Home / Thriller / Anakku Bermain dengan Siapa? / Senjata Mematikan Kedua

Share

Senjata Mematikan Kedua

Author: Rahma La
last update Last Updated: 2022-06-30 19:49:59

"Ne—Nenek tahu?" tanya Sari terkejut.

Aku menghela napas pelan, tidak terlalu terkejut mendengar perkataan Nenek itu. Apalagi ini kali kedua kami datang kesini. Hal seperti itu sudah biasa sekali.

"Ah, ada satu lagi yang datang rupanya." Pandangan Nenek itu berhenti di Bang Gery.

"Selamat pagi, Nek." Bang Gery langsung menyodorkan tangan, menyalami Nenek itu.

Sari menatapku. Kami tidak pernah salaman pada Nenek itu. Aku hanya diam, tidak mau menyalimi Nenek itu.

"Mari masuk, Nak. Kalian sudah sarapan? Nenek barusan selesai masak."

Bagaimana kalau ada sesuatu di sarapan itu? Aku menelan ludah, kemudian menggelengkan kepala. "Kami langsung mengobrol saja, Nek. Urusan ini penting sekali."

Nenek itu menoleh. Dia diam sejenak, kemudian memasang senyum dan mengangguk. "Ayo ke ruang tamu."

Kami mengambil tempat duduk masing-masing. Aku menyenggol Bang Gery, menyuruhnya bicara duluan.

"Untuk apa senjata itu, Nak? Kalian hanya akan membuat korban banyak. Kalau tujuan kalian ingin mengamb
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Tifa Meninggal?

    "Nenek tau aja." Bang Gery nyengir, dia menggaruk kepala, bingung harus bereaksi apa. "Sudah mengenal tabiatmu. Juga kalian, Nak."Nenek itu menatap kami. Dia tersenyum penuh rahasia. "Nenek yakin, kalian bisa menghancurkan kutukan itu."Aku menghela napas lega. Kukira tadi, kami akan dimarahi atau paling parah diusir, apalagi Nenek itu terlihat emosian. "Kami pamit dulu, Nek. Terima kasih atas pinjaman senjatanya."Kami diantar sampai ke depan. Ketika keluar dari rumah itu, pintunya tertutup sendiri, membuatku lompat ke depan. Kaget sendiri."Duh, pintunya ngagetin. Kenapa bisa ketutup kayak gitu, sih. Nyebelin." Sari mendumal sendiri, dia membenarkan jilbabnya, berjalan duluan. "Namanya juga pintu rumah modern. Keren gitu."Bang Gery yang menjawab. Dia menyusulku dan Sari yang sudah duluan. Pistol itu, Bang Gery yang pegang. Aku masuk ke dalam mobil, mengembuskan napas lega. Sesuatu yang awalnya kami kira sulit, ternyata lumayan mudah. Aku membenarkan posisi duduk, Bang Gery sud

    Last Updated : 2022-07-01
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Korban-Korban Akan Kembali Berjatuhan

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

    Last Updated : 2022-07-02
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Target Berikutnya ....

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

    Last Updated : 2022-07-03
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Bang Gery Sebenarnya adalah ....

    "Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M

    Last Updated : 2022-07-04
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Mas Dion di Kampung Kematian

    "Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.

    Last Updated : 2022-07-06
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Ledakan Berbahaya

    "Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban

    Last Updated : 2022-07-07
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Ketukan di Kamar Anakku

    "Kasihan, ya. Mayatnya sampai gak berbentuk kayak gitu. Serem lihatnya."Terdengar bisikan tetangga. Bukan satu kali lagi aku dengar. Sudah banyak. Itu bukan bisikan, tapi terang-terangan.Aku masih terisak, membiarkan Mas Dion—suamiku menerima tamu. Meskipun sudah selesai pemakaman, tapi rasa sesak itu masih ada. Aku mengusap pipi. Menatap ke arah lain. "Via, ayo ke kamar. Udah sore. Tamu juga udah pulang semua."Aku menatap Mas Dion. Dia tersenyum padaku. Tidak ada rasa sedih di matanya. Ah, atau dia hanya berpura-pura di hadapanku?"Tapi Kia gimana, Mas? Dia sendirian di sana."Mas Dion memelukku. "Kia udah bahagia di sana, Sayang. Sudah, ya. Jangan terlalu dipikirin, nanti kamu sakit."Benar kata Mas Dion. Masih ada Tifa—anak keduaku yang butuh kasih sayang. Ah, aku tidak bisa terlalu terlarut dalam kesedihan. "Mas ke rumah sakit sebentar, ya. Jenguk Mama dulu. Kamu jangan kemana-mana, Sayang. Sama Tifa aja di rumah."Aku menganggukkan kepala. Mengantar Mas Dion ke depan. "Jan

    Last Updated : 2022-06-14
  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Lemparan Batu

    "Kia yang tenang di sana, ya, Nak. Jangan ganggu siapa-siapa di sini. Mama udah ikhlas, Nak." Jantungku berdegup kencang sekali. Napasku tersengal. Sekilas, ada bayangan anak kecil di kamar Kia.Tanganku memegang erat pintu. Menutup mata dengan satu tangan. Jujur saja, ini menakutkan. "Mama? Mama kenapa teriak-teriak?" Eh? Aku membuka mata. Mendapati Tifa yang berdiri di hadapanku. Depan kamar Kia. Aku mengusap dada. Langsung menggenggam tangan Tifa keluar dari kamar Kia. "Tifa ngapain ke kamar Kak Kia, Sayang?" Baru saja ditinggal sebentar ke ruang tamu, Tifa malah pergi ke kamar Kia. Harusnya, ada saudara yang menemaniku. Sayangnya, semua bilang pada sibuk. Banyak alasan, langsung pulang setelah Kia dimakamkan. Mas Dion juga harus menjaga Mamanya yang dirawat di rumah sakit, karena serangan jantung ringan. Mama langsung sakit, ketika mendengar kabar Kia meninggal. Jadinya, tidak ada yang membantuku di sini. Menjaga dan mengurus Tifa sendirian. "Ayo, Tifa tidur. Udah malam

    Last Updated : 2022-06-14

Latest chapter

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Ledakan Berbahaya

    "Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Mas Dion di Kampung Kematian

    "Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Bang Gery Sebenarnya adalah ....

    "Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Target Berikutnya ....

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Korban-Korban Akan Kembali Berjatuhan

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Tifa Meninggal?

    "Nenek tau aja." Bang Gery nyengir, dia menggaruk kepala, bingung harus bereaksi apa. "Sudah mengenal tabiatmu. Juga kalian, Nak."Nenek itu menatap kami. Dia tersenyum penuh rahasia. "Nenek yakin, kalian bisa menghancurkan kutukan itu."Aku menghela napas lega. Kukira tadi, kami akan dimarahi atau paling parah diusir, apalagi Nenek itu terlihat emosian. "Kami pamit dulu, Nek. Terima kasih atas pinjaman senjatanya."Kami diantar sampai ke depan. Ketika keluar dari rumah itu, pintunya tertutup sendiri, membuatku lompat ke depan. Kaget sendiri."Duh, pintunya ngagetin. Kenapa bisa ketutup kayak gitu, sih. Nyebelin." Sari mendumal sendiri, dia membenarkan jilbabnya, berjalan duluan. "Namanya juga pintu rumah modern. Keren gitu."Bang Gery yang menjawab. Dia menyusulku dan Sari yang sudah duluan. Pistol itu, Bang Gery yang pegang. Aku masuk ke dalam mobil, mengembuskan napas lega. Sesuatu yang awalnya kami kira sulit, ternyata lumayan mudah. Aku membenarkan posisi duduk, Bang Gery sud

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Senjata Mematikan Kedua

    "Ne—Nenek tahu?" tanya Sari terkejut. Aku menghela napas pelan, tidak terlalu terkejut mendengar perkataan Nenek itu. Apalagi ini kali kedua kami datang kesini. Hal seperti itu sudah biasa sekali. "Ah, ada satu lagi yang datang rupanya." Pandangan Nenek itu berhenti di Bang Gery. "Selamat pagi, Nek." Bang Gery langsung menyodorkan tangan, menyalami Nenek itu. Sari menatapku. Kami tidak pernah salaman pada Nenek itu. Aku hanya diam, tidak mau menyalimi Nenek itu. "Mari masuk, Nak. Kalian sudah sarapan? Nenek barusan selesai masak."Bagaimana kalau ada sesuatu di sarapan itu? Aku menelan ludah, kemudian menggelengkan kepala. "Kami langsung mengobrol saja, Nek. Urusan ini penting sekali."Nenek itu menoleh. Dia diam sejenak, kemudian memasang senyum dan mengangguk. "Ayo ke ruang tamu."Kami mengambil tempat duduk masing-masing. Aku menyenggol Bang Gery, menyuruhnya bicara duluan. "Untuk apa senjata itu, Nak? Kalian hanya akan membuat korban banyak. Kalau tujuan kalian ingin mengamb

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Perawat Baru Tifa Mencurigakan

    "Masalahnya, Abang mau? Abang, kan, gak suka berurusan kayak gitu." Aku mengembuskan napas pelan.Situasi ini, rumit sekali. Kalau aku bisa memegang senjata itu, sudah pasti aku yang membunuh Kakek tua itu sendirian. Tidak perlu membawa Bang Gery juga.Bagaimana kalau korban akan bertambah setelah kami membawa Bang Gery? Ah, aku tidak mau itu terjadi.Kalau bisa, hanya aku yang diancam sebagai korban. Jangan orang lain, jangan Sari. Juga jangan Bang Gery.Ya ampun, semua ini akan memakan banyak korban. Aku menghela napas berat. Pusing memikirkannya."Kamu mikirin gimana kalau Abang ikutan jadi korban, ya?"Ah, Bang Gery menyadarinya sendiri. Aku tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang terlibat, kemudian menambahkan jumlah korban. Itu menakutkan."Kalau kamu tahu yang sebenarnya, kamu mungkin gak bakalan khawatir, Vi. Abang punya rahasia, itu yang buat Abang mau ikut sama kalian. Membunuh Kakek tua itu."Aku menatap Bang Gery tidak mengerti. Dia

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Senjata yang Disimpan Bang Gery

    "Hah?!" Wajah Bang Gery berubah panik. "Kamu ngomong apaan, sih, Vi? Gak ada lah, senjata apa coba? Pisau banyak, tuh, di dapur."Bang Gery tertawa sendiri, berusaha mencairkan suasana. Namun, aku dan Sari tidak tertawa sama sekali. Kami tetap terlihat serius. Melihat kami yang tetap diam, Bang Gery berdeham. Dia menghentikan tawanya. "Kenapa tiba-tiba kalian datang kesini terus nanya soal senjata?" tanya Bang Gery, kali ini lebih serius. Aku menghela napas pelan. "Kami butuh senjata itu, Bang.""Iya masalahnya, senjata apa, Vi? Abang gak tahu apa senjata yang kalian maksud.""Senjata kutukan kematian. Gak mungkin Abang gak tahu." Sari ikut berbicara, dia membenarkan posisi jilbabnya. "Serius, deh. Abang gak tahu soal senjata kutukan kematian yang kalian bilang. Dimana? Bentuknya aja gak tahu."Sari menoleh ke aku, wajahnya tampak datar. Kami sudah menduga, Bang Gery pasti pura-pura tidak tahu, ketika kami meminta senjata itu. Ya, tidak mungkin dia memberikannya secara cuma-cuma.

DMCA.com Protection Status