“Tara!” Tara dan Ilham menoleh ke asal sumber suara di mana Arisha kini sudah terbangun dan menatap ke arah mereka dengan tatapan yang tidak bisa mereka artikan.
“Mama!”
Tara melepas pelukannya pada Ilham dengan segera lalu ia berlari menghampiri ranjang di mana Arisha diam menatap mereka. Sementara Tya, ia sudah terlelap di samping sang ibu tanpa tau kalau Arisha sudah tersadar dari pingsannya. Ilham bangkit berdiri menatap Arisha yang juga menatapnya.
Ada perasaan gelenyar di hatinya saat menatap mata sayu indah milik Arisha. Namun, Ilham juga menyadari kalau ia bisa melihat ada terselip tatapan ketakutan dan kekecewaan di mata perempuan yang selama ini selalu ia cari-cari keberadaannya. Terbesit sebuah pemikiran kalau pertemuan tidak sengaja ini adalah sebuah jalan yang sudah ditakdirkan agar dirinya dan Arisha bisa bertemu kembali.
“Kamu sudah siuman?” tanya Ilham yang terdengar cukup bodoh.
“Kenapa And
Arisha bisa mendengar suara pintu kamar inapnya dibuka oleh seseorang. Namun, Arisha memilih pura-pura tidur daripada melihat siapa yang datang ke kamarnya selarut ini tetapi ia menduga kalau yang datang adalah Ilham dan Tara. Derap langkah kaki yang dibalut dengan sebuah sepatu pantofel yang beradu dengan lantai keramik terdengar cukup kencang karena sunyinya ruang inap Arisha.Arisha merasa sedikit keheranan, kenapa hanya ada satu pasang suara derap langkah yang masuk ke dalam ruangannya? Kalau memang Ilham dan Tara yang datang, seharusnya ada suara Tara juga. Apa memang bukan Ilham dan anak laki-lakinya yang datang? Pikir Arisha dalam pejaman matanya.Sebuah pergerakan di kasurnya cukup terasa oleh Arisha. Mata Arisha sedikit ia buka untuk mengintip. Samar-samar ia bisa melihat seorang pria jangkung yang sedang mencoba dengan sangat hati-hati untuk memindahkan Tara yang tertidur di gendongannya ke sebelah Arisha.“Anak pintar,” gumam pria jangkung
Dengan tergesa, Arisha menuntun kedua anaknya di sisi kiri dan kanannya. Langit sudah gelap dan Arisha memutuskan untuk pergi dari rumah sakit di mana ia harus dirawat. Ia memilih pergi sebelum Ilham kembali datang menemui mereka kembali.Hal ini sudah Arisha rencanakan sedari pagi tadi. Dan waktu inilah waktu di mana Ilham pergi karena sebuah urusan yang dia bilang pada kedua anaknya kalau urusannya tidak bisa ia tunda dan tinggalkan. Bisa Arisha lihat saat Ilham meninggalkan anaknya dengan berat hati, tetapi, itulah saat-saat yang Arisha tunggu.“Kita mau ke mana, Mah? Momi ‘kan harusnya masih harus dirawat sama suster,” ujar Tya yang ia tuntun di sisi kanannya.Arisha tampak celingak-celinguk di depan lobi rumah sakit seakan mencari sosok yang ia tunggu. Sekaligus ia takut kalau-kalau ada Ilham datang. Akan gagal sudah acara kabur dari laki-laki itu bila Ilham tiba-tiba muncul, pikir Arisha.“Nanti kalau Pap ... eh, kalau Om Ilh
“Ada apa, Kian? Saya sedang banyak pekerjaan. Bila ingin sesuatu, katakan dengan jelas,” tegas Ilham saat mendengar suara manja dari sang istri di seberang sambungan teleponnya.Ilham sudah tau betul bagaimana sikap istrinya itu bila menginginkan sesuatu. Selalu terdengar manja dan menyebalkan. Dan yang menjengkelkan, Kian hanya menghubunginya jika ia menginginkan sesuatu. Tidak pernah Kian benar-benar mencarinya jika tidak punya suatu keinginan, itula hal yang paling memuakkan dari istrinya menurut Ilham.“Hehe ... Mas, kok nanyanya gitu, sih? Aku cuma kangen loh, udah dua hari gak lihat Mas,” balas Kian.“Kalau tidak ada yang penting, saya tutup teleponnya,” ancam Ilham yang semakin dibuat jengkel.“Eh, tunggu, Mas. Anu ... aku mau pergi ke Bali sama temen-temenku. Bole—”“Terserah, Kian. Lakukan apa yang kamu mau,” jawab Ilham dengan cepat memotong ucapan Kian ya
“Kalau ternyata Om Ilham itu papa kandungnya Tya gimana?”“Jangan ngomong sembarangan, Tya. Jangan bahas soal papa, Mama gak suka. Mama selalu sedih kalau Tya maksa cari tau tentang hal itu,” jawab Arisha yang terdengar egois.Tya menundukkan kepalanya, ia tampak murung kali ini. Arisha yang tidak bisa melihat anaknya itu murung memilih pergi meninggalkannya duduk di sana. Bukan Arisha tidak sayang, hanya saja hal itu sangat menyakiti hatinya mengingat banyak hal yang Arisha korbankan untuk kedua anaknya tetapi kini anaknya malah bertanya-tanya tentang ayahnya yang meninggalkan kenangan pahit untuk Arisha. Ia juga tidak mau membiarkan Tya larut dalam pertanyaan tentang keberadaan ayahnya.Karena Ilham memang benar ayah kandung Tara dan Tya yang selama ini mereka pertanyakan. Hanya saja, Arisha ingat betul bagaimana ancaman sang kakak tiri padanya bila ia merusak kebahagiaannya dengan membawa anak-anaknya pada Ilham di lima tahun yang lalu
Arisha baru saja sampai di toko katering miliknya sendiri. Sudah ada beberapa karyawannya yang tiba di sana. Kedatangan Arisha tentu saja disambut baik oleh para pegawainya yang mempertanyakan ke mana perginya Arisha yang tidak hadir tanpa memberi kabar apa-apa selama dua hari kebelakang.Itu karena walaupun Arisha adalah pemilik katering dan pimpinan teratas di sana, tetap saja ia selalu hadir setiap hari kerja untuk mengkoordinasikan para pegawainya. Ia tidak pernah seenaknya datang atau tidak hadir. Arisha selalu memberi kabar pada salah satu orang kepercayaannya di sana dan akan terasa sangat aneh bila Arisha tiba-tiba tidak hadir tanpa kabar sama sekali.“Pagi, Bu. Bagaimana keadaan Ibu?” tanya salah satu pegawainya dengan sopan.Arisha melemparkan senyumnya pada pegawai wanitanya itu. “Alhamdulillah, baik. Katering gimana? Kemarin ada orderan masuk lagi pas saya gak masuk?” balas Arisha bertanya.Pegawainya itu mengangguk pel
Arisha bisa melihat pegawainya menunduk segan pada seseorang yang berdiri di belakangnya. Sudah Arisha duga, pasti Ilham kini sudah memergokinya. Dengan penuh keraguan, Arisha berbalik memastikan siapa yang ada di belakangnya.“Loh, Arisha?”Arisha menengadahkan kepalanya, matanya membelalak saat dugaannya ternyata benar. Ilham tengah berdiri menatapnya terkejut. Mata mereka saling beradu pandang di tengah keterkejutan masing-masing. Arisha tampak salah tingkah saat sudah berusaha untuk terus menghindar tetapi pada akhirnya tetap saja mereka bertemu.“Ah, iya. Anda yang memesan katering, ‘kan?” tanya Arisha yang terlihat bingung.“Maaf, Bu. Saya permisi dulu,” pamit sang pegawai yang merasa canggung berada di sana.Tangan Arisha segera menggapai tangan si pegawai agar tidak pergi meninggalkannya. Hal itu cukup membuat si pegawai sedikit terkejut karena ia sampai tertarik selangkah kebelakang imbas dari tari
Perhatian Ilham segera teralihkan pada sepasang anak yang meneriakinya dengan sebutan papa. Ilham sedikit terkejut dengan kehadiran Tara dan Tya yang tiba-tiba saja menghambur ke arahnya. Sendok yang ia pegang untuk menyuap hidangan yang Arisha suguhkan untuk ia cicipi pun segera ia simpan. “Tara! Tya! Ngapain kalian ke sini!?” seru Arisha bertanya. Dengan wajah tanpa merasa bersalahnya, Tya melirik sekilas ke arah sang ibunda lalu memeletkan lidahnya sekilas. Hal tersebut tentu saja membuat mata Arisha membelalak tidak percaya. Ia bisa melihat betapa bahagianya kedua anak kembarnya itu saat bertemu Ilham, tetapi tidak dengan dirinya. “Papaaaah!” panggil Tya dengan manja. “Papa ke mana aja? Kenapa baru sekarang datang ke sini?” tanya Tara dengan senyum manis di wajahnya. Arisha tertegun, ia tidak begitu percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar di depannya. Terlebih lagi melihat bagaimana baiknya sambutan Tara pada Ilham. Tara adala
Tara tampak menundukan kepalanya saat Arisha berhasil membentaknya. Arisha yang menyadari hal tersebut seketika melihat ke arahnya. Ia tahu kalau dirinya telah hilang kendali tidak seperti biasanya.“Tara,” panggil Arisha pelan dan hati-hati.Tara menengadahkan kepalanya menatap sang ibunda, wajahnya sudah tampak memerah menahan tangis. Arisha mengira, Tara akan marah padanya dan pergi meninggalkannya. Namun, yang Arisha dapatkan adalah Tara yang berlari ke arahnya lalu membenamkan wajahnya di perut Arisha yang tengah duduk.“Mama, jangan marah sama Tara, maafin Tara ya,” ucap Tara lirih.Arisha sadar betul kalau anak laki-lakinya itu sedang menahan tangisnya. Mendengar suara Tara yang lirih meminta maaf kepadanya, Arisha merasa sangat bersalah. Sejak kapan ia tidak bisa mengendalikan emosinya seperti ini? Sememusingkan apapun kedua anaknya, Arisha tidak pernah membentak keduanya sebelumnya.“Tara, kalau Tara mau
Ketukan di pintu membuat Arisha tersadar dari keterkejutannya karena tawaran dari Ilham sebelumnya. Arisha menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu ia bangkit dari duduknya. “Masuk,” ujar Arisha.Ilham tampak merasa sedikit kecewa karena momen ia menyatakan tawarannya terganggu. Namun, wajahnya berubah saat ia melihat Tara dan juga Tya masuk ke dalam ruangan dengan antusias. Seketika Ilham tersenyum senang saat melihat sepasang anak kembar tersebut.“Mama!” seru Tya berlari kecil menghampiri Arisha.“Mama, tangannya jadi dibuntel,” ujar Tara tampak sedih melihat tangan Arisha yang terbalut perban.Arisha mencoba untuk tersenyum. Tangan satunya ia gunakan untuk mengelus lembut puncak kepala Tara. “Gak akan lama, kok. Nanti juga tangan Mama sembuh, Tara sama Tya doain Mama, ya?” balas Arisha.Tya yang mendengar itu segera merangkul tangan Ilham. “Papa, temenin kita ya buat jagain Mama,” pinta Tya pada Ilham membuat Ilham dan Arisha saling beradu pandang.“Kalian ini, ‘kan ada Tante Bun
“Saya denger dari Tara, waktu malam hari kamu terlihat kesal dan gelisah, Arisha. Jawab saya dengan jujur untuk kali ini, apa ada sesuatu yang mengganggu? Apa ada yang mengancam kamu dengan sesuatu?”Arisha terbatuk lalu dengan cepat Ilham menyuguhkan segelas air mineral. Setelah meminumnya, Arisha terdiam saat ia kembali mengingat kalau dirinya tidak diperbolehkan untuk dekat-dekat dengan Ilham. Benar, kenapa ia malah sangat dekat dengan Ilham sekarang? Pikir Arisha.“Mas, lebih baik kamu pergi. Jangan dekat-dekat sama aku dan kedua anak aku,” tegas Arisha yang tampak serius menatap Ilham.Ilham sedikit keheranan saat tiba-tiba Arisha berubah. Ia semakin curiga kalau Arisha mendapatkan sebuah teror yang mengancam bila berdekatan dengannya. Terlebih Ilham menyadari kalau Arisha sebenarnya tidak masalah dengan kehadirannya.“Arisha, jujur, apa ada seseorang yang meneror kamu? Jangan pendam hal tersebut sendirian. Terlebih kalau hal-hal buruk itu berhubungan dengan saya,” kata Ilham yan
Derung motor yang terdengar kencang pun melewat dengan cepat. Arisha tidak sempat untuk melangkah mundurkan kakinya membuat tangan kirinya sempat terkena senggolan motor berkecepatan tinggi yang sepertinya sang pengemudi sengaja melakukan hal tersebut. Teriakan kedua anak kembar Arisha bisa Arisha dengar dengan jelas saat dirinya terjatuh dengan rasa nyeri di bagian tangan.“Mama!”Arisha tampak meringis kesakitan. Tangannya bergetar entah karena rasa sakit atau terkejut. Tara dan Tya segera menghampiri sang ibunda dengan tangis yang mulai mereka ekspresikan. Beberapa orang yang melihat kejadian itu pun segera menghampiri Arisha untuk membantu.Arisha dibantu untuk berdiri dan berjalan ke sisi jalan. Tara dan Tya masih menangis karena terkejut dengan apa yang terjadi pada sang ibunda. Mereka duduk di sebuah kursi kayu yang ada di sebuah kios warung kecil yang berada di sisi jalan.“Arisha,” panggil seorang laki-laki membuat Arisha menengadahkan kepalanya.“Papa,” rengek Tara dan Tya b
Bunga kini menatap Arisha penuh tanya. Ia juga tidak begitu mengerti dengan apa yang ia baca pada secarik kertas yang ia pegang. Ia segera mendudukan diri di kursi yang berada di seberang meja kerja Arisha.“Mbak, ini maksudnya apa? Ilham siapa?” tanya Bunga sambil menggenggam tangan Arisha yang berada di atas meja.Bunga bisa melihat dengan jelas kalau Arisha sepertinya sedang merasa terguncang atas apa yang baru saja ia lihat. Sebuah buket bunga yang indah tetapi terdapat sesuatu yang mengancam di dalamnya. Siang itu, Arisha lagi dan lagi dibuat merasa terserang rasa panik karena ancaman-ancaman yang berasal dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun, ada sebuah keyakinan pada hati Arisha bila hal ini berhubungan dengan Ilham, dalang di balik semua ancaman yang ia terima selama ini kemungkinan besar adalah Kian, kakak tirinya.Arisha menggigit bibir bawahnya sambil menatap Bunga yang ada di depannya. Ia ingin menceritakan apa yang akhir-akhir ini ia alami. Namun, ada sedik
Siang itu, Ilham dan Arisha masih duduk berhadapan ditemani lagu pop yang diputar di kedai yang masih menjadi tempat Ilham dan Arisha tempati. Raut wajah Ilham tampak berkerut saat ini, rahangnya pun mulai menegas menatap tajam Arisha yang berada di hadapannya. Ia merasa apa yang Arisha katakan padanya adalah sebuah hal yang membuat ia semakin curiga jika Tara dan Tya adalah kedua anaknya.“Kenapa?” tanya Ilham terdengar dingin membuat Arisha menggigit bibir bawahnya saat menyadari hal tersebut.“Apa Tara dan Tya memang benar anak kandung saya?” imbuh Ilham membuat Arisha membelalakan matanya lalu menggeleng dengan cepat.“Tentu, bukan. Bukan, mereka bukan anak Anda,” balas Arisha dengan cepat dan terdengar gugup.“Apa kamu berani kalau saya meminta test DNA?” tanya Ilham menantang membuat Arisha merasa gelisah dibuatnya.“Jangan bicara sembarangan ya, Pak. Saya cuma minta Anda untuk tidak mengganggu kehidupan saya dan kedua anak saya. Tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda kataka
Arisha terduduk, tangannya yang berada di atas meja saling menggenggam. Malam itu, langit malam yang gelap terasa kelam. Arisha memperhatikan bintang-bintang yang terlihat jarang di langit lewat kaca jendela besar tak bertirai di depannya.Ia sedang merasa resah, cemas, gelisah saat mengingat pertemuannya tadi dengan Roseline. Arisha tau betul siapa wanita itu. Seorang ibu dari Ilham, ayah kandung kedua anak kembarnya.Arisha takut, ia berpikir keras bagaimana bisa kedua anaknya bertemu dengan Roseline setelah sebelumnya bertemu dengan Ilham? Arisha sendiri sudah yakin kalau kota tempat ia tinggal kali ini aman dari mereka. Tapi apa yang ia dapat? Setelah Arisha pindah ke kota ini, ia malah bertemu ayah dan nenek dari kedua anaknya.Arisha mengembuskan napasnya dengan berat. Piyama putih dengan corak beruang membuat ia lebih terlihat seperti gadis muda daripada ibu muda. Namun, semua dipatahkan saat salah satu anaknya datang menghampirinya lalu memeluknya dengan manja.Arisha sedikit
Roseline, wanita paruh baya itu tampak antusias saat mendengar apa yang sang pelayan katakan padanya. Sebuah surat yang dikirimkan sekaligus bunga mawar merah yang indah untuknya. Tanpa Roseline sadari, suaminya tersenyum seraya memperhatikan respon sang istri yang tampak sangat senang.“Tolong kamu simpan suratnya ya, dan bunganya biar gak layu masukin ke vas,” peintah Roseline masih dengan senyumnya.Pelayannya tentu menganggukan kepalanya menandakan ia paham dan segera berlalu pergi. Senyum Roseline masih tersisa di wajahnya menunjukan betapa senangnya ia pada malam itu. Haerul dan Ilham beradu pandang, mereka tidak begitu mengerti dengan situasi yang ada.“Senang?” Suara bariton ayah Ilham terdengar bertanya pada istrinya.Roseline seketika mengangguk sambil menyuapkan satu sendok makanannya ke mulutnya. Ia seakan lupa dengan hal lain karena kiriman bunga mawar tersebut. Namun, baru beberapa kali ia mengunyah makanannya, Roseline seakan tersadar sesuatu. Ia berhenti dari aktivitas
“Lagi mikirin apa nih, Bos Besar?”Ilham menoleh sekilas pada asisten pribadinya itu, Haerul. Bukan pulang ke apartemen miliknya sendiri, apartemen tempat Haerul tinggal kini menjadi sebuah tempat Ilham untuk berpikir sore itu setelah pulang dari kantornya.Kemeja biru langit yang Ilham kenakan kini kancing bagian atasnya sudah ia buka akibat gerah. Rambut hitam yang biasa ia tata rapi kini sudah sedikit berantakan.“Coba cari tau siapa pemilik Renjana katering,” gumam Ilham, ia duduk menghadap jendela yang memperlihatkan langit senja yang menaungi kota di bawahnya.Haerul yang sedang bebaring bersantai di atas sofa kini mengerutkan dahinya saat mendengar apa yang bos sekaligus sahabatnya itu katakan. “Maksudnya? Katering yang kita sewa jasanya itu?” tanya Haerul memastikan.“Harus saya jelasin secara detail katering yang mana?” balas Ilham dengan malas.Haerul tersenyum canggung mendengar balasan dari Ilham yang terdengar satir. Ia cukup ngeri dengan nada bicara sang bos yang sudah t
Mata Tara memicing tajam menatap seorang wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapannya dan Tya. Siang itu, Tara dan Tya dibuat menunggu oleh sang ibunda karena Arisha tak kunjung tampak untu menjemput keduanya. Namun, rasa waspada kembali Tara aktifkan saat seorang wanita paruh baya yang sebelumnya pernah bertemu mereka kini muncul kembali.“Ini Oma yang waktu itu ya?” tanya Tya yang berada di belakang Tara.Wanita itu mengangguk senang ketika anak gadis itu masih mengenalinya. “Iya, ini Tya sama Tara, ‘kan?” balas wanita itu. Tya menganggukan kepalanya sebagai jawaban.“Wah, kalian apa kabar? Lagi nunggu jemputan ya? Nunggunya di sini yuk, sambil duduk,” ajak wanita itu berjalan ke arah sebuah bangku yang ada di halaman taman kanak-kanak tersebut.Tanpa banyak berpikir, Tya mengikuti wanita paruh baya itu untuk duduk di sampingnya. Sementara Tara, ia membelalakan matanya ketika Tya dengan santainya meninggalkannya. Dengan sigap, Tara mengikuti langkah kecil sang adik.“Siapa yang