Hati Vesa begitu berdebar-debar kala pesawat mereka telah mendarat di bandara. Dia dan Derrick tlah berganti pakaian dan memutuskan untuk meninggalkan semua barang-barang mereka di bandara. Mereka hanya membawa kartu dan paspor serta beberapa kartu lainnya yang bisa mereka masukan ke dalam pakaian mereka.Mereka beruntung lantaran di dalam tas mereka, Alea telah menaruh dua topi yang bisa mereka gunakan untuk menyamar. Vesa merasa harus berterima kasih kembali pada Alea karena gadis itu yang telah menyiapkan banyak hal untuk mereka."Tenang saja, kita akan segera mencari tahu tentangnya begitu kita mendapat tempat yang aman, Vesa," ujar Derrick begitu dia melihat wajah Vesa yang tampak murung itu.Vesa hanya memberi sebuah anggukan. Dia lalu mulai memusatkan perhatiannya ketika sudah berjalan menuju keluar pesawat."Mereka tidak mungkin menyerang kita di dalam bandara, Vesa. Kita harus waspada saat kita mulai masuk ke pintu keluar," ujar Derrick.Vesa kembali membenarkan masker yang d
Tubuh Derrick bergetar hebat saat Inka menunjukkan dua photo yang berhasil gadis itu dapatkan. Sesungguhnya Derrick susah mengira jika kedua orang tuanya pasti terbunuh dengan cara yang mengerikan. Akan tetapi, dia tetap saja tidak sanggup melihatnya.Darahnya kian mendidih kala Inka memutar percakapan anak buah Stefan yang dia rekam diam-diam. Terdengar jelas jika mereka tengah bersenang-senang setelah puas membunuh Mikael dan Fransisca White.Tak hanya di situ, Inka juga memberi tahu Derrick Dan juga Vesa mengenai pemakaman orang tua Derrick yang berjalan tidak lancar. Tak bisa dicegah, pria muda itu langsung tersulut emosi."Aku akan membunuh mereka," ucap Derrick geram.Matanya sudah memerah karena terlalu marah sampai air matanya menggenang di matanya.Vesa menepuk bahu sahabatnya itu seraya berkata, "Kita akan membalasnya. Kita akan membuat mereka membayar semuanya."Inka menatap prihatin ke arah Derrick, "Aku turut berduka. Aku tahu aku tidak pantas meminta maaf tapi aku...""B
"Oke. Sekarang siapa yang akan kau hubungi?" tanya Derrick.Vesa menghela napas, "Aku akan mencari Bu Lusi."Derrick terkejut, "Kau gila? Aku tidak yakin dia akan berpihak kepadamu.""Kita belum mencobanya," balas Vesa tak mau begitu saja kehilangan harapan."Lalu maksudnya kau mau uji coba dulu begitu? Mana bisa coba-coba? Kau tidak sedang berada di toko baju dan mencoba beberapa baju sebelum memutuskan baju mana yang akan kau beli," sindir Derrick halus.Vesa menatap jengkel sahabatnya yang lagi-lagi membuatnya sedikit kesal, "Bukan seperti itu konsepnya, Derrick. Maksud aku, aku akan mencoba menemui Bu Lusi dan berbicara dengannya.""Aku paham, Vesa. Jika memang Bu Lusi masih setia kepada keluargamu, itu bagus. Namun, jika dia sudah menjadi pengkhianat, bagaimana? Sama saja kau menghantarkan nyawamu sendiri kepadanya," jelas Derrick.Derrick benar, Vesa baru menyadarinya."Kita tidak punya cara lain selain ini, Derrcik. Aku harus segera muncul di hadapan publik agar semua orang tah
"Awalnya saya tidak mengerti kenapa berita seperti itu bisa keluar. Sekitar dua minggu yang lalu, saya pergi ke Inggris untuk menghadiri pemakaman kakek dan nenek saya, Hera Adnan dan juga Thomas Miller. Tak disangka-sangka, di sana saya malah diserang." Vesa mengambil jeda sebentar dan dia melirik ke arah Derrick yang terlihat sekali memaksakan dirinya untuk tegar.Vesa menunduk sebentar sebelum melanjutkan, "Di sana sangat kacau bahkan saya kehilangan orang tua teman saya begitu baik. Mereka dibunuh oleh para penyerang itu hanya karena melindungi saya."Vesa terdiam sebentar, dia mengambil napas dalam-dalam, kembai melirik Derrick yang sekarang sedang tersenyum seolah mengatakan dia baik-baik saja.Omong kosong, batin Vesa.Mana ada orang bisa baik-baik saja saat dia kehilangan dua orang yang berharga sekaligus? Apalagi dengan cara yang sangat mengerikan.Namun, Vesa harus mengingatkan dirinya jika saat ini dia sedang live dan disaksikan oleh orang-orang yang mengakses aplikasi vid
Usai mobilnya berhasil menjauh dari apartemen itu, Vesa dengan cepat melajukan mobil yang disewa oleh Ruslan langsung menuju ke sebuah apartemen yang dekat dengan AL Group.Seperti rencana mereka sebelumnya, jika mereka akan menunggu selama dua hari. Jika dalam dua hari mereka tak kunjung membuat laporan maka tak ada pilihan lain selain Vesa akan langsung muncul di AL Group untuk mengambil haknya lagi. "Hampir saja. Vesa, mereka cepat sekali," ucap Derrick yang masih belum bisa menghilangkan rasa tidak percayanya."Penjahat selalu memiliki seribu cara untuk menangkap mangsanya, Derrick," ujar Vesa sambil masih mengemudi."Ah, benar. Tapi sungguh, aku tidak bisa bayangkan jika Paman Ruslan tadi tidak menemukan terlebih dulu, sudah pasti mereka sudah menemukan kita, Vesa," ujar Derrick lega.Ruslan berkata, "Ini berkat Tuan Valentino. Kemampuannya masih seperti dulu. Hanya dalam beberapa menit saja beliau sudah bisa menemukan lokasi kalian."Valentino menoleh dan berdeham kecil, "Sudahl
"Sudah kau cek, Ruslan?" tanya Valentino sambil mengunyah makanannya di kursi roda. "Sudah, Tuan," jawab Ruslan pelan tak ingin membangun Vesa dan Derrick yang baru saja tertidur di sofa. Keduanya terlalu lelah hingga tak sempat merebahkan diri mereka ke kamar mereka masing-masing."Bagaimana hasilnya?" tanya Valentino dengan ekspresi tanda tanya yang besar.Ruslan kembali berbicara dengan suara yang mirip seperti sebuah bisikan, "Tak ada, Tuan. Semuanya benar-benar berbalik melawan Anda."Valentino menghentikan kegiatan makannya, dia lalu tersenyum pahit dan terdiam.Ruslan melihat dengan khawatir, "Apa Anda tidak apa-apa, Tuan?"Valentino mendongak, "Apa apa dengan pertanyaanmu itu? Aku baik-baik saja."Tentu saja Ruslan tidak mempercayai hal itu, Valentino memang berusaha untuk setegar mungkin tapi tetap saja wajah pria itu jelas sekali dia tidak sedang baik-baik saja.Ruslan berkata, "Tuan, Anda..."Valentino menyela dengan cepat, "Ya, kau benar. Aku tidak baik, bahkan sangat tid
"Tinggal satu hari lagi," ucap Gea dengan senyum yang merekah di bibirnya."Apa rencanamu sekarang?" tanya Stefan.Gea menoleh pada sepupu penyelamatnya, David Araya, yang begitu dia hormati. "Tentu saja membunuh mereka berdua. Memangnya apa lagi?" ucap Gea santai.Stefan berkata, "Kau yakin akan berhasil?"Gea yang tadinya tersenyum lebar itu kini kehilangan senyumnya, "Stefan Aditama, kau perusak suasana."Stefan, "Aku hanya bertanya, Gea Raharjo."Gea memandanganya kesal, "Kenapa? Ingat Stefan, kau tahu betul apa yang bisa aku lakukan jika kau macam-macam. Kau masih sayang nyawa keponakan tersayangmu itu kan?"Stefan mencengkeram gelas wine-nya, matanya berkilat tajam saat balik memandang Gea, "Kau sentuh dia sehelai rambut saja, aku bersumpah akan membunuhmu."Gea sontak tertawa terbahak-bahak sementara Stefan masih menatapnya dingin."Oh, ayolah. Kau tak perlu serius seperti itu, Stefan. Aku hanya bercanda. Aku tak mungkin berani menyentuh Inka. Lagi pula, dia kan tidak aku culi
Vesa memandang Derrick dengan tatapan yang seakan menyatakan 'Apa kau gila, Derrick?'Derrick membalas, "Aku tidak gila."Vesa tergelak, "Kau tahu arti tatapanku padamu?""Ya. Orang bodoh saja pasti juga akan dengan mudah tahu, Vesa. Kau ini benar-benar," ujar Derrick sebal.Vesa menggelengkan kepalanya, "Wow, kau sungguh menakutkan, Derrick White. Apa aku harus mulai waspada terhadapmu sekarang?"Derrick melengos kesal, "Teruskan omong kosongmu itu, Vesa. Dasar menyebalkan."Vesa sontak tertawa, tentu saja menggoda Derrick White juga menjadi suatu kesenangan tersendiri untuknya. Dia hanya punya Derrick sebagai sahabatnya jadi apapun hal yang dia lakukan pasti tetap ada Derrick di dalamnya."Aku... Aku hanya merasa kesal pada diriku sendiri, Derrick. Dan juga marah," ucap Vesa mulai serius.Derrick menoleh, tatapannya sudah berubah dari yang tadinya kesal kini berubah prihatin seketika, "Kesal kenapa? Marah pada siapa?""Kesal pada diriku sendiri yang hanya bisa memiliki cara ini untu