Panas rasanya telinga Arnon mendengar yang Fea katakan. Mengapa Fea bicara soal Arnella? Fea jelas tahu kalau Arnon tidak mau peduli dengan wanita itu lagi. Arnon melangkah menjauh, dia membuka pintu menuju ke balkon kamar.
Fea memandang Arnon dengan rasa sangat tidak nyaman. Ini yang dia tidak mau, bertengkar dengan Arnon. Hubungan mereka baru pulih setelah masa berat yang mereka lalui karena Arnella. Arnon begitu senang melihat istrinya bisa lebar tersenyum bahkan tertawa lagi. Lalu tiba-tiba harus bersitegang dan itu gara-gara orang yang sama, Arnella.
"Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" batin Fea bergejolak. Buatnya ini juga bukan hal mudah. Setiap ingat Arnella, yang muncul di pikiran Fea, wanita itu tidak suka dengannya, dia berusaha menghancurkan pernikahannya dengan Arnon.
Perlahan, Fea bangkit, berjalan mendekati Arnon yang berdiri menatap perbukitan di kegelapan, karena hari memang sudah malam.
Fea memeluk pinggang Arnon
Arnella memandang nanar keluar kamar. Dia mengarahkan pandangan pada gerbang utama. Dia berharap mobil Arnon akan muncul, putranya akan datang melihat dia. Ingin sekali Arnella kembali bertemu Arnon dan mengucapkan maaf. Dia tidak mau Arnon meninggalkan dia seperti itu. "Nyonya ..." Suara Wati yang masuk ke dalam ruangan itu seolah tidak dia dengar. Pikiran Arnella terbawa pada hari saat Arnon meninggalkannya di depan rumah. Dengan marah, tetapi tangannya menggandeng Fea mesra, Arnon pergi. Hati Arnella begitu pahit rasanya. Arnon lebih cinta wanita itu, bukan dirinya, ibu yang melahirkannya. "Arnon ... pulang ..." ucapnya lirih dengan mata basah. Kemudian ingatannya beralih pada sore harinya, saat Arnella menghadiri acara keluarga salah satu rekan sosialitanya. Tidak dia sangka, Ardan ada di sana. Entah apa urusan anak sulung Ardiansyah itu. Yang jelas, ucapan pria angkuh itu menusuk Arnella. "Aku harus berterima kasih padamu, Istri ketiga Tu
Ardiansyah memukul meja dengan geram. Arnon terang-terangan sekarang menolak dan melawannya. Ardiansyah tidak mengira sama sekali. Setelah Ardan, putra sulungnya, Arnon adalah anak laki-laki yang dia miliki. Sekalipun anak-anak perempuannya juga punya ketrampilan kepeimpinan dan mampu diserahi sebuah perusahaan, tetap punya Arnon adalah sesuatu yang membanggakan. Ardiansyah mengembuskan nafas berat, berpikir keras harus bertindak apa. Arnon sama dengan dirinya, jika punya kemauan akan gigih berpegang pada itu dan akan mengejarnya hingga terwujud. Tapi melepas seorang anak, dia tidak mau mengakuinya sebagai orang tua, ini tidak masuk akal! "Apa yang ada di pikiran Arnon!?" Ardiansyah benar-benar kesal. Tidak mungkin dia akan mengijinkan Arnon mengganti nama belakangnya. Mau berulang kali dia berubah nama, darah Hendrawan tetap ada di dalam dirinya, tidak ada gunanya merubah identitas. Bagaimana dia bisa melunakkan hati Arnon itu yang Ardiansyah pikirkan.
Arnella ingin berteriak dan memaki Fea. Mau apa Fea sebenarnya datang menemuinya? Pasti hanya ingin melihat kesialan yang Arnella alami! Wajah Arnella memerah, dadanya naik turun menahan marah yang makin memuncak. Air mata mulai menitik di ujung mata, karena gejolak yang dia rasa. "Nyonya, aku bantu berbaring saja. Pesan Mbak Wati, Nyonya harus istirahat sekarang," ujar Fea. Dengan hati yang juga sedikit takut, Fea membantu Arnella bangun dari kursi roda, pindah ke ranjang. Arnella tidak menolak karena dia memang butuh bantuan. Tapi itu bukan berarti dia senang dengan sikap sok baik Fea padanya. "Kamu ..." Arnella memaksa bicara. Dengan emosi yang mulai tinggi, dia lebih kesulitan membuka mulutnya. "Ka ... mu ..." Fea memandang Arnella. Dia bisa merasakan betapa Arnella kesal dan ingin Fea segera keluar dari ruangan itu. "Ja ... nan ... kamu ... jan ... nan, mu ... nafik ..." Makin terbata-bata, tetapi Arnella memaksa juga mengutarakan apa yan
Jantung Fea berdetak makin cepat. Rasa gugup mendera tak bisa dia cegah, saat tatapan tajam menghujam ke arahnya. Ardiansyah jelas sangat terkejut melihat Fea yang datang mengantar makan siang. "Fea, kamu datang? Kamu di sini?" Tatapan itu membuat debaran di dada Fea makin tak terkendali. "Iya, Tuan. Mohon maaf, jika saya datang tanpa memberitahu lebih dulu." Fea meletakkan nampan dan menunduk dalam-dalam di depan Ardiansyah. "Mana Arnon? Dia di mana? Aku melihat ke kamar, Arnella sendirian dan dia sedang tidur," ujar Ardiansyah. Dia mengira Arnon pulang bersama Fea. "Saya minta maaf, Tuan. Arnon belum bisa pulang." Fea masih menunduk. Rasanya belum sanggup dia melihat pada mata Tuan Besar yang tajam itu. Ardiansyah mengembuskan nafas berat. Jadi Fea datang sendirian? Arnon tidak ikut pulang rupanya. "Mohon maaf, sekali lagi, Tuan. Saya menengok Nyonya Arnella. Dan jika Tuan tidak keberatan, saya akan datang setiap hari," ucap Fea deng
Belum sampai sepuluh menit tiba di rumah, terdengar suara mobil Arnon di depan. Fea yang berniat akan mandi, dengan cepat masuk ke kamar mandi. Dia tidak mau Arnon melihat dia dengan pakaian dari luar rumah. "Untung saja. Coba aku lambat sedikit, bisa beda urusannya." Fea bergumam sendiri. Beberapa menit terdengar suara Arnon memanggil, mencari Fea ada di mana. Fea sengaja mengalirkan air dengan deras agar Arnon mendengar suara dari kamar mandi. Benar saja, kemudian terdengar ketukan di pintu kamar mandi. "Sayang! Lagi mandi?" Suara Arnon memanggil lagi. Fea mematikan air, lalu menjawab, "Ya! Sebentar, Ar!" "Aku ikut!" sahut Arnon. Fea tersenyum. Fea tidak menduga Arnon minta mandi bareng, tapi setidaknya kali ini aman, Arnon tidak melihat jejak Fea keluar rumah. Bukan masalah Fea keluar, tetapi jika Arnon bertanya, Fea tidak mau terpaksa berbohong padanya. Fea membuka pintu kamar mandi dan membiarkan Arnon masuk. Suasana yang
"Fea? Kamu di sini?" Irvan yang tidak sengaja melihat ke pintu dan mendapati Fea di depan butik, segera dia mendekat. "Oh, hai ... Iya ..." Fea tersenyum sedikit kikuk. "Masuk aja. Stefi ada di dalam." Irvan membuka pintu, membiarkan Fea masuk. Irvan terus melangkah menuju ruang dalam dan Fea mengikutinya. Irvan membawa Fea ke kantor butik yang ada di lantai dua. Di dalam ruangan, Stefi sedang duduk, bersantai di sofa dengan memegang sebuah majalah di tangan. "Sayang, lihat siapa yang datang?" Irvan bicara seraya mendekati Stefi. Stefi menurunkan majalah dan menoleh pada Irvan. Seketika dia menegakkan badan melihat Fea yang berdiri tak jauh dari pintu. "Astaga! Fea?!" Senyum lebar Stefi muncul begitu saja. "Sini, duduk. Ya ampun ... tumben, ga kasih kabar dulu." Fea tersenyum, mengarahkan kakinya mendekat lalu duduk di sisi Stefi. Dengan erat Stefi memeluk Fea. "Kamu baik-baik, kan?" Stefi memandang
Arnon melihat ke jam dinding di ruangannya. Hampir jam lima sore. Lelah juga setelah sepanjang hari dia fokus dengan semua hal yang ada di perusahaan. Lebih baik dia berhenti dan melanjutkan lagi urusannya besok. Segera dia bereskan mejanya dan bersiap meninggalkan kantor. "Permisi, Pak!" Alim ada di depan pintu, berjalan mendekat ke meja Arnon. Arnon mengangkat wajahnya melihat pria itu. "Ya, Pak?" "Pak Arnon tidak lupa malam ini ada undangan CEO ...""Astaga! Hampir saja!" Arnon menepuk jidatnya. Salah satu rekan bisnisnya mengundang karena ada acara pertunangan anaknya. Arnon tidak memperhatikan lagi dan ternyata dia harus berangkat. "Okelah. Aku akan segera bersiap. Jam tujuh malam, kan? Aku tidak akan terlambat." Arnon tersenyum lebar. Alim membalas senyum dan mengangguk. Dia meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan. Dia akan segera menghubungi Fea minta istrinya itu juga bersiap. Dia mau mengajak Fea hadir di acara yang akan dia
Makin ke pinggir kota, jalanan makin sepi. Arnon makin mempercepat laju kendaraan. Fea mulai panik. Arnon benar-benar sedang kesal. Dan mengebut salah satu pelampiasan. "Ar, pelan-pelan! Ini bahaya!" Fea mengingatkan. Apalagi jalanan sedikit berkelok-kelok. Lampu jalan juga tidak cukup terang sepanjang perjalanan yang mereka lalui. Arnon tidak menggubris, seolah dia tidak mendengar yang Fea katakan. Dia terus saja fokus dengan setir, melaju begitu cepat, seakan-akan dia ingin segera menjauh dari semua yang ada di sekeliling dirinya. "Arnon ... Please ..." Fea mulai merasa takut dan sedikit gemetar. Arnon masih tak peduli. Fea memilih menyandarkan punggung dan menutup matanya. Lebih baik dia berdoa dan tidak melihat jalanan. Apapun yang terjadi dia pasrah saja! Entah berapa lama, tapi yang Fea rasakan begitu panjang perjalanan, akhirnya Fea merasa mobil mulai melambat. Pelan-pelan, Fea membuka mata dan melihat ke sekelil
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b