"Kamu bicara sama siapa, Sayang?"
Aku menoleh. Mendapati Mas Dion yang berdiri di depan pintu kamar Kia. "Tadi aku bicara sama—"Pandanganku kembali beralih ke luar jendela kamar. Tidak ada siapa pun di sana. "Sama siapa?" Tidak. Aku menggelengkan kepala. Tadi, jelas-jelas aku melihat Kia. Dia tersenyum padaku. Berdiri di depan jendela kamar. Ah, atau ini hanya halusinasiku? Aku mengusap wajah, lalu berbalik. Memasang wajah biasa saja, agar Mas Dion tidak khawatir. "Kamu udah selesai sarapan, Mas?""Belum. Berhenti gara-gara kamu bicara sama orang."Aku tersenyum tipis. Menutup pintu kamar Kia. Berjalan di belakang Mas Dion. Hari ini, pembantuku datang. Membantu untuk tahlilan nanti malam. Sebelumnya, sedang pulang kampung. Aku menatap kursi yang biasanya setiap pagi ditempati oleh Kia. Sekarang, kursi itu kosong. "Mama." Astaghfirullah. Aku terlonjak. Sedikit kaget, ketika melihat Kia sekilas duduk di kursi itu. "Kenapa, Via?" Aku mengusap wajah, kemudian menggelengkan kepala. "Halusinasi aja tadi, Mas."Selesai Mas Dion sarapan, dia beranjak. "Aku ke rumah sakit dulu. Jenguk Mama sebentar."Mas Dion mencium kening Tifa, kemudian berjalan ke ruang tamu. "Tifa main di ruang keluarga dulu, ya. Mama mau cuci piring."Tifa mengangguk. Membawa mainannya ke ruang keluarga. Saat membereskan piring Mas Dion, aku terpaku. Ada beberapa tetes darah di sana. Padahal, aku hanya memasak ikan. Itu pun sudah bersih. Tidak ada lagi darahnya. Lalu ini apa?Ponselku berdering. Dari Mama Mas Dion. "Assalammualaikum, Ma.""Waalaikumsalam, Via. Dion mana? Kemarin gak kesini, sekarang juga gak kesini? Dia ngambil cuti beberapa hari, 'kan?" Mendengar itu, kakiku mendadak lemas. Benar yang aku pikirkan tadi pagi. Mas Dion tidak ke rumah sakit. Tapi dia kemana?"Pagi ini berangkat ke rumah sakit katanya, Ma. Tunggu aja. Nanti Via telepon juga buat pastiin Mas Dion ke rumah sakit atau enggak.""Yaudah, makasih, Via. Maaf, ya. Mama jadi ganggu kamu."Mama mematikan teleponnya. Aku meletakkan ponsel di atas meja makan, membawa piring ke dapur. Biasanya, Kia membantuku mencuci piring. Dia yang selalu membuat suasana berbeda. "Arghh!"Eh? Aku berhenti mencuci piring. Terdengar teriakan tadi. Asalnya dari ruang keluarga. Aku menelan ludah, langsung berlari ke ruang keluarga. Ya Allah, jangan sampai terjadi apa-apa pada Tifa. "Tifa? Tifa gak papa, Nak?" Tidak ada yang terjadi pada Tifa. Aku menghela napas lega. Menatap anak keduaku ini. Jujur saja, aku ingin meminta bantuan pada saudara untuk menjaga Tifa. Tapi mereka pasti punya banyak alasan. Kalau mereka datang, mungkin nanti malam. Saat tahlilan untuk Kia. "Gelang, Ma."Aku menatap barang yang ada di tangan Tifa. Gelang milik Kia!"Tifa dapat darimana, Sayang?" Buru-buru aku menyembunyikan gelang itu. "Dari Kakak."Sudahlah. Tidak ada gunanya bertanya pada Tifa. Dia akan menjawab dari Kakak. Begitu terus. "Lain kali, jangan sembarangan, ya, Tifa."Aku mengecup kening Tifa, berjalan ke kamar Kia. Sebenarnya, sejak tadi aku penasaran sekali dengan jendela yang dilempari batu. Siapa yang iseng melempari kamar Kia dengan batu?Setelah meletakkan gelang kesayangan Kia ke dalam laci, kemudian menguncinya, aku kembali menatap jendela itu. Terdengar lemparan lagi. Aku buru-buru mendekat. Tidak. Ini bukan batu, tapi kertas. Aku memungut kertas itu, ada satu kalimat. Ditulis menggunakan spidol merah. Ah, bukan. Ini lebih mirip darah. "Kia benci Papa."***Bab 4 nya besok pagi, yaa. Sekarang mau diedit dulu. Jangan lupa like dan komen."Siapa yang melempar kertas ini?" Aku mencium kertas itu. Bau amis. Benar, ini ditulis menggunakan darah. Masih baru sekali. Kejadian tadi pagi teringat kembali. Saat piring Mas Dion ada darahnya. Aku bergidik ngeri. "Kia benci Papa?" Sekali lagi aku membaca tulisan itu. Sedikit aneh. Apa maksudnya? Atau malah ada yang mengisengi keluargaku?Aku mengusap wajah, melipat kertas itu, kemudian memasukkannya ke dalam kantong celana. "Mama, Mama."Eh? Aku buru-buru berjalan ke ruang keluarga. Tifa barusan memanggilku. "Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil jongkok, menatap Tifa yang sedang bermain boneka. Tifa menunjuk-nunjuk lantai. Aku mengernyit, menatap jejak kaki seukuran anak kecil. Jejak kaki itu seperti bekas tanah. Aku mencolek bekas jejak kaki itu, menciuminya. Benar, itu bekas tanah. Tapi siapa yang berani masuk ke ruang keluarga? Lalu ini jejak anak kecil?***Terdengar ketukan pintu di depan. Aku buru-buru keluar dari kamar Tifa. Membukakan pintu. "Assalammualaikum, Adek."
"Mama, Kia sakit."Terdengar rintihan itu lagi. Aku menutup mulut, pandanganku tak lepas menatap anak kecil itu. Siapa anak kecil ini? Kenapa pakaiannya penuh dengan darah?"Tolong, Ma. Sakit."Aku mundur satu langkah. Menelan ludah, menatap anak kecil yang terus merintis itu. Suaranya suaranya benar-benar mirip dengan Kia.Ah, apakah janji hanya halusinasiku? Atau anak ini benar-benar nyata? Tapi siapa dia? Kenapa ada di depan rumahku?Dengan langkah pelan, aku mendekat. Menatap anak kecil itu cukup lama. Dia terus-terusan meringis. Aku mengusap tengkuk, mengedarkan pandangan sebentar. Tidak ada siapa-siapa di sini. Bahkan, tetangga yang biasanya ramai di jalan, tidak ada. Gemetar tanganku terangkat, hendak menepuk pundak anak kecil ini. Dari postur tubuhnya, mirip sekali dengan Kia. "Tolongin Kia, Mama."Tubuhku menegang mendengarnya. Kia? Mama? Belum sempat aku menjawab, ada kucing yang lompat ke wajahku. Dia hampir mencakar. Menatapku galak.Aku langsung berdiri setelah terje
"Ini kenapa pakaian Kia penuh darah?" Aku bergumam, sambil memasukkan sampah kembali ke dalam kantong hitam. Ah, ada benda aneh lagi. Aku mengangkat benda itu, menatapnya tajam. "Pakaian Mas Dion." Namun, pakaian Mas Dion tidak bersimbah darah. Pakaiannya sobek-sobek. Pantas saja tidak ada dicucian. Bergantian aku menatap pakaian Kia dan Mas Dion. Yang satu bersimbah darah, yang satu lagi sobek-sobek. Apakah ini ada hubungannya dengan meninggalnya Kia?Aku menggelengkan kepala. Buru-buru memasukkan sampah ke dalam kantong hitam, kemudian merapikannya sama seperti semula. Sebentar lagi, Mas Dion mandi. Jangan sampai dia melihat aku mengambil dua pakaian ini. Kedua pakaian itu, aku simpan di kamar Kia. Biar Mas Dion tidak tahu. Ah, harusnya pakaian Kia dicuci dulu. Biar tidak bau amis lagi. Baunya benar-benar tidak enak. Mas Dion sepertinya sudah mandi. Aku bergegas keluar kamar, menatap Mas Dion. Entah kenapa, ada yang berbeda di diri Mas Dion. Tatapannya berbeda. Ada yang d
"Bi, tadi malam pas Bibi antar minum yang saya minta, Bibi lihatnya tamunya perempuan, 'kan?" Bi Jem menoleh. Di dapur sedang sibuk sekali. Apalagi kemarin belum sempat cuci piring. Pembantuku itu menatap lekat. Wajahnya tampak berbeda. "Saya minta maaf sebelumnya, Bu. Pas tadi malam ngantar minuman untuk tamu yang Ibu bilang, saya sama sekali gak lihat siapa pun, Bu. Gak ada orang, maka nya saya agak aneh sama Ibu. Mungkin, kemarin hanya halusinasi Ibu saja." Wajahku memucat mendengarnya. Berarti siapa yang datang tadi malam? Bu Widya. Ah, wanita yang mengaku guru Kia itu benar-benar misterius. Aku menggelengkan kepala. Itu bukan halusinasi. Lalu apa tadi malam itu nyata? "Saya permisi dulu, Bu. Nanti, kalau ada yang mau Ibu tanyakan, panggil saya saja."Bi Jem pamit kembali bersih-bersih. Sedangkan aku berjalan ke kamar Kia. Pasti ada yang Kia sembunyikan, apalagi mengenai gurunya itu, Bu Widya. Aku membuka pintu kamar. Aroma parfum yang biasa dipakai Kia, tercium pekat. Ah, a
"Bukunya akhirnya ketemu juga. Bibi ketemu di mana?" tanyaku sambil membereskan mainan Tifa."Di bawah kolong tempat tidur, Bu. Saya juga gak tahu kenapa Non Kia meletakkan buku hariannya di sana." Bi Jem menatapku, menjelaskan dimana dia mendapatkan buku harian milik Kia. Aku mengangguk, menyuruh Bi Jem kembali ke dapur. Aku meletakkan mainan Tifa ke atas meja, kemudian duduk di tempat tidur. Tifa sedang anteng. Pelan sekali aku membuka halaman pertama. Kosong, tidak ada tulisan apa pun. Aku membuka halaman kedua. Ada foto Kia, sedang tersenyum di sana. Setelah halaman pertama, aku membuka halaman kedua. Kosong juga, tidak ada apa pun. Halaman ketiga juga begitu, aku menggaruk kepala, bingung dengan buku harian ini. "Kakak, kakak." Eh? Aku menoleh ke Tifa yang berteriak barusan. Pandanganku teralih ke arah yang ditunjuk oleh Tifa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sampai di halaman terakhir, aku menemukan foto Kia dan Bu Widya. Mereka berfoto bersama. Ada senyuman, tapi terlihat k
"Kia? Siapa Kia?" tanyanya sambil menoleh padaku. Aku mengernyit. Sosok di hadapanku ini bukan halusinasi, dia nyata. Namun, kenapa Kia tidak mengenalku?"Sayang, kamu lagi sama siapa?" tanya seseorang yang datang dari arah lain. Aku mengernyit, bergantian memandang Kia dan wanita paruh baya itu. "Gak tahu, Bu. Tiba-tiba datang."Wanita paruh baya itu menatapku aneh, dia langsung memegang kursi roda Kia. Dia melihatku seperti penjahat saja. "Maaf, ya, Bu. Kami orang susah, gak punya apa-apa. Jadi, jangan culik anak saya." Benar saja. Aku menatap Kia lekat-lekat, dia anakku. Tidak salah lagi, pandanganku teralih ke wanita paruh baya itu, siapa wanita ini? Kenapa Kia seolah-olah tidak mengenalku?"Saya dan anak saya permisi." Ibu itu membawa Kia pergi. Aku menatap ruangan yang dimasuki mereka. Sungguh, aku yakin sekali. Anak itu adalah Kia, aku akan bilang pada Bang Gery dulu. Saat ini, tidak ada bukti yang jelas, apalagi aku hanya sendirian. Ada perawat yang lewat. Aku buru-buru
"Sering banget Kak Widya cerita sama aku, dia tersiksa terus-terusan. Dia depresi." Aku terdiam membaca kalimat terakhir di buku itu dan juga kalimat bertinta merah darah. Mas Dion menghancurkan hidup Bu Widya? Apa hubungannya? Apakah Bu Widya punya masa lalu dengan Mas Dion? Ah, besok aku harus mengunjungi rumah Bu Widya. Bertanya pada keluarganya. Tidak perlu ditunda-tunda lagi, harus secepatnya. Misteri ini. Sedikit demi sedikit, semuanya mulai terbongkar. Ya, tidak usah terlalu cepat. Yang penting terbongkar semuanya. Kalau benar Mas Dion di balik kasus pembunuhan Bu Widya, aku tidak akan tinggal diam. Ya, semuanya harus diusut sampai tuntas. ***Ponselku berdering saat sedang sarapan. Mas Dion hari ini sudah mulai bekerja. Cutinya selesai. Mas Dion bekerja di sebuah perusahaan, dia jadi mandor. "Aku angkat telepon dulu, Mas."Dari kepolisian. Aku mengangkat teleponnya di dapur. Menyapa duluan, sepertinya ada kabar baik. "Selamat pagi, Bu. Ini Bu Via? Orang tua dari Ananda
"Kita mau kemana ini? Kok gelap banget?" bisik Sari ketika kami memasuki ruangan serba gelap.Aku mengangkat bahu. Tidak tahu juga, Nenek Bu Widya hanya diam saja. Memimpin jalan kami, entah kami diajak kemana.Pintu terbuka sendiri. Aku mundur satu langkah, melongo melihat pintu besar itu. Bisa terbuka sendiri ternyata."Pasti udah modern banget di sini. Pintu aja bisa kebuka sendiri." Sari sejak tadi berbisik.Kami ikut berhenti setelah melangkah jauh. Entah ruangan apa ini, tampak rumput yang memanjang di tembok.Aku mengusap tengkuk. Sedikit merinding. Hawa di sini berbeda sekali."Tunggu sebentar." Nenek Bu Widya berjalan meninggalkan kami.Sari mengajakku mengikutinya, tapi itu tidak mungkin. Nenek it
"Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban
"Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.
"Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M
"Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan
"Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan
"Nenek tau aja." Bang Gery nyengir, dia menggaruk kepala, bingung harus bereaksi apa. "Sudah mengenal tabiatmu. Juga kalian, Nak."Nenek itu menatap kami. Dia tersenyum penuh rahasia. "Nenek yakin, kalian bisa menghancurkan kutukan itu."Aku menghela napas lega. Kukira tadi, kami akan dimarahi atau paling parah diusir, apalagi Nenek itu terlihat emosian. "Kami pamit dulu, Nek. Terima kasih atas pinjaman senjatanya."Kami diantar sampai ke depan. Ketika keluar dari rumah itu, pintunya tertutup sendiri, membuatku lompat ke depan. Kaget sendiri."Duh, pintunya ngagetin. Kenapa bisa ketutup kayak gitu, sih. Nyebelin." Sari mendumal sendiri, dia membenarkan jilbabnya, berjalan duluan. "Namanya juga pintu rumah modern. Keren gitu."Bang Gery yang menjawab. Dia menyusulku dan Sari yang sudah duluan. Pistol itu, Bang Gery yang pegang. Aku masuk ke dalam mobil, mengembuskan napas lega. Sesuatu yang awalnya kami kira sulit, ternyata lumayan mudah. Aku membenarkan posisi duduk, Bang Gery sud
"Ne—Nenek tahu?" tanya Sari terkejut. Aku menghela napas pelan, tidak terlalu terkejut mendengar perkataan Nenek itu. Apalagi ini kali kedua kami datang kesini. Hal seperti itu sudah biasa sekali. "Ah, ada satu lagi yang datang rupanya." Pandangan Nenek itu berhenti di Bang Gery. "Selamat pagi, Nek." Bang Gery langsung menyodorkan tangan, menyalami Nenek itu. Sari menatapku. Kami tidak pernah salaman pada Nenek itu. Aku hanya diam, tidak mau menyalimi Nenek itu. "Mari masuk, Nak. Kalian sudah sarapan? Nenek barusan selesai masak."Bagaimana kalau ada sesuatu di sarapan itu? Aku menelan ludah, kemudian menggelengkan kepala. "Kami langsung mengobrol saja, Nek. Urusan ini penting sekali."Nenek itu menoleh. Dia diam sejenak, kemudian memasang senyum dan mengangguk. "Ayo ke ruang tamu."Kami mengambil tempat duduk masing-masing. Aku menyenggol Bang Gery, menyuruhnya bicara duluan. "Untuk apa senjata itu, Nak? Kalian hanya akan membuat korban banyak. Kalau tujuan kalian ingin mengamb
"Masalahnya, Abang mau? Abang, kan, gak suka berurusan kayak gitu." Aku mengembuskan napas pelan.Situasi ini, rumit sekali. Kalau aku bisa memegang senjata itu, sudah pasti aku yang membunuh Kakek tua itu sendirian. Tidak perlu membawa Bang Gery juga.Bagaimana kalau korban akan bertambah setelah kami membawa Bang Gery? Ah, aku tidak mau itu terjadi.Kalau bisa, hanya aku yang diancam sebagai korban. Jangan orang lain, jangan Sari. Juga jangan Bang Gery.Ya ampun, semua ini akan memakan banyak korban. Aku menghela napas berat. Pusing memikirkannya."Kamu mikirin gimana kalau Abang ikutan jadi korban, ya?"Ah, Bang Gery menyadarinya sendiri. Aku tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang terlibat, kemudian menambahkan jumlah korban. Itu menakutkan."Kalau kamu tahu yang sebenarnya, kamu mungkin gak bakalan khawatir, Vi. Abang punya rahasia, itu yang buat Abang mau ikut sama kalian. Membunuh Kakek tua itu."Aku menatap Bang Gery tidak mengerti. Dia
"Hah?!" Wajah Bang Gery berubah panik. "Kamu ngomong apaan, sih, Vi? Gak ada lah, senjata apa coba? Pisau banyak, tuh, di dapur."Bang Gery tertawa sendiri, berusaha mencairkan suasana. Namun, aku dan Sari tidak tertawa sama sekali. Kami tetap terlihat serius. Melihat kami yang tetap diam, Bang Gery berdeham. Dia menghentikan tawanya. "Kenapa tiba-tiba kalian datang kesini terus nanya soal senjata?" tanya Bang Gery, kali ini lebih serius. Aku menghela napas pelan. "Kami butuh senjata itu, Bang.""Iya masalahnya, senjata apa, Vi? Abang gak tahu apa senjata yang kalian maksud.""Senjata kutukan kematian. Gak mungkin Abang gak tahu." Sari ikut berbicara, dia membenarkan posisi jilbabnya. "Serius, deh. Abang gak tahu soal senjata kutukan kematian yang kalian bilang. Dimana? Bentuknya aja gak tahu."Sari menoleh ke aku, wajahnya tampak datar. Kami sudah menduga, Bang Gery pasti pura-pura tidak tahu, ketika kami meminta senjata itu. Ya, tidak mungkin dia memberikannya secara cuma-cuma.