Setelah Kai keluar dari ruangannya, Ben terlihat termenung, memikirkan sesuatu yang berat yang menyita otaknya. Tumpukan map di atas meja tak ada satupun yang tersentuh , karena pikirannya sedang tak berada dalam pekerjaan saat ini.Ben menghela napas panjang, lalu sekali lagi melihat foto yang diberikan oleh Kai tadi. Mata coklatnya memperhatikan dengan seksama gambar yang tercetak di atas kertas itu. Mata Ben berkaca kaca dengan pikiran kalut luar biasa.Perasaan muak dan marah kini menyusup ke dalam hatinya, seolah siap untuk meledak kapan saja. Ben merasa jika hatinya terlihat melankonis saat ini, tapi ia tak peduli. Karena foto yang diberikan oleh pria bermata amber itu berhasil membuat dirinya rapuh, untuk kedua kalinya.Luka lama yang sudah payah ia sembunyikan kini terbuka lebar, dengan sayatan yang tak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Tangan besar milik Ben mengelus pelan foto itu sembari bergumam kecil."Andai saja kau tak menghilang dalam reruntuhan itu, aku pasti sudah
"Ivy kau dari mana saja? Mengapa baru kembali sekarang?" Tanya wanita berambut merah terang yang merupakan sahabatnya, sekaligus rekan kerjanya di supermarket dan toko tempat Ivy bekerja saat ini. Ia adalah Leanore.Mata biru Leanore memindai Ivy dari atas sampai bawah dengan teliti sembari menyilangkan tangan di depan dada, ingin mengetahui mengapa sahabatnya ini terlambat tanpa memberitahu alasannya terlebih dahulu atau paling tidak memberinya pesan.Ivy melirik Leanore dengan napas terengah-engah sembari menepuk dadanya yang terasa sesak karena ia harus berlari dalam jarak yang tak bisa dibilang dekat.Wajah Ivy terlihat memerah dengan keringat yang terus bercucuran dari dahinya, membuat pertanyaan Leanore pada wanita beranak dua itu terhenti. Wanita berambut merah terang itu merogoh sakunya, mengambil sapu tangan yang sering ia gunakan. Setelah itu, Leanore menyodorkan sapu tangan itu pada Ivy, yang disambut dengan sungkan oleh Ivy.Setelah keringat yang ada di wajahnya diseka, I
Terry mengernyitkan keningnya saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut pria yang merupakan bos ibunya. Tatapannya terlihat kebingungan. Ia melirik ke arah Terra dan saling bertatapan satu sama lain seolah tengah melakukan telepati."Um..kenapa anda menanyakan hal ini?" Tanya Terra dengan nada polosnya.Pria itu segera menyentuh rambut Terra dan mengusapnya dengan perlahan. Tak hanya itu, pria itu juga menjawil hidung milik Terry hingga membuat keduanya berkedip bingung."Karena aku ingin mengetahuinya, kid. Aku baru pertama kali melihat anak kecil yang berpikiran dewasa seperti kalian berdua," ujar pria itu sembari menyunggingkan senyuman tulusnya, yang sangat jarang untuk diperlihatkan pada orang lain.Semua karyawan yang ada di dalam dapur pun terdiam melihat tingkah bosnya yang terlihat tak biasa. Ivy dan Leanore bahkan sampai membuka mulutnya dengan lebar karena tak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini.Apa bosnya ini tengah kerasukan jin penunggu toko? Begitulah
"Kalian darimana saja? Mengapa baru datang? Kalian tidak tahu ya jika perutku sudah berdemo sedari tadi minta di isi?!" Archer tertawa pelan mendengar gerutuan Jayden yang saat ini tengah mengeluh kelaparan. Pria berkulit Tan itu segera duduk di samping Jayden, sedangkan Ben duduk di kursi lainnya. "Kenapa kau tak memesan makanan duluan jika kau kelaparan?" Tanya Ben lalu mengambil buku menu untuk memilih makanan apa yang akan ia makan hari ini. Matanya dengan serius membaca satu demi satu menu makanan yang tertera di dalam buku menu. Tak jarang, pria itu juga membolak balikkan buku itu untuk mencari makanan yang sekiranya enak untuk mengisi perutnya.Jayden memutar mata malas mendengar pertanyaan itu. Tangannya mengepal hendak memukul Ben saat itu juga. Ia bersiap untuk melayangkan tinjunya pada Ben, andai tak ditahan oleh adiknya Kai yang tadi sibuk bermain game."Jika aku memesan makanan duluan, aku bisa membayangkan kau akan meledekku babi, Ben," sindir Jayden dengan nada peda
Semua orang yang ada di meja itu terkejut dengan perkataan yang Ethan lontarkan. Reaksi mereka sangat beragam. Jayden sampai menjatuhkan ponselnya hingga membentur lantai. Kai tanpa sadar memasukkan pulpen yang ke dalam mulutnya. Archer yang mematahkan kacamata kesayangannya serta Ben membuka mulutnya, tampak seperti orang bodoh. Jangan lupakan Jake yang memasang wajah datar dengan raut wajah tak peduli."Tunggu, kau serius dengan apa yang kau ucapkan?" Tanya Jayden setelah sekian lama terdiam dalam keterkejutan yang ia rasakan barusan. Pria berambut coklat terang itu bahkan sampai harus mengorek telinganya menggunakan jari kelingking saking takutnya ia mendapat informasi yang salah, apalagi ini adalah masalah yang sensitif."Tentu saja aku serius. Apa kalian pikir kalau aku tengah bercanda?" Tanya Ethan mengeluarkan satu buah buku kecil dari saku jasnya, lalu menulis beberapa kata dengan pulpen mini yang terselip diantara buku itu."Siapapun pasti akan menganggap mu bercanda karena
Ivy terdiam mendengar pertanyaan yang Leanore lontarkan padanya. Tatapan matanya terlihat kosong dengan kunyahan yang berhenti total.Pertanyaan yang terlontar dari bibir Leanore tak pernah melintas sedikitpun dalam kepalanya. Wajahnya menunjukkan kebingungan dengan mata mengedip cepat."Apa yang baru saja kau tanyakan?" Tanya Ivy dengan nada tak percaya ke arah sahabatnya yang kini tengah memasang wajah serius."Aku hanya penasaran. Apa reaksimu jika ayah biologis si kembar memintamu untuk tinggal dengannya? Apakah kau akan menolaknya karena ia sudah membuatmu hamil dan membesarkan mereka sendirian? Atau mungkin kau justru menerima uluran tangannya?" Tanya Leanore bertubi tubi dengan nada menuntut. Ivy menghela napas panjang sembari melirik ke arah kedua anaknya dengan mata berkaca kaca. Terry memilih untuk diam sembari terus mengelus lengan sang ibu dengan penuh kasih sayang, sementara Terra kini beralih ke pangkuan Ivy dan memeluk wanita itu dengan erat.Suasana terasa hening sete
"Maaf, aku tak bisa memberitahumu, Aunty," tolak Terry lalu segera memasukkan kembali buku yang tengah ia baca ke dalam tas.Leanore tentu saja tak terima dengan penolakan dari bocah kecil itu. Wajah wanita berambut merah itu tampak merengut. Saat Leanore akan bertanya lagi, suara Ivy menghentikan aktivitasnya."Lea, aku sudah selesai mencuci piring. Ayo bantu aku memanggang roti ini agar bisa selesai tepat waktu," Leanore terpaksa menelan kembali semua kata katanya saat Ivy meminta tolong padanya, dengan mata lesu, ia segera bangkit dan menghampiri wanita itu.Ivy tentu saja merasa heran melihat ekspresi sahabatnya yang bisa terbilang tidak baik. Benaknya bertanya tanya mengapa Leanore menekuk muka saat ia meminta tolong pada wanita berambut merah itu."Lea, apa kau merasa keberatan menolongku memanggang roti ini sekarang?" Tanya Ivy pelan. Mata hijau miliknya bergulir untuk melihat jam yang tergantung di dinding. Seharusnya, ia dan Leanore bekerja 15 menit lagi karena masih waktu
Ivy dan Leanore kini sudah berada di depan Archer Club's yang kini masih tutup. Kedua wanita itu saling bertatapan satu sama lain karena kebingungan harus pergi kemana untuk mengantarkan pesanan roti yang sudah mereka buat."Ivy, kau tak salah alamat kan?" Tanya Leanore sembari menatap ke dalam keranjang kue yang ia dorong menggunakan troli toko. Ivy segera kembali mengecek ponsel lamanya untuk memastikan jika mereka berdua tak salah alamat. Mata hijaunya membaca dengan teliti tiap baris kalimat yang tertulis di dalam pesan yang dikirim oleh seseorang atas nama Archer Percival."Aku rasa tidak. Lihat, kita berada di alamat yang benar, Lea," sanggah Ivy sembari menyeka keringat yang bercucuran di balik topi yang ia gunakan. Tak jarang, wanita muda beranak dua itu juga mengipasi wajahnya menggunakan tangan karena merasa gerah dan kepanasan."Tapi, jika memang ini adalah alamat yang benar, kita harus pergi kemana? Lihat saja, pintu clubnya bahkan masih tutup," Leanore mencebikkan bibir