“Papa tidak akan pergi,” tanya Dhira sambil menggenggam jari Evan.“Tidak, kamu jangan cemas. Sekarang tidur dulu,” jawab Evan mencoba meyakinkan.“Tapi kalau Dhira bobok, nanti Mama ngusir Papa lagi,” ucap Dhira yang tampaknya masih trauma melihat Renata mengusir Evan.Renata langsung melotot mendengar ucapan Dhira, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena Dhira dan Dharu melindungi Evan.Evan melirik ke Renata yang duduk di sofa, hingga kemudian mencoba kembali meyakinkan Dhira.“Tidak, meski Mama nanti ngusir, papa akan tetap di sini,” kata Evan meyakinkan.Dharu menpuk-nepuk tangan Dhira, kemudian berkata, “Sudah, percaya saja kalau Papa tidak akan pergi.”Dhira menoleh Dharu yang tidur di sampingnya, kemudian menoleh ke Evan. Dhira pun percaya dan akhirnya mencoba tidur.Renata masih diam karena kesal Evan mendapatkan Dhira dan Dharu, sedangkan Stef mulai cemas karena Evan sudah mengambil hati Dhira dan Dharu.“Kamu tidur di mana?” tanya Renata ke Stef.“Aku rencana akan tidur di
Renata duduk sendirian di kursi selasar panjang yang ada di koridor rumah sakit. Angin malam yang berembus dingin dan menusuk kulit pun tidak dihiraukannya. Dia tiba-tiba merasa takut dan kalut, kenapa Dharu tiba-tiba meminta semua itu, seolah Dharu akan pergi untuk selamanya.“Tidak, dia pasti akan baik-baik saja.”Renata menggelengkan kepala, mencoba menahan air matanya. Dia mencoba menyingkirkan pemikiran buruk, meski semua itu begitu sulit karena ketakutan akan penyakit yang diderita Dharu.“Ya Tuhan, jangan ambil Dharuku.” Renata mengusap kasar wajahnya.“Dharu pasti akan baik-baik saja.”Suara Evan mengejutkan Renata. Dia mengangkat wajah dan melihat Evan di sana. Renata pun buru-buru menghapus air mata yang sempat menetes.“Mau apa kamu di sini?” Renata bicara ketus karena masih kesal dengan Evan.Tanpa menjawab pertanyan Renata terlebih dahulu, Evan pun duduk di samping Renata, membuat wanita itu terkejut.Renata memalingkan wajah, berusaha tegar dan tidak ingin terlihat lemah
“Kenapa wajahmu kusut seperti itu, Ma?”Edward—ayah Evan, menatap sang istri yang terlihat kesal sambil menatap ponsel.“Sebenarnya Evan ke mana, Pa? Dia mendadak pergi dan sangat susah dihubungi,” ucap Margaret kesal. Dia sampai melempar ponsel ke kasur karena sudah beberapa kali mencoba menghubungi Evan, tapi tidak mendapat balasan dari putranya itu.Edward baru saja sampai rumah. Dia melonggarkan dasi sambil menatap sang istri yang kesal.“Kemarin sekretarisnya memberi laporan kalau Evan mengambil alih cabang yang ada di luar kota. Katanya Evan ingin di sana dan mengembangkan perusahaan di sana agar berkembang seperti di kota lain,” jawab Edward santai.“Apa?” Margaret malah sangat terkejut mendengar penjelasan Edward. “Apa maksudnya itu? Sudah bagus dia di sini, memimpin perusahaan besar, kenapa malah mengambil alih anak cabang?”Edward memandang sang istri, dahinya berkerut halus mendengar ucapan Margaret.“Memangnya kenapa? Bukankah Mama yang tahu betul, bagaimana sifat Evan? Bi
“Apa kamu menyukai Renata?”Evan langsung menoleh saat mendengar pertanyaan Stef. Ditatapnya sang adik sepupu yang berdiri di sampingnya. Evan sedang membeli makanan di kantin, hingga Stef ikut dengannya dan membuat Evan tidak bisa menolak.“Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu,” ujar Evan dengan santainya. Dia kini sedang menunggu pesanannya dibungkus.Stef kesal mendengar jawaban Evan, hingga menarik lengan sepupunya itu.“Kenapa sikapmu jadi dingin seperti ini? Apa benar karena kamu menyukai Renata dan menganggap aku ini sainganmu?” tanya Stef kesal.Evan menoleh Stef, sambil masih mempertahankan wajah datarnya.“Bukankah itu kamu? Kamu mendadak memperlihatkan ketidaksukaanmu kepadaku, begitu tahu aku ayah dari anak wanita yang kamu sukai. Apakah tidak terbalik? Bukankah kamu yang merasa kalau aku sainganmu.”Balasan dari Evan cukup menohok, membuat Stef gelagapan dan malah terjebak dengan ucapannya sendiri.Evan tampak santai karena tidak merasa dengan apa yang dituduhkan Stef. D
“Kami akan memberitahu begitu hasilnya keluar. Jika memang ada kecocokan dari salah satu sampel, maka kita bisa menjadwalkan untuk operasi, karena lebih cepat lebih baik, sebelum kondisi tubuh pasien semakin memburuk,” ujar dokter menjelaskan.Renata mengangguk paham, kemarinya saling meremas dan dalam hati berharap agar dia atau Evan bisa menyelamatkan Dharu.“Jika memang ada kecocokan di antara kami, apakah kalian bisa segera menjadwalkan operasinya? Semua biaya tidak perlu dipikirkan, saya yang akan menanggungnya,” ujar Evan. Dia tidak ingin menyiakan peluang yang ada.Dokter itu memulas senyum, kemudian berkata, “Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan pasien. Namun, kita pun perlu melakukan beberapa prosedur sebelum operasi dilakukan. Jadi saya harap kalian bisa memahami ini, kami ingin semuanya mendapatkan hasil yang terbaik.”Setelah bertemu dan berkonsultasi, Renata dan Evan pun berjalan bersama menuju ke kamar inap Dharu. Renata menoleh dan memandang Evan, pr
“Mama jangan peluk-peluk papanya Dhira!” Dhira berdiri sambil berkacak pinggang, melotot ke Renata dan Evan yang berada di lantai.Renata sangat terkejut, menatap Dhira yang menatap tajam ke arahnya, sebelum kemudian menurunkan pandangan dan memandang Evan yang ada di bawahnya. Dia syok dan langsung berdiri dengan cepat.“”Mama ga peluk, tadi mau jatuh dan malah menabrak papanya Dhira,” ucap Renata buru-buru menjelaskan.Evan sendiri menunggu Renata bangun dari atas tubuhnya, bahkan dia sempat berdeham karena merasa canggung dengan posisi mereka. Dia lantas bangun dan Dhira langsung menggandeng tangannya.“Ini papanya Dhira, pokoknya Mama dilarang peluk-peluk.” Dhira pun menggandeng Evan untuk masuk dan mengabaikan Renata.Renata melongo, bisa-bisanya dia sekarang yang dicuekin dan diabaikan oleh putrinya itu.**Dharu sudah diperbolehkan pulang, selama menunggu hasil tes lab keluar, Renata sudah diberi informasi untuk menjaga kesehatan termasuk menjaga tekanan darah dan gula, untuk p
“Biar aku yang melakukannya,” ucap Renata saat melihat Evan hendak mencuci piring.“Tidak usah. Aku tidak mau makan gratisan, jadi aku akan membayarnya dengan mencuci,” balas Evan mengabaikan larangan Renata.Evan sudah memakai celemek dan siap mencuci. Renata sendiri kembali sebal mendengar balasan dari Evan.“Apa kamu tidak bisa bicara yang sedikit mengenakkan. Siapa yang merasa kamu makan gratisan di sini, aku mengundangmu karena kita harus menjaga kesehatan. Atau jangan-jangan kamu sebenarnya tidak mau menjaga makanan, karena kamu takut jika kamu yang cocok!” tuduh Renata yang kesal. Dia bahkan sampai berkacak pinggang.Evan menoleh Renata, sekali lagi melihat wanita itu bertindak dan bicara kekanak-kanakan.“Apa kamu harus membahas itu di sini? Kamu mau mereka dengar?” Evan melotot ke Renata.Renata menoleh ke ruang tamu, melihat Dhira dan Dharu sedang bermain sambil menonton televisi.“Mereka tidak dengar,” sangkal Renata, “aku hanya heran dengan sikapmu yang selalu mengucapkan
“Papa sama Mama bertengkar lagi?” tanya Dhira sambil menatap Evan yang duduk di sampingnya.Dhira dan Dharu pergi tidur di tempat Evan. Keduanya kini berada di ranjang tapi belum tidur, mereka duduk di samping kanan dan kiri mengapit Evan.“Tidak, siapa yang bilang?” Evan menyangkal pertanyaan Dhira.“Tadi, Dhira lihat Mama kesal. Pasti bertengkar sama Papa,” kata Dhira.Evan menghela napas pelan, kemudian mencoba menjelaskan, “Bukan bertengkar Dhira. Terkadang antara dua orang dewasa, memiliki perbedaan pendapat dan itu wajar bagi kami. Nanti kalau Dhira dewasa, Dhira akan tahu sebab pastinya akan mengalaminya juga.”“Hmm … ga usah nuggu dewasa, Dhira sekarang juga suka berdebat. Tapi ga sampai ngusir Dharu, yakan Dharu?” Dhira membalasa ucapan Evan, kemudian meminta Dharu mengiakan.“Ya.” Dharu memilih mengiakan karena tahu jika dibantah maka Dhira akan mengajaknya berdebat.Evan pun memilih tidak menjelaskan lagi. Dia meminta Dhira dan Dharu untuk istirahat.“Sudah malam, kalian h