Beranda / Romansa / Andai Semua Berbeda / 140. Senyum Ibu dan Anak

Share

140. Senyum Ibu dan Anak

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sejak hari Arnella minta maaf padanya, semua marah dan benci di hati Arnon menguap. Dia melihat Arnella begitu berbeda. Apalagi dia sempat bicara dengan Wati, Bakri, Samir, dan beberapa pelayan lainnya. Arnon tahu seperti apa Arnella dari sisi yang selama ini dia tidak peduli.

Mamanya wanita yang kesepian dan malang. Sekalipun Tuan Besar memang cinta padanya, tetap ada satu ruang di dalam hatinya yang belum terisi. Itu yang Arnon tangkap. Arnon ingin ruang itu akan dia isi dengan kenangan manis, agar hatinya sendiri juga penuh dengan cinta yang harus dia miliki dari ibu yang melahirkannya.

Setiap hari Fea terus datang menemani Arnella. Arnon dengan lega hati mengantar dan menjemputnya sebelum dan sesudah dia bekerja. Sebenarnya Fea ingin membawa mobil sendiri, tapi Arnon tidak mau. Dia ingin juga mengambil waktu bersama Arnella. Beberapa hari berlalu, Arnon lebih ceria. Kasih sayang yang dia harapkan sejak dia bocah mulai memenuhi hatinya. Dia makin bersemangat menja

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Andai Semua Berbeda   141. Tawa Girang Sulung Hendrawan

    "Mama ... Mama ..." Fea mengucapkan kata itu berkali-kali. Dia memandang wajahnya di cermin, sambil tersenyum kecil. Masih tak bisa dia percaya rasanya, Arnella meminta Fea memanggilnya mama. Seumur dia mengenal Arnella, panggilan melekat yang Fea selalu sebut adalah Nyonya Arnella. Bahkan setelah dia menikah dengan Arnon pun, tidak pernah dia bayangkan jika Arnella mau mendapat panggilan mama darinya. Arnon saja enggan menyebut Arnella mama. "Sayang ..." Arnon memanggil Fea. Dia baru keluar dari kamar mandi. Fea memandang Arnon dari cermin di depannya. Pria itu mendekat, berdiri di belakang Fea, sedikit menunduk dan mengecup puncak kepala istrinya. "Kenapa, Ar?" Fea masih melihat lurus dari cermin. Arnon tersenyum. Dia juga tidak percaya rasanya, Fea dan mamanya menjadi dekat. Masih lucu mendengar Fea menyebut mama pada Arnella. "Terima kasih, kamu membuat yang tidak mungkin jadi mungkin dalam hidupku." Arnon kembali mendaratkan kecupan di pu

  • Andai Semua Berbeda   142. Undangan Makan Malam

    "Arnon!" panggil wanita dengan rambut cepak itu. Arnon berhenti dan menoleh padanya. "Aku salut. Kamu seberani itu. Yakin tidak menyesal melepas perusahaan besar?" tanya Briani. Suaranya tidak lagi dingin seperti yang sebelumnya. "Aku punya semua yang aku butuhkan. Yang ada di tanganku sudah cukup. Aku tidak perlu yang lain lagi," ujar Arnon santai. "Arnon, boleh kami mengundang kamu makan malam bersama? Ajak istrimu." Bellinda yang juga sudah keluar, bersama Arliana, berdiri di sebelah Briani. Arnon menatap ketiga kakak tirinya. "Well, kenapa tidak? Katakan saja kapan dan di mana. Aku pasti datang."Arliana tersenyum lebar. "Thank you, Arnon. Kamu memang adik yang baik. Maaf, kita tidak sering bertemu selama ini." Suaranya imut dan lucu. Dari sikapnya terlihat Arliana bertingkah seperti anak baru SMA. Padahal usianya dua tahun di atas Arnon. "Ya, it is okay." Arnon tersenyum. Kembali dia melangkah. Hatinya makin l

  • Andai Semua Berbeda   143. Bukan Soal Hendrawan

    Arnon seketika memegang tangan Fea. Dia tahu, Fea masih sensitif jika bicara soal kehamilannya yang lalu. Drama yang membuat dia harus kehilangan bakal bayinya yang membuat Fea masih cukup berat mengingatnya. Pertanyaan Arliana tentu membuat Fea tidak nyaman."Ah, itu ..." Fea tersenyum kecut. "Aku kehilangan bayiku, karena ... tidak bisa menjaganya. Ya ... begitu ..."Fea tidak mau mengatakan lebih jauh. Dia tidak mungkin juga menceritakan kisah perih yang diawali rekayasa Arnella."Oh, sorry ..." Arliana yang duduk di depan Fea, menatapnya dengan rasa simpati.Yang lain memandang Fea dan bisa melihat ada raut sedih sedikit mencuat dari wajahnya."Jangan kuatir, tidak lama kamu akan segera mendapatkan penggantinya. Aku juga pernah mengalami. Sangat berat, tapi lihat, aku punya dua bocah menggemaskan sekarang." Bellinda menghibur Fea. Dia mengusap kepala dua anaknya yang masih asyik dengan hidangan di depan mereka.Fea tersenyum. "Ya, terima

  • Andai Semua Berbeda   144. Bahagia Berubah Menjadi Malapetaka

    Hari-hari berlalu. Boleh dikatakan semua berjalan normal. Arnon bekerja, Fea di rumah dan melakukan ini itu yang dia suka. Sesekali dia mengunjungi Rania dan Stefi. Anak Rania sudah hampir satu tahun. Lucu dan menggemaskan. Stefi, perutnya mulai buncit. Dia makin manja saja pada Irvan. Senang melihat mereka begitu bahagia. Satu yang Fea terus minta, Tuhan taruh bayi dalam rahimnya, pengganti bakal anaknya yang tidak selamat. Setiap hari Fea meminta dalam doa. Arnon memang tidak mempermasalahkan mereka akan segera punya anak atau tidak, tetapi Fea sangat berharap dia segera punya teman di rumah. "Ih, lucu sekali. Imut dan cantik. Lihat, Ar!" Fea menunjuk pada bocah yang baru bisa berjalan di taman di samping mall saat mereka sore itu. Arnon mengikuti arah tangan Fea. Senyum Arnon melebar. Dia tahu, Fea sangat ingin cepat kembali mengandung. Setiap Fea bicara tentang anak, hati Arnon sedikit pilu. Dia penyebab bayi mereka batal lahir. Kemarahan meluap yang tak

  • Andai Semua Berbeda   145. Menata Hati, Mengisi Ketimpangan

    Fea menemani Arnella hingga wanita itu bisa tidur. Dalam tidur pun dia gelisah. Fea bisa merasakan Arnella sangat sedih dengan situasi itu. Kabar masih simpang siur tentang kecelakaan. Fea menunggu kabar dari Arnon. Apakah keluarga Hendrawan selamat? Sepanjang malam Fea berulang kali terjaga. Dia tidur di kamar sebelah kamar Arnella. Setiap terbangun, Fea duduk dan berdoa. Dia meminta kejadian ini akan membawa sesuatu yang baik untuk kelangsungan keluarga Hendrawan. Hampir pagi, Fea tidak berniat lagi untuk tidur. Dia memilih keluar kamar, menuju ke pantry membuat minuman hangat. Sebaiknya dia menenangkan diri. Fea mencoba menghubungi Arnon lagi, mungkin ada perkembangan. Saat Fea menyalakan ponselnya, Fea terkejut. Beberapa pesan masuk justru dari saudara-saudara tiri Arnon. Mereka memberi info, kabar yang mulai ramai di media tentang kecelakaan itu. Tujuh puluh persen korban meninggal. Dua puluh persen korban luka parah, sisanya seakan mujizat hanya mengala

  • Andai Semua Berbeda   146. Pesan Buat Hendrawan Palsu

    Dua minggu berlalu. Kondisi Ardan belum ada perkembangan. Ardiansyah begitu terpuruk. Dia sangat kehilangan. Istri, anak, dan menantu. Lalu putra sulungnya koma, entah hingga kapan dia akan sadar. Atau bahkan, mungkinkah dia bertahan? Ardiansyah seperti tidak bisa berpikir dan bekerja. Mau tidak mau, Briani dan Bellinda yang kalang kabut mengurus semua. Bersama suami mereka, dan para pimpinan lainnya segera mereka mengadakan pertemuan darurat, mengatur ini dan itu agar perusahaan tidak timpang, masih bisa berjalan dengan kekosongan pemimpin utama. Briani beberapa kali menghubungi Arnon, minta adiknya itu ikut dalam pertemuan dan membicarakan apa yang perlu. Tapi Arnon terus mengelak. Briani cukup kesal sebenarnya pada Arnon, tetapi dia juga tidak berhasil membujuk Arnon. "Aku sudah tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan Hendrawan. Kalian sudah mampu membereskan semuanya. Aku tidak harus ikut campur. Aku tetap adik kalian." Arnon beralasan. "Aku t

  • Andai Semua Berbeda   147. Tak Mungkin Menghindar

    Pintu ruangan terbuka. Perawat berdiri di sana, lalu berjalan mendekat pada Ardiansyah. Dia mengajak pria yang tampak sangat cemas itu bergegas masuk ke dalam ruangan. Arnon berdiri, mengikuti mereka dengan pandangan mata. Dia tahu, kondisi Ardan pasti gawat. Arnon membalikkan badan, mencoba melihat ke dalam ruangan. Tidak begitu jelas, karena ada tirai dari kain sedikit transparan yang menghalangi. Dada Arnon berdegup kencang. Seperti yang Ardiansyah lakukan, Arnon pun mengucapkan doa. Dia memohon Tuhan menolong. "Tuhan, kumohon ... tolong Ardan ..." Arnon tidak tahu, yang ada di hatinya bukan lagi benci dan marah pada kakak tirinya itu. Dia sangat takut jika benar Ardan pergi, papanya pasti akan hancur. Belum sampai dua menit, terdengar tangisan keras dari Ardiansyah. Dia memanggil nama Ardan berulang kali. Arnon mengepalkan tangannya. Dia tahu, Ardan telah pergi. Tangis pilu Ardiansyah meratapi putra sulungnya. Tak bisa dibendung, titik air mata menggenang

  • Andai Semua Berbeda   148. Akan Segera Datang

    Arfandi dan Arliana duduk di meja di sebelah Arnon. "Aku suka resto ini, keren." Arfandi memandang ke seluruh ruangan. Resto belum begitu ramai. Waktu makan malam masih kurang lebih satu jam lagi, tapi keluarga Hendrawan sudah berdatangan. Arnon memperhatikan Arfandi. Dia mirip Ardiansyah. Apalagi kalau tersenyum. Memandangnya, rasa iba muncul dalam hati Arnon. Arfandi menjadi yatim piatu. Arliana yang merawatnya. Dengan kondisi Arliana yang juga agak lambat, tentu perlu bantuan saudaranya yang lain mengurus Arfandi. Arnon mulai menyadari, dia tidak mungkin menghindar lagi. "Fea mana?" tanya Bellinda yang tidak juga melihat istri Arnon hadir. Arnon menoleh pada Bellinda. "Dia di dapur. Dia suka mencium aroma masakan yang baru matang. Jadi dia mengekor chef utama resto ini." "Bukan dia ada isi, Ar? Kadang wanita hamil suka aneh-aneh," ujar Bellinda. Arnon menatap Beliinda, mengangkat alisnya. Apa iya? Fea mengandung? Dia t

Bab terbaru

  • Andai Semua Berbeda   Extra Part - The Double Twins

    Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba

  • Andai Semua Berbeda   235. Andai Semua Berbeda

    Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa

  • Andai Semua Berbeda   234. Senyum Berubah Menjadi Rasa Cemas

    Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu

  • Andai Semua Berbeda   233. Jangan Lepaskan

    Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"

  • Andai Semua Berbeda   232. Tumpeng Buat Tinah

    Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.

  • Andai Semua Berbeda   231. Tak Mudah Menyelami Hati

    "Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t

  • Andai Semua Berbeda   230. Kejutan Kawan Lama

    Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di

  • Andai Semua Berbeda   229. Permohonan Maaf Herni, Kepedihan Liani

    "Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g

  • Andai Semua Berbeda   228. Bukan Seperti yang Dibayangkan

    Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b

DMCA.com Protection Status