Arya yang sejak tadi menunggu disekitar rumah Swastika akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana mencari warung karena merasa lapar dan mungkin sedikit mengorek informasi dari warga sekitar. "Nasi gorengnya pedes ya Pak, tambah telur ceplok setengah matangnya satu" ucapnya yang mendapat anggukan kepala dari si Abang Nasgor. Saat sedang menunggu pesanannya, beberapa orang sedang membicarakan perihal kejadian yang menimpa keluarga Pak Rudi. Awalnya Arya bingung, siapa sebenarnya Pak Rudi? Tapi setelah semakin lama menguping pembicaraan warga setempat, akhirnya Arya mengetahui bahwa yang dibicarakan adalah keluarga Swastika. "Terus bagaimana kelanjutannya Pak?" tanyanya dengan nada yang dibuat sehalus mungkin tapi tetap saja terdengar kaku dan seolah dibuat-buat. "Dibawa kekantor polisi Pak. Tadi saya juga kaget tiba-tiba dengat suara sirine mobil polisi, kirain bakalan ada grebekan ternyata ke rumahnya Pak Rudi" jawab salah satu dari mereka dengan nada medok khas orang Kebumen. "I
Satu minggu setelah dokumen dinyatakan lengkap, akhirnya Swastika dihubungi oleh Bagas bahwa sidang akan digelas 2 hari lagi. Swastika pun menghubungi Balin dan Elena untuk datang sebagai salah satu saksi. Hari H sidang pun datang. Semuanya sudah bersiap, saat ini mereka sudah memasuki ruang sidang dan duduk ditempat masing-masing. Hanya tinggal menunggu hakim ketua untuk masuk. Tak berselang lama, hakim pun masuk dan semuanya diharuskan berdiri, kemudian sidang pun dimulai. Satu per satu saksi menceritakan semua yang mereka tau berkaitan dengan kejadian saat itu termasuk Swastika yang menceritakan semuanya, dia sudah jauh lebih kuat dan tenang setelah beberapa kali harus bolak balik ke psikolog demi kesehatan mentalnya. Saat sidang berlangsung, seorang pria bertopi dan setelan rapi terlihat duduk disalah satu bangku dan menyaksikan jalannya sidang. Dari pihak Doni tidak ada sanggahan sehingga memperlancar jalannya sidang. Disana, keluarga Doni juga ikut mendampingi tapi tidak ad
Sampai didepan rumahnya, Swastika bergegas turun dan sambil menggandeng Abi dia menuju pintu. "Bu, mana orangnya?" teriaknya sambil melihat kedalam rumah. "Saya disini" ucap pria itu dengan tenang dan terkesan sangat dingin. "Om?" ucap Abi setelah menengok dan melihat ke atas. "Om Arya?" imbuhnya ambil mengerutkan alisnya. Swastika yang semula diam, juga ikut berbalik arah dan menatap Arya dengan tajam. Arya tidak menatap balik dan justru duduk di kursi depan dengan santai sambil menggulung lengan kemeja panjangnya hingga sampai siku. "Abi. Abi masuk dulu ya, bantu nenek didapur" ucap Swastika yang berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Abi. Ibunya Swastika yang baru saja datang dari arah dalam rumah, mengerti kode dari anaknya, kemudian membawa Abi untuk masuk kedalam rumah. Sementara Swastika ikut duduk di kursi yang ada disebelah Arya. "Mau apa anda kemari?" tanya Swastika tanpa melihat pada Arya dan hanya menatap lurus kedepan rumah tanpa ekspresi. "Untuk memastik
Malam itu, saat dia sedang jalan pulang karena baru saja selesai shift malam, dia melihat Arya yang sempoyongan disamping mobilnya. Tangan satunya seperti sedang mencari sesuatu disaku celananya sedangkan tangan lainnya ada didepan dadanya berusaha melepas kancing kemejanya. Tempat kost Swastika memang tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja, tapi saat itu karena sudah larut, dia memutuskan untuk berjalan memutar mencari jalan ramai yang harus melewati sebuah club malam. "dr. Arya?" gumamnya sambil menyipitkan mata, agar bisa melihat lebih jelas dan tidak salah orang. Setelah memastikan bahwa benar itu dr. Arya kenalannya, dia pun mendekatinya. "Tolong bantu saya" ucap Arya dengan suara serak dan tangan yang sudah memegang lengan Swastika yang ada disampingnya. Arya tidak begitu mengenali Swastika karena pandangannya saat ini sedikit kabur, tapi yang pasti dia harus meminta bantuan lebih dulu. "Saya harus bagaimana? Saya antar ke rumah sakit saja ya Dok? Sepertinya dokter sakit,
"Arya, Abi mana?" tanya Mami Ratna yang terbaring lemas karena penyakitnya kambuh. Saat itu di hotel, "Iya Mam""Halo, Tuan Arya ini saya, Ini Nyonya Tuan. Nyonya...." ucap Luna. Asisten yang memang disiapkan Arya untuk memantau Maminya dengan suara yang penuh dengan kecemasan. "MAMI KENAPA?" teriak Arya. "Pingsan" ucap "APAAA?" Dengan cepat, Arya segera beberes dan pergi dari hotel itu. Pikirannya penuh dengan harapan agar tidak terjadi apa-apa dengan Maminya. Dia merutuki sikapnya yang justru meninggalkannya hanya untuk menemui Swastika yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Sepanjang jalan, mulutnya komat kamit sambil terus mencoba menelfon dokter kenalannya yang menangani Maminya. Apabila saat ini ada polisi lalu lintas, niscaya dia akan terkena pasal berlapis. Setelah berkendara cukup lama karena saat itu Arya sedang ada disalah satu rumah sakit yang dia tangani dan hanya kesana saat ada operasi, akhirnya dia sampai di rumah sakit tempat Ibunya dirawat. "Bagaiman
"Abi sudah dengar semuanya Ma" ucap Abi sambil terus berjalan menuju Mama dan Neneknya yang saat ini sedang syok. "A-Abi.." ucap Mamanya terbata sambil melepas pelukan Ibunya dan mengusap jejak air matanya mencoba tersenyum menyembunyikan lukanya. "Jadi benar, Om Arya adalah Papa Abi?" tanya Abi sekali lagi setelah berada tepat didepan Mamanya. "M-Maaf Sayang. Mama tidak bermaksud untuk..." "Sudahlah Ma. Paling tidak sekarang Abi sudah tau siapa Papa Abi sebenarnya" potong Abi yang langsung memeluk Mamanya. "Sekarang biar Abi yang saja Mama. Jangan nangis lagi ya Ma" ucap Abi mencoba menenangkan Mamanya dan mengusap pipi cabi sang Mama. "Cantik" sambungnya yang membuat Mamanya tersipu malu. "Paling tidak Papa Abi ganteng Ma. Walaupun seperti itu. Hahahah" kelakar Abi mencoba mencairkan suasana. "Abi pintar sekali. Mulai sekarang buat Mama bahagia ya" ucap sang nenek sambil terus mengusap kepala Abi. "Abi adalah anugrah terindah yang Mama punya. Mama sangat bersyukur punya ana
"STOP" "JANGAN. TOLONG" "STOP" "BAIK. AKAN SEGERA KAMI LUNASI" Teriak Ibu Swastika pada preman-preman anak buah bos renternir yang mengobrak-abrik dan mencoba membawa perabotan yang terlihat masih berharga. Sementara sang suami sedang dipegang dan dipukuli oleh anak buah yang lain. "Kami sudah memberi tenggang waktu lama tapi sepertinya tidak ada niatan baik dari kalian" ucap bos renternir. "Akan segera kami lunasi. Tolong beri kami waktu sekali lagi" pinta Ibu Swastika sambil memegang suaminya yang sudah lemah dan babak belur. "Kami beri waktu dua minggu, kalau tidak segera dilunasi, segera angkat kaki dari rumah ini" ancam bos renternir itu. "Bisakah waktunya ditambah? Dua minggu terlalu cepat. Darimana kami bisa dapat uang sebanyak itu?" "Bukan urusan saya" ucap bos itu kemudian pergi dengan para anak buahnya yang membawa perabotan elektronik yang ada di rumahnya. "Yah. Bagaimana ini Yah?" ucap Ibu Swastika sambil menangis memeluk suaminya. Untuk melunasi semua biaya kar
Setelah kembali bekerja, Swastika mencoba pengajuan kasbon ke perusahaannya, Tapi ternyata dia hanya mendapat pinjaman 50 juta. Masih sangat jauh dari yang dia butuhkan. Dia memang tidak mencoba untuk meminjam pada Elena dan Balin, walau keduanya sudah menawarkan. Swastika hanya tidak ingin persahabatannya hancur hanya karena uang, karena takutnya nanti dia menggampangkan dalam pengembalian uangnya, mengingat mereka sangat dekat. Alhasil dia akan membayar dulu sesuai uang yang dia punya sambil menunggu apartement dan mobilnya terjual dan akan meminta sedikit perpanjangan waktu lagi. Saat perdebatan dengan Ayahnya kemarin, sebenarnya Ayahnya sudah mau merelakan saja rumah dan tanah yang mereka tempati, tapi Swastika tidak setuju karena itu semua adalah peninggalan dari keluarga kakeknya dan sudah turun temurun. Setelah mentransfer sejumlah uang dan melakukan negosiasi, diapun mendapat penpanjangan tenggang waktu 2 minggu lagi. "Paling tidak masih ada waktu tersisa kurang lebih 3 min
"Apa kabar Bapak Arya yang terhormat" ucap pria itu setelah melepas topi dan maskernya. Dengan masih memegang lengannya yang terluka. "Masih berani Anda menemui saya?" ucap Arya dengan tenang. "Kenapa saya harus takut? Saya tidak pernah melakukan sesuatu setengah-setengah. Kalau ujungnya saya pasti akan masuk penjara, kenapa tidak sekalian saja saya mengirim Anda menghadap Tuhan Anda?" pria itu tertawa seolah bangga dengan apa yang dia katakan. "Psikopat. Tunggu saja. Sebentar lagi akan ada polisi yang datang" dan benar saja, tidak lama memang ada polisi yang datang kesana. "Biarkan saja. Saya tidak takut" pria itu masih terus tertawa. "Pak Bramanto, apa Anda yakin keluarga Anda sedang dalam keadaan baik-baik saja saat ini?" gertak Arya yang tentu saja langsung membuat Bramanto ciut. Apalagi saat melihat senyum mengerikan yang Arya berikan, sungguh membuat bulu kuduk meremang."Apa yang Anda tau tentang keluarga saya? Mereka sudah berada ditempat yang aman" ucap Bramanto dengan
Pagi harinya, saat semua keluarga tengah berkumpul untuk sarapan, Arya dan David masih belum menampakkan batang hidungnya. "Kemana Arya? Kenapa belum turun?" gerutu Mamih Ratna. "Dia tadi malam sedikit mabuk Mih, mungkin masih tidur" jawab Swastika. "Akan aku coba bangunkan Mih" sambungnya. "Ya sudah. Suruh dia cepat mandi dan sarapan" "Iya Mih" Swastikapun meninggalkan makanannya dan bergegas menuju kamar Arya. Setelah menanyakan pada para pengawal yang berjaga didepan kamar, Swastika segera masuk. Dan benar saja, Arya masih tertidur pulas diatas ranjang dengan kemeja, celana panjang dan kaos kaki yang sudah berserakan dimana-mana. Swastika memunguti semuanya dan meletakkannya didalam paperbag yang semula berisi pakaian bersih untuk Arya berganti baju. "Ayo bangun" Swastika mencoba menarik lengan Arya untuk mengeluarkannya dari dalam selimut. "Hhmm" "Ayo. Mamih menunggu dibawah" "Biarkan saja. Kepalaku pusing sekali" "Makanya jangan mabuk. Kakimu jugakan masih sakit kenapa
"Aku tidak ingin pulang. Aku ikut kemana Anda pergi" ucap gadis itu dengan wajah memelas dan air mata yang masih menggenang. "HAH?" Rama yang bingung tidak tau harus membawa gadis itu kemana, akhirnya memilih untuk tetap meninggalkan acara pesta. Sebelum pergi dia mengabari Arya bahwa ada urusan mendesak yang membuatnya harus pergi lebih dulu. "Rama kenapa?" tanya Swastika yang mendapat bisikan mengenai kepulangan Rama. "Tidak tau. Katanya ada urusan mendesak" jawab Arya tidak peduli. Merekapun melanjutkan menikmati rangkaian acara lain dengan Abi yang sudah lebih dulu masuk kedalam kamar hotel. Arya sengaja memesan kamar hotel yang memang berada disatu lokasi dengan gedung tempat acara pernikahan Elena. Dia sudah menduga bahwa acara ini akan berlangsung hingga lebih dari tengah malam. Dia juga sudah memesan untuk yang lain termasuk Rama tapi karena dia sudah pulang lebih dulu, kamar itu hanya akan dihuni oleh David sementara Abi akan tetap bersama Ryan dan dua pengawal lain, da
Dua jam sebelum acara dimulai, mereka sudah berangkat beriringan menggunakan tiga mobil dan beberapa pengawal yang ada di belakang rombongan mereka. "Jangan cemberut sepert itu dong. Ayo senyum" goda David pada Rama yang kalah dalam tantangan tahan nafas. "Sialan. Ini tidak mungkin. Pasti kalian berdua curang" tuding Rama pada Abi dan David. "TIDAK" sangkal Abi dan David. "Itu hampir 15 menit. Tidak mungkin kalian bisa tahan nafas sampai selama itu terutama kamu" tunjuk Rama pada David. "Lebih baik kita nanti tanyakan pada Pak Arya saja" jawab David yang tertawa bersama Abi. Mereka merasa lucu melihat Rama yang uring-uringan karena tidak terima dengan kekalahannya. Setelah berkendara membelah kemacetan hampir 2 jam akhirnya mereka sampai ke tempat acara. "Wow. Dekorasinya cantik sekali" kagum Swastika yang lekat memandang dekorasi ruangan itu. Pada awalnya Elena menginginkan tema outdoor tapi karena ramalan cuaca yang tidak menentu akhirnya dia harus mengganti tema menjadi indo
"Wah, tadi itu benar-benar menyenangkan" ucap Abi kegirangan saat sudah masuk kedalam kamarnya. Tidak pernah dia membayangkan akan berada dalam situasi seperti itu. Sangat mirip dengan adegan perkelahian di film action yang sering ditontonnya. Seketika ponselnya bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. "Waaahhhh" teriak Abi kegirangan sembari joget-joget masuk kedalam kamar mandi. Pesan dari Arya yang berisi perintah untuk mulai belajar pisau dan pedang membuat adrenalin Abi terpacu. "Baru pulang sudah sibuk dengan ponselmu lagi?" Ucap Swastika yang keheranan dengan kelakuan Arya. "Hehe. Maaf. Sayang sini sebentar" "Ada apa?" Swastika mendekat membawa es jeruk dan beberapa cemilan. Arya merogoh sesuatu yang ada didalam sakunya dan menunjukkannya pada Swastika. "Marry Me?" ucap Arya tiba-tiba.Swastika yang kaget hanya bisa menutup mulutnya yang menganga. Jantungnya berdetak cepat sampai dia benar-benar tidak bisa berkata-kata. "Maaf karena tidak ada acara istimewa. Aku buk
Sampai dikantornya, Arya segera menuju ruangannya dan meminta Rama dan David untuk segera menemuinya. "Kamu istirahat disini dulu sebentar ya. Aku ada meeting sebentar dengan Rama dan David" ucap Arya setelah mengantar Swastika keruangan pribadinya. "Baiklah. Sepertinya ini perihal rahasia perusahaanmu. Aku akan tunggu disini" jawab Swastika. Sebelum meninggalkan Swastika disana, Arya meninggalkan kecupan dikening dan kemudian menggunakan tongkatnya untuk berjalan menuju ruangannya. Disana Rama dan David sudah menunggu. "Jadi bagaimana? Jelaskan" pinta Arya.Merekapun menjelaskan pada Arya mengenai bukti-bukti temuannya dan siapa saja yang dicurigai sebagai komplotannya. Rama juga menjelaskan bahwa disalah satu cabang perusahaannya, mereka berhasil membawa kabur sejumlah uang. "Kenapa bisa kecolongan lagi?" tanya Arya yang sudah kesal sedari tadi. "Maaf, kami tidak menyangka kalau komplotannya bahkan sudah ada dimana-mana" jawab David. "Untuk sekarang, semua yang ada di kantor c
"Antar ke rumah sakit ya Pak" ucap Abi pada sopir yang mengawalnya. Karena permintaan Arya, untuk sementara Abi tidak diperbolehkan untuk naik sepeda motor sebagai gantinya, dia akan diantar jemput oleh sopir kepercayaan Arya dan beberapa pengawal. Karena hal itu pula, setelah Arya memberi instruksi pada Rama, ada pengawal yang datang kesekolah Abi dan mengambil motor yang dibawanya tadi pagi. "Kenapa harus sebegitunya sih? Kenapa juga tidak boleh naik motor? Dia yang punya musuh kenapa harus aku yang berkorban?" ocehan Abi disepanjang perjalanan. "Tuan Arya hanya mengkhawatirkan Tuan Muda. Karena dibidang yang digeluti Tuan Arya, para musuh tidak akan hanya mencoba menyerang Tuan Arya sendiri tetapi juga orang-orang yang ada disekelilingnya. Jadi saya mohon Tuan Muda untuk tidak berprasangka buruk dulu" ucap Ryan, pengawal pribadi Abi. "Hufh" Abi memutar bola matanya dan memilih untuk kembali fokus pada ponselnya. Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu lama karena terjeb
"Bu, saya mau ijin pulang dulu. Sebentar lagi mau masuk jam kantor" pamit Rama. "Iya. Berangkatlah" jawab Mamih Ratna. Setelah berpamitan, Rama diantar Swastika hingga keluar ruangan. "Rama, kalau ada info terbaru tolong kabari ya" pinta Swastika. "Baik Bu. Akan saya infokan kalau ada perkembangan. Saya permisi" Rama pun meninggalkan rumah sakit dan pergi menuju kantornya. Saat Swastika kembali kedalam ruangan dan melanjutkan kegiatannya mengelap tubuh Arya, tiba-tiba dia merasakan jemari Arya bergerak. Cepat-cepat dia berdiri dan memanggil Mamih Ratna dan Swastika meminta tolong pada Luna untuk memanggilkan dokter. Tak berapa lama, kedua mata Arya perlahan terbuka."Arya" "Sayang" "Kamu bisa dengar Mamih?" "Arya" "Arya" panggil Mamih Ratna dan Swastika saling sahut. Mereka terus memberikan afirmasi pada Arya agar segera sadar tetapi Arya tidak merespon apapun. Dia masih berusaha membuka matanya. "Mamih" "Tika" ucapnya tanpa mengeluarkan suara. "Hei, kamu sudah bangun? Tu
"Tenang dulu Bu" ucap dokter itu kala melihat Swastika yang menangis. "Bapak Arya mengalami patah tulung kaki sebelah kiri dan beberapa luka luar. Untuk luka luar sudah kami tangani, tetapi untuk luka dikaki kami akan segera melakukan operasi. Mohon Ibu untuk menandatangani dokumen persetujuan ini sebelum kami melanjutkan tindakan" ucap dokter itu. Kemudian salah seorang perawat mendatanginya dan menyodorkan dokumen yang harus ditandatangani. "Tapi dia baik-baik saja kan Dok?" tanyanya sekali lagi. "Sejauh yang kami periksa, tidak ada luka dalam selain pada kaki. Semuanya baik-baik saja Bu" jawab dokter. Setelah dokumen ditandatangani, mereka bergegas membawa Arya menuju ruang operasi dan menyuruh Swastika untuk menunggu didepan ruangan. Disana, Swastika menghubungi Luna untuk mengabarkan apa yang tengah terjadi pada Arya karena setelah mencoba menghubungi Rama dia masih belum mendapat jawaban. Luna yang saat itu masih mengantuk dan setengah sadar tersentak mendengar kabar itu. D