Dua minggu berlalu. Kondisi Ardan belum ada perkembangan. Ardiansyah begitu terpuruk. Dia sangat kehilangan. Istri, anak, dan menantu. Lalu putra sulungnya koma, entah hingga kapan dia akan sadar. Atau bahkan, mungkinkah dia bertahan? Ardiansyah seperti tidak bisa berpikir dan bekerja.
Mau tidak mau, Briani dan Bellinda yang kalang kabut mengurus semua. Bersama suami mereka, dan para pimpinan lainnya segera mereka mengadakan pertemuan darurat, mengatur ini dan itu agar perusahaan tidak timpang, masih bisa berjalan dengan kekosongan pemimpin utama.
Briani beberapa kali menghubungi Arnon, minta adiknya itu ikut dalam pertemuan dan membicarakan apa yang perlu. Tapi Arnon terus mengelak. Briani cukup kesal sebenarnya pada Arnon, tetapi dia juga tidak berhasil membujuk Arnon.
"Aku sudah tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan Hendrawan. Kalian sudah mampu membereskan semuanya. Aku tidak harus ikut campur. Aku tetap adik kalian." Arnon beralasan.
"Aku t
Pintu ruangan terbuka. Perawat berdiri di sana, lalu berjalan mendekat pada Ardiansyah. Dia mengajak pria yang tampak sangat cemas itu bergegas masuk ke dalam ruangan. Arnon berdiri, mengikuti mereka dengan pandangan mata. Dia tahu, kondisi Ardan pasti gawat. Arnon membalikkan badan, mencoba melihat ke dalam ruangan. Tidak begitu jelas, karena ada tirai dari kain sedikit transparan yang menghalangi. Dada Arnon berdegup kencang. Seperti yang Ardiansyah lakukan, Arnon pun mengucapkan doa. Dia memohon Tuhan menolong. "Tuhan, kumohon ... tolong Ardan ..." Arnon tidak tahu, yang ada di hatinya bukan lagi benci dan marah pada kakak tirinya itu. Dia sangat takut jika benar Ardan pergi, papanya pasti akan hancur. Belum sampai dua menit, terdengar tangisan keras dari Ardiansyah. Dia memanggil nama Ardan berulang kali. Arnon mengepalkan tangannya. Dia tahu, Ardan telah pergi. Tangis pilu Ardiansyah meratapi putra sulungnya. Tak bisa dibendung, titik air mata menggenang
Arfandi dan Arliana duduk di meja di sebelah Arnon. "Aku suka resto ini, keren." Arfandi memandang ke seluruh ruangan. Resto belum begitu ramai. Waktu makan malam masih kurang lebih satu jam lagi, tapi keluarga Hendrawan sudah berdatangan. Arnon memperhatikan Arfandi. Dia mirip Ardiansyah. Apalagi kalau tersenyum. Memandangnya, rasa iba muncul dalam hati Arnon. Arfandi menjadi yatim piatu. Arliana yang merawatnya. Dengan kondisi Arliana yang juga agak lambat, tentu perlu bantuan saudaranya yang lain mengurus Arfandi. Arnon mulai menyadari, dia tidak mungkin menghindar lagi. "Fea mana?" tanya Bellinda yang tidak juga melihat istri Arnon hadir. Arnon menoleh pada Bellinda. "Dia di dapur. Dia suka mencium aroma masakan yang baru matang. Jadi dia mengekor chef utama resto ini." "Bukan dia ada isi, Ar? Kadang wanita hamil suka aneh-aneh," ujar Bellinda. Arnon menatap Beliinda, mengangkat alisnya. Apa iya? Fea mengandung? Dia t
"Stefi, kamu yakin?" Fea memandang Stefi yang berdiri di depannya sambil memegang dua gaun berwarna ungu muda dan putih tulang. "Sangat yakin, Nyonya Arnon Hendrawan. Cepat berdiri, sebelum aku keluar tanduk." Stefi berkata dengan tegas. Fea yang duduk di kursi di butik Stefi berdiri juga. Dia memandang Stefi dengan ragu-ragu, tapi menerima juga dua gaun yang Stefi sodorkan. Sehari sebelumnya, Stefi menghubungi Fea meminta agar Fea datang ke butik karena Stefi perlu bantuan Fea. Dan sungguh mengejutkan, Fea didapuk akan menjadi model untuk tema baru dari fashion yang akan dikeluarkan butik. "Model gaun ibu hamil?" Fea menoleh pada Stefi, memastikan dia tidak salah dengan yang Stefi minta. "Kenapa? Ibu hamil ga boleh pakai gaun cantik? Pakai daster aja cukup?" Stefi sedikit melotot pada Fea. "Baiklah. Demi Ibu Stefi. Aku coba, kalau ga bagus aku mengundurkan diri." Fea berbalik, masuk ke kamar pas. Stefi tertaw
Akhirnya Arnon memilih menemui Ardiansyah. Dia ingin tahu bagaimana keadaan papanya. Laki-laki kuat itu, tidak sekuat dulu. Hatinya mulai rapuh. Dia tampak sangat galau dan sedih. Tetapi dia tidak akan menyesali keputusannya. Bercerai, titik. Bicara berdua dengan Ardiansyah, Arnon mulai mencoba memahami pria itu dari sisi yang selama ini Arnon tidak ingin tahu. Sehebat apapun seseorang, ada bagian dirinya yang lemah. Itu yang Arnon lihat. Ardiansyah mengakui, sangat sulit berdiri di antara tiga wanita. Bertahun-tahun dia mencoba melakukan yang terbaik untuk mereka, dan anak-anak mereka masing-masing. Tetap ada yang timpang. Ada rahasia, ada yang ditutupi, disisihkan, tidak ingin disentuh, agar tidak semakin besar masalah dan kemelut merajai keluarga. "Mama kamu yang paling cinta padaku, Arnon. Dia memang datang yang terakhir di hidupku, tapi dia cinta padaku, sabar menunggu aku," Ardiansyah berkisah. Awalnya memang hubungan Ardiansyah dan Arnell
Paramedis dengan sigap memberi pertolongan pada Fea. Mereka membawa Fea masuk keruang bersalin. Di tengah rasa sakit yang terus datang, kontraksi kandungannya makin kuat dan sering, Fea masih terus menanyakan Arnon. "Soraya, di mana Arnon?" Sambil meringis, kedua tangan meremas kuat bajunya sendiri, Fea menatap Soraya. "Iya, aku akan pastikan dia sekarang datang," ucap Soraya dengan sedikit cemas. "Dia janji akan ada di sampingku, menyambut bayi kami sama-sama. Uuuffhh ..." Fea memegang perutnya yang lagi terasa melilit. "Iya, oke." Soraya bergegas keluar ruangan. Dia mencoba menghubungi Arnon. Sayang, tidak ada balasan. Bahkan ponsel Arnon tidak aktif. Aneh. Soraya mendekati Lika. Wanita itu berdiri memandang ke dalam ruangan Fea, dengan tatapan gelisah. "Bu, Pak Arnon ga bisa aku hubungi. Apa ada nomor lain?" tanya Soraya. "Ga ada, Mbak Soraya. Mungkin hubungi Pak Lukman saja." Lika mengusulkan. Sangat mungkin Lukman bersama
Arnon seperti orang kesetanan, berlari dengan secepatnya menuju ke ruang bersalin tempat Fea akan melahirkan. Dalam pikirannya dia melihat Fea menangis, kesakitan, dan marah. Arnon sudah berjanji akan di sisi Fea membawa kembar mereka melihat dunia pertama kali. Sial! Justru ponsel Arnon mati, dia tidak bisa dihubungi. Sampai di depan ruang bersalin. Arnon berhenti, terengah-engah. Ada Soraya sedang berdiri dengan gelisah di depan ruangan itu. "Soy ... Fea ..." Arnon mencoba menarik nafas, menetralkan detak jantungnya. Soraya menoleh. "Pak Arnon, Pak, masuk. Ibu Fea ..." Soraya tersenyum lebar di tengah rasa cemas melihat Arnon muncul. Soraya dengan cepat menuju ke pintu ruangan, dia membukanya dan melongok ke dalam. "Pak Arnon!" Terdemgar Soraya berseru. "Arnon!" Fea yang ada di dalam menoleh cepat ke arah pintu. Perawat dan dokter juga sama, mengarahkan pandangan karena teriakan Soraya. Arnon tepat di belakang Soraya. D
Arnon tidak percaya mendengar yang Ardiansyah katakan. Dia menatap lekat-lekat papanya. Dia tidak salah dengar yang diucapkan pria berusia lebih dari enam puluh tahun itu, kan? "Papa ..." Arnon memaksa mata sipitnya melebar. Dia melirik ke arah mamanya. Anehnya, Arnella tidak tampak kaget. Dia tetap tenang, tersenyum tipis dan melanjutkan menikmati menu makan siangnya. "Kenapa?" Ardiansyah juga begitu tenang memandang Arnon. Fea yang ada di sisi Arnon juga tampak terkejut. Tapi reaksinya tidak setajam Arnon. Wajah Arnon memerah, dia mulai kesal dan marah. Ini yang dia pernah kuatirkan. Arnon bahkan sempat mengutarakan jika satu kali Ardiansyah akan butuh mainan baru, bagaimana dengan mamanya? Saat Ardiansyah mengatakan Arnella, istri ketiganya, adalah cinta sejatinya, jujur saja Arnon tidak begitu yakin. Terbukti, di depan Arnon, Fea, dan Arnella, Ardiansyah memberitahu dengan jelas, dia akan menikah lagi. "Aku tidak bisa per
Waktu masih berjalan, alam masih menyiratkan kisahnya akan berlanjut. Senyum dan tawa masih terus bergantian datang menghiasi kehdupan anak manusia. Siap tidak siap, suka tidak suka, jalanilah ... * * "Mama!!" Teriakan itu diiringi tangis meledak. Fea seketika melompat karena terkejut. Gelas yang dia pegang hampir saja jatuh. "Astaga! ada apa lagi, sih?" Sahutnya sedikit kesal. Fea meletakkan gelasnya, lalu bergegas menuju ke ruang tengah. Di sana, dua bocah kecil saling berhadapan. Satu mengangkat tinggi mobil-mobilan di tangannya, yang satu lagi menarik tangan saudaranya mencoba merebut mobil-mobilan itu. "Aduh, kenapa lagi?!" Fea sedikit sengit menghampiri dua bocah ganteng dengan muka sama itu. Mereka menghentikan gerakan saling berebut, menoleh pada Fea. "Aku pinjam ga boleh! Arfen sudah pakai lama, aku mau gantian!" Bocah dengan kaos biru memandang Fea, bicaranya dengan emosi hampir me
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b