"Lea, aku benar benar tak mengerti kenapa kau sampai memyebutku Neva," Ivy berkata dengan nada heran bercampur bingung dengan perkataan yang terlontar dari mulut sahabatnya. Matanya mengerjap lucu selama beberapa kali dengan kepala yang dimiringkan. Jangan lupakan bibirnya yang mengerucut seperti anak bebek, membuat Ivy terlihat begitu menggemaskan dalam keadaan ini. Leanore menghela napas panjang, menyadari jika sahabatnya yang sudah memiliki dua orang anak ini tak mengerti dengan arah pembicaraan yang sedang ia bawa. Maka dari itu, Leanore merogoh sesuatu dalam sakunya, yang setidaknya bisa membuat ivy tak berkutik.Ternyata, yang dikeluarkan oleh Leanore adalah sobekan foto usang yang terlihat cukup lusuh, Ada beberapa bagian dari foto itu yang terlihat memiliki noda, namun fotonya masih bisa dilihat dengan jelas.Wanita berambut merah terang itu menatap foto itu sebentar dengan wajah sendu dan juga terluka, membuat Ivy kebingungan setengah mati mengapa sikap sahabatnya ini terl
Saat ini, Ivy dan Flora sedang duduk berhadapan satu sama lain di ruangan Jake. Kebetulan, bosnya itu meminjamkan ruangannya dengan senang hati saat mendengar jika Flora adalah tunangannya Ben.Tidak hanya mereka berdua yang ada di sini. Karena takut terjadi sesuatu, Leanore menawarkan diri untuk menemani Ivy. Entah kenapa wanita berambut merah terang itu merasa jika perasaan tak enak jika hanya meninggalkan Ivy berdua dengan wanita asing itu. Jadi, Leanore duduk di kursi lain di sudut ruangan untuk memantau rekan kerja sekaligus sahabatnya itu. Untuk si kembar, keduanya sedang berada di ruangan lain bersama dengan Jake agar tak mengganggu obrolan diantara kedua wanita ini.Suasana terasa hening diantara Flora dan Ivy. Keduanya larut dalam pikiran masing masing, saling menerka dan menilai satu sama lain. Untuk Ivy sendiri, pikirannya terasa kusut karena memikirkan banyak hal, mulai dari statusnya yang terbongkar hingga memikirkan masih
"Tentu saja aku mengenal mereka berdua. Bukankah mereka adalah Terra dan Terry, anaknya Ivy?" Kai mengernyit keningnya saat Ben menunjukkan foto Terra dan Terry yang sedang bermain air di kolam renang. Dalam foto itu, si kembar tampak begitu ceria dengan senyuman lebar yang tercetak di bibir mungil mereka.Hati Kai menghangat melihat foto itu. Rasanya, ia sangat suka melihat senyum si kembar yang sangat mirip dengan senyuman Ivy, begitu manis dan sabar candu untuk dilihat.Akan tetapi, saat dilihat lagi dengan seksama, Kai menyadari sesuatu. Dari foto itu ia bisa melihat jika fitur wajah Terry sangat mirip dengan seseorang. Kai melihat ke arah Ben yang saat ini sedang tersenyum tipis."Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?" Tanya Ben dengan nada datarnya yang begitu tegas dan dominan.Kai melihat ke arah Ben dan foto Terry secara bergantian selama beberapa kali. Saat di kali kelima, ia menyadari sesuatu. Fitur wajah anak Ivy s
"Berhubungan dengan kami?" Tanya Terry heran saat mendengar hal yang terlontar dari bibir Ben.Bocah laki-laki itu tentu saja tak percaya begitu saja dengan apa yang di ucapkan oleh pria yang sering berseteru dengannya itu. Manik hijaunya menyipit, terlihat menatap Ben dengan tatapan menyelidik."Kenapa berhubungan dengan kami?" Tanya Terra yang ternyata tak mengerti dengan apa yang di ucapkan oleh Ben, seolah menegaskan pertanyaan dari Terry. Ben tersenyum tipis, lalu segera mengelus rambut Terra dengan penuh kasih sayang. MoBen berjongkok untuk menyamakan tinggi tubuhnya agar sejajar dengan Terra. Mata coklat yang biasanya penuh dengan sikap arogan dan dominan itu kini menghilang sepenuhnya.Mata keduanya bertemu. Manik hijau Terra yang begitu polos dan lugu bertemu dengan manik coklat Ben yang tajam namun juga lembut di saat yang bersamaan. Detak jantung Ben meningkat saat melihat gadis kecil itu kini menatapnya tanpa rasa takut sedikitpun.
Ben tersenyum. Tangan Ivy yang diangkat ke atas dengan wajah yang terlihat kebingungan serta ketakutan itu adalah ekspresi yang sangat Ben suka. Ben mendekatkan wajahnya pada wajah Ivy sehingga jarak diantara keduanya sangatlah tipis. Hidung keduanya saling bersentuhan satu sama lain. Hal ini membuat Ivy seperti tersengat listrik. Tubuhnya menegang. Jantungnya bertalu dengan keras seolah akan keluar dari tempatnya. Rona kemerahan muncul dari pipi putihnya sampai ke telinga, yang bahkan sangat kontras dengan warna kulitnya yang seputih susu.Dalam jarak sedekat ini, Ivy bisa merasakan napas Ben yang begitu segar, berbau mint bercampur tembakau yang mungkin berasal dari rokok yang pria itu hisap sebelumnya. Selain itu, wangi tubuh yang begitu maskulin dan dominan menerpa hidungnya, seolah menyuruhnya untuk tunduk pada Ben yang saat ini seperti seorang serigala Alpha."Ivy, aku bertanya padamu. Tolong jawab pertanyaanku. Bukankah kau bila
Jake, Kai dan juga Leanore terlihat menunggu di luar ruangan, bersama dengan si kembar. Kelima orang itu menunggu di sana atas perintah Ben yang menginginkan privasi untuk berbicara berdua dengan Ivy.Wanita berambut terang itu melirik ke arah si kembar yang saat ini sedang memakan kue yang tadi ditawarkan oleh Jake yang baru saja tiba. Keduanya tampak begitu menikmati camilan itu sembari menunggu sang ibu keluar dari ruangan itu.Namun jika diperhatikan dengan seksama, raut wajah keduanya terlihat sangatlah berbeda. Jika Terra merasa sangat senang karena bisa memakan kue yang sangat jarang ia makan, maka lain halnya dengan Terry.Bocah laki-laki itu terlihat termenung seolah memikirkan sesuatu yang sangat berat. Kunyahannya pada kue yang sedang ia makan begitu lambat dengan tatapan mata yang begitu kosong, lurus ke arah depan.Melihat hal itu, Kai yang berada di dekat bocah laki-laki itu segera mendekati Terry dan menepuk bahunya dengan pelan. Te
"Setelah kau keluar dari cafe itu, banyak orang yang berbisik padaku jika si kembar adalah anakku, dilihat dari fisik mereka yang sangat mirip denganku, Ivy," Ben menjeda sejenak perkataannya karena merasa kehabisan napas. Pria itu menangkup wajah Ivy menggunakan sebelah tangan —karena wajah Ivy terlalu mungil— dan mengelusnya dengan tangannya yang lain. Ivy tentu saja kebingungan mendengar pengakuan itu. Akan tetapi, wanita itu memilih untuk diam terlebih dahulu karena ingin tahu kelanjutan dari perkataan Ben."Lalu? Apa yang terjadi?""Awalnya aku menghiraukan mereka karena menurutku itu hanya opini saja. Akan tetapi, saat aku melihat kalian lagi di depan toko roti itu, aku jadi semakin yakin kalian ada hubungannya denganku. Samar samar, aku bisa mengingat kalau aku pernah melecehkan seseorang sewaktu aku keluar dari klub milik Archer. Aku mencarimu selama ini, Ivy,"Ivy merasa terharu mendengar penjelasan yang diberikan oleh Ben. Wa
Archer dan Jayden saat ini sedang bersembunyi dibalik reruntuhan bangunan yang terlihat kumuh. Keduanya tengah tiarap sembari memejamkan mata, dengan pistol yang terus berada di tangan.Suara derap kaki dengan jarak yang cukup dekat terdengar begitu jelas di telinga keduanya. Baik Archer maupun Jayden, keduanya menahan napas saat melihat beberapa orang yang tadi mengejar mereka dibalik semak semak yang menjulang tinggi dekat reruntuhan bangunan yang mereka tempati."Kemana mereka pergi?" Tanya salah seorang diantara mereka dengan napas terengah."Aku tidak tahu. Tapi melihat mereka pergi ke arah sini. Tak mungkin mereka hilang begitu saja dengan sangat cepat," seru yang lainnya sembari mengelap keringat yang menetes dari dahi. "Kita harus menemukan mereka sebelum semuanya terlambat. Bisa gawat kalau "dia" menemukan jika kita teledor mengawal tawanan,""Ayo, cari lagi. Kita pergi ke arah sungai saja. Aku yakin mereka pergi kesana,"Langkah kaki pun terdengar menjauh dari tempat Jayden
Setelah dirias oleh para pengantin professional selama dua jam lamanya, penampilan Ivy kini berubah drastis. Wanita sederhana yang saat ini sedang kebingungan itu terlihat berkali kali lipat lebih cantik daripada sebelumnya.Wajahnya yang seperti boneka dipoles sedemikian rupa, dengan gaun pengantin putih yang membalut tubuh rampingnya.Setelah memasangkan veil pada kepalanya, para perias itu pergi ke luar dari ruangan itu. Ivy menggigit bibirnya dan memegang dadanya lagi, merasa sesak dan juga tak nyaman.Ditengah kebingungannya itu, tiba tiba saja Ben datang menghampiri dirinya, dengan setelan jas hitam yang nampak gagah membalut tubuh kekarnya.Sejenak keduanya saling terkesima satu sama lain. Wajah Ivy sampai memerah melihat wajah Ben yang berkali kali lipat lebih tampan daripada biasanya. Meskipun kantung mata hitam tak bisa di samarkan dengan sempurna dari wajah pria tampan itu." Ben, jelaskan apa yang terjadi. Mengapa semuanya bisa terjadi seperti ini? Kenapa pernikahannya men
"Kalau aku mau uncle Kai menjadi Daddy ku," sela Terry yang entah sejak kapan datang. Semua orang yang ada di ruangan itu mengalihkan fokus mereka pada Terry yang saat ini terlihat begitu berkeringat. Bocah laki-laki itu mengipasi wajahnya yang terlihat memerah menggunakan buku yang entah di dapat dari mana.Terra memperhatikan kakak kembarnya dengan intens. Ada seberkas rasa tak suka saat Terry menyebutkan demikian. Maka dari itu, Terra turun dari pangkuan Kai dan segera menghampiri Terry, lalu memukul tangan bocah laki-laki itu dengan cukup kencang.Terry yang mendapat geplakan kasih sayang dari sang adik tentu saja tak terima. Mata hijaunya menatap Terra dengan tatapan tajam. Rahang bocah laki-laki itu mengetat. Wajahnya yang terlihat memerah karena kelelahan menjadi semakin merah karena marah."Kenapa kau malah memukul tanganku?" Tanya Terry dengan nada setengah berteriak. Ia hampir saja mendorong tubuh Terra ke belakang jika saja Ivy tak menarik gadis kecil itu ke belakang."I
"Ben, apakah kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" Tanya seorang pria paruh baya yang masih bugar di umurnya yang tak muda lagi.Ben yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya tentu saja menghentikan kegiatannya. Matanya bergulir dari laptop menuju ke arah sumber suara. Di depannya, Ben bisa melihat seorang pria yang sangat ia kenali. "Oh, belum," sahut Ben singkat lalu kembali memusatkan perhatiannya pada laptop dan kembali mengetik, mengabaikan eksistensi pria yang saat ini berada di hadapannya dengan wajah tak bersalah."Aku sedang sibuk, Daddy Apa yang Daddy butuhkan? Katakan dengan cepat dan segera keluar dari sini,"Perkataan Ben yang merupakan pengusiran secara langsung membuat pria dengan postur yang sangat mirip dengan Ben itu tertawa keras. Pria itu menegang perutnya yang terasa keram.Ben melirik sebentar ke arah pria yang ia panggil Daddy itu secara sekilas, lalu memutar mata malas saat mendengar tawa nyaring yang terdengar menyebalkan di telinganya."Dad, suaramu membuat
"Well, sepertinya aku memang harus membicarakan hal ini, terutama kaitannya dengan penyembunyian statusku dan juga pelaku dari tragedi mawar hitam itu sendiri,"Ivy tersenyum miris pada dirinya sendiri. Dengan cepat, ia segera menarik rambut hitamnya yang panjang dan indah dari belakang dengan gerakan kasar. Wanita muda itu meringis kecil saat kepalanya terasa sangat sakit. Kai yang berada di hadapannya tentu saja terkejut dengan aksi dai wanita yang lebih muda darinya itu."Wow wow wow. Tunggu sebentar. Apa yang akan kau lakukan, Ivy?" Tanya Kai heran karena tak mengerti apa yang akan dilakukan oleh wanita beranak dua itu."Menarik apa yang tersembunyi," jawab Ivy ambigu, yang tentu menimbulkan tanda tanya besar di benak Leanore dan juga Kai."Maksudnya?" Tanya Leanore dengan nada pelan, benar benar gagal paham dengan apa yang Ivy katakan padanya."Aku akan menjelaskan itu nanti. Tapi bisakah kalian menarik rambutku terlebih dahulu?" Pinta Ivy dengan wajah memelas. Mata hijau itu t
"Bukti nyata. Tidak hanya sekedar omongan saja. Kau tahu sendiri bukan jika perkataanmu itu tak memiliki kekuatan hukum jika masalah ini akan di usut?"Perkataan yang Kai lontarkan memang benar adanya. Ivy termenung sembari menggigit bibir, merasa ada yang kurang untuk mengungkap Flora sebagai dalang dari dua kejadian mengerikan yang terjadi selama beberapa tahun ke belakang.Kurangnya bukti dan saksi membuat Ivy terperangkap kata katanya sendiri. Wajah wanita beranak dua itu terlihat kebingungan, namun disisi lain terlihat sedikit kesal karena menemukan jalan buntu, disaat semuanya akan terungkap.Kai yang melihat hal itu menampilkan senyuman tipisnya. Ia segera berdiri untuk mengambil makanan yang sekiranya bisa di gunakan untuk mengganjal perut yang terasa lapar, mengingat sekarang sudah hampir makan siang. Kai baru ingat jika dirinya belum makan apapun selain air yang tadi ia teguk hari ini."Kau mau kemana?" Tanya Leanore menginterupsi Kai yang bangkit dari sofa."Bukankah kita s
"Darimana kau mendapatkan kesimpulan jika Flora adalah dalang dari semua ini?"Ethan tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh kakak tirinya itu. Bibirnya terlihat melengkung ke atas dengan mata yang terpejam.Hal ini membuat Jake selaku kakak tak sedarah dari pria bermata abu abu itu merasa kebingungan dengan tingkah sang adik yang tak bisa ia baca."Kau tak tahu?" Tanya Ethan balik, dengan nada datar seperti biasa.Jake menggelengkan kepalanya. Jujur saja, ia merasa kebingungan dan terkejut disaat yang bersamaan, karena mendapat sekali banyak kejutan dan informasi dalam satu waktu. Kejadian hari ini terlalu sulit untuk di cerna oleh otaknya yang seolah tersetting untuk bisnis saja.Ethan tertawa kecil melihat sang kakak yang terlihat kebingungan, namun disisi lain juga terlihat sangat penasaran. Ia ingin menggoda Jake lebih lama, hitung hitung sebagai hiburannya dikala suntuk.Akan tetapi, Ethan tak melakukannya mengingat ia tak punya banyak waktu untuk bercanda si situasi gedu
"Haruskah aku mengatakannya?"Ivy bertanya pada kedua manusia yang berada di sampingnya dengan nada ragu. Mulutnya terlihat kelu saat didesak harus membuka tabir rahasia yang selama ini ia simpan rapat agar identitasnya tak ketahuan.Leanore dan Kai menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Suara Ivy tercekat di kerongkongan, seolah ada sesuatu yang menahannya. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sebuah kalimat sebagai jawaban dari pertanyaan yang Kai lontarkan.Sejujurnya ia merasa bersalah karena menyembunyikan fakta sebesar ini, terutama "Neva" adalah sosok yang mengetahui semua tentang dua kejadian buruk yang menimpa Clayton Group hingga memakan banyak korban jiwa.Akan tetapi, disisi lain, jika ia membuka jati dirinya, maka hidupnya bisa dalam bahaya. Ini adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar resikonya.Dirinya menimang nimang keputusan untuk mengungkap jati dirinya. Jika boleh dibandingkan, maka rahasia yang satu ini jauh lebih berat di katakan daripada saat ia menyembun
"Itu karena aku memiliki alasan tersendiri."Ivy mendesah malas seraya melihat ke arah jam di dinding, menikmati suara jarum jam yang entah kenapa menenangkan pikirannya yang tengah kusut seperti benang yang bertumpuk.Leanore tentu saja mengerutkan keningnya mendengar alasan yang Ivy lontarkan. Rasanya, wanita yang sudah menjadi rekan sekaligus dianggapnya adik itu menyembunyikan sesuatu yang sangat besar. Hal ini bisa terlihat dari cara pandang Ivy yang terlihat tak nyaman. Manik hijau yang bagaikan rusa itu bergulir tak tentu arah dengan gerakan tubuh yang tak nyaman. Leanore bisa melihat jika Ivy seolah ingin meninggalkan tempat ini secepat mungkin.Walaupun wajah Ivy terlihat lebih tenang daripada sebelumnya, tapi Leanore tahu jika Ivy sebenarnya tengah menyembunyikan keresahan hati yang saat ini ia rasakan.Wanita berambut merah terang itu menghela napas panjang. Ia ingin mendesak sahabatnya lebih jauh. Jujur saja, keputusan yang Ivy ambil sangatlah bodoh menurutnya. Leanore m
Jake sudah sampai di apartemennya karena panggilan Ethan yang menyuruhnya untuk cepat pulang ditengah jam kerjanya. Dengan tergesa, pria bermata hitam jelaga itu melepas sepatu yang ia kenakan dan melemparnya dengan asal.Tak berhenti sampai di sana saja, Jake juga melempar jas yang ia kenakan ke gantungan mantel yang berada dekat dengan pintu, hingga jas itu tergantung dengan asal. Setelah beres, pria itu segera melangkahkan kakinya menuju ke ruang tengah, tepat dimana sang adik menunggu dirinya.Jake bisa melihat jika ruang tengah sangat berantakan, seperti diterjang oleh badai topan. Kaleng bir yang berserakan di mana mana. Sampah yang berceceran di segala penjuru. Serta remah remah kue dah keripik yang bertebaran di setiap jengkal lantai yang ia pijaki. Jake juga bisa menemukan beberapa dalaman wanita yang tergantung di atas sofa. Jake menggeleng jijik sembari menggelengkan kepalanya, karena tak percaya jika apartemen yang ia sayangi ini tak ayal seperti tempat pembuangan sampah