"Sudahlah, jangan berpikir hal-hal yang tidak perlu kau pikirkan, Vesa," ujar Derrick. Pertanyaan Vesa tak dijawab. Vesa ingin bertanya lagi tapi tak jadi karena tak mau memaksa Derrick untuk menjawab. Walaupun hatinya sedang gelisah akan hal itu, Vesa tak ingin memperpanjang hal itu.Selanjutnya, dua jam sebelum waktu berakhir, Ruslan pulang dengan tergesa-gesa. Valentino yang masih duduk di kursi rodanya memang sudah menunggu pria tua itu. Vesa dan Derrick yang telah diberitahu oleh Valentino juga sangat penasaran dengan berita yang dibawa Ruslan. "Bagaimana, Ruslan?" tanya Valentino sudah tak sabar begitu pria itu berjalan mendekat ke arahnya. Ruslan menghela napas panjang, "Tak ada satupun yang ke kantor polisi, Tuan. Tak satupun." Wajah tua pria itu terlihat sekali murung, Valentino pun hanya bisa mengangguk kecewa dan menyuruh Ruslan duduk. "Istirahatlah. Sebentar lagi kita harus ke AL Group," ujar Valentino. Vesa berujar, "Ayah yakin Ayah akan ikut ke sana?" Valentino me
Vesa seakan tuli sepenuhnya, tak sedikitpun dia mendengarkan teriakan Valentino. Ruslan dan Derrick tak bisa menjangkaunya. Ketika Ruslan hampir saja bisa terbebas dan berjalan menuju Vesa yang sedang menghajar orang itu dengan membabi buta, salah seorang pengawal berkata, "Mohon, Anda semua ke dalam mobil saja. Keadaan di sini sangat berbahaya."Ruslan tentu saja menolak, "Tuan Mudaku masih di sana sendirian dan kau menyuruhku masuk ke dalam mobil?"Sang Pengawal berkata kembali, "Tolong, Pak Ruslan. Demi keselamatan Anda semua."Pengawal lainnya menambahkan sambil mencegah serombongan orang yang berniat menerobos penjagaan pengawal, "Anda harus kembali ke mobil sekarang juga. Kami akan segera membawa Tuan Muda kembali."Semua pengawal waspada dengan pistol di tangan mereka, mengarahkan ke segala arah untuk melindungi keluarga Araya.Derrick panik karena keadaan semakin ricuh, para pendemo itu benar-benar tak bisa dikendalikan sama sekali. Semuanya entah kenapa mengarah ke mereka."
Vesa masih menatap tanpa ekspresi ke arah tubuh tak bernyawa Valentino dan Ruslan.Derrick berkata, "Kau masih bertanya mereka ini siapa? Apa kau buta?"Derrick lalu berjongkok dan mulai dengan perlahan menyingkap kain putih yang menutup tubuh Valentino. Derrick hanya membukanya hingga bagian dada Valentino. Derrick melihat ekspresi wajah Vesa yang semula terlihat ingin menyangkal kematian Valentino mulai berbeda. Ada tatapan syok, sedih, tak mau percaya dan kehilangan yang sangat dalam.Bibir Vesa bergetar dan dengan cepat sebuah butir air mata jatuh dari matanya. Tak ada suara tangisan dalam suaranya tapi Derrick mendengar suara yang begitu memanggil, "Ayah."Derrick memejamkan matanya karena terlalu sakit melihat sahabatnya itu harus kehilangan lagi. Dia pun melanjutkan membuka kain putih yang menutupi tubuh Ruslan. "Paman," lirih Vesa.Vesa lalu bergerak pelan dan memeluk tubuh ayahnya dan seakan tak sanggup menahan luka di hatinya lagi, tangisnya pun pecah."Maafkan aku, Ayah."
Vesa ingin sekali menerjang Stefan yang semakin membangkitkan rasa sesal di hatinya."Kenapa? Kau tidak mau dengar, Vesa?" tanya Stefan dengan tenang.Vesa menggelengkan kepalanya. "Ini kenyataannya. Kau yang sudah mengacaukan rencanaku. Kalau kau bisa sedikit saja menahan rasa kesalmu itu dan berpikir dengan lebih bijak, aku pasti sudah bisa membuat Gea dan anak buahnya itu tertangkap dan ayahmu tak perlu mati konyol."Napas Stefan kini memburu, dia sudah tidak bisa lagi menahan rasa kesal yang berkumpul di dadanya. Dia yang awalnya menilai jika Vesa bisa diandalkan dan berpikir jika Vesa adalah salah satu pemuda yang memiliki masa depan yang cukup brilliant telah membuatnya kecewa berat.Dia tidak pernah mengira jika Vesa akan dengan sangat mudah terpancing emosi dan tak pandai mengamati suasana. Stefan yang mengintai dari kejauhan itu syok ketika melihat Vesa yang malah pergi mengejar orang yang telah Stefan suruh untuk membuat keributan itu. Dia kira Vesa akan pergi dari AL Grou
"Buktinya dia memang meninggalkan anaknya di Jakarta, anak muda," ucap Stefan santai.Vesa rasanya tetap tidak bisa percaya dan tiba-tiba sebuah pikiran melintas di kepalanya. "Paman, sudah pastikan jika yang ada di rumahnya itu benar-benar anaknya?" tanya Vesa dengan nada curiga.Stefan menoleh, menatap Vesa tak mengerti. Vesa berujar lagi, "Paman Stefan, Gea itu wanita licik. Bisa saja kan dia menaruh seseorang untuk menyamar menjadi anaknya sementara dia kabur bersama dengan anaknya?"Stefan tersentak kaget, kenapa dia tak terpikirkan hal itu."Paman, Vesa benar. Bisa jadi yang di rumahnya itu bukan anaknya," sahut Derrick.Tanpa aba-aba, Stefan merogoh ponselnya dan menelepon Edo, salah satu anak buah kepercayaannya yang saat ini bertugas menjaga kediaman Gea."Edo, cek anak Gea sekarang!" perintah Stefan cepat."Ada apa, Bos? Anak itu masih di dalam kamar," ucap Edo."Cek saja. Pastikan apakah anak yang kau sebut di kamar itu benar-benar anak Gea apa bukan," ujar Stefan.Terkeju
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m