"Tolong bantu Nenek, Nak."Ragu-ragu aku membantu Nenek itu. Sedangkan Sari bisik-bisik menyuruhku untuk kabur."Kalian darimana?" tanyanya sambil batuk-batuk.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, antara ingin menjawab atau tidak. Namun, kalau kami berada dengan Nenek ini, pasti ada informasi yang kami dapatkan.Sari menyenggol lenganku. Mengajak untuk pergi dari tempat ini."Ka—kami dari tempat jauh, Nek. Kami pamit dulu, Nek."Aku buru-buru menggandeng tangan Sari. Kami akan segera pergi dari hutan menyeramkan ini.Baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba langkah kami seperti melambat. Aku menelan ludah, Sari bahkan menatapku. Wajahnya ketakutan."Jangan cepat-cepat, Nak. Kalian butuh bermalam di sini rupanya."Eh? Aku mengusap dahi yang berkeringat. Kenapa hal-hal misterius seperti ini harus terjadi?"Kalian tadi sudah ke rumah Kakek, 'kan? Kenapa tidak mampir ke rumah Nenek juga? Ah, kalian tidak adil." Apanya, sih? Aku menatap Nenek itu tidak mengerti. Entah kenapa, di s
"Kalian serius langsung bertanya ke solusinya? Tidak mau bertanya soal kutukan itu dulu?"Aku dan Sari saling bertatapan. Kemudian kami menggelengkan kepala. Kami tidak perlu lagi bertanya soal kutukan itu. Kakek yang menjebak kami sudah menjelaskan cukup banyak. Tidak perlu lagi meminta penjelasan, kami harus cepat-cepat mencari cara agar bisa menghapuskan kutukan itu. "Kalian mau tahu, kenapa Kakek itu membawa kalian ke hutan terlarang ini?" tanya Nenek itu sambil menatapku dan Sari bergantian. Keningku mengernyit. Hutan terlarang? Bukankah ini masih di sekitar makam? "Tidak, Nak." Nenek itu seolah tahu ekspresi wajahku. "Kalian tidak berada di sekitar makam milik anak kamu yang menjadi korban itu. Kalian berada di hutan, tempat lain di dunia kalian."Eh? Aku melongo mendengarnya. Ini sama seperti di film-film atau cerita fantasi. Benar-benar lucu, mana ada yang beginian. Ah, aku tidak percaya. "Baiklah. Sepertinya kalian belum percaya, kalau belum melihat secara langsung." Nen
"Nenek bawa manusia biasa ke sini? Wah, parah, sih." Salah satu warga menceletuk. Aku dan Sari sejak tadi diam saja. Kami menunggu diselamatkan. Apakah Nenek itu berhasil menyelamatkan kami? Semoga saja. Warga sini sepertinya sangat membenci manusia biasa. Aku menepuk dahi, apa yang mereka takutkan dari kami? Padahal, sama saja. "Kalian tenang dulu! Mereka hanya sebentar. Untuk melakukan sesuatu, mengambil beberapa tanaman untuk penelitian di dunia mereka sendiri."Aku menggigil, ini dingin sekali. Kapan kami bisa pergi dari sini? "Tidak akan mereka membunuh kalian atau membawa pengaruh buruk, bahkan lebih parah lagi, mereka membawa sial. Tidak akan." "Apa jaminan nya? Kami tidak mau percaya begitu saja. Apalagi mereka tidak dikenal sama sekali." Aku menggigit bibir, menoleh ke Sari yang terdiam juga. Dia sedang berpikir. Dari tadi tidak banyak bicara. Kalau nantinya kami harus diusir dari kampung ini, tidak apa. Setidaknya, kami berhasil pulang selamat. Tapi yang jadi masalah
Aku terdiam mendengar pertanyaan Mas Dion. Sari yang duduk di sebelahku mencolek. Meminta ponselku."Halo, Sayang?" Mas Dion kembali menyapa.Aduh, bagaimana aku akan menjelaskannya?"Halo, Dion.""Ini siapa? Mana Via?"Mas Dion benar-benar banyak pertanyaan. Aku menatap Sari. Berharap dia punya solusi dari masalah ini."Ini Sari. Ingat, gak? Temannya Via, masa gak kenal, sih."Diam sejenak di seberang sana. Aku menunggu, sesekali melirik Sari yang tenang. Dia banyak ide untuk menghadapi Mas Dion. Kami tidak akan ketahuan.Itu gunanya aku mengajak Sari ke sini. Dia punya banyak penjelasan. Juga punya banyak alasan."Ah, iya. Mana Via? Dia ada sama kamu?""Iya, ada. Kita lagi di luar kota, ada kumpul teman lama, nih. Maaf, ya, gak ngabarin kamu. Buru-buru soalnya."Aku tersenyum tipis. Alasan Sari memang paling tepat. Dia terbaik. Apalagi bicara dengan Mas Dion barusan."Oh. Kapan pulangnya?"Nah, kalau aku yang bicara tadi, Mas Dion pasti menyuruhku untuk langsung pulang, marah-marah.
"Nak, kamu benar-benar pemberani ternyata."Aku menelan ludah, jantungku berdegup kencang. Masih berusaha mencari Sari. Dimana sahabatku itu? Kenapa tidak ada dimana-mana? Ah, bahaya ini. Kakek itu melangkah mendekat. Sedangkan aku mundur ke belakang. Meninggalkan mayat istri Kakek itu. "Kamu lihat, Nak. Dia menderita, kenapa kamu malah menariknya keluar dari kuali?"Si Kakek tidak berjalan mendekatiku lagi, tapi mendekati istrinya yang sudah meninggal itu. Dia menggendong, kemudian memasukkan kembali ke dalam kuali. Aku bergedik ngeri. Memangnya, tidak bau, ya? Atau apa gitu? Ih, sangat menyeramkan. Aku menatap ke sekitar, berusaha mencari jalan keluar. Gemetar tanganku mengambil ponsel di saku. Kakek itu sibuk memindahkan istrinya ke dalam kuali, memperbaiki posisi. Aku mengirim pesan pada Sari, setelah dia tidak mengangkat teleponku. Kemana dia? "Kamu mau mencoba menghubungi siapa, Nak?" Ponselku jatuh begitu saja. Untung sudah menghubungi Sari. Semoga dia membaca pesanku.
"Gimana maksudnya? Kok bisa pakai kayak gituan?"Aku mengangkat bahu. "Pokoknya, kita gak bisa bunuh Kakek itu pakai pisau biasa atau senjata lain. Ada alat sendiri." Sari menepuk dahi. Kami diam beberapa saat, memikirkan itu semua. Aku beranjak, berjalan ke meja yang ditunjukkan Nenek itu tadi. "Kamu ngapain?" tanya Sari saat aku mengangkat pistol. Tanganku mengotak-atik pistol itu. Membuat Sari mundur satu langkah. Wajahnya pucat. Aku mengernyit. Ada apa dengannya? "Vi? Kamu gak berubah jadi Kakek itu, 'kan? Kayak yang kamu alami tadi? Bukanya Kakek itu lagi ngelawan si Nenek, ya?" Tawaku meledak mendengarnya. Sari benar-benar polos. Aku menggelengkan kepala, tidak paham lagi dengan sahabatku itu. "Aku Via, kok. Tenang aja, gak bakalan berubah secepat itu." Aku mengusap dahi. Menatap pistol di tangan. Apakah pistol ini bisa membunuh Kakek itu? Pistol ini cukup berbeda. Warnanya keemasan. Unik dan berbeda, apakah mungkin pistol ini yang dimaksud? "Bukan pistol itu, Nak."Kam
"Waduh, ada apa di depan?"Kami langsung mengintip, ketika sopir truk bilang begitu. Sopir truk ini tidak sendirian. Dia ditemani oleh temannya. "Keluar dari truk ini sebentar!"Aku menggigit bibir. Agak sedikit takut, tapi bisa teratasi, ketika mengingat perkataan Nenek Siti. Truk ini ada pengamannya, tidak bisa dimasuki sembarang orang. "Ada apa?" Sopir truk dan temannya turun. Mereka sejak awal menyuruhku dan Sari untuk tetap di mobil. Jangan kemana-mana. Walaupun ada bahaya. Sepertinya, truk ini memang memiliki perlindungan maksimal, tapi kalau dalam bahaya, kami tidak membantu itu tidak benar. Apalagi kami posisinya menebeng di sini. "Apakah kalian mengangkut seseorang?"Benar saja. Pasti orang itu mengincar kami. Aku menggosok dahi, berusaha berpikir. "Kita mau bantuin mereka, Vi? Atau diam saja di sini? Tapi kasian banget."Sebenarnya iya, kami harusnya mengikuti saja perkataan sopi truk. Kami juga tidak bisa melakukan apa pun. Namun, tidak enak juga. Aku menganggukkan k
"Hah?!" Wajah Bang Gery berubah panik. "Kamu ngomong apaan, sih, Vi? Gak ada lah, senjata apa coba? Pisau banyak, tuh, di dapur."Bang Gery tertawa sendiri, berusaha mencairkan suasana. Namun, aku dan Sari tidak tertawa sama sekali. Kami tetap terlihat serius. Melihat kami yang tetap diam, Bang Gery berdeham. Dia menghentikan tawanya. "Kenapa tiba-tiba kalian datang kesini terus nanya soal senjata?" tanya Bang Gery, kali ini lebih serius. Aku menghela napas pelan. "Kami butuh senjata itu, Bang.""Iya masalahnya, senjata apa, Vi? Abang gak tahu apa senjata yang kalian maksud.""Senjata kutukan kematian. Gak mungkin Abang gak tahu." Sari ikut berbicara, dia membenarkan posisi jilbabnya. "Serius, deh. Abang gak tahu soal senjata kutukan kematian yang kalian bilang. Dimana? Bentuknya aja gak tahu."Sari menoleh ke aku, wajahnya tampak datar. Kami sudah menduga, Bang Gery pasti pura-pura tidak tahu, ketika kami meminta senjata itu. Ya, tidak mungkin dia memberikannya secara cuma-cuma.
"Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban
"Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.
"Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M
"Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan
"Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan
"Nenek tau aja." Bang Gery nyengir, dia menggaruk kepala, bingung harus bereaksi apa. "Sudah mengenal tabiatmu. Juga kalian, Nak."Nenek itu menatap kami. Dia tersenyum penuh rahasia. "Nenek yakin, kalian bisa menghancurkan kutukan itu."Aku menghela napas lega. Kukira tadi, kami akan dimarahi atau paling parah diusir, apalagi Nenek itu terlihat emosian. "Kami pamit dulu, Nek. Terima kasih atas pinjaman senjatanya."Kami diantar sampai ke depan. Ketika keluar dari rumah itu, pintunya tertutup sendiri, membuatku lompat ke depan. Kaget sendiri."Duh, pintunya ngagetin. Kenapa bisa ketutup kayak gitu, sih. Nyebelin." Sari mendumal sendiri, dia membenarkan jilbabnya, berjalan duluan. "Namanya juga pintu rumah modern. Keren gitu."Bang Gery yang menjawab. Dia menyusulku dan Sari yang sudah duluan. Pistol itu, Bang Gery yang pegang. Aku masuk ke dalam mobil, mengembuskan napas lega. Sesuatu yang awalnya kami kira sulit, ternyata lumayan mudah. Aku membenarkan posisi duduk, Bang Gery sud
"Ne—Nenek tahu?" tanya Sari terkejut. Aku menghela napas pelan, tidak terlalu terkejut mendengar perkataan Nenek itu. Apalagi ini kali kedua kami datang kesini. Hal seperti itu sudah biasa sekali. "Ah, ada satu lagi yang datang rupanya." Pandangan Nenek itu berhenti di Bang Gery. "Selamat pagi, Nek." Bang Gery langsung menyodorkan tangan, menyalami Nenek itu. Sari menatapku. Kami tidak pernah salaman pada Nenek itu. Aku hanya diam, tidak mau menyalimi Nenek itu. "Mari masuk, Nak. Kalian sudah sarapan? Nenek barusan selesai masak."Bagaimana kalau ada sesuatu di sarapan itu? Aku menelan ludah, kemudian menggelengkan kepala. "Kami langsung mengobrol saja, Nek. Urusan ini penting sekali."Nenek itu menoleh. Dia diam sejenak, kemudian memasang senyum dan mengangguk. "Ayo ke ruang tamu."Kami mengambil tempat duduk masing-masing. Aku menyenggol Bang Gery, menyuruhnya bicara duluan. "Untuk apa senjata itu, Nak? Kalian hanya akan membuat korban banyak. Kalau tujuan kalian ingin mengamb
"Masalahnya, Abang mau? Abang, kan, gak suka berurusan kayak gitu." Aku mengembuskan napas pelan.Situasi ini, rumit sekali. Kalau aku bisa memegang senjata itu, sudah pasti aku yang membunuh Kakek tua itu sendirian. Tidak perlu membawa Bang Gery juga.Bagaimana kalau korban akan bertambah setelah kami membawa Bang Gery? Ah, aku tidak mau itu terjadi.Kalau bisa, hanya aku yang diancam sebagai korban. Jangan orang lain, jangan Sari. Juga jangan Bang Gery.Ya ampun, semua ini akan memakan banyak korban. Aku menghela napas berat. Pusing memikirkannya."Kamu mikirin gimana kalau Abang ikutan jadi korban, ya?"Ah, Bang Gery menyadarinya sendiri. Aku tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang terlibat, kemudian menambahkan jumlah korban. Itu menakutkan."Kalau kamu tahu yang sebenarnya, kamu mungkin gak bakalan khawatir, Vi. Abang punya rahasia, itu yang buat Abang mau ikut sama kalian. Membunuh Kakek tua itu."Aku menatap Bang Gery tidak mengerti. Dia
"Hah?!" Wajah Bang Gery berubah panik. "Kamu ngomong apaan, sih, Vi? Gak ada lah, senjata apa coba? Pisau banyak, tuh, di dapur."Bang Gery tertawa sendiri, berusaha mencairkan suasana. Namun, aku dan Sari tidak tertawa sama sekali. Kami tetap terlihat serius. Melihat kami yang tetap diam, Bang Gery berdeham. Dia menghentikan tawanya. "Kenapa tiba-tiba kalian datang kesini terus nanya soal senjata?" tanya Bang Gery, kali ini lebih serius. Aku menghela napas pelan. "Kami butuh senjata itu, Bang.""Iya masalahnya, senjata apa, Vi? Abang gak tahu apa senjata yang kalian maksud.""Senjata kutukan kematian. Gak mungkin Abang gak tahu." Sari ikut berbicara, dia membenarkan posisi jilbabnya. "Serius, deh. Abang gak tahu soal senjata kutukan kematian yang kalian bilang. Dimana? Bentuknya aja gak tahu."Sari menoleh ke aku, wajahnya tampak datar. Kami sudah menduga, Bang Gery pasti pura-pura tidak tahu, ketika kami meminta senjata itu. Ya, tidak mungkin dia memberikannya secara cuma-cuma.