Arisha mengerjapkan matanya beberapa kali tatkala merasa silau karena merasa adanya sinar matahari yang menusuk matanya. Dengan muka bantalnya, Arisha bangkit dari tidurnya. Matanya seketika terbelalak saat ia menyadari sesuatu.
Tubuhnya polos tanpa satu helai pakaian yang menutupinya. Hanya selimut yang membalut tubuhnya saat itu. Arisha melihat ke arah sisi sampingnya, seorang laki-laki sedang tertidur pulas dengan kondisi tubuh yang sama dengannya.
Seketika rasa sesak di dadanya begitu terasa. Pipinya mulai terasa basah karena air matanya yang mulai mengalir dari mata indahnya. Ingatan tentang kejadian tadi malam terputar kembali di otaknya. Dirinya yang diminta ikut untuk pergi ke pesta ulang tahun calon kakak iparnya ternyata membuat dirinya masuk ke dalam lubang kehancuran. Suara tangisan lolos dari bibirnya membuat laki-laki di sampingnya merasa tidurnya sedikit terusik karenanya.
Laki-laki itu terbangun dengan wajah yang terlihat masih mengantuk membuat Arisha semakin mengeraskan suara tangisnya yang tidak mampu ia tahan. Mata Ilham yang tadinya menyipit karena rasa kantuk yang masih terasa, kini membelalak saat menyadari ada sesuatu yang salah. Ia mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan siapa gadis yang ada di satu kasur yang sama dengannya.
“A ... Arisha ... ?” Ilham tidak percaya saat menyadari calon adik iparnya itu tengah duduk di atas kasur yang sama dengannya dengan kondisi tubuh yang sama polosnya gadis itu menangis memeluk kedua lututnya.
“Ke ... kenapa bisa?” gumam Ilham masih dengan rasa terkejutnya.
“Arisha ... maaf,” ujar Ilham merasa bersalah karena melihat Arisha yang masih menangis hebat.
Arisha menggelengkan kepalanya. Tidak, bagaimana bisa Arisha semudah itu untuk memaafkannya? Apa sebuah kata maaf bisa membuat keadaannya kembali seperti semula?
“Maaf,” ucap Ilham lagi seraya mencoba menyentuh tangan Arisha tetapi dengan cepat Arisha menepisnya dengan kasar.
“Apa setelah Mas minta maaf semua keadaan bisa kembali seperti sebelumnya?” tanya Arisha yang kini menatap Ilham dengan tajam tetapi Ilham bisa melihat ada kilatan rasa kecewa diantaranya.
Ilham bisa melihat jelas tatapan Arisha, tatapan yang penuh dengan rasa sakit karena perbuatan bejatnya tadi malam. Ada sedikit rasa sesal karena ia tidak bisa menahannya. Namun, siapa juga yang bisa mengontrol diri saat sedang dipengaruhi minuman beralkohol?
“Semalam terjadi begitu saja, saya mabuk, Arisha. Saya minta maaf,” ujar Ilham memohon dengan tidak tau dirinya.
“Lalu kenapa harus aku!? Padahal ada Kak Kian atau perempuan lain. Tapi kenapa harus aku, Mas!?” balas Arisha yang tidak bisa menahan emosinya.
“Saya juga gak tau, saya gak sadar. Maaf, Arisha ....”
Arisha tidak mau mendengar lagi ucapan dari calon kakak iparnya itu yang menurutnya sangat bejat dan tidak berperasaan. Ia lebih memilih bangkit dari tempat tidur lalu memungut bajunya yang sudah tercecer di lantai dan segera mengenakannya.
Ada sedikit rasa perih di selangkangannya membuat Arisha reflek meringis kesakitan. Sebuah pertanda kalau tadi malam memang terjadi sebuah tragedi yang benar-benar ingin Arisha lupakan. Iya, ia cukup ingat betul apa yang terjadi padanya semalam.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Ilham yang masih diam di tempatnya, terlihat raut wajah cemasnya.
“Apa aku perlu jawab pertanyaan itu, Mas Ilham?” balas Arisha balik bertanya dengan sinisnya. Ilham seketika menutup mulutnya, wajah tegasnya kini tidak mengekspresikan apa-apa. Arisha sendiri tidak tau apa yang sedang laki-laki itu pikirkan.
Karena tidak mau berlama-lama dengan calon kakak iparnya di kamar itu, Arisha memutuskan untuk pergi dari sana membiarkan Ilham dengan pikirannya sendiri. Ilham sendiri pun terlihat tidak menahan kepergian Arisha.
***
Kasur empuk milik Arisha kini menjadi satu-satunya tujuan Arisha saat seharusnya ia menyantap makan malamnya. Ia memilih kembali merebahkan tubuhnya di sana. Sudah sebulan sejak kejadian tragedi skandal dirinya dengan Ilham, calon kakak iparnya. Kini Arisha harus dibuat resah karena ia baru saja merasa mual setelah melihat hidangan di meja makan tadi.
“Gimana bisa aku liat capcay yang pada dasarnya adalah makanan favorit aku bisa buat aku mual?” tanya Arisha ada dirinya sendiri sambil mengelus-elus perutnya tanpa sadar.
Hanya dirinya sendiri yang saat ini bisa ia ajak bicara. Ia tidak punya siapa-siapa, teman, sahabat, Arisha tidak memiliki itu semua. Seseorang yang selalu mendengar keluh kesahnya pun kini sudah tidak ada. Hanya almarhum neneknya yang selalu ada untuknya sebelumnya.
Tapi, bila sang nenek masih ada dan mendengar ceritanya kali ini, sepertinya beliau akan sangat kecewa padanya. Arisha larut dalam pikirannya yang kalut. Hingga tanpa sadar ia memejamkan matanya dan tertidur tanpa makan malam di malam itu.
Arisha keluar dari kamarnya, ia terlihat sudah bersiap dengan tubuhnya yang terasa lebih segar dari sebelumnya. Pagi hari yang cerah membuat Arisha memutuskan untuk pergi kuliah dengan semangat yang tersisa dalam dirinya. Namun, baru satu langkah ia menginjakkan kakinya, rasa mual di perutnya kembali terasa.
Perut ratanya itu bahkan belum ia isi dengan makanan dari semalam. Pagi ini apa yang akan Arisha keluarkan dari perutnya itu? Pikirnya. Merasa perutnya mual, ia kembali masuk ke dalam kamarnya dan berlari ke arah kamar mandi yang ada di dalam kamarnya tersebut.
Hanya cairan kental berwarna bening yang keluar dari mulutnya. Iya, hanya itu yang bisa Arisha muntahkan. Setelah dirasa sudah merasa lebih baik, Arisha membasuh wajahnya.
Bisa ia lihat, wajah pucatnya terpantul di kaca cermin. Melihat wajahnya sendiri, Arisha bertekad, ia harus memeriksakan kondisinya. Memang sebuah keputusan yang benar untuk mencari tau dan memastikan apa yang sedang Arisha alami, bukan?
Di sore hari, setelah Arisha menyelesaikan jam kuliahnya, ia pergi ke sebuah apotik yang jauh dari rumahnya. Ia sengaja menjauh karena tidak mau ada yang mengenalinya. Ia mencari tau dimulai dari membeli beberapa alat tes kehamilan atau yang biasa disebut dengan testpack dengan berbagai macam merek.
Sebuah toilet umum menjadi saksi di mana tangan Arisha bergetar saat melihat semua garis di alat tes kehamilan tersebut menunjukkan dua garis yang menandakan kalau ia hamil. “Aku ... hamil?” gumam Arisha tidak percaya.
Tangisnya seketika pecah di dalam kamar mandi umum tersebut. “Gimana? Aku harus gimana? Apa aku harus gugurin?” gumam Arisha lagi pelan.
Tubuhnya lemas, apa yang harus Arisha lakukan sekarang? Ia benar-benar bingung saat mengetahui kenyataannya. Sebuah kenyataan pahit setelah sang nenek menginggalkannya. Untuk banyak wanita mungkin akan senang bila mengetahui dirinya hamil tapi, itu dikhususkan untuk yang sudah berumah tangga. Sementara Arisha? Punya pacar saja tidak.
Meminta pertanggung jawaban dari calon kakak iparnya? Arisha tidak ada pikiran untuk itu karena ia tau kalau beberapa hari lagi kakaknya dan Ilham akan melangsungkan pernikahan. Namun, apa yang harus dilakukannya sekarang? Mengugurkannya?
“Arisha, sini.”Arisha berjalan dengan lesu saat memasuki rumahnya. Tujuan awalnya Arisha berniat untuk masuk dan mengurung diri di dalam kamarnya seperti biasa. Hanya saja, baru saja ia melangkah masuk ke dalam rumahnya, sudah ada Ilham dan Kian serta kedua orang tuanya yang sedang mengobrol di ruang tamu.Arisha menoleh saat mendengar namanya dipanggil oleh sang ayah. Tatapannya datar melihat ke arah Ilham yang juga tengah menatapnya. Ada sedikit rasa sesak yang ia rasakan di hatinya saat melihat manik mata lelaki itu, mengingat karena laki-laki itulah kini ia harus merasakan penat di kepalanya.“Kamu kok lemes gitu? Udah makan? Sini duduk, kita lagi bahas pernikahan kakak kamu yang akan berlangsung beberapa hari lagi,” ujar sang ayah menyuruhnya untuk bergabung bersama mereka.Dengan ragu, kakinya melangkah mendekat ke arah mereka yang kembali berbincang. Arisha duduk di bagian sofa yang kosong di sebelah sang ibu. Pandangannya tertunduk, jari jemarinya ia mainkan dengan saling men
“Saya ... saya laki-laki yang harus dimintai tanggung jawabnya oleh Arisha.”Seketika sebuah dentuman kencang terdengar cukup keras membuat semua yang ada di ruang tamu terkejut dibuatnya. Suara kencang itu berasal dari meja kayu yang di gebrak dengan kencang oleh pria paruh baya yang kini dadanya sedang naik turun karena sebegitu emosinya. Ia seketika terasa sangat marah saat mendengar apa yang Ilham ucapkan sebelumnya.“Maksud kamu apa, Mas?” Bukan sang ayah yang bertanya tetapi, Kian sendirilah yang mempertanyakan apa maksud dari perkataan calon suaminya itu.“Kamu jangan bercanda ya, Ilham! Kamu itu calon suami dari Kian dan beberapa hari lagi kalian akan melaksanakan pernikahan!” seru calon ayah mertuanya itu geram.“Maaf, tapi memang benar saya laki-laki yang harus bertanggung jawab. Saya siap menikahi Arisha,” ujar Ilham dengan berani.“Terus aku gimana, Mas? Aku gak mau berbagi suami, lagi pula kenapa harus kamu yang harus bertanggung jawab? Belum tentu itu anak kamu. Ini gak
Arisha melirik jam di tangannya, sudah waktunya, pikir Arisha. Namun, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya saat ini. Salah satu pekerjanya tidak bisa masuk kerja hari ini membuat Arisha harus turun tangan karena orderan yang begitu banyak masuk.Arisha mengambil ponselnya dan mencari satu nama di kontaknya. Setelah ia menemukannya, Arisha segera membuat panggilan telepon dengan orang tersebut. Tidak lama Arisha menunggu paggilan teleponnya dijawab, suara seorang wanita di seberang sana terdengar olehnya.“Halo, Bunga. Maaf, aku boleh minta tolong sama kamu? Ada orderan katering masuk dalam jumlah besar, salah satu pekerja aku gak masuk jadi aku yang nanganin pekerjaan dia. Bisa bantu aku buat jemput si kembar? Atau kamu lagi sibuk?” tanya Arisha sambil harap-harap cemas.Sebuah senyum terlukis di wajahnya saat ia mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Ia mendapat kabar baik kalau Bunga bisa menjemput si kembar di taman kanak-kanak hari ini. Kini Arisha bisa bernapas lega saat meng
Elgantara segera berbalik menatap Elrantya, sang adik, yang baru saja berteriak dengan kencang. Tentu saja ia tekejut sekaligus panik dibuatnya. Dan terlebih lagi wanita paruh baya yang ada dihadapannya juga sama terkejutnya seperti Tara.“Kenapa? Kamu kenapa?” tanya Tara pada sang adik dengan suara khas seorang anak kecil.“Itu, tadi ada serangga terbang,” jawab Tya sambil menutup matanya dengan kedua tangannya.Sontak Tara melihat sekitar, tapi ia tidak menemukan serangga yang dimaksud adiknya itu. Tara mengembuskan napasnya pelan, satu tangannya menggapai bahu sang adik. “Udah gak ada,” ujar Tara tenang.Tya menurunkan kedua tangannya dengan perlahan. Matanya melirik dengan hati-hati ke arah sekitarnya, takut-takut serangga yang ia lihat sebelumnya masih berterbangan disekitarnya. Sementara Tara kembali berbalik menghadap wanita paruh baya yang masih berada di hadapannya.“Ada perlu apa?” tanya Tara lagi tetapi kini terdengar sinis.Wanita paruh baya itu terlihat tersenyum dengan r
Arisha merasa kepalanya sedikit pusing. Namun, ia tidak mau lagi mengecewakan kedua anaknya yang sudah ia janjikan untuk makan malam di luar malam ini. Ia berdiri di depan wastafel ruang kerjanya, melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin dan bisa ia lihat betapa pucat wajahnya.Untuk menutupi hal itu, Arisha mengambil beberapa alat rias di sebuah tas kecil miliknya. Ia memilih menutup wajah pucatnya itu dengan riasan yang sedikit lebih tebal dari biasanya agar bisa menutupi betapa pucat wajahnya. Terakhir, Arisha memoleskan sebuah lipstik berwarna merah bata di bibirnya.“Momi!” Arisha terperanjat saat mendengar suara anak perempuannya yang memanggilnya cukup kencang dari ruang kerjanya. Untung saja, lipstiknya itu tidak mencoret bagian wajah yang lain selain bibirnya.“Iya, sebentar, Sayang,” balas Arisha sambil membereskan semua alat riasnya kembali.“Ih, Mama lama banget. Tya udah laper!” keluh Tya yang terlihat cemberut.“Mama dandan dulu? Mama ‘kan udah cantik walaupun gak dan
Sebuah rumah sakit menjadi persinggahan Ilham malam ini. Masih dengan kedua anak kembar Arisha yang menangis, Ilham diam duduk menunggu para tenaga medis menangani Arisha di ruang gawat darurat. Ilham menatap kedua anak kembar yang wajahnya sudah memerah karena tangisannya. Ilham mengembuskan napasnya, merasa sangat tidak tega melihat keduanya seperti itu. Ia bangkit dari duduknya lalu bersimpuh tepat di depan sepasang anak kembar itu. Senyumnya terukir dengan indah, Ilham mengangkat tangannya untuk menggapai puncak kepala Elrantya dan mengusapnya lembut. Samar-samar, Tya menghentikan tangisnya dan menatap Ilham yang berada tepat di hadapannya. Ilham tersenyum lembut kearahnya. Namun, Ilham dibuat terkejut saat Tya menabrakan tubuhnya pada Ilham. Tangan kecil Tya memeluk leher Ilham dan tangisnya kembali terdengar. “Momi ... Momi kenapa, Om ...?” tanya Tya sambil menangis. Ilham membalas pelukan gadis kecil itu, ia mencoba untuk menenangkannya dengan mengusap
“Tara!” Tara dan Ilham menoleh ke asal sumber suara di mana Arisha kini sudah terbangun dan menatap ke arah mereka dengan tatapan yang tidak bisa mereka artikan.“Mama!”Tara melepas pelukannya pada Ilham dengan segera lalu ia berlari menghampiri ranjang di mana Arisha diam menatap mereka. Sementara Tya, ia sudah terlelap di samping sang ibu tanpa tau kalau Arisha sudah tersadar dari pingsannya. Ilham bangkit berdiri menatap Arisha yang juga menatapnya.Ada perasaan gelenyar di hatinya saat menatap mata sayu indah milik Arisha. Namun, Ilham juga menyadari kalau ia bisa melihat ada terselip tatapan ketakutan dan kekecewaan di mata perempuan yang selama ini selalu ia cari-cari keberadaannya. Terbesit sebuah pemikiran kalau pertemuan tidak sengaja ini adalah sebuah jalan yang sudah ditakdirkan agar dirinya dan Arisha bisa bertemu kembali.“Kamu sudah siuman?” tanya Ilham yang terdengar cukup bodoh.“Kenapa And
Arisha bisa mendengar suara pintu kamar inapnya dibuka oleh seseorang. Namun, Arisha memilih pura-pura tidur daripada melihat siapa yang datang ke kamarnya selarut ini tetapi ia menduga kalau yang datang adalah Ilham dan Tara. Derap langkah kaki yang dibalut dengan sebuah sepatu pantofel yang beradu dengan lantai keramik terdengar cukup kencang karena sunyinya ruang inap Arisha.Arisha merasa sedikit keheranan, kenapa hanya ada satu pasang suara derap langkah yang masuk ke dalam ruangannya? Kalau memang Ilham dan Tara yang datang, seharusnya ada suara Tara juga. Apa memang bukan Ilham dan anak laki-lakinya yang datang? Pikir Arisha dalam pejaman matanya.Sebuah pergerakan di kasurnya cukup terasa oleh Arisha. Mata Arisha sedikit ia buka untuk mengintip. Samar-samar ia bisa melihat seorang pria jangkung yang sedang mencoba dengan sangat hati-hati untuk memindahkan Tara yang tertidur di gendongannya ke sebelah Arisha.“Anak pintar,” gumam pria jangkung
Ketukan di pintu membuat Arisha tersadar dari keterkejutannya karena tawaran dari Ilham sebelumnya. Arisha menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu ia bangkit dari duduknya. “Masuk,” ujar Arisha.Ilham tampak merasa sedikit kecewa karena momen ia menyatakan tawarannya terganggu. Namun, wajahnya berubah saat ia melihat Tara dan juga Tya masuk ke dalam ruangan dengan antusias. Seketika Ilham tersenyum senang saat melihat sepasang anak kembar tersebut.“Mama!” seru Tya berlari kecil menghampiri Arisha.“Mama, tangannya jadi dibuntel,” ujar Tara tampak sedih melihat tangan Arisha yang terbalut perban.Arisha mencoba untuk tersenyum. Tangan satunya ia gunakan untuk mengelus lembut puncak kepala Tara. “Gak akan lama, kok. Nanti juga tangan Mama sembuh, Tara sama Tya doain Mama, ya?” balas Arisha.Tya yang mendengar itu segera merangkul tangan Ilham. “Papa, temenin kita ya buat jagain Mama,” pinta Tya pada Ilham membuat Ilham dan Arisha saling beradu pandang.“Kalian ini, ‘kan ada Tante Bun
“Saya denger dari Tara, waktu malam hari kamu terlihat kesal dan gelisah, Arisha. Jawab saya dengan jujur untuk kali ini, apa ada sesuatu yang mengganggu? Apa ada yang mengancam kamu dengan sesuatu?”Arisha terbatuk lalu dengan cepat Ilham menyuguhkan segelas air mineral. Setelah meminumnya, Arisha terdiam saat ia kembali mengingat kalau dirinya tidak diperbolehkan untuk dekat-dekat dengan Ilham. Benar, kenapa ia malah sangat dekat dengan Ilham sekarang? Pikir Arisha.“Mas, lebih baik kamu pergi. Jangan dekat-dekat sama aku dan kedua anak aku,” tegas Arisha yang tampak serius menatap Ilham.Ilham sedikit keheranan saat tiba-tiba Arisha berubah. Ia semakin curiga kalau Arisha mendapatkan sebuah teror yang mengancam bila berdekatan dengannya. Terlebih Ilham menyadari kalau Arisha sebenarnya tidak masalah dengan kehadirannya.“Arisha, jujur, apa ada seseorang yang meneror kamu? Jangan pendam hal tersebut sendirian. Terlebih kalau hal-hal buruk itu berhubungan dengan saya,” kata Ilham yan
Derung motor yang terdengar kencang pun melewat dengan cepat. Arisha tidak sempat untuk melangkah mundurkan kakinya membuat tangan kirinya sempat terkena senggolan motor berkecepatan tinggi yang sepertinya sang pengemudi sengaja melakukan hal tersebut. Teriakan kedua anak kembar Arisha bisa Arisha dengar dengan jelas saat dirinya terjatuh dengan rasa nyeri di bagian tangan.“Mama!”Arisha tampak meringis kesakitan. Tangannya bergetar entah karena rasa sakit atau terkejut. Tara dan Tya segera menghampiri sang ibunda dengan tangis yang mulai mereka ekspresikan. Beberapa orang yang melihat kejadian itu pun segera menghampiri Arisha untuk membantu.Arisha dibantu untuk berdiri dan berjalan ke sisi jalan. Tara dan Tya masih menangis karena terkejut dengan apa yang terjadi pada sang ibunda. Mereka duduk di sebuah kursi kayu yang ada di sebuah kios warung kecil yang berada di sisi jalan.“Arisha,” panggil seorang laki-laki membuat Arisha menengadahkan kepalanya.“Papa,” rengek Tara dan Tya b
Bunga kini menatap Arisha penuh tanya. Ia juga tidak begitu mengerti dengan apa yang ia baca pada secarik kertas yang ia pegang. Ia segera mendudukan diri di kursi yang berada di seberang meja kerja Arisha.“Mbak, ini maksudnya apa? Ilham siapa?” tanya Bunga sambil menggenggam tangan Arisha yang berada di atas meja.Bunga bisa melihat dengan jelas kalau Arisha sepertinya sedang merasa terguncang atas apa yang baru saja ia lihat. Sebuah buket bunga yang indah tetapi terdapat sesuatu yang mengancam di dalamnya. Siang itu, Arisha lagi dan lagi dibuat merasa terserang rasa panik karena ancaman-ancaman yang berasal dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun, ada sebuah keyakinan pada hati Arisha bila hal ini berhubungan dengan Ilham, dalang di balik semua ancaman yang ia terima selama ini kemungkinan besar adalah Kian, kakak tirinya.Arisha menggigit bibir bawahnya sambil menatap Bunga yang ada di depannya. Ia ingin menceritakan apa yang akhir-akhir ini ia alami. Namun, ada sedik
Siang itu, Ilham dan Arisha masih duduk berhadapan ditemani lagu pop yang diputar di kedai yang masih menjadi tempat Ilham dan Arisha tempati. Raut wajah Ilham tampak berkerut saat ini, rahangnya pun mulai menegas menatap tajam Arisha yang berada di hadapannya. Ia merasa apa yang Arisha katakan padanya adalah sebuah hal yang membuat ia semakin curiga jika Tara dan Tya adalah kedua anaknya.“Kenapa?” tanya Ilham terdengar dingin membuat Arisha menggigit bibir bawahnya saat menyadari hal tersebut.“Apa Tara dan Tya memang benar anak kandung saya?” imbuh Ilham membuat Arisha membelalakan matanya lalu menggeleng dengan cepat.“Tentu, bukan. Bukan, mereka bukan anak Anda,” balas Arisha dengan cepat dan terdengar gugup.“Apa kamu berani kalau saya meminta test DNA?” tanya Ilham menantang membuat Arisha merasa gelisah dibuatnya.“Jangan bicara sembarangan ya, Pak. Saya cuma minta Anda untuk tidak mengganggu kehidupan saya dan kedua anak saya. Tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda kataka
Arisha terduduk, tangannya yang berada di atas meja saling menggenggam. Malam itu, langit malam yang gelap terasa kelam. Arisha memperhatikan bintang-bintang yang terlihat jarang di langit lewat kaca jendela besar tak bertirai di depannya.Ia sedang merasa resah, cemas, gelisah saat mengingat pertemuannya tadi dengan Roseline. Arisha tau betul siapa wanita itu. Seorang ibu dari Ilham, ayah kandung kedua anak kembarnya.Arisha takut, ia berpikir keras bagaimana bisa kedua anaknya bertemu dengan Roseline setelah sebelumnya bertemu dengan Ilham? Arisha sendiri sudah yakin kalau kota tempat ia tinggal kali ini aman dari mereka. Tapi apa yang ia dapat? Setelah Arisha pindah ke kota ini, ia malah bertemu ayah dan nenek dari kedua anaknya.Arisha mengembuskan napasnya dengan berat. Piyama putih dengan corak beruang membuat ia lebih terlihat seperti gadis muda daripada ibu muda. Namun, semua dipatahkan saat salah satu anaknya datang menghampirinya lalu memeluknya dengan manja.Arisha sedikit
Roseline, wanita paruh baya itu tampak antusias saat mendengar apa yang sang pelayan katakan padanya. Sebuah surat yang dikirimkan sekaligus bunga mawar merah yang indah untuknya. Tanpa Roseline sadari, suaminya tersenyum seraya memperhatikan respon sang istri yang tampak sangat senang.“Tolong kamu simpan suratnya ya, dan bunganya biar gak layu masukin ke vas,” peintah Roseline masih dengan senyumnya.Pelayannya tentu menganggukan kepalanya menandakan ia paham dan segera berlalu pergi. Senyum Roseline masih tersisa di wajahnya menunjukan betapa senangnya ia pada malam itu. Haerul dan Ilham beradu pandang, mereka tidak begitu mengerti dengan situasi yang ada.“Senang?” Suara bariton ayah Ilham terdengar bertanya pada istrinya.Roseline seketika mengangguk sambil menyuapkan satu sendok makanannya ke mulutnya. Ia seakan lupa dengan hal lain karena kiriman bunga mawar tersebut. Namun, baru beberapa kali ia mengunyah makanannya, Roseline seakan tersadar sesuatu. Ia berhenti dari aktivitas
“Lagi mikirin apa nih, Bos Besar?”Ilham menoleh sekilas pada asisten pribadinya itu, Haerul. Bukan pulang ke apartemen miliknya sendiri, apartemen tempat Haerul tinggal kini menjadi sebuah tempat Ilham untuk berpikir sore itu setelah pulang dari kantornya.Kemeja biru langit yang Ilham kenakan kini kancing bagian atasnya sudah ia buka akibat gerah. Rambut hitam yang biasa ia tata rapi kini sudah sedikit berantakan.“Coba cari tau siapa pemilik Renjana katering,” gumam Ilham, ia duduk menghadap jendela yang memperlihatkan langit senja yang menaungi kota di bawahnya.Haerul yang sedang bebaring bersantai di atas sofa kini mengerutkan dahinya saat mendengar apa yang bos sekaligus sahabatnya itu katakan. “Maksudnya? Katering yang kita sewa jasanya itu?” tanya Haerul memastikan.“Harus saya jelasin secara detail katering yang mana?” balas Ilham dengan malas.Haerul tersenyum canggung mendengar balasan dari Ilham yang terdengar satir. Ia cukup ngeri dengan nada bicara sang bos yang sudah t
Mata Tara memicing tajam menatap seorang wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapannya dan Tya. Siang itu, Tara dan Tya dibuat menunggu oleh sang ibunda karena Arisha tak kunjung tampak untu menjemput keduanya. Namun, rasa waspada kembali Tara aktifkan saat seorang wanita paruh baya yang sebelumnya pernah bertemu mereka kini muncul kembali.“Ini Oma yang waktu itu ya?” tanya Tya yang berada di belakang Tara.Wanita itu mengangguk senang ketika anak gadis itu masih mengenalinya. “Iya, ini Tya sama Tara, ‘kan?” balas wanita itu. Tya menganggukan kepalanya sebagai jawaban.“Wah, kalian apa kabar? Lagi nunggu jemputan ya? Nunggunya di sini yuk, sambil duduk,” ajak wanita itu berjalan ke arah sebuah bangku yang ada di halaman taman kanak-kanak tersebut.Tanpa banyak berpikir, Tya mengikuti wanita paruh baya itu untuk duduk di sampingnya. Sementara Tara, ia membelalakan matanya ketika Tya dengan santainya meninggalkannya. Dengan sigap, Tara mengikuti langkah kecil sang adik.“Siapa yang