"Cepat kalian cari tahu informasi tentang dua orang itu," titah Ruslan cepat.
Dia harus segera bergerak cepat untuk menyelamatkan Tuan Mudanya karena kalau tidak, dia takut Tuan Mudanya itu akan dibunuh mereka. Dan lagi, dia tidak sanggup jika harus melihat Valentino Araya kembali menderita karena kehilangan anaknya.
Derrick ingin sekali bersuara tapi melihat tampang Ruslan yang sedang kebingungan itu, dia mengurungkan niatnya. Dia pun sekarang merasa tak berguna ada di sana. Dia melirik ke arah kedua temannya yang tampak bingung dan serba salah itu. Tapi keduanya membuat tatapan seolah menyiratkan jika mereka juga ingin pergi dari ruangan itu.
Derrick mengangguk paham tapi sebelum dia berdiri, pintu ruang kerja Valentino telah dibuka dengan kasar. Valentino muncul dengan wajah mengerikan. Auranya dingin. Derrick bakan membeku di tempatnya, takut bergerak.
"Sudah ketemu?" tanya Valentino, matanya menatap Ruslan.
"Sudah, Tuan. Kami sedang mencari in
Ruslan masih belum bisa menemukan di mana tempat keberadaan Vesa. Dia hanya bisa mencari di gedung-gedung yang terlihat mirip dengan tempat di mana Vesa dihajar di dalam video itu.Hampir seharian penuh mencari, pria itu tak kunjung menemukan titik terang. Namun bukan Ruslan namanya jika dia putus asa begitu saja. Pria ini dikenal sebagai pria yang pantang menyerah maka dia pun tak kehilangan akalnya dan mencari lagi.Di dalam apartemen, Valentino sedang termenung sendirian. Pria itu menatap sedih ponsel putranya. Dia benar-benar tidak tahu apa yang akan dia lakukan jika sampai terjadi hal-hal yang mengerikan terhadap putranya.Setelah diam beberapa saat, dia melihat sebuah notifikasi dari sebuah email yang lagi-lagi tak dikenalnya.Dengan cepat dia membukanya. Benar dugaannya. Dari si penculik. Email itu berisi sebuah alamat. Dia membaca dengan hati-hati dan mendesah pelan.Pria itu tanpa berpikir ulang langsung menyambar kunci mobilnya dan
Valentino menghentikan mobilnya di sebelah gudang tua. Dia memarkir mobil itu di dekat pohon besar. Dia sedikit heran karena ternyata di pusat ibu kota di negaranya masih ada pohon rindang.Meskipun begitu, dia mengernyitkan dahinya saat mendapati jika lingkungan di sekitar tempat itu cukup kotor. Tempat itu hanyalah sebuah gedung tak terurus yang jelas-jelas jarang dijamah orang.Valentino melirik ponselnya lagi dan memastikan jika tempat yang dia datangi sudah tepat. Namun, dia keheranan karena tak melihat adanya manusia lain selain dirinya di dekat gedung itu. Tapi saat dia melangkah mendekati gudang itu, dia melihat beberapa mobil terparkir di sana."Siapa di sana?" ucap seseorang yang tidak terlihat sosoknya oleh Valentino."Valentino," jawabnya."Angkat tanganmu dan masuklah," ucap orang itu. Sebuah pintu besar terbuka secara perlahan.Gelap. Tak ada cahaya tapi setelah pintu itu tertutup, beberapa lampu menyala dan m
Ucapan Ruslan benar-benar membuat pemuda itu merasa jika dia memang bodoh. Kesalahan yang dia perbuat memanglah fatal. Dia telah membuat ayahnya sekarang ini berada dalam keadaan antara hidup dan mati.Valentino Araya koma. Dia memang telah melewati masa kritis dan bahkan peluru yang bersarang di perutnya sudah berhasil diambil. Beruntung peluru itu tidak mengenai organ dalam vital Valentino. Namun sayang, sampai delapan jam usai operasi itu dilangsungkan, Valentino belum mau membuka matanya.Vesa hanya bisa meratapi segalanya. Penyesalan sudah tak bisa dia bendung lagi. Dia terlalu larut dalam kesedihan hingga mengabaikan ketiga temannya sepenuhnya. Vesa hanya tetep berada di depan ruang inap rawatnya dan tak mau beranjak dari sana meskipun Ruslan sudah membujuknya berulang kali.Keadaan itu berlangsung hingga hari keempat Valentino dirawat. Pemuda itu tak beranjak dari rumah sakit sekalipun. Dia hanya ke kamar mandi saja dan tak keluar dari ruang rawat i
"Vesa, jangan seperti ini terus!" ujar Derrick White yang tak tahan melihat sahabatnya yang sudah hampir mirip seperti zombie.Pria muda itu sudah tak pernah mengurus dirinya hingga membuat sahabatnya itu cemas luar biasa.Vesa tak merespon ucapan Derrick."Vesa Araya, jika kau seperti ini terus, apa menurutmu ayahmu akan berterima kasih padamu? Apa ayahmu akan bangun hanya karena kau bertingkah seperti orang bodoh begini?" teriak Derrick.Vesa menatap kaget, ini pertama kalinya Derrick berteriak marah kepadanya seperti ini. Derrick White yang dia kenal adalah teman yang konyol dan sering membuatnya tak habis dengan tingkah anehnya. Namun, Derrick White yang sekarang sedang marah terhadapnya ini bukanlah Derrick yang seperti itu, melainkan Derrick yang tegas dan siap mengeluarkan taringnya saat dia marah.Derrick melihat wajah Vesa yang tampak kaget dan kemudian dia merendahkan suaranya, "Maaf. Aku hanya ingin kau bangkit. Ayahmu sudah m
"Astaga, kupingku." Derrick begitu kaget hingga kupingnya berdengung."Derrick, apa maksudmu tadi?" tanya Vesa syok."Ya itu, mereka merengek pada orang tua mereka untuk ikut berkuliah di sini. Orang tua mereka sudah mengizinkan tapi mereka harus pulang dulu. Pak Ruslan sebenarnya sudah mau mengurusnya tapi orang tua bersikeras ingin mereka kembali dulu. Ya, mereka kan tak pernah tinggal jauh dari orang tua mereka," jelas Derrick."Memangnya kau pernah?" cibir Vesa."Tidak, tapi kan aku beda," kilah Derrick."Apanya yang beda? Kau kan selalu... Hm... Bagaimana mengatakannya ya, kau itu selalu dimanja oleh orang tuamu,' ujar Vesa.Derrick menatap jengkel temannya itu dan membalas, "Bukan mauku. Salahkan mereka yang selalu menuruti semua keinginanku."Telinga Derrick kembali memerah, Vesa tiba-tiba saja ingin menjahili Derrick tapi tak jadi lantaran Ruslan mendatangai mereka."Tuan Muda, saya..."
"Kenapa? Apa aku terlihat aneh dengan setelan semacam ini?" Vesa melirik dirinya sendiri lewat cermin dan bayangan seorang pemuda tampan berbalut satu set pakaian kerja yang begitu menawan terpantul jelas di sana.Derrick akhirnya mendapatkan suaranya kembali, "Kau bercanda? Aneh? Justru sebaliknya. Kau terlihat hm... Keren meskipun tentu saja aku jauh lebih keren."Lay menatap malas sedangkan Lucas menanggapi, "Kau terlihat sangat mirip dengan ayahmu."Vesa tersenyum sedih. Andai saja dia tak berbuat kesalahan bodoh, ayahnya pasti akan ada di sisinya sekarang. Namun, dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa tak ada gunanya menyesal. Kejadian itu sudah terjadi dan tugasnya saat ini adalah menjaga dan mengelola perusahaan ayahnya sampai ayahnya bangun."Hei, tak usah sedih begitu. Dia pasti bangga sekali padamu, sekarang bagaimana kalau kita sarapan dulu? Perutku sudah keroncongan minta diisi," ujar Derrick dengan polos.Vesa memutar bola ma
Vesa masuk ke ruangannya dengan tergesa-gesa. Dia sedang dilanda kekesalan yang membuatnya tercekik. Dia lalau melonggarkan dasinya dan ketika matanya menangkap sebuah kulkas di dekat meja kerjanya. Dia segera mengambil air mineral dari sana dan meminumnya sampai tandas.Ketiga temannya menyusulnya tak lama kemudian bersama dengan Ruslan, Lusi dan juga Verlyta.Vesa segera berkata, "Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan emosiku. Mereka keterlaluan, mereka sama saja menghina ayahku karena telah mempercayakan semua perusahaannya kepadaku."Ruslan mendekatinya dan menepuk pundaknya dengan pelan, "Kerja bagus, Tuan Muda." Ruslan menampilkan senyum tulusnya.Lusi bahkan ikut tersenyum, "Itu tadi luar biasa. Saya senang Anda melakukannya. Anda memang sudah seharusnya melakukan itu.""Bu Lusi benar, apakah Anda lihat bagaimana wajah para petinggi itu? Mereka kaget dan si Andre, manager playboy itu bahkan langsung pucat," celoteh Verlyta.
"Ayah, ini hari pertama aku menggantikan Ayah. Apa aku terlihat tampan seperti Ayah?" Vesa tertawa kecil.Ayahnya masih memejamkan matanya dan tak tahu kapan akan bangun. Namun, Vesa tak akan pernah berhenti menjenguknya. Segala macam cara sudah dicoba tapi belum juga menunjukkan hasil. Valentino Araya belum sadar. Keadaannya memang sudah stabil tapi tetap saja dia masih dalam koma."Ayah tahu orang-orang bilang aku sangat mirip Ayah. Yah, tapi mereka tidak salah. Aku juga merasa aku sedikit mirip Ayah." Jeda sebentar, dia mengolah napasnya dan mencoba menyimpan kesedihan yang dalam sebelum akhirnya melanjutkan acara curahan hatinya pada sang ayah."Secara fisik, kita mirip, tak bisa dibantah. Namun, setelah mendengar cerita Ruslan mengenai ibu, sifatku sedikit mirip dia. Iya kan, Yah?" ucapnya."Ibu. Aku banyak mendengar ceritanya dari Ruslan tapi aku masih belum puas. Aku ingin mendengar lebih banyak tentang ibu. Apakah Ayah tak ingin menceritak
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng