Makin ke pinggir kota, jalanan makin sepi. Arnon makin mempercepat laju kendaraan. Fea mulai panik. Arnon benar-benar sedang kesal. Dan mengebut salah satu pelampiasan.
"Ar, pelan-pelan! Ini bahaya!" Fea mengingatkan. Apalagi jalanan sedikit berkelok-kelok. Lampu jalan juga tidak cukup terang sepanjang perjalanan yang mereka lalui.
Arnon tidak menggubris, seolah dia tidak mendengar yang Fea katakan. Dia terus saja fokus dengan setir, melaju begitu cepat, seakan-akan dia ingin segera menjauh dari semua yang ada di sekeliling dirinya.
"Arnon ... Please ..." Fea mulai merasa takut dan sedikit gemetar.
Arnon masih tak peduli. Fea memilih menyandarkan punggung dan menutup matanya. Lebih baik dia berdoa dan tidak melihat jalanan. Apapun yang terjadi dia pasrah saja! Entah berapa lama, tapi yang Fea rasakan begitu panjang perjalanan, akhirnya Fea merasa mobil mulai melambat.
Pelan-pelan, Fea membuka mata dan melihat ke sekelil
Memandang rumah besar itu, campur aduk yang Arnon rasakan. Rumah tempat dia lahir, tumbuh, dan besar. Terlalu banyak kenangan di sana. Sebagian manis, sebagian pahit, bahkan sangat pahit. Dia kembali kali ini pun karena situasi yang tidak menyenangkan. Seandainya bisa dia memilih tidak akan menginjakkan kaki di rumah besar itu lagi. "Tuan Muda?!" Bakri yang sedang merapikan taman tidak jauh dari tempat parkir terkejut saat melihat Arnon datang bersama Fea. "Apa kabar, Pak?" tanya Arnon. Suaranya datar, tidak ada ekspresi. "Saya baik, Tuan Muda. Wah, senang sekali melihat Tuan Muda lagi." Senyum pria dengan rambut mulai putih di sana sini itu melebar. "Ayo, Sayang." Arnon meraih tangan Fea dan melangkah, mengajak istrinya masuk ke dalam rumah. Fea mengikuti Arnon, tapi sempat menoleh kepada Bakri. "Wa ... ti ..." Fea menyebut nama itu sambil tangan kanan dia letakkan di dekat telinga, memberi kode agar Bakri menghubungi Wati. Bakri mang
Arnon memandang Arnella dengan rasa iba. Hatinya terenyuh bercampur sedih. Arnon masih belum bisa berkata-kata melihat kenyataan Arnella harus mengalami stroke. Arnella duduk di ranjang, Fea ada di sisinya sedang menyuapi wanita itu. Sesekali dia tersenyum dengan bibir yang tidak lagi normal dan cantik. Fea begitu sabar berada di sisinya. Jika makanan tidak masuk dengan benar, sedikit menetes di ujung bibirnya, Fea cepat-cepat membersihkan mulut Arnella. Arnon yang sedari tadi duduk di dekat jendela, memilih keluar. Ada rasa tidak tega juga melihat pemandangan itu. Arnon menuju ke pantry dekat dapur. Di sana ada Wati dan Samir, mereka sedang menyiapkan hidangan buat makan siang. "Tuan Muda." Samir menyapa saat melihat Arnon masuk. "Beri aku minuman dingin, seperti biasa." Arnon menarik kursi di depannya, duduk di sana. "Baik, Tuan Muda." Dengan cepat Samir melakukan perintah Arnon. Setelah minuman ada di depannya, Arnon segera meneguknya hingg
Ardiansyah menatap wajah Arnella. Ada raut sedih di sana, meskipun juga ada binar gembira yang sebelumnya sama sekali tidak terlihat. Arnella memandang pada Arnon yang berdiri melihat ke arahnya. "Aku, aku ..." Arnella berusaha menata mulutnya agar bisa membuka dengan benar dan dia mampu mengungkapkan semua yang ada di hatinya. Arnon melangkah mendekat. Dia berdiri sedikit di belakang Ardiansyah yang masih berjongkok di depan kursi roda. "Aku mohon, Ar ... Kamu jangan ... pergi ... Jang ann ... berteng kar, de ngan ... papa ... mu ..." Tangan Arnella terulur pada Arnon. Dua langkah Arnon maju, lebih ke sisi kiri kursi roda, menerima tangan Arnella. Arnon memperhatikan raut wajah ibunya. Arnon tahu wajah Arnella penuh kepedihan dan penyesalan. Arnon tidak paham secara penuh yang ada di kepala Arnella, karena Arnella tak bisa mengatakan banyak hal. Tapi Arnon tahu, Arnella ingin keluarga ini baik-baik saja. "Mama in
Sejak hari Arnella minta maaf padanya, semua marah dan benci di hati Arnon menguap. Dia melihat Arnella begitu berbeda. Apalagi dia sempat bicara dengan Wati, Bakri, Samir, dan beberapa pelayan lainnya. Arnon tahu seperti apa Arnella dari sisi yang selama ini dia tidak peduli. Mamanya wanita yang kesepian dan malang. Sekalipun Tuan Besar memang cinta padanya, tetap ada satu ruang di dalam hatinya yang belum terisi. Itu yang Arnon tangkap. Arnon ingin ruang itu akan dia isi dengan kenangan manis, agar hatinya sendiri juga penuh dengan cinta yang harus dia miliki dari ibu yang melahirkannya. Setiap hari Fea terus datang menemani Arnella. Arnon dengan lega hati mengantar dan menjemputnya sebelum dan sesudah dia bekerja. Sebenarnya Fea ingin membawa mobil sendiri, tapi Arnon tidak mau. Dia ingin juga mengambil waktu bersama Arnella. Beberapa hari berlalu, Arnon lebih ceria. Kasih sayang yang dia harapkan sejak dia bocah mulai memenuhi hatinya. Dia makin bersemangat menja
"Mama ... Mama ..." Fea mengucapkan kata itu berkali-kali. Dia memandang wajahnya di cermin, sambil tersenyum kecil. Masih tak bisa dia percaya rasanya, Arnella meminta Fea memanggilnya mama. Seumur dia mengenal Arnella, panggilan melekat yang Fea selalu sebut adalah Nyonya Arnella. Bahkan setelah dia menikah dengan Arnon pun, tidak pernah dia bayangkan jika Arnella mau mendapat panggilan mama darinya. Arnon saja enggan menyebut Arnella mama. "Sayang ..." Arnon memanggil Fea. Dia baru keluar dari kamar mandi. Fea memandang Arnon dari cermin di depannya. Pria itu mendekat, berdiri di belakang Fea, sedikit menunduk dan mengecup puncak kepala istrinya. "Kenapa, Ar?" Fea masih melihat lurus dari cermin. Arnon tersenyum. Dia juga tidak percaya rasanya, Fea dan mamanya menjadi dekat. Masih lucu mendengar Fea menyebut mama pada Arnella. "Terima kasih, kamu membuat yang tidak mungkin jadi mungkin dalam hidupku." Arnon kembali mendaratkan kecupan di pu
"Arnon!" panggil wanita dengan rambut cepak itu. Arnon berhenti dan menoleh padanya. "Aku salut. Kamu seberani itu. Yakin tidak menyesal melepas perusahaan besar?" tanya Briani. Suaranya tidak lagi dingin seperti yang sebelumnya. "Aku punya semua yang aku butuhkan. Yang ada di tanganku sudah cukup. Aku tidak perlu yang lain lagi," ujar Arnon santai. "Arnon, boleh kami mengundang kamu makan malam bersama? Ajak istrimu." Bellinda yang juga sudah keluar, bersama Arliana, berdiri di sebelah Briani. Arnon menatap ketiga kakak tirinya. "Well, kenapa tidak? Katakan saja kapan dan di mana. Aku pasti datang."Arliana tersenyum lebar. "Thank you, Arnon. Kamu memang adik yang baik. Maaf, kita tidak sering bertemu selama ini." Suaranya imut dan lucu. Dari sikapnya terlihat Arliana bertingkah seperti anak baru SMA. Padahal usianya dua tahun di atas Arnon. "Ya, it is okay." Arnon tersenyum. Kembali dia melangkah. Hatinya makin l
Arnon seketika memegang tangan Fea. Dia tahu, Fea masih sensitif jika bicara soal kehamilannya yang lalu. Drama yang membuat dia harus kehilangan bakal bayinya yang membuat Fea masih cukup berat mengingatnya. Pertanyaan Arliana tentu membuat Fea tidak nyaman."Ah, itu ..." Fea tersenyum kecut. "Aku kehilangan bayiku, karena ... tidak bisa menjaganya. Ya ... begitu ..."Fea tidak mau mengatakan lebih jauh. Dia tidak mungkin juga menceritakan kisah perih yang diawali rekayasa Arnella."Oh, sorry ..." Arliana yang duduk di depan Fea, menatapnya dengan rasa simpati.Yang lain memandang Fea dan bisa melihat ada raut sedih sedikit mencuat dari wajahnya."Jangan kuatir, tidak lama kamu akan segera mendapatkan penggantinya. Aku juga pernah mengalami. Sangat berat, tapi lihat, aku punya dua bocah menggemaskan sekarang." Bellinda menghibur Fea. Dia mengusap kepala dua anaknya yang masih asyik dengan hidangan di depan mereka.Fea tersenyum. "Ya, terima
Hari-hari berlalu. Boleh dikatakan semua berjalan normal. Arnon bekerja, Fea di rumah dan melakukan ini itu yang dia suka. Sesekali dia mengunjungi Rania dan Stefi. Anak Rania sudah hampir satu tahun. Lucu dan menggemaskan. Stefi, perutnya mulai buncit. Dia makin manja saja pada Irvan. Senang melihat mereka begitu bahagia. Satu yang Fea terus minta, Tuhan taruh bayi dalam rahimnya, pengganti bakal anaknya yang tidak selamat. Setiap hari Fea meminta dalam doa. Arnon memang tidak mempermasalahkan mereka akan segera punya anak atau tidak, tetapi Fea sangat berharap dia segera punya teman di rumah. "Ih, lucu sekali. Imut dan cantik. Lihat, Ar!" Fea menunjuk pada bocah yang baru bisa berjalan di taman di samping mall saat mereka sore itu. Arnon mengikuti arah tangan Fea. Senyum Arnon melebar. Dia tahu, Fea sangat ingin cepat kembali mengandung. Setiap Fea bicara tentang anak, hati Arnon sedikit pilu. Dia penyebab bayi mereka batal lahir. Kemarahan meluap yang tak
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b