Share

Misteri Guru Kia

Author: Rahma La
last update Last Updated: 2022-06-14 21:55:04

"Ini kenapa pakaian Kia penuh darah?" 

Aku bergumam, sambil memasukkan sampah kembali ke dalam kantong hitam. 

Ah, ada benda aneh lagi. Aku mengangkat benda itu, menatapnya tajam. 

"Pakaian Mas Dion." 

Namun, pakaian Mas Dion tidak bersimbah darah. Pakaiannya sobek-sobek. Pantas saja tidak ada dicucian. 

Bergantian aku menatap pakaian Kia dan Mas Dion. Yang satu bersimbah darah, yang satu lagi sobek-sobek. 

Apakah ini ada hubungannya dengan meninggalnya Kia?

Aku menggelengkan kepala. Buru-buru memasukkan sampah ke dalam kantong hitam, kemudian merapikannya sama seperti semula. 

Sebentar lagi, Mas Dion mandi. Jangan sampai dia melihat aku mengambil dua pakaian ini. 

Kedua pakaian itu, aku simpan di kamar Kia. Biar Mas Dion tidak tahu. 

Ah, harusnya pakaian Kia dicuci dulu. Biar tidak bau amis lagi. Baunya benar-benar tidak enak. 

Mas Dion sepertinya sudah mandi. Aku bergegas keluar kamar, menatap Mas Dion. 

Entah kenapa, ada yang berbeda di diri Mas Dion. Tatapannya berbeda. Ada yang disembunyikannya dariku. 

"Kamu gak buka kantong hitam itu, 'kan?" 

Aku menggelengkan kepala. Wajah Mas Dion pucat. Dia sepertinya sedang mencari sesuatu di kantong hitam itu. 

"Kamu cari apa, Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu. 

Pasti Mas Dion mencari pakaian Kia dan pakaiannya. 

"Eh? Enggak, gak nyari apa-apa. Aku mau buang ini, siapa tahu ada yang keselip barang berharga."

Ah, alasan. Aku menatap Mas Dion. Dia kikuk memasukkan kembali sampah ke dalam kantong plastik. 

Entah apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas. Yang perlu kamu tahu, rahasia yang disembunyikan, pasti akan terbongkar. 

***

Ini sudah malam, setengah jam lagi tahlilan. Aku berjalan ke ruang tamu, mengecek bagian sana. 

Sampai di depan, langkahku langsung memelan. Seorang wanita dengan pakaian hitam-hitam duduk di sofa. Dia tampak menunduk. 

Sepertinya tamu. Aku melanjutkan langkah, kenapa tidak ada suara?

"Maaf, Bu. Sudah menunggu dari tadi, ya?" 

Orang itu masih saja menunduk. Aku tersenyum, duduk di seberangnya. 

"Bi Jem, ambil minuman, ya." Aku melihat Bi Jem yang berdiri di ruang tengah. 

"Eh?" Bi Jem menatapku aneh. "Buat siapa, Bu?" 

"Buat tamu. Cepetan, ya, Bi."

Bi Jem langsung mengangguk, berjalan ke dapur. Masa tidak sadar ada tamu sejak tadi. Aku menggelengkan kepala, meminta maaf. 

Belum sempat berbicara, Bi Jem sudah kembali. Di belakang memang sudah ada minuman, siap disuguhkan untuk tamu. 

"Ini minumannya, Bu." Bi Jem meletakkan dua gelas minuman, di hadapanku. 

"Tamunya di sana, Bi. Masa ngasihnya ke saya." Aku tertawa pelan. 

Bi Jem menatapku aneh, tapi dia mengangguk saja. Meletakkan gelas di depan tamu. 

"Saya ke belakang, ya, Bu. Kalau ada apa-apa, teriak aja."

Aku mengernyit, agak aneh dengan kalimat Bi Jem, tapi buru-buru mengangguk. Bi Jem langsung kembali ke belakang setelah itu. 

Sebenarnya, aku belum tahu yang datang ini siapa. Temanku sudah datang semua kemarin, ditambah hari ini. Saudara juga. Tidak mungkin datang lagi. 

"Saya gurunya Kia."

Deg.

Tiba-tiba saja, wanita itu mendongak. Aku menelan ludah, ketika melihat wajahnya. Terlihat pucat. 

Dia mengulurkan tangan. "Widya."

Buru-buru aku mengangguk, membalas uluran tangannya. "Saya Via, Ibunya Kia."

Saat tangan kami bersentuhan, aku menelan ludah. Dingin sekali. Seperti habis masuk lemari pendingin.

Udara juga berbeda sekali. Aku mengusap tengkuk, buru-buru melepaskan tangan. 

"Saya turut berduka cita." Dia berkata datar, menatapku kosong.

Aku menganggukkan kepala, agak kikuk dengan gurunya Kia. "Kalau Kia ada salah, tolong dimaafkan, Bu."

Dia tersenyum tipis, tapi malah membuatnya terlihat lebih menyeramkan di mataku. 

"Saya yang punya banyak salah pada Kia."

Entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda dari guru Kia ini. Aku mematikan kipas, sepertinya udara juga mulai dingin. 

Sebenarnya, aku hanya kenal wali kelas Kia. Tidak kenal dengan guru ini. Ah, mungkin Kia dekat dengan gurunya ini di sekolah. 

Maka nya, guru ini datang sendirian. Khusus untuk Kia.

"Kia anak yang baik. Dia bisa diandalkan." 

Ada bau-bau aneh. Aku jadi tidak bisa menyimak cerita gurunya Kia ini. Ah, sekarang jadi lebih terasa sesuatu yang berbeda. 

Bau bunga kantil. Aku mengusap hidung. Suasana yang cukup aneh.

"Tapi dia lebih sering kesakitan di sekolah." Suara itu terdengar gemetar.

Kali ini, aku menoleh serius ke Bu Widya. Kia sering kesakitan?

"Kesakitan bagaimana, Bu?" 

"Dia selalu bilang sama saya, sakit di pergelangan tangan. Seperti panas. Dua minggu sekali di sekolah."

Nada Bu Widya datar sekali. Jadi terdengar menyeramkan. 

Selanjutnya, kami membahas soal Kia. Bu Widya tahu banyak. Dia katanya bersahabat baik dengan Kia. 

Ah, Kia benar-benar dekat dengan guru di sekolah. 

"Saya permisi," katanya terburu-buru. Aku mengangguk, hanya mengantarkan sampai ke halaman rumah. 

Eh? Aku mengernyit, ketika mendapati buku tulis yang tertinggal di atas meja. Sepertinya, milik Bu Widya. 

Namun, saat melihat namanya, ternyata nama Kia. 

Mungkin, buku ini memang sengaja ditinggal. Milik Kia. Aku mengangkat bahu, bersiap-siap untuk tahlilan. 

***

Mas Dion sudah ke rumah sakit kembali. Menjaga Mamanya. Ini hari terakhir Mas Dion mengambil cuti. 

Masih pagi sekali. Aku menatap foto Kia. Sungguh, aku merindukan Kia. Tifa bermain di lantai, sesekali tertawa sendiri. 

"Assalammualaikum." 

Terdengar ramai sekali di halaman rumah. Aku berjalan ke depan, menggendong Tifa. Tersenyum melihat teman-teman dan wali kelas Kia. 

"Waalaikumsalam. Ayo masuk, Bu, anak-anak." 

"Maaf baru bisa datang, Bu. Saya turut berduka cita atas kejadian yang menimpa Kia. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah. Semoga Ibu dan keluarga diberikan ketabahan."

Aku mengangguk. Nah, ini Bu Septi—wali kelas Kia. Sering ketemu di sekolah. 

Kembali lagi aku membicarakan soal Kia. Meminta maaf pada semuanya, kalau Kia ada kesalahan. 

Saat menoleh ke anak-anak, aku melihat Kia. Wajahnya penuh darah. Entah ini halusinasi atau bukan. 

Aku menelan ludah, membuang pandangan, ketika dia melambaikan tangan. Ah, aku berharap ini hanya halusinasi, kemudian dia cepat berlalu dari sana.

Tercium bau amis. Aku jadi tidak bisa menyimak perkataan Bu Septi lagi. 

Jantungku berdegup tidak karuan. Sesekali melihat ke arah anak-anak. Kia berada di antara mereka. 

Bersimbah penuh darah, pakaiannya juga. Rambutnya benar-benar terlihat kusut. Dia menatapku tersenyum. Juga menatap Tifa. 

"Mama, Kia sakit." 

Terdengar bisikannya. Aku menahan napas, sesekali membaca surat pendek dalam hati, juga ayat kursi. 

"Yaudah, Bu. Kami pamit dulu."

Seperti tertarik dari dunia lain, aku mengerjap-ngerjap, menatap Bu Septi. 

"Ah, iya. Sekali lagi saya terima kasih sudah datang kesini, Bu."

Bu Septi mengangguk. Dia mengajak anak-anak berdiri dan menyalimiku. 

Sebelum Bu Septi pergi, aku menahannya sebentar. 

"Kalau Bu Widya mengajar apa di sekolah, ya, Bu?" 

Siapa tahu nanti aku bisa menemui Bu Widya, kalau ke sekolah Kia. 

Bu Septi terdiam mendengar perkataanku. Anak-anak yang mendengar malah bisik-bisik. 

"Tidak ada yang namanya Bu Widya di sekolah, Bu." 

Wajahku memucat mendengarnya. "Tapi tadi Bu Widya datang kesini. Cerita banyak soal Kia."

Kali ini, Bu Septi ikutan pucat. 

"Mungkin guru SD-nya Kia, Bu." 

"Bu Widya bilangnya guru SMP, Bu." 

Bu Septi mengusap wajahnya. Dia menatapku. 

"Ada satu guru namanya Bu Widya."

Ah, memang ada. Aku sudah yakin itu. Tidak mungkin aku salah. 

"T—tapi itu satu tahun yang lalu. Bu Widya dibunuh di sekolah, Bu. Pakaiannya penuh darah, juga wajahnya."

***

Ada yang bisa narik benang merahnyaa? 

Jangan lupa like dan komennnn

Related chapters

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Ikat Pinggang Bercak Darah

    "Bi, tadi malam pas Bibi antar minum yang saya minta, Bibi lihatnya tamunya perempuan, 'kan?" Bi Jem menoleh. Di dapur sedang sibuk sekali. Apalagi kemarin belum sempat cuci piring. Pembantuku itu menatap lekat. Wajahnya tampak berbeda. "Saya minta maaf sebelumnya, Bu. Pas tadi malam ngantar minuman untuk tamu yang Ibu bilang, saya sama sekali gak lihat siapa pun, Bu. Gak ada orang, maka nya saya agak aneh sama Ibu. Mungkin, kemarin hanya halusinasi Ibu saja." Wajahku memucat mendengarnya. Berarti siapa yang datang tadi malam? Bu Widya. Ah, wanita yang mengaku guru Kia itu benar-benar misterius. Aku menggelengkan kepala. Itu bukan halusinasi. Lalu apa tadi malam itu nyata? "Saya permisi dulu, Bu. Nanti, kalau ada yang mau Ibu tanyakan, panggil saya saja."Bi Jem pamit kembali bersih-bersih. Sedangkan aku berjalan ke kamar Kia. Pasti ada yang Kia sembunyikan, apalagi mengenai gurunya itu, Bu Widya. Aku membuka pintu kamar. Aroma parfum yang biasa dipakai Kia, tercium pekat. Ah, a

    Last Updated : 2022-06-14
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Kia Masih Hidup?

    "Bukunya akhirnya ketemu juga. Bibi ketemu di mana?" tanyaku sambil membereskan mainan Tifa."Di bawah kolong tempat tidur, Bu. Saya juga gak tahu kenapa Non Kia meletakkan buku hariannya di sana." Bi Jem menatapku, menjelaskan dimana dia mendapatkan buku harian milik Kia. Aku mengangguk, menyuruh Bi Jem kembali ke dapur. Aku meletakkan mainan Tifa ke atas meja, kemudian duduk di tempat tidur. Tifa sedang anteng. Pelan sekali aku membuka halaman pertama. Kosong, tidak ada tulisan apa pun. Aku membuka halaman kedua. Ada foto Kia, sedang tersenyum di sana. Setelah halaman pertama, aku membuka halaman kedua. Kosong juga, tidak ada apa pun. Halaman ketiga juga begitu, aku menggaruk kepala, bingung dengan buku harian ini. "Kakak, kakak." Eh? Aku menoleh ke Tifa yang berteriak barusan. Pandanganku teralih ke arah yang ditunjuk oleh Tifa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sampai di halaman terakhir, aku menemukan foto Kia dan Bu Widya. Mereka berfoto bersama. Ada senyuman, tapi terlihat k

    Last Updated : 2022-06-14
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Hubungan Misterius Mas Dion dan Widya

    "Kia? Siapa Kia?" tanyanya sambil menoleh padaku. Aku mengernyit. Sosok di hadapanku ini bukan halusinasi, dia nyata. Namun, kenapa Kia tidak mengenalku?"Sayang, kamu lagi sama siapa?" tanya seseorang yang datang dari arah lain. Aku mengernyit, bergantian memandang Kia dan wanita paruh baya itu. "Gak tahu, Bu. Tiba-tiba datang."Wanita paruh baya itu menatapku aneh, dia langsung memegang kursi roda Kia. Dia melihatku seperti penjahat saja. "Maaf, ya, Bu. Kami orang susah, gak punya apa-apa. Jadi, jangan culik anak saya." Benar saja. Aku menatap Kia lekat-lekat, dia anakku. Tidak salah lagi, pandanganku teralih ke wanita paruh baya itu, siapa wanita ini? Kenapa Kia seolah-olah tidak mengenalku?"Saya dan anak saya permisi." Ibu itu membawa Kia pergi. Aku menatap ruangan yang dimasuki mereka. Sungguh, aku yakin sekali. Anak itu adalah Kia, aku akan bilang pada Bang Gery dulu. Saat ini, tidak ada bukti yang jelas, apalagi aku hanya sendirian. Ada perawat yang lewat. Aku buru-buru

    Last Updated : 2022-06-23
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Nenek Widya Tahu Sesuatu?

    "Sering banget Kak Widya cerita sama aku, dia tersiksa terus-terusan. Dia depresi." Aku terdiam membaca kalimat terakhir di buku itu dan juga kalimat bertinta merah darah. Mas Dion menghancurkan hidup Bu Widya? Apa hubungannya? Apakah Bu Widya punya masa lalu dengan Mas Dion? Ah, besok aku harus mengunjungi rumah Bu Widya. Bertanya pada keluarganya. Tidak perlu ditunda-tunda lagi, harus secepatnya. Misteri ini. Sedikit demi sedikit, semuanya mulai terbongkar. Ya, tidak usah terlalu cepat. Yang penting terbongkar semuanya. Kalau benar Mas Dion di balik kasus pembunuhan Bu Widya, aku tidak akan tinggal diam. Ya, semuanya harus diusut sampai tuntas. ***Ponselku berdering saat sedang sarapan. Mas Dion hari ini sudah mulai bekerja. Cutinya selesai. Mas Dion bekerja di sebuah perusahaan, dia jadi mandor. "Aku angkat telepon dulu, Mas."Dari kepolisian. Aku mengangkat teleponnya di dapur. Menyapa duluan, sepertinya ada kabar baik. "Selamat pagi, Bu. Ini Bu Via? Orang tua dari Ananda

    Last Updated : 2022-06-23
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Pelaku di Balik Semua Misteri

    "Kita mau kemana ini? Kok gelap banget?" bisik Sari ketika kami memasuki ruangan serba gelap.Aku mengangkat bahu. Tidak tahu juga, Nenek Bu Widya hanya diam saja. Memimpin jalan kami, entah kami diajak kemana.Pintu terbuka sendiri. Aku mundur satu langkah, melongo melihat pintu besar itu. Bisa terbuka sendiri ternyata."Pasti udah modern banget di sini. Pintu aja bisa kebuka sendiri." Sari sejak tadi berbisik.Kami ikut berhenti setelah melangkah jauh. Entah ruangan apa ini, tampak rumput yang memanjang di tembok.Aku mengusap tengkuk. Sedikit merinding. Hawa di sini berbeda sekali."Tunggu sebentar." Nenek Bu Widya berjalan meninggalkan kami.Sari mengajakku mengikutinya, tapi itu tidak mungkin. Nenek it

    Last Updated : 2022-06-23
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Misteri yang Disimpan Bang Gery

    "Serius? Kok kamu bisa nebak yang jadi dalangnya adalah Dion? Kenapa?" tanya Sari seakan tidak percaya dengan perkataanku.Aku masih menatap foto di bingkai besar itu. Menghela napas pelan.Sekarang, memang tidak ada buktinya. Namun, bisa ditebak dengan mudah. Aku menelan ludah, menoleh ke Sari yang masih menatapku bertanya-tanya."Korban pertama, Kakaknya Mas Dion. Korban pertama yang dibencinya."Sambil menganalisis, aku berusaha mengingat perkataan Nenek tadi. Dia beberkan semua korbannya. Aku mengalihkan pandangan dari Sari, menatap foto di bingkai itu kembali."Korban kedua, orang yang paling dekat dengan orang kesayangan pelaku, Bu Widya." Aku mengusap wajah.Entah kenapa, aku merasa bersalah. Bu Sari tidak ada sangkut pautnya di sini, tapi dia juga ikut menjadi korban.

    Last Updated : 2022-06-23
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Pembunuhnya adalah ....

    "Iya, Abang sebenarnya udah tahu. Abang tahu semuanya, Dek."Mendengar itu, pandanganku menjadi kosong. Benar saja. Bang Gery memang sudah tahu semuanya."Abang pernah peringatin kamu untuk jangan menikah dengan si Dion bukan?"Ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu. Beberapa hari sebelum pernikahanku dan Mas Dion terjadi. Bang Gery memang sempat melarang.Bang Gery menatapku. Tatapannya penuh rasa bersalah."Saat kamu menikah dengan Gery. Saat itulah kutukan itu semakin besar."Aku menelan ludah. Bang Gery mengatakannya santai sekali, tapi di wajahnya ada kecemasan luar biasa."Kamu belum punya Kia, Abang peringatin terus. Abang gak mau kamu juga kena, Vi."Ah, ini salahku atau bagaimana? Kenapa aku bisa mengabaikan perkataan Bang Gery?"Kia juga udah tahu. Mengenai kutukan itu. Maka nya Abang bilang, kamu jangan sampai membenci kami, karena kurang memperingati kamu. Tidak terbuka.""Kutukan itu—" Mataku berkaca-kaca. "Sebenarnya kutukan apa, Bang?"Bang Gery tersenyum lembut.

    Last Updated : 2022-06-25
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Kakek Misterius di Makam Kia

    "Mari, Nak. Kakek sudah menunggu kalian sejak tadi. Akhirnya datang juga."Eh? Menunggu kami sejak tadi? Aku meremas tangan Sari yang dingin. Dia juga ketakutan. Aku menoleh ke makam Kia. Menelan ludah. Urusan ini rumit sekali, entah siapa kakek yang datang kesini, kemudian bilang kalau menunggu kami sejak tadi. "Nak? Kenapa diam saja? Ayo ke rumah kakek. Di dekat sini. Kalian sepertinya kelelahan sekali, biar beristirahat di rumah Kakek."Sari menatapku, dia meminta keputusan. Aku menggigit bibir, kemudian mengangguk. Tidak ada gunanya lagi menunggu saja di sini. "Ayo, Nak." Kami berdua berjalan mengikuti kakek bertongkat ini. Dia sesekali batuk-batuk. Aku mengusap tengkuk. Semakin malam di pemakaman ini, semakin mengerikan. Bau amis bahkan sudah sejak tadi menyeruak di penciuman. "Kapan sampainya, sih?" tanya Sari. Kami memang tidak sampai-sampai. Perasaan, makamnya tidak terlalu banyak seperti sekarang. Kenapa ini banyak sekali? Ah, aku tidak paham. Hanya mengikuti kakek in

    Last Updated : 2022-06-25

Latest chapter

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Ledakan Berbahaya

    "Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Mas Dion di Kampung Kematian

    "Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Bang Gery Sebenarnya adalah ....

    "Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Target Berikutnya ....

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Korban-Korban Akan Kembali Berjatuhan

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Tifa Meninggal?

    "Nenek tau aja." Bang Gery nyengir, dia menggaruk kepala, bingung harus bereaksi apa. "Sudah mengenal tabiatmu. Juga kalian, Nak."Nenek itu menatap kami. Dia tersenyum penuh rahasia. "Nenek yakin, kalian bisa menghancurkan kutukan itu."Aku menghela napas lega. Kukira tadi, kami akan dimarahi atau paling parah diusir, apalagi Nenek itu terlihat emosian. "Kami pamit dulu, Nek. Terima kasih atas pinjaman senjatanya."Kami diantar sampai ke depan. Ketika keluar dari rumah itu, pintunya tertutup sendiri, membuatku lompat ke depan. Kaget sendiri."Duh, pintunya ngagetin. Kenapa bisa ketutup kayak gitu, sih. Nyebelin." Sari mendumal sendiri, dia membenarkan jilbabnya, berjalan duluan. "Namanya juga pintu rumah modern. Keren gitu."Bang Gery yang menjawab. Dia menyusulku dan Sari yang sudah duluan. Pistol itu, Bang Gery yang pegang. Aku masuk ke dalam mobil, mengembuskan napas lega. Sesuatu yang awalnya kami kira sulit, ternyata lumayan mudah. Aku membenarkan posisi duduk, Bang Gery sud

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Senjata Mematikan Kedua

    "Ne—Nenek tahu?" tanya Sari terkejut. Aku menghela napas pelan, tidak terlalu terkejut mendengar perkataan Nenek itu. Apalagi ini kali kedua kami datang kesini. Hal seperti itu sudah biasa sekali. "Ah, ada satu lagi yang datang rupanya." Pandangan Nenek itu berhenti di Bang Gery. "Selamat pagi, Nek." Bang Gery langsung menyodorkan tangan, menyalami Nenek itu. Sari menatapku. Kami tidak pernah salaman pada Nenek itu. Aku hanya diam, tidak mau menyalimi Nenek itu. "Mari masuk, Nak. Kalian sudah sarapan? Nenek barusan selesai masak."Bagaimana kalau ada sesuatu di sarapan itu? Aku menelan ludah, kemudian menggelengkan kepala. "Kami langsung mengobrol saja, Nek. Urusan ini penting sekali."Nenek itu menoleh. Dia diam sejenak, kemudian memasang senyum dan mengangguk. "Ayo ke ruang tamu."Kami mengambil tempat duduk masing-masing. Aku menyenggol Bang Gery, menyuruhnya bicara duluan. "Untuk apa senjata itu, Nak? Kalian hanya akan membuat korban banyak. Kalau tujuan kalian ingin mengamb

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Perawat Baru Tifa Mencurigakan

    "Masalahnya, Abang mau? Abang, kan, gak suka berurusan kayak gitu." Aku mengembuskan napas pelan.Situasi ini, rumit sekali. Kalau aku bisa memegang senjata itu, sudah pasti aku yang membunuh Kakek tua itu sendirian. Tidak perlu membawa Bang Gery juga.Bagaimana kalau korban akan bertambah setelah kami membawa Bang Gery? Ah, aku tidak mau itu terjadi.Kalau bisa, hanya aku yang diancam sebagai korban. Jangan orang lain, jangan Sari. Juga jangan Bang Gery.Ya ampun, semua ini akan memakan banyak korban. Aku menghela napas berat. Pusing memikirkannya."Kamu mikirin gimana kalau Abang ikutan jadi korban, ya?"Ah, Bang Gery menyadarinya sendiri. Aku tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang terlibat, kemudian menambahkan jumlah korban. Itu menakutkan."Kalau kamu tahu yang sebenarnya, kamu mungkin gak bakalan khawatir, Vi. Abang punya rahasia, itu yang buat Abang mau ikut sama kalian. Membunuh Kakek tua itu."Aku menatap Bang Gery tidak mengerti. Dia

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Senjata yang Disimpan Bang Gery

    "Hah?!" Wajah Bang Gery berubah panik. "Kamu ngomong apaan, sih, Vi? Gak ada lah, senjata apa coba? Pisau banyak, tuh, di dapur."Bang Gery tertawa sendiri, berusaha mencairkan suasana. Namun, aku dan Sari tidak tertawa sama sekali. Kami tetap terlihat serius. Melihat kami yang tetap diam, Bang Gery berdeham. Dia menghentikan tawanya. "Kenapa tiba-tiba kalian datang kesini terus nanya soal senjata?" tanya Bang Gery, kali ini lebih serius. Aku menghela napas pelan. "Kami butuh senjata itu, Bang.""Iya masalahnya, senjata apa, Vi? Abang gak tahu apa senjata yang kalian maksud.""Senjata kutukan kematian. Gak mungkin Abang gak tahu." Sari ikut berbicara, dia membenarkan posisi jilbabnya. "Serius, deh. Abang gak tahu soal senjata kutukan kematian yang kalian bilang. Dimana? Bentuknya aja gak tahu."Sari menoleh ke aku, wajahnya tampak datar. Kami sudah menduga, Bang Gery pasti pura-pura tidak tahu, ketika kami meminta senjata itu. Ya, tidak mungkin dia memberikannya secara cuma-cuma.

DMCA.com Protection Status