"Kalian darimana saja? Mengapa baru datang? Kalian tidak tahu ya jika perutku sudah berdemo sedari tadi minta di isi?!" Archer tertawa pelan mendengar gerutuan Jayden yang saat ini tengah mengeluh kelaparan. Pria berkulit Tan itu segera duduk di samping Jayden, sedangkan Ben duduk di kursi lainnya. "Kenapa kau tak memesan makanan duluan jika kau kelaparan?" Tanya Ben lalu mengambil buku menu untuk memilih makanan apa yang akan ia makan hari ini. Matanya dengan serius membaca satu demi satu menu makanan yang tertera di dalam buku menu. Tak jarang, pria itu juga membolak balikkan buku itu untuk mencari makanan yang sekiranya enak untuk mengisi perutnya.Jayden memutar mata malas mendengar pertanyaan itu. Tangannya mengepal hendak memukul Ben saat itu juga. Ia bersiap untuk melayangkan tinjunya pada Ben, andai tak ditahan oleh adiknya Kai yang tadi sibuk bermain game."Jika aku memesan makanan duluan, aku bisa membayangkan kau akan meledekku babi, Ben," sindir Jayden dengan nada peda
Semua orang yang ada di meja itu terkejut dengan perkataan yang Ethan lontarkan. Reaksi mereka sangat beragam. Jayden sampai menjatuhkan ponselnya hingga membentur lantai. Kai tanpa sadar memasukkan pulpen yang ke dalam mulutnya. Archer yang mematahkan kacamata kesayangannya serta Ben membuka mulutnya, tampak seperti orang bodoh. Jangan lupakan Jake yang memasang wajah datar dengan raut wajah tak peduli."Tunggu, kau serius dengan apa yang kau ucapkan?" Tanya Jayden setelah sekian lama terdiam dalam keterkejutan yang ia rasakan barusan. Pria berambut coklat terang itu bahkan sampai harus mengorek telinganya menggunakan jari kelingking saking takutnya ia mendapat informasi yang salah, apalagi ini adalah masalah yang sensitif."Tentu saja aku serius. Apa kalian pikir kalau aku tengah bercanda?" Tanya Ethan mengeluarkan satu buah buku kecil dari saku jasnya, lalu menulis beberapa kata dengan pulpen mini yang terselip diantara buku itu."Siapapun pasti akan menganggap mu bercanda karena
Ivy terdiam mendengar pertanyaan yang Leanore lontarkan padanya. Tatapan matanya terlihat kosong dengan kunyahan yang berhenti total.Pertanyaan yang terlontar dari bibir Leanore tak pernah melintas sedikitpun dalam kepalanya. Wajahnya menunjukkan kebingungan dengan mata mengedip cepat."Apa yang baru saja kau tanyakan?" Tanya Ivy dengan nada tak percaya ke arah sahabatnya yang kini tengah memasang wajah serius."Aku hanya penasaran. Apa reaksimu jika ayah biologis si kembar memintamu untuk tinggal dengannya? Apakah kau akan menolaknya karena ia sudah membuatmu hamil dan membesarkan mereka sendirian? Atau mungkin kau justru menerima uluran tangannya?" Tanya Leanore bertubi tubi dengan nada menuntut. Ivy menghela napas panjang sembari melirik ke arah kedua anaknya dengan mata berkaca kaca. Terry memilih untuk diam sembari terus mengelus lengan sang ibu dengan penuh kasih sayang, sementara Terra kini beralih ke pangkuan Ivy dan memeluk wanita itu dengan erat.Suasana terasa hening sete
"Maaf, aku tak bisa memberitahumu, Aunty," tolak Terry lalu segera memasukkan kembali buku yang tengah ia baca ke dalam tas.Leanore tentu saja tak terima dengan penolakan dari bocah kecil itu. Wajah wanita berambut merah itu tampak merengut. Saat Leanore akan bertanya lagi, suara Ivy menghentikan aktivitasnya."Lea, aku sudah selesai mencuci piring. Ayo bantu aku memanggang roti ini agar bisa selesai tepat waktu," Leanore terpaksa menelan kembali semua kata katanya saat Ivy meminta tolong padanya, dengan mata lesu, ia segera bangkit dan menghampiri wanita itu.Ivy tentu saja merasa heran melihat ekspresi sahabatnya yang bisa terbilang tidak baik. Benaknya bertanya tanya mengapa Leanore menekuk muka saat ia meminta tolong pada wanita berambut merah itu."Lea, apa kau merasa keberatan menolongku memanggang roti ini sekarang?" Tanya Ivy pelan. Mata hijau miliknya bergulir untuk melihat jam yang tergantung di dinding. Seharusnya, ia dan Leanore bekerja 15 menit lagi karena masih waktu
Ivy dan Leanore kini sudah berada di depan Archer Club's yang kini masih tutup. Kedua wanita itu saling bertatapan satu sama lain karena kebingungan harus pergi kemana untuk mengantarkan pesanan roti yang sudah mereka buat."Ivy, kau tak salah alamat kan?" Tanya Leanore sembari menatap ke dalam keranjang kue yang ia dorong menggunakan troli toko. Ivy segera kembali mengecek ponsel lamanya untuk memastikan jika mereka berdua tak salah alamat. Mata hijaunya membaca dengan teliti tiap baris kalimat yang tertulis di dalam pesan yang dikirim oleh seseorang atas nama Archer Percival."Aku rasa tidak. Lihat, kita berada di alamat yang benar, Lea," sanggah Ivy sembari menyeka keringat yang bercucuran di balik topi yang ia gunakan. Tak jarang, wanita muda beranak dua itu juga mengipasi wajahnya menggunakan tangan karena merasa gerah dan kepanasan."Tapi, jika memang ini adalah alamat yang benar, kita harus pergi kemana? Lihat saja, pintu clubnya bahkan masih tutup," Leanore mencebikkan bibir
"Mommy, kenapa lama sekali?" Tanya Terra yang merasa senang saat Ivy dan Leanore kembali setelah mengantar roti pesanan Archer. Ivy menolehkan kepalanya pada sumber suara, lalu tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari anak bungsunya. Ia menyeka keringat yang bercucuran dengan sapu tangan yang memang tertinggal di dalam mobil lalu menjawab pertanyaan si bungsu dengan nada lembut yang begitu menenangkan."Orang yang memesan belum datang saat Mommy dan Aunty Lea kesana, sayang," jelas Ivy sembari mengipasi dirinya menggunakan kipas portabel kecil yang berada di dalam dashboard karena AC mobil tak menyala. Terra menganggukkan kepalanya setelah mendengar penjelasan ibunya itu."Oh begitu. Lalu kenapa wajah Mommy merah sekali? Mommy sakit?" Kini, nada suara Terra berubah menjadi khawatir saat melihat Ivy yang wajahnya memerah seperti kepiting rebus.Terry yang sedang membaca buku yang ia temukan di mobil tentu saja merasa terusik dengan perkataan Terra. Bocah laki-laki itu menatap wajah
Pertanyaan yang pria berambut hijau mencolok yang merupakan rekan kerjanya membuat Ben termenung sesaat. Pria bermata coklat itu tampak terdiam, sambil sesekali menatap lawan bicaranya dengan intens."Darimana kau bisa menyimpulkan jika kedua bocah ini adalah anakku, Frank?" Tanya Ben dengan nada datar miliknya.Pria berambut hijau yang dipanggil Frank balik menatap Ben dengan tangan yang disilangkan di depan dada. Ekspresi Frank tampak datar dengan mulut yang terkunci rapat, berusaha untuk memilah kata mana yang harus ia ucapkan pada pria yang berprofesi sebagai CEO itu.Bukannya Frank takut pada Ben. Akan tetapi ia justru lebih takut jika pria itu tak mau membantunya yang saat ini berada dalam kondisi terjepit. Jadi, Frank tak boleh membuat Ben merasa kesal ataupun tersinggung. Setidaknya, itulah pikirannya saat ini.Kedua orang ini saling beradu tatap satu sama lain, membuat suasana lobby yang tadinya hangat karena penuh dengan orang yang bolak balik kantor untuk menyelesaikan tug
Ben terheran mendengar apa yang Frank katakan. Tidak biasanya ia mendengarkan opini orang lain dengan wajah serius seperti itu. Ditambah lagi, senyuman yang sangat jarang ia perlihatkan pada orang lain—terutama anak anak— membuat Ben harus menerka maksud dari pria berambut hijau di depannya.Ben menepuk bahu Frank dengan cukup keras tanpa berniat melepaskan tangan itu. Malah sebaliknya, Ben justru mencengkeram bahu Frank dengan sedikit tenaga, membuat senyuman itu luntur dan kini digantikan oleh ringisan kesakitan yang lolos dari bibirnya yang menghitam akibat terlalu sering merokok."Kenapa kau mencengkeram bahuku, sialan? Apa salahku padamu?" Tanya Frank tak terima dengan perlakuan Ben yang tak bisa ia tebak."Kesimpulan lain apa yang kau maksud?" Tanya Ben balik dengan nada rendah dan begitu dingin seperti es.Jangan lupakan tatapan menusuk yang Ben layangkan padanya, seolah ia sudah melakukan kesalahan fatal yang tak termaafkan oleh dunia. Frank menepis tangan Ben dengan kasar h