Beranda / Thriller / Anakku Bermain dengan Siapa? / Ikat Pinggang Bercak Darah

Share

Ikat Pinggang Bercak Darah

Penulis: Rahma La
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-14 21:55:39

"Bi, tadi malam pas Bibi antar minum yang saya minta, Bibi lihatnya tamunya perempuan, 'kan?" 

Bi Jem menoleh. Di dapur sedang sibuk sekali. Apalagi kemarin belum sempat cuci piring. Pembantuku itu menatap lekat. Wajahnya tampak berbeda. 

"Saya minta maaf sebelumnya, Bu. Pas tadi malam ngantar minuman untuk tamu yang Ibu bilang, saya sama sekali gak lihat siapa pun, Bu. Gak ada orang, maka nya saya agak aneh sama Ibu. Mungkin, kemarin hanya halusinasi Ibu saja." 

Wajahku memucat mendengarnya. Berarti siapa yang datang tadi malam? Bu Widya. Ah, wanita yang mengaku guru Kia itu benar-benar misterius. 

Aku menggelengkan kepala. Itu bukan halusinasi. Lalu apa tadi malam itu nyata? 

"Saya permisi dulu, Bu. Nanti, kalau ada yang mau Ibu tanyakan, panggil saya saja."

Bi Jem pamit kembali bersih-bersih. Sedangkan aku berjalan ke kamar Kia. Pasti ada yang Kia sembunyikan, apalagi mengenai gurunya itu, Bu Widya. 

Aku membuka pintu kamar. Aroma parfum yang biasa dipakai Kia, tercium pekat. Ah, aku jadi merindukan Kia. Biasanya, dia selalu mengajakku curhat di sini. 

Tidak ada yang aneh sebenarnya. Kemarin aku juga sudah membereskan barang-barang di kamar Kia. Hanya pakaian yang acak-acakan. 

"Bi Jem, bisa bantuin saya cari sesuatu di kamar Kia?" Aku kembali lagi ke dapur. Sudah bersih semua, Bi Jem bahkan sudah bisa duduk-duduk. 

"Bisa, Bu. Mau cari apa di kamar Non Kia?" tanya Bi Jem sambil mengikutiku dari belakang.

Aku juga tidak tahu apa yang akan aku cari di kamar Kia. Sebenarnya, aku ingin menceritakan semua kejadian aneh ini pada Bi Jem, apalagi Bi Jem adalah pembantu setiaku. Sejak Kia belum lahir, Bi Jem yang selalu ada. 

Kami berdua masuk ke dalam kamar Kia. Aku memberikan instruksi agar mencari buku harian Kia. Ya, biasanya Kia kalau bukan curhat padaku, dia cuhat di buku harian. 

"Bukunya warna biru muda, Bi. Saya gak tahu dia taruh mana. Tapi ada di kamar ini. Kemarin gak ketemu pas beres-beres."

Bi Jem mengangguk. Mulai mencari buku harian milik Kia. Pasti ada banyak hal yang Kia tulis di buku itu.

Bisa jadi, ada jawaban di buku itu. Jawaban atas misteri ini semua. Aku membongkar lemari Kia, kadang memeluk pakaiannya. Jujur, aku masih kehilangan Kia. 

Tifa sedang tidur di kamar. Membuatku lebih bebas untuk membongkar kamar Kia. Kalau belum tidur, Tifa biasanya di ruang keluarga. Mainan sendiri. Ah, kalau Kia masih ada, pasti Tifa ada teman bermain. 

Aku mengernyit ketika melihat ada ikat pinggang milik Mas Dion. Ada bekas darah di sana, sudah mengering. Untuk apa ikat pinggang ini ada di sini? 

"Bi, saya ke kamar dulu. Tolong cariin buku hariannya Kia. Nanti, kalau udah ketemu langsung cari saya di kamar, Bi." 

Bi Jem mengangguk. Aku berjalan ke kamar, membawa ikat pinggang milik Mas Dion yang ada bercak darah mengeringnya. Entah untuk apa ikat pinggang ini. 

Sebenarnya, aku penasaran sekali. Sikap Mas Dion yang aneh beberapa hari terakhir ini jadi teka-teki. Aku merasa, ada yang disembunyikan Mas Dion soal Kia. 

Polisi juga belum memberi kabar sama sekali. Padahal, aku sudah menanti. Aku ingin marah pada orang yang sudah menabrak anakku. Aku ingin orang itu mendapatkan balasan yang setimpal atas meninggalnya Kia.

Langkahku terhenti, ketika ponsel berdering. Mas Dion menelepon. Aku menggeser tombol berwarna hijau. Menunggunya menyapa duluan. 

"Halo, Via. Kamu ada uang, gak? Aku mau pinjam."

"Uang untuk apa, Mas? Kita lagi banyak kebutuhan, kamu malah mau minjam."

"Sedikit aja. Besok aku ganti, berkali-kali lipat, Vi. Kamu tenang aja."

Keningku mengernyit. Agak aneh dengan kalimat Mas Dion. Dia akan menggantinya berkali-kali lipat? Padahal, dia gajian masih lama. Ini saja baru tanggal sepuluh. 

"Sayang? Kamu masih ada di sana, 'kan?" 

"Iya. Butuh berapa, Mas?" tanyaku pelan. 

Jujur saja, aku tidak bisa menolak untuk meminjamkan uang pada Mas Dion. Mungkin, dia mau membayar tagihan rumah sakit Mamanya atau ada keperluan di perusahaan. 

Mas Dion menyebutkan nominal. Tidak terlalu banyak, tapi itu juga tidak sedikit. Aku menghela napas pelan. Mas Dion memang sering meminjam uang dan benar dia mengembalikannya berkali-kali lipat lebih banyak keesokan harinya. 

Entah darimana uang itu. Aku juga tidak mengerti, tapi Mas Dion selalu bilang kalau uang itu halal. Dia tidak mungkin memberikan uang haram. 

Ah, aku jadi galau sendiri. 

"Yaudah, nanti aku kirim ke rekening Mas."

Aku kembali melanjutkan langkah, setelah Mas Dion mematikan telepon. Sesekali, aku melirik ikat pinggang di tangan. 

Lemari pakaian terbuka. Aku meletakkan ikat pinggang di samping pakaian yang tergantung, kemudian memungut pakaian Mas Dion yang terjatuh. 

"Eh?" Aku terkejut melihat ada yang terjatuh. 

Melihat ada foto yang terjatuh, aku langsung memungutnya. Foto itu ada di kantong pakaian Mas Dion. Saat menatap foto di tangan, aku terdiam sejenak. Seperti tidak asing dengan wanita yang ada di foto ini. 

"Ini Bu Widya, 'kan?" gumamku sendiri. Aku menyalakan senter ponsel, menatap foto ini lekat. Benar, wajah di foto ini sama dengan wanita yang datang tadi malam. 

Jantungku berdetak kencang. Ada rahasia di antara Bu Widya dan Mas Dion. Bau amis darah tercium. Aku menatap sekeliling. Membaca doa pendek. 

Pandanganku terhenti ke gorden putih yang berkibar-kibar. Padahal, di luar sedang panas sekali dan kipas angin sedang tidak menyala. 

Aku melangkah pelan, mendekati gorden itu. Jantungku sejak tadi berdetak tidak karuan, bau amis darah menguar, memenuhi kamar. 

"Siapa di sana?" tanyaku pelan. 

Deg. 

Serasa ada yang memegang lenganku. Ada angin kencang lewat barusan, aku menoleh ke kanan, tidak ada siapa pun. 

Terdengar suara ketukan. Aku menelan ludah, mencari sumber suara. Ketukan itu semakin kencang. Aku menatap jendela, itu sumbernya. 

Tok! Tok! Tok!

Suaranya semakin kencang, tapi tidak kelihatan ada orang di sana. Aku melangkah semakin dekat. Jantungku seperti berhenti berdetak, ketika ada sosok hitam lewat. 

"Sakit, Pa. Sakit." 

Terdengar suara Kia. Aku menelan ludah, suara itu terdengar menyakitkan. Membuat suasana lebih horor. Aku mengusap lengan. 

"Sakit, Pa." 

Suara itu berdengung di telingaku. Aku menutup telinga, berharap suara itu berhenti secepatnya. Entah kenapa, aku bisa merasakan penderitaan Kia. 

Sakit, pedih, panas. Semuanya bercampur. Lalu dia menyebutkan Papanya. Aku membaca ayat kursi, berharap gangguan ini segera hilang. 

Beberapa menit, akhirnya suara itu berhenti. Aku mengusap peluh di dahi. Apakah Mas Dion pernah menyiksa Kia? Ah, kenapa aku tidak mengetahuinya?

Pandanganku kembali teralih ke foto yang ada di tangan. Apa hubungannya Mas Dion dan Bu Widya ini? 

Terdengar isak tangis di kamar Tifa. Aku berdiri, bergegas ke kamar Tifa, meskipun masih lemas. Ada beberapa mainan di sana, padahal saat Tifa tidur tadi, dia tidak membawa mainan apa pun. 

"Anak Mama kenapa?" tanyaku sambil menggendong Tifa. 

Tangisnya mulai reda. Mata Tifa tidak berhenti melihat kanan-kiri. Seperti ada yang dicarinya. Aku mengusap punggung Tifa, mencium kening nya. 

"Tifa cari siapa, Nak? Papa belum pulang, nanti kalau mau ketemu Papa, ya." 

Tifa menoleh ke arahku. Kali ini, dia menatapku cukup lama, matanya merah, karena menangis tadi. Aku tersenyum lembut, mengusap pipi Tifa. 

"Kak Kia." 

Eh? Pandanganku kembali teralih ke mainan di atas kasur. Tifa tidak mungkin membawa mainan ini sendirian, tapi lebih tidak mungkin kalau yang membawanya Kia. 

"Bu." 

Aku menoleh, Bi Jem sudah berdiri di depan kamar. Di tangan Bi Jem ada buku aku menatap cukup lama. Kemudian menyuruh Bi Jem masuk. 

"Ini buku hariannya Non Kia, Bu." 

***

Jangan lupa like dan komen, yaa. 

Bab terkait

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Kia Masih Hidup?

    "Bukunya akhirnya ketemu juga. Bibi ketemu di mana?" tanyaku sambil membereskan mainan Tifa."Di bawah kolong tempat tidur, Bu. Saya juga gak tahu kenapa Non Kia meletakkan buku hariannya di sana." Bi Jem menatapku, menjelaskan dimana dia mendapatkan buku harian milik Kia. Aku mengangguk, menyuruh Bi Jem kembali ke dapur. Aku meletakkan mainan Tifa ke atas meja, kemudian duduk di tempat tidur. Tifa sedang anteng. Pelan sekali aku membuka halaman pertama. Kosong, tidak ada tulisan apa pun. Aku membuka halaman kedua. Ada foto Kia, sedang tersenyum di sana. Setelah halaman pertama, aku membuka halaman kedua. Kosong juga, tidak ada apa pun. Halaman ketiga juga begitu, aku menggaruk kepala, bingung dengan buku harian ini. "Kakak, kakak." Eh? Aku menoleh ke Tifa yang berteriak barusan. Pandanganku teralih ke arah yang ditunjuk oleh Tifa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sampai di halaman terakhir, aku menemukan foto Kia dan Bu Widya. Mereka berfoto bersama. Ada senyuman, tapi terlihat k

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-14
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Hubungan Misterius Mas Dion dan Widya

    "Kia? Siapa Kia?" tanyanya sambil menoleh padaku. Aku mengernyit. Sosok di hadapanku ini bukan halusinasi, dia nyata. Namun, kenapa Kia tidak mengenalku?"Sayang, kamu lagi sama siapa?" tanya seseorang yang datang dari arah lain. Aku mengernyit, bergantian memandang Kia dan wanita paruh baya itu. "Gak tahu, Bu. Tiba-tiba datang."Wanita paruh baya itu menatapku aneh, dia langsung memegang kursi roda Kia. Dia melihatku seperti penjahat saja. "Maaf, ya, Bu. Kami orang susah, gak punya apa-apa. Jadi, jangan culik anak saya." Benar saja. Aku menatap Kia lekat-lekat, dia anakku. Tidak salah lagi, pandanganku teralih ke wanita paruh baya itu, siapa wanita ini? Kenapa Kia seolah-olah tidak mengenalku?"Saya dan anak saya permisi." Ibu itu membawa Kia pergi. Aku menatap ruangan yang dimasuki mereka. Sungguh, aku yakin sekali. Anak itu adalah Kia, aku akan bilang pada Bang Gery dulu. Saat ini, tidak ada bukti yang jelas, apalagi aku hanya sendirian. Ada perawat yang lewat. Aku buru-buru

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-23
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Nenek Widya Tahu Sesuatu?

    "Sering banget Kak Widya cerita sama aku, dia tersiksa terus-terusan. Dia depresi." Aku terdiam membaca kalimat terakhir di buku itu dan juga kalimat bertinta merah darah. Mas Dion menghancurkan hidup Bu Widya? Apa hubungannya? Apakah Bu Widya punya masa lalu dengan Mas Dion? Ah, besok aku harus mengunjungi rumah Bu Widya. Bertanya pada keluarganya. Tidak perlu ditunda-tunda lagi, harus secepatnya. Misteri ini. Sedikit demi sedikit, semuanya mulai terbongkar. Ya, tidak usah terlalu cepat. Yang penting terbongkar semuanya. Kalau benar Mas Dion di balik kasus pembunuhan Bu Widya, aku tidak akan tinggal diam. Ya, semuanya harus diusut sampai tuntas. ***Ponselku berdering saat sedang sarapan. Mas Dion hari ini sudah mulai bekerja. Cutinya selesai. Mas Dion bekerja di sebuah perusahaan, dia jadi mandor. "Aku angkat telepon dulu, Mas."Dari kepolisian. Aku mengangkat teleponnya di dapur. Menyapa duluan, sepertinya ada kabar baik. "Selamat pagi, Bu. Ini Bu Via? Orang tua dari Ananda

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-23
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Pelaku di Balik Semua Misteri

    "Kita mau kemana ini? Kok gelap banget?" bisik Sari ketika kami memasuki ruangan serba gelap.Aku mengangkat bahu. Tidak tahu juga, Nenek Bu Widya hanya diam saja. Memimpin jalan kami, entah kami diajak kemana.Pintu terbuka sendiri. Aku mundur satu langkah, melongo melihat pintu besar itu. Bisa terbuka sendiri ternyata."Pasti udah modern banget di sini. Pintu aja bisa kebuka sendiri." Sari sejak tadi berbisik.Kami ikut berhenti setelah melangkah jauh. Entah ruangan apa ini, tampak rumput yang memanjang di tembok.Aku mengusap tengkuk. Sedikit merinding. Hawa di sini berbeda sekali."Tunggu sebentar." Nenek Bu Widya berjalan meninggalkan kami.Sari mengajakku mengikutinya, tapi itu tidak mungkin. Nenek it

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-23
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Misteri yang Disimpan Bang Gery

    "Serius? Kok kamu bisa nebak yang jadi dalangnya adalah Dion? Kenapa?" tanya Sari seakan tidak percaya dengan perkataanku.Aku masih menatap foto di bingkai besar itu. Menghela napas pelan.Sekarang, memang tidak ada buktinya. Namun, bisa ditebak dengan mudah. Aku menelan ludah, menoleh ke Sari yang masih menatapku bertanya-tanya."Korban pertama, Kakaknya Mas Dion. Korban pertama yang dibencinya."Sambil menganalisis, aku berusaha mengingat perkataan Nenek tadi. Dia beberkan semua korbannya. Aku mengalihkan pandangan dari Sari, menatap foto di bingkai itu kembali."Korban kedua, orang yang paling dekat dengan orang kesayangan pelaku, Bu Widya." Aku mengusap wajah.Entah kenapa, aku merasa bersalah. Bu Sari tidak ada sangkut pautnya di sini, tapi dia juga ikut menjadi korban.

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-23
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Pembunuhnya adalah ....

    "Iya, Abang sebenarnya udah tahu. Abang tahu semuanya, Dek."Mendengar itu, pandanganku menjadi kosong. Benar saja. Bang Gery memang sudah tahu semuanya."Abang pernah peringatin kamu untuk jangan menikah dengan si Dion bukan?"Ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu. Beberapa hari sebelum pernikahanku dan Mas Dion terjadi. Bang Gery memang sempat melarang.Bang Gery menatapku. Tatapannya penuh rasa bersalah."Saat kamu menikah dengan Gery. Saat itulah kutukan itu semakin besar."Aku menelan ludah. Bang Gery mengatakannya santai sekali, tapi di wajahnya ada kecemasan luar biasa."Kamu belum punya Kia, Abang peringatin terus. Abang gak mau kamu juga kena, Vi."Ah, ini salahku atau bagaimana? Kenapa aku bisa mengabaikan perkataan Bang Gery?"Kia juga udah tahu. Mengenai kutukan itu. Maka nya Abang bilang, kamu jangan sampai membenci kami, karena kurang memperingati kamu. Tidak terbuka.""Kutukan itu—" Mataku berkaca-kaca. "Sebenarnya kutukan apa, Bang?"Bang Gery tersenyum lembut.

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Kakek Misterius di Makam Kia

    "Mari, Nak. Kakek sudah menunggu kalian sejak tadi. Akhirnya datang juga."Eh? Menunggu kami sejak tadi? Aku meremas tangan Sari yang dingin. Dia juga ketakutan. Aku menoleh ke makam Kia. Menelan ludah. Urusan ini rumit sekali, entah siapa kakek yang datang kesini, kemudian bilang kalau menunggu kami sejak tadi. "Nak? Kenapa diam saja? Ayo ke rumah kakek. Di dekat sini. Kalian sepertinya kelelahan sekali, biar beristirahat di rumah Kakek."Sari menatapku, dia meminta keputusan. Aku menggigit bibir, kemudian mengangguk. Tidak ada gunanya lagi menunggu saja di sini. "Ayo, Nak." Kami berdua berjalan mengikuti kakek bertongkat ini. Dia sesekali batuk-batuk. Aku mengusap tengkuk. Semakin malam di pemakaman ini, semakin mengerikan. Bau amis bahkan sudah sejak tadi menyeruak di penciuman. "Kapan sampainya, sih?" tanya Sari. Kami memang tidak sampai-sampai. Perasaan, makamnya tidak terlalu banyak seperti sekarang. Kenapa ini banyak sekali? Ah, aku tidak paham. Hanya mengikuti kakek in

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Kabur dari Kakek Jahat

    Tidak ada yang menarik. Kakek itu menyuruh kami mengikutinya. Dia menatapku dan Sari bergantian, tersenyum simpul. "Kalian memang pemberani, Nak." Aku meremas jemari, berkali-kali menghela napas. Suasana di sini lebih tegang. Aku melirik panci besar di sana. "Ah, kalian mau makan dulu? Lapar?" Buru-buru kami berdua menggelengkan kepala. Jangankan untuk makan, tidur saja kami sudah tidak mau di sini. "Baiklah. Kalian memang tidak mau apa-apa. Kalian mau bertanya apa?"Bukankah Kakek ini sudah tahu pertanyaan kami apa? Kenapa pakai ditanya lagi? Aku melirik Sari yang mengangguk. Dia menyuruhku bertanya saja. "Soal kutukan yang terjadi, Kek. A—anak saya menjadi korbannya." Dapat aku lihat, mata Kakek itu langsung berwarna merah. Beberapa detik, dia tertawa. "Bagaimana rasanya, Nak? Anak sendiri menjadi korban. Menyakitkan atau malah menyenangkan?" Aku tersentak, meskipun sudah bisa menebak kalau Kakek ini pasti akan menanyakan soal kutukan itu. "Kakek tahu soal kutukan itu?" t

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25

Bab terbaru

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Ledakan Berbahaya

    "Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Mas Dion di Kampung Kematian

    "Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Bang Gery Sebenarnya adalah ....

    "Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Target Berikutnya ....

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Korban-Korban Akan Kembali Berjatuhan

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Tifa Meninggal?

    "Nenek tau aja." Bang Gery nyengir, dia menggaruk kepala, bingung harus bereaksi apa. "Sudah mengenal tabiatmu. Juga kalian, Nak."Nenek itu menatap kami. Dia tersenyum penuh rahasia. "Nenek yakin, kalian bisa menghancurkan kutukan itu."Aku menghela napas lega. Kukira tadi, kami akan dimarahi atau paling parah diusir, apalagi Nenek itu terlihat emosian. "Kami pamit dulu, Nek. Terima kasih atas pinjaman senjatanya."Kami diantar sampai ke depan. Ketika keluar dari rumah itu, pintunya tertutup sendiri, membuatku lompat ke depan. Kaget sendiri."Duh, pintunya ngagetin. Kenapa bisa ketutup kayak gitu, sih. Nyebelin." Sari mendumal sendiri, dia membenarkan jilbabnya, berjalan duluan. "Namanya juga pintu rumah modern. Keren gitu."Bang Gery yang menjawab. Dia menyusulku dan Sari yang sudah duluan. Pistol itu, Bang Gery yang pegang. Aku masuk ke dalam mobil, mengembuskan napas lega. Sesuatu yang awalnya kami kira sulit, ternyata lumayan mudah. Aku membenarkan posisi duduk, Bang Gery sud

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Senjata Mematikan Kedua

    "Ne—Nenek tahu?" tanya Sari terkejut. Aku menghela napas pelan, tidak terlalu terkejut mendengar perkataan Nenek itu. Apalagi ini kali kedua kami datang kesini. Hal seperti itu sudah biasa sekali. "Ah, ada satu lagi yang datang rupanya." Pandangan Nenek itu berhenti di Bang Gery. "Selamat pagi, Nek." Bang Gery langsung menyodorkan tangan, menyalami Nenek itu. Sari menatapku. Kami tidak pernah salaman pada Nenek itu. Aku hanya diam, tidak mau menyalimi Nenek itu. "Mari masuk, Nak. Kalian sudah sarapan? Nenek barusan selesai masak."Bagaimana kalau ada sesuatu di sarapan itu? Aku menelan ludah, kemudian menggelengkan kepala. "Kami langsung mengobrol saja, Nek. Urusan ini penting sekali."Nenek itu menoleh. Dia diam sejenak, kemudian memasang senyum dan mengangguk. "Ayo ke ruang tamu."Kami mengambil tempat duduk masing-masing. Aku menyenggol Bang Gery, menyuruhnya bicara duluan. "Untuk apa senjata itu, Nak? Kalian hanya akan membuat korban banyak. Kalau tujuan kalian ingin mengamb

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Perawat Baru Tifa Mencurigakan

    "Masalahnya, Abang mau? Abang, kan, gak suka berurusan kayak gitu." Aku mengembuskan napas pelan.Situasi ini, rumit sekali. Kalau aku bisa memegang senjata itu, sudah pasti aku yang membunuh Kakek tua itu sendirian. Tidak perlu membawa Bang Gery juga.Bagaimana kalau korban akan bertambah setelah kami membawa Bang Gery? Ah, aku tidak mau itu terjadi.Kalau bisa, hanya aku yang diancam sebagai korban. Jangan orang lain, jangan Sari. Juga jangan Bang Gery.Ya ampun, semua ini akan memakan banyak korban. Aku menghela napas berat. Pusing memikirkannya."Kamu mikirin gimana kalau Abang ikutan jadi korban, ya?"Ah, Bang Gery menyadarinya sendiri. Aku tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang terlibat, kemudian menambahkan jumlah korban. Itu menakutkan."Kalau kamu tahu yang sebenarnya, kamu mungkin gak bakalan khawatir, Vi. Abang punya rahasia, itu yang buat Abang mau ikut sama kalian. Membunuh Kakek tua itu."Aku menatap Bang Gery tidak mengerti. Dia

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Senjata yang Disimpan Bang Gery

    "Hah?!" Wajah Bang Gery berubah panik. "Kamu ngomong apaan, sih, Vi? Gak ada lah, senjata apa coba? Pisau banyak, tuh, di dapur."Bang Gery tertawa sendiri, berusaha mencairkan suasana. Namun, aku dan Sari tidak tertawa sama sekali. Kami tetap terlihat serius. Melihat kami yang tetap diam, Bang Gery berdeham. Dia menghentikan tawanya. "Kenapa tiba-tiba kalian datang kesini terus nanya soal senjata?" tanya Bang Gery, kali ini lebih serius. Aku menghela napas pelan. "Kami butuh senjata itu, Bang.""Iya masalahnya, senjata apa, Vi? Abang gak tahu apa senjata yang kalian maksud.""Senjata kutukan kematian. Gak mungkin Abang gak tahu." Sari ikut berbicara, dia membenarkan posisi jilbabnya. "Serius, deh. Abang gak tahu soal senjata kutukan kematian yang kalian bilang. Dimana? Bentuknya aja gak tahu."Sari menoleh ke aku, wajahnya tampak datar. Kami sudah menduga, Bang Gery pasti pura-pura tidak tahu, ketika kami meminta senjata itu. Ya, tidak mungkin dia memberikannya secara cuma-cuma.

DMCA.com Protection Status