Arnon tidak percaya mendengar yang Ardiansyah katakan. Dia menatap lekat-lekat papanya. Dia tidak salah dengar yang diucapkan pria berusia lebih dari enam puluh tahun itu, kan?
"Papa ..." Arnon memaksa mata sipitnya melebar. Dia melirik ke arah mamanya. Anehnya, Arnella tidak tampak kaget. Dia tetap tenang, tersenyum tipis dan melanjutkan menikmati menu makan siangnya.
"Kenapa?" Ardiansyah juga begitu tenang memandang Arnon.
Fea yang ada di sisi Arnon juga tampak terkejut. Tapi reaksinya tidak setajam Arnon. Wajah Arnon memerah, dia mulai kesal dan marah. Ini yang dia pernah kuatirkan. Arnon bahkan sempat mengutarakan jika satu kali Ardiansyah akan butuh mainan baru, bagaimana dengan mamanya?
Saat Ardiansyah mengatakan Arnella, istri ketiganya, adalah cinta sejatinya, jujur saja Arnon tidak begitu yakin. Terbukti, di depan Arnon, Fea, dan Arnella, Ardiansyah memberitahu dengan jelas, dia akan menikah lagi.
"Aku tidak bisa per
Waktu masih berjalan, alam masih menyiratkan kisahnya akan berlanjut. Senyum dan tawa masih terus bergantian datang menghiasi kehdupan anak manusia. Siap tidak siap, suka tidak suka, jalanilah ... * * "Mama!!" Teriakan itu diiringi tangis meledak. Fea seketika melompat karena terkejut. Gelas yang dia pegang hampir saja jatuh. "Astaga! ada apa lagi, sih?" Sahutnya sedikit kesal. Fea meletakkan gelasnya, lalu bergegas menuju ke ruang tengah. Di sana, dua bocah kecil saling berhadapan. Satu mengangkat tinggi mobil-mobilan di tangannya, yang satu lagi menarik tangan saudaranya mencoba merebut mobil-mobilan itu. "Aduh, kenapa lagi?!" Fea sedikit sengit menghampiri dua bocah ganteng dengan muka sama itu. Mereka menghentikan gerakan saling berebut, menoleh pada Fea. "Aku pinjam ga boleh! Arfen sudah pakai lama, aku mau gantian!" Bocah dengan kaos biru memandang Fea, bicaranya dengan emosi hampir me
"Oke, aku akan siapkan. Kita besok perlu bertemu lagi. Setelah itu aku atur waktuku untuk pergi melihat langsung ke lokasi. Menurutmu kapan waktu yang paling tepat, Riko?" Arnon bicara serius dengan Riko. Tidak bisa menunda urusan meskipun kepalany sangat berat, rasanya ada benda besar yang memukul-mukul hingga berdenyut begitu kuat. "Kita tunggu dalam dua atau tiga hari, Arnon. Mudah-mudahan ada perkembangan baik. Jika memang belum ada kemajuan signifikan, okelah, kamu berangkat. Kamu fokus dengan kondisimu saja. Aku kuatir tekanan kamu naik." Suara Riko terdengar di telinga Arnon. "Baiklah, aku akan segera tidur setelah ini. Thank you, Riko. Tapi jangan ragu mengabari aku, jika ada sesuatu." Arnon memutus panggilan. Dia meletakkan ponsel di sebelah bantal. Hampir dia merebahkan tubuhnya, Fea masuk lagi ke kamar. "Yuk, Papa makan, biar cepat sehat lagi." Fea duduk di sebelah Arnon. "Hmm, harum. Makin pintar saja istriku. Bisa kutebak, ini pasti
Arnon merasa sentuhan di pipinya. Dia membuka mata. Fea ada tepat di sisinya, memeluknya, sementara dia masih terlelap. Tangan Fea tidak sengaja menyentuh pipi Arnon karena pindah posisi tidur. Perlahan Arnon memindahkan tangan Fea, menggenggamnya lembut."Terima kasih, Sayangku. Semalam kamu benar-benar manis. Ah, lama kita tidak bisa menikmati waktu begini." Arnon tersenyum. "Kamu ternyata merindukan aku juga."Arnon melihat ke jam dinding. Jam lima lewat. Sebentar lagi si kembar akan bangun. Arnon tiba-tiba ada ide. Perlahan dia menggeser badan, melepaskan Fea dari pelukannya. Arnon merasa kondisinya sudah membaik, tidak lagi merasa pusing di kepala, tidak juga hangat suhu tubuhnya."Kembar, yuk, kita buat kejutan buat mama." Dengan semangat Arnon segera turun dari ranjang, lalu menuju ke kamar di kembar yang ada di sisi lain di lantai yang sama.Arnon membuka pintu kamar di kembar. Keduanya masih lelap, di atas tempat tidur masing-masing. Arnon
Mobil Arnon berhenti di depan resto besar dan mewah itu. Dia memarkirnya, lalu segera masuk menuju ke ruangannya. Kemarin dia pulang cepat-cepat karena sedikit limbung. Sebelum pertemuan hari ini dia harus mengecek semua yang diperlukan. Besar harapan Arnon, masalah yang sedang melanda, tidak akan berlarut-larut, tapi sebaliknya bisa menemukan titik terang secepatnya. Arnon duduk di mejanya, hampir menyalakan komputer, matanya tertuju ke pigura di sebelah kanannya. Sejak punya si kembar, Arnon menambah satu pigura lagi yang dia letakkan di meja itu, bersebelahan dengan pigura gambar Fea yang tetap berada di tempatnya. Di sebelah gambar Fea, Arnon meletakkan foto keluarga. Dia dan Fea duduk sambil tersenyum lebar, masing-masing memangku satu bayi mereka. Arnon tersenyum, mendesah, tangannya mengusap foto itu. "Doakan aku. Aku sedang merasa lemah. Aku sungguh berharap semua akan segera baik lagi. Really love you all." Mata Arnon masih menatap pada foto itu, ber
Stefi terlihat resah saat bicara di telpon dengan Irvan. Stefi tahu Irvan pasti sangat terkejut karena kabar yang Stefi sampaikan. "Rumah sakit? Muti sakit?" Irvan jelas bicara dengan nada cemas. Suara ceria pria itu lenyap. Stefi menarik nafas dalam. "Bukan, Ir. Muti baik-baik. Ibu ..." "Ibu? Ibu kenapa?" Suara Irvan makin naik. Rasa cemas makin bertambah mendengar kabar ini. Dengan sedih Stefi mengatakan yang terjadi. Irvan pun memutar haluan, bukan ke butik tapi langsung menuju ke rumah sakit. Beberapa menit berikut dokter keluar ruangan dan menyampaikan kondisi Kartika. Tekanan darahnya terlampau rendah, hingga kehilangan kesadaran. Dokter sudah melakukan penanganan dan masih menunggu perkembangan dalam beberapa jam ke depan. Stefi benar-benar sedih. Matanya beberapa kali basah, meskipun dia berusaha menahan diri agar tidak menangis. "Stef, sebentar lagi anak-anak pulang sekolah. Aku harus menjemput mereka. Lalu
"Bu Tika sadar. Dia ingin bertemu Muti. Tetapi dia hampir tidak bisa bicara dan bergerak." Fea menjawab dengan rasa gundah. "Oke, kita pergi." Arnon menyahut cepat. Mereka segera membawa anak-anak ikut ke rumah sakit. Dalam perjalanan Fea memberi pengertian pada Mutiara dan si kembar jika mereka harus tetap tenang saat di rumah sakit. Tidak bisa bermain sepertu saat di rumah. Perjalanan yang hanya sekian menit itu terasa sangat lama, apalagi jalanan memang cukup padat. Arnon dan Fea sangat tegang. Dari kabar yang mereka terima dari Irvan, kesadaran Kartika yang kembali bukan berarti pertanda baik. Mereka hanya bisa berharap dan berdoa agar wanita baik hati itu mendapat berkah ilahi. Tiba di rumah sakit, Arnon dan Fea menuntun ketiga bocah itu menuju ke IGD tempat Kartika mendapat perawatan. Di depan ruangan, tampak Stefi duduk sendirian. Stefi berdiri dengan tatapan sedih ketika melihat putrinya datang dituntun Fea. "Ma!" panggil Mutiara
Arnon terus mendengar penjelasan Riko mengenai perkembangan masalah yang terjadi di resto luar kota yang masih belum tuntas. Ternyata tidak bisa teratasi oleh menajer yang dipercaya di sana. Mau tidak mau Arnon harus berangkat ke sana. "Oke, Riko. Aku tidak punya pilihan. Besok aku pergi. Jam tiga sore aku kita ketemu, menyiapkan apa yang perlu." Arnon menutup telpon. Fea yang ada di sisi Arnon mendengarkan dan mulai mengambil kesimpulan. "Kamu akan pergi?" "Ya, kuharap bisa dalam tiga hari aku urus semua. Walaupun aku ga yakin." Arnon jelas jadi tegang dan gelisah. "Jangan pergi sendiri, Ar. Bawa teman. Dengan begitu kamu ada teman bicara di jalan. Please ..." Fea mengusulkan ini karena Arnon baru sehat. Fea sedikit kuatir situasi ini akan membuat tekanan Arnon akan kembali naik. "Iya, Sayang, aku akan bawa satu pegaai menemani." Arnon menoleh pada Fea, memastikan dia mendengar permintaan istrinya. Jalanan yang ramai membu
Matias memperhatikan Arnon yang tidur dengan pulas. Sebenarnya kasihan juga kalau diganggu. Tapi mau bagaimana lagi. Pria itu melangkah ke ranjang Arnon dan menepuk pundaknya beberapa kali. "Pak Arnon, Pak ..." Matias bicara pelan, takut membuat Arnon terkejut. Arnon tidak bergerak. Lagi, tangan Matias menepuk pundak Arnon lebih keras. "Pak, Pak Arnon, maaf, Pak ..." Matias sedikit mengeraskan suaranya. Arnon menggeliat, dia memiringkan badan lalu membuka mata. Matias tepat di depannya memandang dengan wajah tegang. Arnon bergegas duduk. "Hei, kenapa?" "Dari Pak Manajer." Matias menyodorkan ponsel yang dia genggam. Masih dengan mata berat Arnon menerima telpon itu. Mendengar kabar dari resto Arnon langsung melebarkan mata. Kantuknya dengan cepat menghilang. "Oke, aku akan sampai setengah jam lagi." Arnon menutup telpon. Wajah Arnon berubah tegang juga. "Berangkat, Pak?" Matias berdiri. "Ya, tidak ada waktu
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b