Karina sudah mengatakan hal itu? Mengatakan bahwa ia sama sekali belum siap untuk hamil buah cinta mereka? Yudha merasakan hatinya pedih. Ia mempererat pelukan itu sambil menjatuhkan kecupan berkali-kali di puncak kepala Karina."Mas ngerti, Mas minta maaf nggak hati-hati." desis Yudha dengan penuh rasa penyesalan.Ingatan Yudha memutar memori saat dimana mereka saling memadu kasih. Kapan hal ini terjadi? Maksudnya, di momen yang mana hingga kemudian sperma Yudha bisa tumpah dan membuahi sel telur Karina?Yudha ingat betul bahwa mereka selalu menghit
Karina melangkah turun dari taksi online yang dia tumpangi dari rumah sakit. Ia sangat bersyukur diizinkan pulang oleh Retno setelah dia memergoki Karina kembali sesegukan menangis. Tidak hanya diizinkan pulang, Karina dibebastugaskan hari ini. Sungguh Karina selalu dipertemukan residen dan senior yang begitu baik hati. Apakah efek karena dia istri dokter spesialis di rumah sakit itu? Entah, karina tidak tahu! Karina menghela napas panjang. Dia tidak pulang, tidak kembali ke rumah setelah dari rumah sakit. Yang dia tuju sekarang adalah toko buku! Dia perlu membeli beberapa buku, novel atau apapun itu untuk sekedar menenangkan dirinya. Karina melangkah masuk. Ia hampir sampai di lantai tempat di mana deretan buku berjejer di masing-masing rak ketika di depan meja besar berisi novel, nampak gadis yang begitu dia kenal tengah berdiri di sana dengan tas dalam gendongannya. "Dinda?" Panggil Karina dengan senyum lebar. Gadis dengan seragam
"Yud!"Yudha yang baru saja melangkah keluar dari ruang nomor 3 itu sontak menoleh. Ia bahkan masih dengan gown dan perintilan lainnya ketika lelaki dengan snelli lengan panjang itu sontak membantunya melepaskan gown dengan wajah tampak begitu panik. "Udah kelar, kan, Yud?" Tanya sosok itu sambil melemparkan gown itu ke atas meja. Hal yang sebenarnya sangat tidak boleh dilakukan kalau tidak ingin para perawat OK mengamuk tempat mereka di buat berantakan. "Kalau aku udah keluar begini tentu kau tahu apa artinya, kan, Suf?" Yudha tersenyum, melepas handscoon yang ia kenakan. "Bagus! Buruan ke IGD, Yud!"Yudha menoleh, padahal ia belum mengambil napas untuk sekedar melepaskan penat dan stress yang dia rasakan dan sekarang sja sudah harus kembali menerima pasien? Hebat sekali! "Kasus apa?" Tanya Yudha dengan alis berkerut. "Istrimu di IGD, Yud! Lagi ditangani dokter Anwar!"Bagai disambar petir, Yudha langsung
"Apa? Papa selingkuh?" Tampak Rizal terkejut kuar biasa. "Siapa yang bilang kalau Papa selingkuh, Din?"Dinda terisak hebat, ia menampik tangan Tasya yang hendak meraihnya dalam pelukan. Ia memundurkan langkah, malah mendekat di sisi Yudha, menjauhi kedua orang tuanya. "Mama bilang kalau kalian bercerai karena Papa selingkuh sama staf administrasi rumah sakit sampai punya anak!" Disela-sela isak tangis, Dinda mencoba menjelaskan, menjawab pertanyaan ayahnya seperti apa yang selama ini dia dengar dari Tasya. "APA?" Rizal memekik, ditatapnya Tasya dengan tatapan penuh emosi. "Jadi begini? Aku tutup aib kamu di depan anak-anak dan sekarang kau malah memfitnah aku, Sya?" Suara Rizal bergetar hebat. Bisa Yudha lihat wajahnya memerah. "Sekarang, coba bilang di depanku kalau aku yang selingkuh! BILANG!"Tasya memucat, bulir-bulir keringat nampak membasahi wajahnya. Wajah yang Yudha tahu betul menggambarkan kepanikan yang teramat sangat. Bukankah Yudha
Dinda tercengang. Dia tidak salah dengar, kan? Mamanya pernah pacaran dengan suami Karina? Yang benar saja! Karina tersenyum dan mengangguk, seolah paham dengan keraguan dan kebingungan Dinda mendengar fakta barusan. Gadis itu menyeka sisa-sisa air matanya. Terlihat jelas dia macam orang linglung. Kalau dipikir-pikir, kasihan sekali Dinda ini. Dia masih dua belas tahun, tapi harus menerima drama pelik yang terjadi di keluarganya. Belum lagi sikap otoriter Tasya yang setengah memaksa Dinda untuk jadi seperti apa yang Tasya mau. "Kenapa Kakak nggak bilang sejak dulu?" Akhirnya Dinda bersuara. "Kakak baru tahu kalau kamu anak dokter Tasya kan baru aja ini, Din. Jadi sebelumnya mana Kakak tahu kalau kamu ternyata anak dokter Tasya, mantan pacar suami Kakak." Senyum Karina merekah, mencoba mencairkan canggung yang kini menyergap Dinda. "Kakak nggak marah? Nggak kesel sama Dinda?"Mata Karina membulat, sedetik kemudian tawa Karina pecah. Ia
“Eh ... kamu, Yud? Sini masuk!”Yudha tersenyum, melangkah masuk ke dalam ruangan obsgyn nge-hits di I*stagram itu. Dia nampak tengah sibuk menatap layar ponsel. Benda yang langsung dia letakkan ketika Yudha muncul dari balik pintu.“Gimana? Karina baik-baik saja, bukan?” tanya Anwar lebih dulu sebelum Yudha buka suara.“Itu yang hendak aku tanyakan kepadamu. Istri dan calon anakku benar baik-baik saja, kan, War?” Yudha nampak serius menatap sejawatnya itu. Tentu dia sangat mengkhawatiran dua orang yang begitu dia cintai di dalam hidup Yudha ini.Anwar tersenyum, “Apakah kamu berpikir bahwa aku membohongimu, Yud?”Kontan Yudha menggeleng. Dia tidak bermaksud untuk meragukan Anwar, atau menuduhnya berbohong. Bukan itu maksud Yudha! Ia hanya ingin memastikan bahwa apapun yang tadi terjadi pada Karina, itu tidak akan berdampak apa-apa baik bagi Karina maupun kandungannya.“Bukan begitu, aku