Rapat internal dengan Bos Bre berjalan cukup baik. Dengan perencanaan dan persentasi timku yang rinci semua anggaran juga target bisa disetujui tanpa harus banyak perdebatan.Aku tersenyum lega. Setidaknya di hari ini ada satu hal yang berjalan sesuai keinginan.Sehabis rapat di lantai enam, aku pun memutuskan untuk bergegas turun ke lantai lima demi menuju kubikel. Kupikir dengan menyibukkan diri, persoalan apa pun jadi gak berarti.Aku memilih menggunakan tangga untuk turun karena pada saat keluar lift sudah penuh dan banyak orang mengantri. Namun, nyatanya keputusanku salah, di luar dugaan, tepat lima meter saat aku mau berbelok ke arah tangga mataku tak sengaja menangkap ada dua perempuan tengah berjalan beriringan menuju ke arahku. Dan tahu siapakah wanita itu? Ya, dia adalah Bu Rosa dan Sania. Oh Tuhan. Apa ini tanda neraka sudah bergabung dengan bumi? Mengapa pula mantan mertuaku harus ada di sini?Wah, ini parah sih!Untuk menghindari pertengkaran yang gak jelas, aku berpik
Kehadiran Neo di depanku setelah aku berdebat dengan Bu Rosa dan Sania membuatku menghela napas bimbang. Di satu sisi aku sedikit lega karena pada akhirnya aku bisa melawan kesewenang-wenangan Bu Rosa meski belum semuanya terbalas tapi di satu sisi aku merasa malu karena pada saat mengenaskan seperti ini malah ditemukan oleh Neo. "Neo?" Suaraku tercekat saat melihat sosok pria berkacamata berdiri tepat di depanku seraya mengulurkan tangan. Sebenarnya, aku cukup terkejut karena mengira tidak ada seorang pun yang mengetahui pertengkaranku dengan Bu Rosa kecuali Sania tapi nyatanya aku salah. Ada Neo di sana, tapi aku gak yakin dia mengetahui semuanya."Gimana? Apa kamu butuh bantuan? Dan apa kamu baik-baik aja?" tanyanya sekali lagi seraya menggoyangkan tangannya minta disambut. Wajahnya tampak khawatir tapi aku gak mau terlihat lemah dan membuat peluang harapan di antara kami.Aku memaksakan senyum selagi bangkit berdiri tanpa memegang tangannya. "A-aku baik-baik saja Yo, terimaka
Gelisah. Satu kata yang mungkin bisa mewakili perasaanku sekarang. Mengingat siang tadi, El memergokiku berbicara dengan Neo tak kupungkiri perasaanku menjadi semakin gak tenang. Hatiku perlahan merasa bersalah karena takut dia salah paham atas ucapanku yang gak mau rujuk. Jujur, meski tahu El akan bertunangan dan kekhawatiran ini percuma. Entah mengapa, melihat tatapan El yang kecewa pada saat mata kami bersitatap sebelum dia pergi tadi perasaanku jadi ikut tidak nyaman. Ada sisi hatiku yang tidak mau El terluka.Agh andai, Neo gak memancingku dengan pertanyaan itu bisa jadi ucapan yang aku keluarkan tidak seburuk itu.Namun, anehnya kenapa El ada di sana saat itu? Sejauh apa dia mendengarkan ucapanku? Bagaimana jika dia salah paham? Nanti bisa-bisa dia menganggapku dan Neo ada hubungan. Tapi ... kenapa juga aku harus perduli? Toh, dia sendiri yang mau move on dariku padahal sebelumnya dia bilang sama aku kalau mau memulai semua dari awal.Dasar mulut lelaki! Gak bisa dipercaya. Gi
Aku duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan El. Jarak kami kini hanya seluas meja pantry. Seusai perdebatan di depan pintu rasanya tak ada pilihan lain selain mengikuti ajakan El untuk berbicara lagi pula aku masih punya waktu lima belas menit sebelum masuk kubikel. Selama kami berhadapan, kurasakan tatapan El tajam dan dingin tepat ke netraku. Padahal di pantry ini AC gak disetel di suhu yang rendah, tapi entah mengapa badanku rasanya menggigil karena ditatap sebegitu dingin. Jujur. Aku tidak tahu kalau pemandangan seorang pria yang akan bertunangan bisa sekacau ini. Rambutnya gak se-on point biasanya, lebih ke arah acak-acakan. Bajunya terlihat kusut sangat berbeda dengan tadi pagi dan wajahnya lebih dingin dari es yang baru aku keluarkan dari freezer. Aku tidak tega melihat El seperti ini, tapi keadaan memaksaku untuk tega. "Kalau Mas mau kita bicara baik-baik, lebih baik Mas minum dulu," kataku seraya mendorong secangkir teh ke arah El. Aku gak mau kami berbicara dengan em
[Rahma : Lin, serius lo mau datang ke tunangan Pak El? Sekarang lo di mana? Ini gue di dalam. Eh, aneh! Kok Pak El gak keliatan ya?Me :Masa? Mungkin dia lagi siap-siap. Betewe. gue udah di parkiran tapi Neo minta gue nunggu. Rahma : Yaelah, tuh laki masih aje demen ditungguin. Ya udah, kabarin kalau lo udah masuk.Me :Iye. Eh, lo gak bilang Adel, kan?Rahma :Enggak. Gue gak bilang ke dia. Takut heboh dan nyebar di grup sekolah Iza. Tenang, kali ini gue gak akan bocor.]Aku menghela napas lega melihat balasan Rahma. Setidaknya untuk kali ini, info tentang El tidak akan tersebar di komite sekolah karena aku takut El malah berbalik marah.Pasalnya, setelah aku cek di beberapa grup sekolah yang kuikuti, ternyata tidak ada info tentang acara ini di grup sekolah. Adel saja bahkan tidak tahu tentang kabar El yang akan bertunangan ini.Aneh? Ya, sangat aneh. Masa, kepala sekolah mau tunangan gak ada satu pun perwakilan sekolah yang datang?Aku yakin pasti El sengaja menyembunyikannya.
Seharusnya aku memang tak datang ke sini. Seharusnya aku tetap pada pendirianku untuk tak menghadiri acara ini seperti yang kukatakan pada Sania agar tidak dikira labil nantinya.Dan ... seharusnya aku pergi sekarang juga sebelum hatiku kian tersakiti karena mantan telah memiliki pengganti.Namun, apa yang menyebabkan aku masih di sini? Kenapa aku malah tetap memilih mengikuti keinginan El?Ah, apa memang aku sekepo itu pada kehidupan kebahagiaan El sehingga dengan tidak tahu malunya aku datang.Dasar Alina bodoh! Sangat bodoh, ini yang dinamakan ikhlas, huh?Aku berjalan gontai sekaligus gugup di belakang Neo karena merasa insecure.Sejauh mata memandang aku hanya bisa melihat orang-orang memamerkan kemewahaannya. Semua tamu undangan tidak ada yang berpakaian ala kadarnya, tampak dari mereka menggunakan berbagai pakaian mewah yang pastinya seharga dengan satu mobil di kampungku. Dan untungnya meski gak cantik-cantik amat, aku tadi berdandan dulu tadi sebelum ke sini, kalau enggak aku
"Ya Allah, Lin, kenapa hape lo mati? Dari tadi gue coba nelepon lo tapi gak bisa jadinya gue nelepon Pak El." "Iya, maaf Del, ternyata abis chat-an sama Rahma hape gue mati. Maaf, ya? Sekarang gimana keadaan Iza?""Kepala Iza berdarah Lin. Gue sama Nek Omi lagi di perjalanan sekarang ke IGD. Lo nyusul, ya?"Tut. Tut. Tut. Bersamaan dengan terputusnya sambungan telepon dari Adel, Alina yang baru saja mengaktifkan ponsel merasa kehilangan seluruh tenaganya setelah menerima kabar kalau Iza jatuh di kamar mandi.Selama duduk di jok penumpang, tak henti Alina menangis karena cemas. Dengan gemetar perempuan itu menautkan jari jemarinya sambil berdoa untuk kesembuhan anaknya. Walau dadanya terasa sesak, dia berusaha untuk mengendalikan dirinya untuk tetap sadar dan tenang selama perjalanan menuju rumah sakit yang tadi diberitahukan oleh Adel. Ya Allah Iza, semoga kamu baik-baik saja Nak."Lin ...." Suara pria dengan nada rendah menyela dari arah samping Alina membuat wanita itu reflek men
Alina duduk sendirian di kursi tunggu yang ada di depan ruang operasi dengan perasaan yang tak menentu dan kepala yang tertunduk. Setelah El bersedia mendonorkan darah, tim medis langsung bergerak cepat menangani Iza di dalam sana sementara Nek Omi kembali ke rumah demi mengambil barang Iza karena pastinya Iza akan dirawat nantinya. Lalu Adel? Adel ikut bersama Nek Omi tapi demi kesehatan Adel yang sedang mengandung dan juga keluarganya yang tengah menunggu, Alina minta Adel pulang saja untuk beristirahat. Dan selepas semua orang telah pergi ke urusannya masing-masing, tinggallah Alina yang menunggu di depan ruang operasi.Sudah hampir sejam berlalu wanita cantik berwajah pucat itu tak henti menyalahkan diri dan berdoa untuk kesehatan anaknya. Dia tidak bisa membayangkan jika nanti Iza kenapa-kenapa karena baginya Iza adalah segalanya."Rupanya kamu di sini, dasar mantan menantu gak tahu diri!"Di tengah keheningan lorong ruang operasi tiba-tiba Alina ditegur oleh sebuah suara yang t
Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d
Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan
Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten
Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini
Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun
Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo
Esok harinya. Aku merasa sudah cukup menyendiri dan memikirkan rencana ke depannya untuk dilakukan menghadapi masalah ini. Semalaman penuh aku merenungkan semua sampai akhirnya aku memilih untuk berbicara dengan El dan menyelesaikan semuanya sesuai saran Rahma. Berulang kali aku memikirkan kalau apa yang dikatakan Rahma itu benar, kalau dosa ibu kandungku bukanlah dosaku. Tidak seharusnya aku menanggung kesalahan ibuku dan aku pun seharusnya percaya pada El. Selama ini El sudah banyak berkorban, gak mungkin dia mengkhianatiku terutama sama Faye.Dikarenakan mengingat itu semua, aku pikir ini saatnya aku untuk mengambil semua peranan dan memutuskan yang terbaik untuk kehidupanku sendiri. Aku harus percaya sama El dan aku yakin dia pun akan memahami kalau pengkhianatan orang tua kami gak ada hubungannya dengan rumah tangga kami.Aku melirik jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan jam 7.00 pagi, sepertinya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Aku ingin bergegas menemui El dan mem
Keesokan paginya. Aku kembali mencoba mencari cara agar bisa masuk ke ruangan El tanpa bisa diusir seperti semalam. Bagaikan orang gila, aku meminta bantuan ke sana dan ke sini demi bisa masuk ke ruangan El tapi rasanya susah sekali karena Bu Rosa sama sekali gak beranjak.Beruntung, setelah menunggu hampir tengah hari. Aku akhirnya dapat bantuan dari Bre--sahabatnya El dan sekarang jadi mantan bosku. Bre yang baru saja menjenguk El bilang kalau El sudah membaik dan dipindah ke ruang rawat VIP sehingga aku bisa dengan mudah mengakses selama gak ada Bu Rosa atau pengawalnya. Kata Bre, El masih belum sadar sepenuhnya karena masih harus banyak istirahat akibat cidera tulang yang ia alami. Tentu kabar itu setidaknya membahagiakan hatiku yang sejak semalam sudah harap-harap cemas, terutama Bre juga bilang Bu Rosa sedang pergi keluar jadi ini saatnya aku bisa menyelinap masuk.Dan setelah persiapan matang, akhirnya aku bisa juga sampai di depan ruang rawat El. Sebelum masuk, aku berhenti
"El kecelakaan Lin, dia kecelakaan! Sekarang katanya dia dilarikan ke UGD." Sekali lagi informasi dari Bik Ratih beberapa saat lalu membuatku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. 1320015635874Jujur, aku sangat terkejut hingga sempat terdiam dan tubuhku terasa kaku. Berita kecelakaan tentang El benar-benar menghantamku seperti gelombang besar yang tiba-tiba datang. Namun, meski rasanya hati ini begitu cemas, tanpa pikir panjang dengan cepat, aku meraih tas dan jaketku, lalu bergegas keluar rumah menuju rumah sakit, tentu saja setelah menitipkan Iza kepada Bik Ratih. Aku sengaja gak mau memberitahukan kabar tentang El pada Iza karena anak itu pasti menangis kencang dan ingin ikut padahal ini sudah sangat larut malam.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ayal pikiranku kacau dengan berbagai perasaan. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mendalam. Aku mengira kalau El mengalami kecelakaan tunggal karena saking marahnya padaku sehingga oleng dan menabrak pembat