"Maaf, aku tak bisa memberitahumu, Aunty," tolak Terry lalu segera memasukkan kembali buku yang tengah ia baca ke dalam tas.Leanore tentu saja tak terima dengan penolakan dari bocah kecil itu. Wajah wanita berambut merah itu tampak merengut. Saat Leanore akan bertanya lagi, suara Ivy menghentikan aktivitasnya."Lea, aku sudah selesai mencuci piring. Ayo bantu aku memanggang roti ini agar bisa selesai tepat waktu," Leanore terpaksa menelan kembali semua kata katanya saat Ivy meminta tolong padanya, dengan mata lesu, ia segera bangkit dan menghampiri wanita itu.Ivy tentu saja merasa heran melihat ekspresi sahabatnya yang bisa terbilang tidak baik. Benaknya bertanya tanya mengapa Leanore menekuk muka saat ia meminta tolong pada wanita berambut merah itu."Lea, apa kau merasa keberatan menolongku memanggang roti ini sekarang?" Tanya Ivy pelan. Mata hijau miliknya bergulir untuk melihat jam yang tergantung di dinding. Seharusnya, ia dan Leanore bekerja 15 menit lagi karena masih waktu
Ivy dan Leanore kini sudah berada di depan Archer Club's yang kini masih tutup. Kedua wanita itu saling bertatapan satu sama lain karena kebingungan harus pergi kemana untuk mengantarkan pesanan roti yang sudah mereka buat."Ivy, kau tak salah alamat kan?" Tanya Leanore sembari menatap ke dalam keranjang kue yang ia dorong menggunakan troli toko. Ivy segera kembali mengecek ponsel lamanya untuk memastikan jika mereka berdua tak salah alamat. Mata hijaunya membaca dengan teliti tiap baris kalimat yang tertulis di dalam pesan yang dikirim oleh seseorang atas nama Archer Percival."Aku rasa tidak. Lihat, kita berada di alamat yang benar, Lea," sanggah Ivy sembari menyeka keringat yang bercucuran di balik topi yang ia gunakan. Tak jarang, wanita muda beranak dua itu juga mengipasi wajahnya menggunakan tangan karena merasa gerah dan kepanasan."Tapi, jika memang ini adalah alamat yang benar, kita harus pergi kemana? Lihat saja, pintu clubnya bahkan masih tutup," Leanore mencebikkan bibir
"Mommy, kenapa lama sekali?" Tanya Terra yang merasa senang saat Ivy dan Leanore kembali setelah mengantar roti pesanan Archer. Ivy menolehkan kepalanya pada sumber suara, lalu tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari anak bungsunya. Ia menyeka keringat yang bercucuran dengan sapu tangan yang memang tertinggal di dalam mobil lalu menjawab pertanyaan si bungsu dengan nada lembut yang begitu menenangkan."Orang yang memesan belum datang saat Mommy dan Aunty Lea kesana, sayang," jelas Ivy sembari mengipasi dirinya menggunakan kipas portabel kecil yang berada di dalam dashboard karena AC mobil tak menyala. Terra menganggukkan kepalanya setelah mendengar penjelasan ibunya itu."Oh begitu. Lalu kenapa wajah Mommy merah sekali? Mommy sakit?" Kini, nada suara Terra berubah menjadi khawatir saat melihat Ivy yang wajahnya memerah seperti kepiting rebus.Terry yang sedang membaca buku yang ia temukan di mobil tentu saja merasa terusik dengan perkataan Terra. Bocah laki-laki itu menatap wajah
Pertanyaan yang pria berambut hijau mencolok yang merupakan rekan kerjanya membuat Ben termenung sesaat. Pria bermata coklat itu tampak terdiam, sambil sesekali menatap lawan bicaranya dengan intens."Darimana kau bisa menyimpulkan jika kedua bocah ini adalah anakku, Frank?" Tanya Ben dengan nada datar miliknya.Pria berambut hijau yang dipanggil Frank balik menatap Ben dengan tangan yang disilangkan di depan dada. Ekspresi Frank tampak datar dengan mulut yang terkunci rapat, berusaha untuk memilah kata mana yang harus ia ucapkan pada pria yang berprofesi sebagai CEO itu.Bukannya Frank takut pada Ben. Akan tetapi ia justru lebih takut jika pria itu tak mau membantunya yang saat ini berada dalam kondisi terjepit. Jadi, Frank tak boleh membuat Ben merasa kesal ataupun tersinggung. Setidaknya, itulah pikirannya saat ini.Kedua orang ini saling beradu tatap satu sama lain, membuat suasana lobby yang tadinya hangat karena penuh dengan orang yang bolak balik kantor untuk menyelesaikan tug
Ben terheran mendengar apa yang Frank katakan. Tidak biasanya ia mendengarkan opini orang lain dengan wajah serius seperti itu. Ditambah lagi, senyuman yang sangat jarang ia perlihatkan pada orang lain—terutama anak anak— membuat Ben harus menerka maksud dari pria berambut hijau di depannya.Ben menepuk bahu Frank dengan cukup keras tanpa berniat melepaskan tangan itu. Malah sebaliknya, Ben justru mencengkeram bahu Frank dengan sedikit tenaga, membuat senyuman itu luntur dan kini digantikan oleh ringisan kesakitan yang lolos dari bibirnya yang menghitam akibat terlalu sering merokok."Kenapa kau mencengkeram bahuku, sialan? Apa salahku padamu?" Tanya Frank tak terima dengan perlakuan Ben yang tak bisa ia tebak."Kesimpulan lain apa yang kau maksud?" Tanya Ben balik dengan nada rendah dan begitu dingin seperti es.Jangan lupakan tatapan menusuk yang Ben layangkan padanya, seolah ia sudah melakukan kesalahan fatal yang tak termaafkan oleh dunia. Frank menepis tangan Ben dengan kasar h
Saat ini, Ben sudah kembali ke rumahnya-tepatnya rumah orang tuanya- ketika waktu telah menunjukkan pukul 7 malam.Pria bermata coklat itu segera melempar tas kantor yang berisi beberapa file penting ke atas meja. Setelah itu, Ben segera merebahkan dirinya di atas sofa ruang tamu untuk menghilangkan rasa penat yang kini mendera tubuhnya.Pria itu memejamkan mata, berusaha untuk mengurai rasa letih dan juga kantuk yang kini menyerang kedua matanya.Efek pekerjaan yang terlalu menuntut membuat tubuh Ben mudah untuk tumbang. Mata pria itu mengerjap, bersiap untuk menyusuri lembah mimpi.Akan tetapi, niatan itu harus tertunda saat seseorang mengguncang tubuhnya dengan perlahan. Tentu saja Ben merasa terusik. Pria itu menepis tangan yang mengguncang tubuhnya tanpa membuka mata.Akan tetapi, bukannya berhenti, guncangan itu malah semakin kuat. Ben mengerang kasar dan terpaksa bangkit dari posisinya menjadi duduk dengan tegap. Pria itu menguap sebentar lalu membuka mata.Di depannya, terdapa
Flora terdiam mendengar apa yang Ben katakan padanya. Sebenarnya, omongan Ben sangat masuk akal tentang Ben. Flora sendiri juga mengakui jika Steve tak sebaik yang ia lihat di layar kaca. Flora merasakan ada suatu rahasia yang Steve sembunyikan darinya, entah itu apa. Akan tetapi, kenapa Ben terlihat memprovokasi dirinya untuk membenci Steve? "Memang apa yang Steve lakukan hingga kau berani berkata begitu pada kakak kembarmu?" Tanya Flora dengan nada menuntut. Kepalan tangannya terurai begitu saja dan kini wanita berambut biru terang itu berkacak pinggang di hadapannya.Ben menghela napas, lalu bangkit dari posisi rebahannya, yang mana membuat Flora mengernyitkan keningnya. Ben tak mengatakan apapun pada wanita itu. Saat Ben hendak melangkah dari sana meninggalkan wanita itu untuk pergi ke kamar,, Flora dengan segera menahan tangan Ben."Ben, tunggu sebentar,"Ucapan Flora membuat Ben menghentikan niatnya. Ben berbalik dan menatap wanita yang berada di belakangnya ini dengan tatapa
Steve mendengar semua percakapan yang dibicarakan oleh Flora dan juga Ben dari ruang tamu. Ia tak sengaja mendengarnya saat akan menyeduh kopi untuk menghapal dialog film yang akan ia perankan beberapa hari lagi.Gerakannya yang akan menuangkan air panas ke dalam gelas terhenti saat dirinya mendengar perkataan Ben yang terdengar begitu nyaring di telinganya."Steve tak sebaik yang kau kira, Flora. Berhati hatilah saat berdekatan dengannya,"Perkataan itu membuat Steve kehilangan fokus hingga tak sadar jika ia tak sengaja menyiram air panas ke kulit tangannya."Akh!"Steve meringis kesakitan saat melihat tangannya yang memerah. Pria itu segera menaruh kembali ketel air yang ia pakai barusan ke atas kompor, lalu segera pergi ke wastafel untuk mengaliri tangannya yang terasa terbakar menggunakan air keran.Steve merutuki dirinya sendiri yang begitu ceroboh hanya karena perkataan adik kembarnya itu. Mata pria berambut merah muda itu berkaca kaca, merasakan panas, perih dan nyeri luar bias
Setelah dirias oleh para pengantin professional selama dua jam lamanya, penampilan Ivy kini berubah drastis. Wanita sederhana yang saat ini sedang kebingungan itu terlihat berkali kali lipat lebih cantik daripada sebelumnya.Wajahnya yang seperti boneka dipoles sedemikian rupa, dengan gaun pengantin putih yang membalut tubuh rampingnya.Setelah memasangkan veil pada kepalanya, para perias itu pergi ke luar dari ruangan itu. Ivy menggigit bibirnya dan memegang dadanya lagi, merasa sesak dan juga tak nyaman.Ditengah kebingungannya itu, tiba tiba saja Ben datang menghampiri dirinya, dengan setelan jas hitam yang nampak gagah membalut tubuh kekarnya.Sejenak keduanya saling terkesima satu sama lain. Wajah Ivy sampai memerah melihat wajah Ben yang berkali kali lipat lebih tampan daripada biasanya. Meskipun kantung mata hitam tak bisa di samarkan dengan sempurna dari wajah pria tampan itu." Ben, jelaskan apa yang terjadi. Mengapa semuanya bisa terjadi seperti ini? Kenapa pernikahannya men
"Kalau aku mau uncle Kai menjadi Daddy ku," sela Terry yang entah sejak kapan datang. Semua orang yang ada di ruangan itu mengalihkan fokus mereka pada Terry yang saat ini terlihat begitu berkeringat. Bocah laki-laki itu mengipasi wajahnya yang terlihat memerah menggunakan buku yang entah di dapat dari mana.Terra memperhatikan kakak kembarnya dengan intens. Ada seberkas rasa tak suka saat Terry menyebutkan demikian. Maka dari itu, Terra turun dari pangkuan Kai dan segera menghampiri Terry, lalu memukul tangan bocah laki-laki itu dengan cukup kencang.Terry yang mendapat geplakan kasih sayang dari sang adik tentu saja tak terima. Mata hijaunya menatap Terra dengan tatapan tajam. Rahang bocah laki-laki itu mengetat. Wajahnya yang terlihat memerah karena kelelahan menjadi semakin merah karena marah."Kenapa kau malah memukul tanganku?" Tanya Terry dengan nada setengah berteriak. Ia hampir saja mendorong tubuh Terra ke belakang jika saja Ivy tak menarik gadis kecil itu ke belakang."I
"Ben, apakah kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" Tanya seorang pria paruh baya yang masih bugar di umurnya yang tak muda lagi.Ben yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya tentu saja menghentikan kegiatannya. Matanya bergulir dari laptop menuju ke arah sumber suara. Di depannya, Ben bisa melihat seorang pria yang sangat ia kenali. "Oh, belum," sahut Ben singkat lalu kembali memusatkan perhatiannya pada laptop dan kembali mengetik, mengabaikan eksistensi pria yang saat ini berada di hadapannya dengan wajah tak bersalah."Aku sedang sibuk, Daddy Apa yang Daddy butuhkan? Katakan dengan cepat dan segera keluar dari sini,"Perkataan Ben yang merupakan pengusiran secara langsung membuat pria dengan postur yang sangat mirip dengan Ben itu tertawa keras. Pria itu menegang perutnya yang terasa keram.Ben melirik sebentar ke arah pria yang ia panggil Daddy itu secara sekilas, lalu memutar mata malas saat mendengar tawa nyaring yang terdengar menyebalkan di telinganya."Dad, suaramu membuat
"Well, sepertinya aku memang harus membicarakan hal ini, terutama kaitannya dengan penyembunyian statusku dan juga pelaku dari tragedi mawar hitam itu sendiri,"Ivy tersenyum miris pada dirinya sendiri. Dengan cepat, ia segera menarik rambut hitamnya yang panjang dan indah dari belakang dengan gerakan kasar. Wanita muda itu meringis kecil saat kepalanya terasa sangat sakit. Kai yang berada di hadapannya tentu saja terkejut dengan aksi dai wanita yang lebih muda darinya itu."Wow wow wow. Tunggu sebentar. Apa yang akan kau lakukan, Ivy?" Tanya Kai heran karena tak mengerti apa yang akan dilakukan oleh wanita beranak dua itu."Menarik apa yang tersembunyi," jawab Ivy ambigu, yang tentu menimbulkan tanda tanya besar di benak Leanore dan juga Kai."Maksudnya?" Tanya Leanore dengan nada pelan, benar benar gagal paham dengan apa yang Ivy katakan padanya."Aku akan menjelaskan itu nanti. Tapi bisakah kalian menarik rambutku terlebih dahulu?" Pinta Ivy dengan wajah memelas. Mata hijau itu t
"Bukti nyata. Tidak hanya sekedar omongan saja. Kau tahu sendiri bukan jika perkataanmu itu tak memiliki kekuatan hukum jika masalah ini akan di usut?"Perkataan yang Kai lontarkan memang benar adanya. Ivy termenung sembari menggigit bibir, merasa ada yang kurang untuk mengungkap Flora sebagai dalang dari dua kejadian mengerikan yang terjadi selama beberapa tahun ke belakang.Kurangnya bukti dan saksi membuat Ivy terperangkap kata katanya sendiri. Wajah wanita beranak dua itu terlihat kebingungan, namun disisi lain terlihat sedikit kesal karena menemukan jalan buntu, disaat semuanya akan terungkap.Kai yang melihat hal itu menampilkan senyuman tipisnya. Ia segera berdiri untuk mengambil makanan yang sekiranya bisa di gunakan untuk mengganjal perut yang terasa lapar, mengingat sekarang sudah hampir makan siang. Kai baru ingat jika dirinya belum makan apapun selain air yang tadi ia teguk hari ini."Kau mau kemana?" Tanya Leanore menginterupsi Kai yang bangkit dari sofa."Bukankah kita s
"Darimana kau mendapatkan kesimpulan jika Flora adalah dalang dari semua ini?"Ethan tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh kakak tirinya itu. Bibirnya terlihat melengkung ke atas dengan mata yang terpejam.Hal ini membuat Jake selaku kakak tak sedarah dari pria bermata abu abu itu merasa kebingungan dengan tingkah sang adik yang tak bisa ia baca."Kau tak tahu?" Tanya Ethan balik, dengan nada datar seperti biasa.Jake menggelengkan kepalanya. Jujur saja, ia merasa kebingungan dan terkejut disaat yang bersamaan, karena mendapat sekali banyak kejutan dan informasi dalam satu waktu. Kejadian hari ini terlalu sulit untuk di cerna oleh otaknya yang seolah tersetting untuk bisnis saja.Ethan tertawa kecil melihat sang kakak yang terlihat kebingungan, namun disisi lain juga terlihat sangat penasaran. Ia ingin menggoda Jake lebih lama, hitung hitung sebagai hiburannya dikala suntuk.Akan tetapi, Ethan tak melakukannya mengingat ia tak punya banyak waktu untuk bercanda si situasi gedu
"Haruskah aku mengatakannya?"Ivy bertanya pada kedua manusia yang berada di sampingnya dengan nada ragu. Mulutnya terlihat kelu saat didesak harus membuka tabir rahasia yang selama ini ia simpan rapat agar identitasnya tak ketahuan.Leanore dan Kai menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Suara Ivy tercekat di kerongkongan, seolah ada sesuatu yang menahannya. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sebuah kalimat sebagai jawaban dari pertanyaan yang Kai lontarkan.Sejujurnya ia merasa bersalah karena menyembunyikan fakta sebesar ini, terutama "Neva" adalah sosok yang mengetahui semua tentang dua kejadian buruk yang menimpa Clayton Group hingga memakan banyak korban jiwa.Akan tetapi, disisi lain, jika ia membuka jati dirinya, maka hidupnya bisa dalam bahaya. Ini adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar resikonya.Dirinya menimang nimang keputusan untuk mengungkap jati dirinya. Jika boleh dibandingkan, maka rahasia yang satu ini jauh lebih berat di katakan daripada saat ia menyembun
"Itu karena aku memiliki alasan tersendiri."Ivy mendesah malas seraya melihat ke arah jam di dinding, menikmati suara jarum jam yang entah kenapa menenangkan pikirannya yang tengah kusut seperti benang yang bertumpuk.Leanore tentu saja mengerutkan keningnya mendengar alasan yang Ivy lontarkan. Rasanya, wanita yang sudah menjadi rekan sekaligus dianggapnya adik itu menyembunyikan sesuatu yang sangat besar. Hal ini bisa terlihat dari cara pandang Ivy yang terlihat tak nyaman. Manik hijau yang bagaikan rusa itu bergulir tak tentu arah dengan gerakan tubuh yang tak nyaman. Leanore bisa melihat jika Ivy seolah ingin meninggalkan tempat ini secepat mungkin.Walaupun wajah Ivy terlihat lebih tenang daripada sebelumnya, tapi Leanore tahu jika Ivy sebenarnya tengah menyembunyikan keresahan hati yang saat ini ia rasakan.Wanita berambut merah terang itu menghela napas panjang. Ia ingin mendesak sahabatnya lebih jauh. Jujur saja, keputusan yang Ivy ambil sangatlah bodoh menurutnya. Leanore m
Jake sudah sampai di apartemennya karena panggilan Ethan yang menyuruhnya untuk cepat pulang ditengah jam kerjanya. Dengan tergesa, pria bermata hitam jelaga itu melepas sepatu yang ia kenakan dan melemparnya dengan asal.Tak berhenti sampai di sana saja, Jake juga melempar jas yang ia kenakan ke gantungan mantel yang berada dekat dengan pintu, hingga jas itu tergantung dengan asal. Setelah beres, pria itu segera melangkahkan kakinya menuju ke ruang tengah, tepat dimana sang adik menunggu dirinya.Jake bisa melihat jika ruang tengah sangat berantakan, seperti diterjang oleh badai topan. Kaleng bir yang berserakan di mana mana. Sampah yang berceceran di segala penjuru. Serta remah remah kue dah keripik yang bertebaran di setiap jengkal lantai yang ia pijaki. Jake juga bisa menemukan beberapa dalaman wanita yang tergantung di atas sofa. Jake menggeleng jijik sembari menggelengkan kepalanya, karena tak percaya jika apartemen yang ia sayangi ini tak ayal seperti tempat pembuangan sampah