"Berhubungan dengan kami?" Tanya Terry heran saat mendengar hal yang terlontar dari bibir Ben.
Bocah laki-laki itu tentu saja tak percaya begitu saja dengan apa yang di ucapkan oleh pria yang sering berseteru dengannya itu. Manik hijaunya menyipit, terlihat menatap Ben dengan tatapan menyelidik."Kenapa berhubungan dengan kami?" Tanya Terra yang ternyata tak mengerti dengan apa yang di ucapkan oleh Ben, seolah menegaskan pertanyaan dari Terry. Ben tersenyum tipis, lalu segera mengelus rambut Terra dengan penuh kasih sayang. MoBen berjongkok untuk menyamakan tinggi tubuhnya agar sejajar dengan Terra. Mata coklat yang biasanya penuh dengan sikap arogan dan dominan itu kini menghilang sepenuhnya.Mata keduanya bertemu. Manik hijau Terra yang begitu polos dan lugu bertemu dengan manik coklat Ben yang tajam namun juga lembut di saat yang bersamaan. Detak jantung Ben meningkat saat melihat gadis kecil itu kini menatapnya tanpa rasa takut sedikitpun.Ben tersenyum. Tangan Ivy yang diangkat ke atas dengan wajah yang terlihat kebingungan serta ketakutan itu adalah ekspresi yang sangat Ben suka. Ben mendekatkan wajahnya pada wajah Ivy sehingga jarak diantara keduanya sangatlah tipis. Hidung keduanya saling bersentuhan satu sama lain. Hal ini membuat Ivy seperti tersengat listrik. Tubuhnya menegang. Jantungnya bertalu dengan keras seolah akan keluar dari tempatnya. Rona kemerahan muncul dari pipi putihnya sampai ke telinga, yang bahkan sangat kontras dengan warna kulitnya yang seputih susu.Dalam jarak sedekat ini, Ivy bisa merasakan napas Ben yang begitu segar, berbau mint bercampur tembakau yang mungkin berasal dari rokok yang pria itu hisap sebelumnya. Selain itu, wangi tubuh yang begitu maskulin dan dominan menerpa hidungnya, seolah menyuruhnya untuk tunduk pada Ben yang saat ini seperti seorang serigala Alpha."Ivy, aku bertanya padamu. Tolong jawab pertanyaanku. Bukankah kau bila
Jake, Kai dan juga Leanore terlihat menunggu di luar ruangan, bersama dengan si kembar. Kelima orang itu menunggu di sana atas perintah Ben yang menginginkan privasi untuk berbicara berdua dengan Ivy.Wanita berambut terang itu melirik ke arah si kembar yang saat ini sedang memakan kue yang tadi ditawarkan oleh Jake yang baru saja tiba. Keduanya tampak begitu menikmati camilan itu sembari menunggu sang ibu keluar dari ruangan itu.Namun jika diperhatikan dengan seksama, raut wajah keduanya terlihat sangatlah berbeda. Jika Terra merasa sangat senang karena bisa memakan kue yang sangat jarang ia makan, maka lain halnya dengan Terry.Bocah laki-laki itu terlihat termenung seolah memikirkan sesuatu yang sangat berat. Kunyahannya pada kue yang sedang ia makan begitu lambat dengan tatapan mata yang begitu kosong, lurus ke arah depan.Melihat hal itu, Kai yang berada di dekat bocah laki-laki itu segera mendekati Terry dan menepuk bahunya dengan pelan. Te
"Setelah kau keluar dari cafe itu, banyak orang yang berbisik padaku jika si kembar adalah anakku, dilihat dari fisik mereka yang sangat mirip denganku, Ivy," Ben menjeda sejenak perkataannya karena merasa kehabisan napas. Pria itu menangkup wajah Ivy menggunakan sebelah tangan —karena wajah Ivy terlalu mungil— dan mengelusnya dengan tangannya yang lain. Ivy tentu saja kebingungan mendengar pengakuan itu. Akan tetapi, wanita itu memilih untuk diam terlebih dahulu karena ingin tahu kelanjutan dari perkataan Ben."Lalu? Apa yang terjadi?""Awalnya aku menghiraukan mereka karena menurutku itu hanya opini saja. Akan tetapi, saat aku melihat kalian lagi di depan toko roti itu, aku jadi semakin yakin kalian ada hubungannya denganku. Samar samar, aku bisa mengingat kalau aku pernah melecehkan seseorang sewaktu aku keluar dari klub milik Archer. Aku mencarimu selama ini, Ivy,"Ivy merasa terharu mendengar penjelasan yang diberikan oleh Ben. Wa
Archer dan Jayden saat ini sedang bersembunyi dibalik reruntuhan bangunan yang terlihat kumuh. Keduanya tengah tiarap sembari memejamkan mata, dengan pistol yang terus berada di tangan.Suara derap kaki dengan jarak yang cukup dekat terdengar begitu jelas di telinga keduanya. Baik Archer maupun Jayden, keduanya menahan napas saat melihat beberapa orang yang tadi mengejar mereka dibalik semak semak yang menjulang tinggi dekat reruntuhan bangunan yang mereka tempati."Kemana mereka pergi?" Tanya salah seorang diantara mereka dengan napas terengah."Aku tidak tahu. Tapi melihat mereka pergi ke arah sini. Tak mungkin mereka hilang begitu saja dengan sangat cepat," seru yang lainnya sembari mengelap keringat yang menetes dari dahi. "Kita harus menemukan mereka sebelum semuanya terlambat. Bisa gawat kalau "dia" menemukan jika kita teledor mengawal tawanan,""Ayo, cari lagi. Kita pergi ke arah sungai saja. Aku yakin mereka pergi kesana,"Langkah kaki pun terdengar menjauh dari tempat Jayden
"Ethan, bangun. Ponselmu terus-menerus berdering sedari tadi,"Ethan melenguh kecil begitu merasakan jika tubuhnya diguncang oleh seseorang. Kepalanya terasa berdenyut karena waktu istirahatnya diganggu.Pria bermata abu-abu itu mengerjapkan matanya sebentar, sembari mengumpulkan kesadaran yang sempat tercecer karena tertidur setelah melakukan aktivitas untuk melepas penat bersama dengan seorang wanita yang baru saja ia sewa dua jam yang lalu.pMata abu-abu itu melirik ke arah samping, tepat ke arah ponsel yang ia taruh di atas nakas. Dengan malas, Ethan meraih benda persegi panjang itu dan segera melirik ke arah layar untuk melihat siapa yang menghubungi dirinya.Ketika dilihat, ternyata yang menghubunginya adalah Archer. Tanpa banyak bicara, Ethan segera menggulirkan layarnya ke atas untuk menerima panggilan telepon dari rekan kerja sekaligus sahabatnya itu."Ada apa Archer?" Tanya Ethan dengan nada mengantuk. Mata pria itu bahkan kembali terpejam karena rasa lelah yang menghampiri
Terry melirik ke arah Ben dengan tatapan menyelidik. Manik mata hijaunya menatap pria yang baru saja mengaku "Ayah" itu dengan intens. Karena ditatap seperti itu oleh orang yang sering berdebat dengannya, raut wajah Ben terlihat memucat dengan keringat sebesar biji jagung yang keluar dari dahinya.Karena penasaran, si kecil segera menghampiri Ben dan menepuk pinggang sang ayah. Ben tersentak kaget dan segera menoleh, menemukan anak sulungnya yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan penasaran."Daddy, apa yang terjadi? Kenapa panggilan itu tak kau angkat?" Tanya Terry curiga.Ben tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari putranya itu. Dengan cepat, jari tangannya yang besar segera menggulirkan layar ke arah tombol dengan ikon gagang telepon warna merah, menolak panggilan itu secara langsung.Begitu ponselnya sudah tak berdering lagi, Ben segera memasukkan kembali benda itu ke dalam saku celananya. Setelah itu, ia segera mengelus rambut Terry dan mengacaknya dengan perlahan, meni
Jake sudah sampai di apartemennya karena panggilan Ethan yang menyuruhnya untuk cepat pulang ditengah jam kerjanya. Dengan tergesa, pria bermata hitam jelaga itu melepas sepatu yang ia kenakan dan melemparnya dengan asal.Tak berhenti sampai di sana saja, Jake juga melempar jas yang ia kenakan ke gantungan mantel yang berada dekat dengan pintu, hingga jas itu tergantung dengan asal. Setelah beres, pria itu segera melangkahkan kakinya menuju ke ruang tengah, tepat dimana sang adik menunggu dirinya.Jake bisa melihat jika ruang tengah sangat berantakan, seperti diterjang oleh badai topan. Kaleng bir yang berserakan di mana mana. Sampah yang berceceran di segala penjuru. Serta remah remah kue dah keripik yang bertebaran di setiap jengkal lantai yang ia pijaki. Jake juga bisa menemukan beberapa dalaman wanita yang tergantung di atas sofa. Jake menggeleng jijik sembari menggelengkan kepalanya, karena tak percaya jika apartemen yang ia sayangi ini tak ayal seperti tempat pembuangan sampah
"Itu karena aku memiliki alasan tersendiri."Ivy mendesah malas seraya melihat ke arah jam di dinding, menikmati suara jarum jam yang entah kenapa menenangkan pikirannya yang tengah kusut seperti benang yang bertumpuk.Leanore tentu saja mengerutkan keningnya mendengar alasan yang Ivy lontarkan. Rasanya, wanita yang sudah menjadi rekan sekaligus dianggapnya adik itu menyembunyikan sesuatu yang sangat besar. Hal ini bisa terlihat dari cara pandang Ivy yang terlihat tak nyaman. Manik hijau yang bagaikan rusa itu bergulir tak tentu arah dengan gerakan tubuh yang tak nyaman. Leanore bisa melihat jika Ivy seolah ingin meninggalkan tempat ini secepat mungkin.Walaupun wajah Ivy terlihat lebih tenang daripada sebelumnya, tapi Leanore tahu jika Ivy sebenarnya tengah menyembunyikan keresahan hati yang saat ini ia rasakan.Wanita berambut merah terang itu menghela napas panjang. Ia ingin mendesak sahabatnya lebih jauh. Jujur saja, keputusan yang Ivy ambil sangatlah bodoh menurutnya. Leanore m