Waktu masih berjalan, alam masih menyiratkan kisahnya akan berlanjut. Senyum dan tawa masih terus bergantian datang menghiasi kehdupan anak manusia. Siap tidak siap, suka tidak suka, jalanilah ...
*
*
"Mama!!" Teriakan itu diiringi tangis meledak.
Fea seketika melompat karena terkejut. Gelas yang dia pegang hampir saja jatuh.
"Astaga! ada apa lagi, sih?" Sahutnya sedikit kesal. Fea meletakkan gelasnya, lalu bergegas menuju ke ruang tengah.
Di sana, dua bocah kecil saling berhadapan. Satu mengangkat tinggi mobil-mobilan di tangannya, yang satu lagi menarik tangan saudaranya mencoba merebut mobil-mobilan itu.
"Aduh, kenapa lagi?!" Fea sedikit sengit menghampiri dua bocah ganteng dengan muka sama itu.
Mereka menghentikan gerakan saling berebut, menoleh pada Fea.
"Aku pinjam ga boleh! Arfen sudah pakai lama, aku mau gantian!" Bocah dengan kaos biru memandang Fea, bicaranya dengan emosi hampir me
"Oke, aku akan siapkan. Kita besok perlu bertemu lagi. Setelah itu aku atur waktuku untuk pergi melihat langsung ke lokasi. Menurutmu kapan waktu yang paling tepat, Riko?" Arnon bicara serius dengan Riko. Tidak bisa menunda urusan meskipun kepalany sangat berat, rasanya ada benda besar yang memukul-mukul hingga berdenyut begitu kuat. "Kita tunggu dalam dua atau tiga hari, Arnon. Mudah-mudahan ada perkembangan baik. Jika memang belum ada kemajuan signifikan, okelah, kamu berangkat. Kamu fokus dengan kondisimu saja. Aku kuatir tekanan kamu naik." Suara Riko terdengar di telinga Arnon. "Baiklah, aku akan segera tidur setelah ini. Thank you, Riko. Tapi jangan ragu mengabari aku, jika ada sesuatu." Arnon memutus panggilan. Dia meletakkan ponsel di sebelah bantal. Hampir dia merebahkan tubuhnya, Fea masuk lagi ke kamar. "Yuk, Papa makan, biar cepat sehat lagi." Fea duduk di sebelah Arnon. "Hmm, harum. Makin pintar saja istriku. Bisa kutebak, ini pasti
Arnon merasa sentuhan di pipinya. Dia membuka mata. Fea ada tepat di sisinya, memeluknya, sementara dia masih terlelap. Tangan Fea tidak sengaja menyentuh pipi Arnon karena pindah posisi tidur. Perlahan Arnon memindahkan tangan Fea, menggenggamnya lembut."Terima kasih, Sayangku. Semalam kamu benar-benar manis. Ah, lama kita tidak bisa menikmati waktu begini." Arnon tersenyum. "Kamu ternyata merindukan aku juga."Arnon melihat ke jam dinding. Jam lima lewat. Sebentar lagi si kembar akan bangun. Arnon tiba-tiba ada ide. Perlahan dia menggeser badan, melepaskan Fea dari pelukannya. Arnon merasa kondisinya sudah membaik, tidak lagi merasa pusing di kepala, tidak juga hangat suhu tubuhnya."Kembar, yuk, kita buat kejutan buat mama." Dengan semangat Arnon segera turun dari ranjang, lalu menuju ke kamar di kembar yang ada di sisi lain di lantai yang sama.Arnon membuka pintu kamar di kembar. Keduanya masih lelap, di atas tempat tidur masing-masing. Arnon
Mobil Arnon berhenti di depan resto besar dan mewah itu. Dia memarkirnya, lalu segera masuk menuju ke ruangannya. Kemarin dia pulang cepat-cepat karena sedikit limbung. Sebelum pertemuan hari ini dia harus mengecek semua yang diperlukan. Besar harapan Arnon, masalah yang sedang melanda, tidak akan berlarut-larut, tapi sebaliknya bisa menemukan titik terang secepatnya. Arnon duduk di mejanya, hampir menyalakan komputer, matanya tertuju ke pigura di sebelah kanannya. Sejak punya si kembar, Arnon menambah satu pigura lagi yang dia letakkan di meja itu, bersebelahan dengan pigura gambar Fea yang tetap berada di tempatnya. Di sebelah gambar Fea, Arnon meletakkan foto keluarga. Dia dan Fea duduk sambil tersenyum lebar, masing-masing memangku satu bayi mereka. Arnon tersenyum, mendesah, tangannya mengusap foto itu. "Doakan aku. Aku sedang merasa lemah. Aku sungguh berharap semua akan segera baik lagi. Really love you all." Mata Arnon masih menatap pada foto itu, ber
Stefi terlihat resah saat bicara di telpon dengan Irvan. Stefi tahu Irvan pasti sangat terkejut karena kabar yang Stefi sampaikan. "Rumah sakit? Muti sakit?" Irvan jelas bicara dengan nada cemas. Suara ceria pria itu lenyap. Stefi menarik nafas dalam. "Bukan, Ir. Muti baik-baik. Ibu ..." "Ibu? Ibu kenapa?" Suara Irvan makin naik. Rasa cemas makin bertambah mendengar kabar ini. Dengan sedih Stefi mengatakan yang terjadi. Irvan pun memutar haluan, bukan ke butik tapi langsung menuju ke rumah sakit. Beberapa menit berikut dokter keluar ruangan dan menyampaikan kondisi Kartika. Tekanan darahnya terlampau rendah, hingga kehilangan kesadaran. Dokter sudah melakukan penanganan dan masih menunggu perkembangan dalam beberapa jam ke depan. Stefi benar-benar sedih. Matanya beberapa kali basah, meskipun dia berusaha menahan diri agar tidak menangis. "Stef, sebentar lagi anak-anak pulang sekolah. Aku harus menjemput mereka. Lalu
"Bu Tika sadar. Dia ingin bertemu Muti. Tetapi dia hampir tidak bisa bicara dan bergerak." Fea menjawab dengan rasa gundah. "Oke, kita pergi." Arnon menyahut cepat. Mereka segera membawa anak-anak ikut ke rumah sakit. Dalam perjalanan Fea memberi pengertian pada Mutiara dan si kembar jika mereka harus tetap tenang saat di rumah sakit. Tidak bisa bermain sepertu saat di rumah. Perjalanan yang hanya sekian menit itu terasa sangat lama, apalagi jalanan memang cukup padat. Arnon dan Fea sangat tegang. Dari kabar yang mereka terima dari Irvan, kesadaran Kartika yang kembali bukan berarti pertanda baik. Mereka hanya bisa berharap dan berdoa agar wanita baik hati itu mendapat berkah ilahi. Tiba di rumah sakit, Arnon dan Fea menuntun ketiga bocah itu menuju ke IGD tempat Kartika mendapat perawatan. Di depan ruangan, tampak Stefi duduk sendirian. Stefi berdiri dengan tatapan sedih ketika melihat putrinya datang dituntun Fea. "Ma!" panggil Mutiara
Arnon terus mendengar penjelasan Riko mengenai perkembangan masalah yang terjadi di resto luar kota yang masih belum tuntas. Ternyata tidak bisa teratasi oleh menajer yang dipercaya di sana. Mau tidak mau Arnon harus berangkat ke sana. "Oke, Riko. Aku tidak punya pilihan. Besok aku pergi. Jam tiga sore aku kita ketemu, menyiapkan apa yang perlu." Arnon menutup telpon. Fea yang ada di sisi Arnon mendengarkan dan mulai mengambil kesimpulan. "Kamu akan pergi?" "Ya, kuharap bisa dalam tiga hari aku urus semua. Walaupun aku ga yakin." Arnon jelas jadi tegang dan gelisah. "Jangan pergi sendiri, Ar. Bawa teman. Dengan begitu kamu ada teman bicara di jalan. Please ..." Fea mengusulkan ini karena Arnon baru sehat. Fea sedikit kuatir situasi ini akan membuat tekanan Arnon akan kembali naik. "Iya, Sayang, aku akan bawa satu pegaai menemani." Arnon menoleh pada Fea, memastikan dia mendengar permintaan istrinya. Jalanan yang ramai membu
Matias memperhatikan Arnon yang tidur dengan pulas. Sebenarnya kasihan juga kalau diganggu. Tapi mau bagaimana lagi. Pria itu melangkah ke ranjang Arnon dan menepuk pundaknya beberapa kali. "Pak Arnon, Pak ..." Matias bicara pelan, takut membuat Arnon terkejut. Arnon tidak bergerak. Lagi, tangan Matias menepuk pundak Arnon lebih keras. "Pak, Pak Arnon, maaf, Pak ..." Matias sedikit mengeraskan suaranya. Arnon menggeliat, dia memiringkan badan lalu membuka mata. Matias tepat di depannya memandang dengan wajah tegang. Arnon bergegas duduk. "Hei, kenapa?" "Dari Pak Manajer." Matias menyodorkan ponsel yang dia genggam. Masih dengan mata berat Arnon menerima telpon itu. Mendengar kabar dari resto Arnon langsung melebarkan mata. Kantuknya dengan cepat menghilang. "Oke, aku akan sampai setengah jam lagi." Arnon menutup telpon. Wajah Arnon berubah tegang juga. "Berangkat, Pak?" Matias berdiri. "Ya, tidak ada waktu
Sesuai rencana, Fea membawa si kembar pulang ke rumah besar selesai sekolah hari itu. Arfen dan Fernan langsung menuju ke taman samping, ke playgroung yang ada di sana. Seperti tidak ada lelah, mereka berlarian dan naik turun di perusutan. Pindah ke ayunan, lalu main jungkat-jungkit. Suara teriakan mereka membahana memenuhi seluruh area."Aku seperti melihat Arnon kecil. Dia sangat aktif, tidak kenal lelah. Sampai kemudian sakit asma mendera. Jika ingat saat-saat itu, masa-masa yang sulit harus Arnon hadapi." Arnella memandang pada kedua cucunya yang masih bermain dengan gembira. Dia dan Fea duduk di teras samping sambil memperhatikan keduanya."Tidak mungkin aku lupa, Ma. Arnon sangat menderita. Dia ingin berbuat banyak tapi tubuhnya lemah. Bersyukur akhirnya dia bisa sehat." Fea juga kembali terkenang bagaimana di masa kanak-kanak, dia terus di sisi Arnon, mendampingi waktu Arnon sakit."Dan sayangnya di situasi itu, kamu dan nenek kamu yang lebih sering bersa