Ivy mendongak untuk melihat siapa orang yang telah menolongnya dari kejadian mengerikan seperti barusan. Matanya membulat sempurna saat mata hijaunya kembali berpapasan dengan mata amber yang memikat, dengan rambut pirang yang terlihat mencolok dibanding orang di sekitarnya.Orang yang menolong Ivy barusan adalah Kai, pemuda yang menjadi tetangganya dulu. Wajah Kai begitu dekat sehingga Ivy bisa merasakan tamparan napas hangat berbau mint dari pria itu. Wajah Kai menunjukkan raut wajah cemas saat Ivy tak berkata ataupun bereaksi akibat kejadian barusan."Hei, kau tak apa?" Tanya Kai pelan dengan nada selembut mungkin.Pria itu merasa sesak karena para pejalan kaki yang berada di sekitar sana mengerubungi dirinya dan Ivy. Maka dari itu, Kai menggendong tubuh Ivy yang masih terpaku ke sebuah taman kecil yang berada di dekatnya. Terra dan Terry mengikuti Kai —yang menurut mereka orang asing— untuk memastikan Mommy mereka baik baik saja."Ivy? Kau bisa mendengarku?"Ivy tak merespon. Tu
Terry melepaskan pelukannya sebentar agar tercipta jarak diantara keduanya. Bocah laki-laki itu menatap Kai dengan lekat, lalu dengan cepat tangan mungil miliknya mencubit paha milik Kai. Kai meringis dengan aksi yang Terry lakukan padanya."Hei, kenapa aku malah dicubit?" Tanya Kai tak terima. Pria berambut pirang itu segera melepaskan cubitan Terry dari pahanya, lalu mengelus bekas cubitannya dengan perlahan sembari menggerutu kecil berapa menyakitkannya cubitan bocah kecil itu.Terry segera kembali ke sisi ibunya dengan wajah tertekuk, seperti baju yang belum di setrika. Terlihat gurat kecewa yang begitu kentara di wajah tampannya. Wajahnya terlihat layu, tak semangat seperti sebelumnya.Melihat hal itu, Terra segera menghampiri kembarannya sembari menatap Terry dengan mata berkedip lucu. "Kenapa kau terlihat marah?""Bukan apa apa. Ayo lanjutkan perjalanan kita sebelum kita terlambat," ujar Terry dingin, lalu berjalan lebih dulu, meninggalkan ketiganya yang menatap punggung kecil
Ivy berlarian di koridor TK tempat kedua anaknya bersekolah. Wanita beranak dua itu terlihat terkejut setelah mendapat telepon jika salah satu anaknya melakukan kekerasan di sekolah. Ivy bisa memperkirakan jika Terry lah yang mereka maksud, mengingat anak sulungnya itu memiliki sifat yang mudah marah apabila diusik.Ivy bahkan tak mempedulikan dirinya yang masih mengenakan apron berwarna coklat. Kebetulan, Ivy kini tengah bekerja paruh waktu sebagai tukang roti di salah satu toko roti yang cukup terkenal di New York.Ketika berada di depan pintu dengan tulisan "kepala sekolah", Ivy berhenti sejenak untuk menetralkan napasnya yang terasa memburu. Wajah gadis itu terlihat memerah dan penuh dengan keringat karena berlari dari jarak sejauh satu kilometer dari tempatnya bekerja. Tubuhnya terasa panas dengan detak jantung yang berdetak dengan cepat seolah akan keluar dari tempatnya.Setelah dirasa napasnya sudah tenang, Ivy mengetuk pintu tifa kali dengan pelan, seolah takut mengganggu or
"Kenapa kau mendatangiku?"Ben terkejut saat mendapat tamu yang tak terduga ketika dirinya tengah berjibaku dengan pekerjaan yang menumpuk akibat banyaknya tawaran kerjasama yang belum sempat ia periksa.Orang itu tersenyum tipis sembari menertawakan Ben yang mejanya sudah tak terlihat permukaannya akibat banyaknya tumpukan map yang harus ia tangani."Aku diperintahkan oleh kakakku untuk datang menemuimu," balas orang itu santai sembari melangkahkan kakinya menuju sisi sebelah kanan, tempat sofa berada. Tanpa disuruh duduk pun, pria itu langsung mendaratkan bokongnya di sofa berwarna hitam pekat yang begitu mewah dengan menyilangkan kaki, bergaya layaknya bos yang memimpin.Mata ambernya memindai ke seluruh ruangan yang cukup luas ini. Kesan minimalis namun berkelas tampak begitu kental ketika ia masuk. Ruangan ini juga cukup bersih dan rapi, tak seperti ruangan milik kakaknya yang selalu bertebaran kondom ataupun celana dalam milik para wanita yang ia sewa.Tak ada yang spesial sebe
"Ingatlah tentang file itu tuan Clayton. Aku harap anda tak lagi melakukan hal gila demi mendapatkan apa yang anda butuhkan. Jangan sampai tragedi mawar hitam kembali terulang untuk kedua kalinya," ujar Kai setelah sekian lama terdiam sembari menyunggingkan senyuman tipisnya. Pria dengan mata amber itu menikmati setiap detik perubahan ekspresi Ben yang saat ini bercampur aduk, dari marah, sedih, kecewa, bahkan putus asa. Entah kenapa, ada sensasi puas tersendiri untuknya."Baiklah. Aku juga tak ingin tragedi mengerikan itu akan kembali terjadi untuk kedua kalinya. Jangan sampai project kedua ini gagal hingga menelan banyak korban jiwa seperti tragedi mawar hitam dua tahun yang lalu," balas Ben menimpali perkataan Kai.Setelah memberikan bukti berupa selembar foto dan dua buah kertas yang diperintahkan oleh Jayden, pria berambut pirang dengan mata amber itu segera berdiri dari duduknya, lalu meregangkan tubuhnya sejenak, menghilangkan rasa pegal yang entah sejak kapan merayap pada tu
Setelah Kai keluar dari ruangannya, Ben terlihat termenung, memikirkan sesuatu yang berat yang menyita otaknya. Tumpukan map di atas meja tak ada satupun yang tersentuh , karena pikirannya sedang tak berada dalam pekerjaan saat ini.Ben menghela napas panjang, lalu sekali lagi melihat foto yang diberikan oleh Kai tadi. Mata coklatnya memperhatikan dengan seksama gambar yang tercetak di atas kertas itu. Mata Ben berkaca kaca dengan pikiran kalut luar biasa.Perasaan muak dan marah kini menyusup ke dalam hatinya, seolah siap untuk meledak kapan saja. Ben merasa jika hatinya terlihat melankonis saat ini, tapi ia tak peduli. Karena foto yang diberikan oleh pria bermata amber itu berhasil membuat dirinya rapuh, untuk kedua kalinya.Luka lama yang sudah payah ia sembunyikan kini terbuka lebar, dengan sayatan yang tak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Tangan besar milik Ben mengelus pelan foto itu sembari bergumam kecil."Andai saja kau tak menghilang dalam reruntuhan itu, aku pasti sudah
"Ivy kau dari mana saja? Mengapa baru kembali sekarang?" Tanya wanita berambut merah terang yang merupakan sahabatnya, sekaligus rekan kerjanya di supermarket dan toko tempat Ivy bekerja saat ini. Ia adalah Leanore.Mata biru Leanore memindai Ivy dari atas sampai bawah dengan teliti sembari menyilangkan tangan di depan dada, ingin mengetahui mengapa sahabatnya ini terlambat tanpa memberitahu alasannya terlebih dahulu atau paling tidak memberinya pesan.Ivy melirik Leanore dengan napas terengah-engah sembari menepuk dadanya yang terasa sesak karena ia harus berlari dalam jarak yang tak bisa dibilang dekat.Wajah Ivy terlihat memerah dengan keringat yang terus bercucuran dari dahinya, membuat pertanyaan Leanore pada wanita beranak dua itu terhenti. Wanita berambut merah terang itu merogoh sakunya, mengambil sapu tangan yang sering ia gunakan. Setelah itu, Leanore menyodorkan sapu tangan itu pada Ivy, yang disambut dengan sungkan oleh Ivy.Setelah keringat yang ada di wajahnya diseka, I
Terry mengernyitkan keningnya saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut pria yang merupakan bos ibunya. Tatapannya terlihat kebingungan. Ia melirik ke arah Terra dan saling bertatapan satu sama lain seolah tengah melakukan telepati."Um..kenapa anda menanyakan hal ini?" Tanya Terra dengan nada polosnya.Pria itu segera menyentuh rambut Terra dan mengusapnya dengan perlahan. Tak hanya itu, pria itu juga menjawil hidung milik Terry hingga membuat keduanya berkedip bingung."Karena aku ingin mengetahuinya, kid. Aku baru pertama kali melihat anak kecil yang berpikiran dewasa seperti kalian berdua," ujar pria itu sembari menyunggingkan senyuman tulusnya, yang sangat jarang untuk diperlihatkan pada orang lain.Semua karyawan yang ada di dalam dapur pun terdiam melihat tingkah bosnya yang terlihat tak biasa. Ivy dan Leanore bahkan sampai membuka mulutnya dengan lebar karena tak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini.Apa bosnya ini tengah kerasukan jin penunggu toko? Begitulah
Setelah dirias oleh para pengantin professional selama dua jam lamanya, penampilan Ivy kini berubah drastis. Wanita sederhana yang saat ini sedang kebingungan itu terlihat berkali kali lipat lebih cantik daripada sebelumnya.Wajahnya yang seperti boneka dipoles sedemikian rupa, dengan gaun pengantin putih yang membalut tubuh rampingnya.Setelah memasangkan veil pada kepalanya, para perias itu pergi ke luar dari ruangan itu. Ivy menggigit bibirnya dan memegang dadanya lagi, merasa sesak dan juga tak nyaman.Ditengah kebingungannya itu, tiba tiba saja Ben datang menghampiri dirinya, dengan setelan jas hitam yang nampak gagah membalut tubuh kekarnya.Sejenak keduanya saling terkesima satu sama lain. Wajah Ivy sampai memerah melihat wajah Ben yang berkali kali lipat lebih tampan daripada biasanya. Meskipun kantung mata hitam tak bisa di samarkan dengan sempurna dari wajah pria tampan itu." Ben, jelaskan apa yang terjadi. Mengapa semuanya bisa terjadi seperti ini? Kenapa pernikahannya men
"Kalau aku mau uncle Kai menjadi Daddy ku," sela Terry yang entah sejak kapan datang. Semua orang yang ada di ruangan itu mengalihkan fokus mereka pada Terry yang saat ini terlihat begitu berkeringat. Bocah laki-laki itu mengipasi wajahnya yang terlihat memerah menggunakan buku yang entah di dapat dari mana.Terra memperhatikan kakak kembarnya dengan intens. Ada seberkas rasa tak suka saat Terry menyebutkan demikian. Maka dari itu, Terra turun dari pangkuan Kai dan segera menghampiri Terry, lalu memukul tangan bocah laki-laki itu dengan cukup kencang.Terry yang mendapat geplakan kasih sayang dari sang adik tentu saja tak terima. Mata hijaunya menatap Terra dengan tatapan tajam. Rahang bocah laki-laki itu mengetat. Wajahnya yang terlihat memerah karena kelelahan menjadi semakin merah karena marah."Kenapa kau malah memukul tanganku?" Tanya Terry dengan nada setengah berteriak. Ia hampir saja mendorong tubuh Terra ke belakang jika saja Ivy tak menarik gadis kecil itu ke belakang."I
"Ben, apakah kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" Tanya seorang pria paruh baya yang masih bugar di umurnya yang tak muda lagi.Ben yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya tentu saja menghentikan kegiatannya. Matanya bergulir dari laptop menuju ke arah sumber suara. Di depannya, Ben bisa melihat seorang pria yang sangat ia kenali. "Oh, belum," sahut Ben singkat lalu kembali memusatkan perhatiannya pada laptop dan kembali mengetik, mengabaikan eksistensi pria yang saat ini berada di hadapannya dengan wajah tak bersalah."Aku sedang sibuk, Daddy Apa yang Daddy butuhkan? Katakan dengan cepat dan segera keluar dari sini,"Perkataan Ben yang merupakan pengusiran secara langsung membuat pria dengan postur yang sangat mirip dengan Ben itu tertawa keras. Pria itu menegang perutnya yang terasa keram.Ben melirik sebentar ke arah pria yang ia panggil Daddy itu secara sekilas, lalu memutar mata malas saat mendengar tawa nyaring yang terdengar menyebalkan di telinganya."Dad, suaramu membuat
"Well, sepertinya aku memang harus membicarakan hal ini, terutama kaitannya dengan penyembunyian statusku dan juga pelaku dari tragedi mawar hitam itu sendiri,"Ivy tersenyum miris pada dirinya sendiri. Dengan cepat, ia segera menarik rambut hitamnya yang panjang dan indah dari belakang dengan gerakan kasar. Wanita muda itu meringis kecil saat kepalanya terasa sangat sakit. Kai yang berada di hadapannya tentu saja terkejut dengan aksi dai wanita yang lebih muda darinya itu."Wow wow wow. Tunggu sebentar. Apa yang akan kau lakukan, Ivy?" Tanya Kai heran karena tak mengerti apa yang akan dilakukan oleh wanita beranak dua itu."Menarik apa yang tersembunyi," jawab Ivy ambigu, yang tentu menimbulkan tanda tanya besar di benak Leanore dan juga Kai."Maksudnya?" Tanya Leanore dengan nada pelan, benar benar gagal paham dengan apa yang Ivy katakan padanya."Aku akan menjelaskan itu nanti. Tapi bisakah kalian menarik rambutku terlebih dahulu?" Pinta Ivy dengan wajah memelas. Mata hijau itu t
"Bukti nyata. Tidak hanya sekedar omongan saja. Kau tahu sendiri bukan jika perkataanmu itu tak memiliki kekuatan hukum jika masalah ini akan di usut?"Perkataan yang Kai lontarkan memang benar adanya. Ivy termenung sembari menggigit bibir, merasa ada yang kurang untuk mengungkap Flora sebagai dalang dari dua kejadian mengerikan yang terjadi selama beberapa tahun ke belakang.Kurangnya bukti dan saksi membuat Ivy terperangkap kata katanya sendiri. Wajah wanita beranak dua itu terlihat kebingungan, namun disisi lain terlihat sedikit kesal karena menemukan jalan buntu, disaat semuanya akan terungkap.Kai yang melihat hal itu menampilkan senyuman tipisnya. Ia segera berdiri untuk mengambil makanan yang sekiranya bisa di gunakan untuk mengganjal perut yang terasa lapar, mengingat sekarang sudah hampir makan siang. Kai baru ingat jika dirinya belum makan apapun selain air yang tadi ia teguk hari ini."Kau mau kemana?" Tanya Leanore menginterupsi Kai yang bangkit dari sofa."Bukankah kita s
"Darimana kau mendapatkan kesimpulan jika Flora adalah dalang dari semua ini?"Ethan tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh kakak tirinya itu. Bibirnya terlihat melengkung ke atas dengan mata yang terpejam.Hal ini membuat Jake selaku kakak tak sedarah dari pria bermata abu abu itu merasa kebingungan dengan tingkah sang adik yang tak bisa ia baca."Kau tak tahu?" Tanya Ethan balik, dengan nada datar seperti biasa.Jake menggelengkan kepalanya. Jujur saja, ia merasa kebingungan dan terkejut disaat yang bersamaan, karena mendapat sekali banyak kejutan dan informasi dalam satu waktu. Kejadian hari ini terlalu sulit untuk di cerna oleh otaknya yang seolah tersetting untuk bisnis saja.Ethan tertawa kecil melihat sang kakak yang terlihat kebingungan, namun disisi lain juga terlihat sangat penasaran. Ia ingin menggoda Jake lebih lama, hitung hitung sebagai hiburannya dikala suntuk.Akan tetapi, Ethan tak melakukannya mengingat ia tak punya banyak waktu untuk bercanda si situasi gedu
"Haruskah aku mengatakannya?"Ivy bertanya pada kedua manusia yang berada di sampingnya dengan nada ragu. Mulutnya terlihat kelu saat didesak harus membuka tabir rahasia yang selama ini ia simpan rapat agar identitasnya tak ketahuan.Leanore dan Kai menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Suara Ivy tercekat di kerongkongan, seolah ada sesuatu yang menahannya. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sebuah kalimat sebagai jawaban dari pertanyaan yang Kai lontarkan.Sejujurnya ia merasa bersalah karena menyembunyikan fakta sebesar ini, terutama "Neva" adalah sosok yang mengetahui semua tentang dua kejadian buruk yang menimpa Clayton Group hingga memakan banyak korban jiwa.Akan tetapi, disisi lain, jika ia membuka jati dirinya, maka hidupnya bisa dalam bahaya. Ini adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar resikonya.Dirinya menimang nimang keputusan untuk mengungkap jati dirinya. Jika boleh dibandingkan, maka rahasia yang satu ini jauh lebih berat di katakan daripada saat ia menyembun
"Itu karena aku memiliki alasan tersendiri."Ivy mendesah malas seraya melihat ke arah jam di dinding, menikmati suara jarum jam yang entah kenapa menenangkan pikirannya yang tengah kusut seperti benang yang bertumpuk.Leanore tentu saja mengerutkan keningnya mendengar alasan yang Ivy lontarkan. Rasanya, wanita yang sudah menjadi rekan sekaligus dianggapnya adik itu menyembunyikan sesuatu yang sangat besar. Hal ini bisa terlihat dari cara pandang Ivy yang terlihat tak nyaman. Manik hijau yang bagaikan rusa itu bergulir tak tentu arah dengan gerakan tubuh yang tak nyaman. Leanore bisa melihat jika Ivy seolah ingin meninggalkan tempat ini secepat mungkin.Walaupun wajah Ivy terlihat lebih tenang daripada sebelumnya, tapi Leanore tahu jika Ivy sebenarnya tengah menyembunyikan keresahan hati yang saat ini ia rasakan.Wanita berambut merah terang itu menghela napas panjang. Ia ingin mendesak sahabatnya lebih jauh. Jujur saja, keputusan yang Ivy ambil sangatlah bodoh menurutnya. Leanore m
Jake sudah sampai di apartemennya karena panggilan Ethan yang menyuruhnya untuk cepat pulang ditengah jam kerjanya. Dengan tergesa, pria bermata hitam jelaga itu melepas sepatu yang ia kenakan dan melemparnya dengan asal.Tak berhenti sampai di sana saja, Jake juga melempar jas yang ia kenakan ke gantungan mantel yang berada dekat dengan pintu, hingga jas itu tergantung dengan asal. Setelah beres, pria itu segera melangkahkan kakinya menuju ke ruang tengah, tepat dimana sang adik menunggu dirinya.Jake bisa melihat jika ruang tengah sangat berantakan, seperti diterjang oleh badai topan. Kaleng bir yang berserakan di mana mana. Sampah yang berceceran di segala penjuru. Serta remah remah kue dah keripik yang bertebaran di setiap jengkal lantai yang ia pijaki. Jake juga bisa menemukan beberapa dalaman wanita yang tergantung di atas sofa. Jake menggeleng jijik sembari menggelengkan kepalanya, karena tak percaya jika apartemen yang ia sayangi ini tak ayal seperti tempat pembuangan sampah