“Kenapa masuk basement?” tanya Renata keheranan.Stef tidak langsung menjawab pertanyaan Renata, memilih mencari tempat parkir di basement itu.“Evan mencemaskanmu bukan hanya soal keselamatan, tapi juga pekerjaan. Dia takut kamu tidak bisa mengatasinya, jadi aku akan menemanimu sampai Evan sembuh.” Stef membalas pertanyaan Renata sambil mematikan mesin mobil.Tentu saja Renata sangat terkejut dengan yang dikatakan Stef. Tidak menyangka jika Stef akan membantunya sampai seperti ini.“Terima kasih,” ucap Renata yang memang ragu jika bisa mengurus pekerjaan sendiri tanpa Evan.Stef menoleh Renata, ada senyum kecil di wajah, sebelum kemudian membalas, “Hanya kata terima kasih?”Renata terkejut mendengar balasan Stef, hingga kemudian bertanya, “Memangnya kamu mau apa lagi?”Tentu saja Renata bingung dan panik jika sampai Stef meminta sesuatu yang tidak bisa dia berikan.Stef lagi-lagi tersenyum, kemudian menjawab, “Ya, nanti beri aku komisi lebih, atau gaji aku sebagai tutor dan bodyguard
“Jika kamu mendekat, aku bunuh dia!” ancam pria itu yang menjadikan Renata sebagai jaminan.Stef terkejut melihat pria itu mendapatkan Renata, belum lagi pria itu membawa pisau yang disentuhkan di kulit Renata. Dia baru saja keluar dari pintu tangga darurat dan harus mendapati Renata yang dijadikan sandera.Renata memejamkan mata, begitu bodoh karena menganggap pria itu tidak bersenjata dan ingin meringkusnya sendiri. Bukannya menangkap pria itu, kini malah Renata yang ditangkap.“Turunkan pisau itu,” ucap Stef hati-hati, takut pria itu menyakiti Renata, apalagi mata pisau sudah menempel di leher wanita itu.Beberapa staf juga satpam pun panik melihat kejadian itu, mereka mencoba tenang agar pria itu tidak melukai Renata.“Kamu pikir aku bodoh! Memintaku menurunkan pisau, lalu kamu akan meringkusku? Kamu pikir aku ini idiot!” Pria itu mencekik leher Renata dengan lengan, berdiri di belakang Renata sambil menusuk sedikit leher wanita itu.Renata meringis merasakan perih ujung pisau itu
“Katakan, siapa yang menyuruhmu!” Stef bicara dengan penekanan, meski di sana ada polisi yang menangani kasus penyerangan itu.Pria yang hendak mencelakai Renata, memicing tajam ke Stef.“Aku tidak akan mengatakan apa pun kepadamu!” Sinis pria itu.“Tinggal katakan! Kamu pikir aku tidak bisa mencari tahu, siapa yang menyuruhmu!” Stef kembali bicara dengan nada membentak.“Kalau kamu bisa mencari tahu, untuk apa bertanya kepadaku.” Pria itu tersenyum miring seolah tidak takut dengan Stef.Stef geram dan ingin sekali menghajar pria itu, tapi polisi di sana mencegahnya.“Kami akan menyelidiki kasus ini, Anda serahkan kepada kami dan jangan main hakim sendiri,” ujar polisi mencegah Stef yang hendak memukul pria itu.Stef mengurai kepalan tangan, menatap tajam penuh dengan ancaman ke pria yang ingin mencelakai Renata. Dia mencoba mengontrol emosi karena berada di kantor polisi.“Tolong segera kabari begitu ada perkembangan,” ucap Stef ke polisi.Polisi itu mengangguk. Stef melirik tajam ke
Renata sangat terkejut mendengar tuduhan Evan, tapi meski begitu tidak langsung marah, sebab tahu jika suaminya curiga karena memang takut kehilangannya.Renata pun menghela napas kasar, lantas duduk di tepian ranjang sambil menatap begitu dalam ke Evan.Tentu saja Evan malah salah tingkah ditatap Renata seperti itu, semakin merasa aneh tapi juga berusaha untuk tidak emosi berlebih.“Apa? Kamu harus menjelaskan sesuatu kepadaku,” ucap Evan menurunkan nada bicaranya.“Kamu ini terkadang seperti anak kecil, kadang aku tidak yakin kalau umurmu sudah tiga puluhan tahun,” ledek Renata menanggapi kecurigaan Evan.Tentu saja apa yang dikatakan Renata, membuat Evan membulatkan bola mata lebar.“Aku akan memberitahumu, tapi janji jangan bereaksi berlebih,” ucap Renata terlebih dahulu untuk memegang kendali.“Jika ini masalah hubungan kita, wajar jika aku beraksi berlebih,” balas Evan tanpa mau berjanji terlebih dahulu.Renata membuang napas kasar, kemudian melepas ikatan scarf di leher. Evan s
“Demi keselamatanmu, lebih baik kamu tidak usah pergi ke perusahaan untuk sementara waktu. Kamu bisa mengerjakannya tanpa masuk kantor. Oma tidak mau jika sampai suatu hal menimpamu lagi.”Veronica memberi keputusan tegas demi keselamatan cucunya.Renata terkejut mendengar keputusan Veronia.“Oma, kalau aku tidak ke kantor, lalu bagaimana nanti tanggapan para petinggi tentangku atau Oma, mereka pasti akan berpikir jika aku tidak kompeten, serta menganggap jika keputusan Oma salah dengan memilihku,” ujar Renata cemas jika tidak hadir di perusahaan, akan mempengaruhi kondisi di perusahaan.Veronica mengulas senyum, hingga kemudian menepuk dan mengelus punggung tangan Renata.“Kamu tenang saja, urusan itu serahkan ke oma. Yang terpenting sekarang keselamatan kamu dan Evan, tidak usah terlalu memikirkan penilaian orang, cukup perlihatkan prestasimu, soal proses biar dirimu sendiri saja yang tahu,” ujar Veronica menasihati karena tahu jika Renata memang terlalu memikirkan perasaan orang la
Veronica menatap Adam, mengamati wajah bocah kecil itu yang ternyata memang sangat mirip Kevin ketika masih kecil.“Kamu mau tinggal di sini? Kalau mau, aku bisa memberimu banyak cokelat dan makanan yang kamu inginkan,” ucap Veronica ke Adam.Adam menatap Veronica, bocah berumur dua tahun itu memandang dengan mulut penuh cokelat, hingga kemudian menganggukkan kepala tanda setuju.Veronica tersenyum tipis melihat anggukan kepala Adam. Bocah itu sangat senang dengan makanan manis itu, membuat Veronica bertanya-tanya, apakah Adam selama ini tidak mendapat kehidupan yang layak.Meski Veronica berpikiran demikian, tapi ketika mengingat ucapan Zahra, membuatnya menepis pikiran negatif itu. Zahra berkata jika Kevin sering mendatangi Adam tanpa sepengetahuan Sandra, memberi pakaian baru, mainan, juga makanan enak. Kini banyak sekali pertanyaan di kepala Veronica setelah mendengar cerita Zahra.“Adam mau tidur sama oma?” tanya Veronica kemudian.Veronica tahu jika Kevin sangat kejam, tapi Adam
“Evan! Kenapa kamu tidak menjawab! Mama mau melakukan panggilan video!” bentak Margaret yang begitu emosi, terdengar meledak dari seberang panggilan.“Iya, bentar. Aku pakai baju dulu.” Evan buru-buru meletakkan ponsel di kasur, lantas meminta Renata untuk memberikan piyamanya.Renata pun ikut bingung karena Evan panik, apalagi sempat mendengar suara Margaret yang begitu keras.Evan mengambil ponsel yang tadi diletakkan, lantas menyalakan kameranya.“Kamu benar-benar di rumah sakit! Jadi kamu bohongi mama jika baik-baik saja!” Suara Margaret menggelegar setelah melihat Evan benar-benar ada di rumah sakit.Evan sampai meringis melihat sang mama marah. Renata sendiri ikut panik karena Margaret memang mengerikan saat marah.“Ma, dengarkan penjelasanku dulu,” ucap Evan mencoba menenangkan sang mama.“Jelaskan! Jelaskan pada mama, bagaimana bisa kamu mengalami kecelakaan sampai masuk berita, tapi tidak memberitahu mama atau Papa!” amuk Margaret geram karena sedih melihat putranya terluka.
Renata berjalan di koridor rumah sakit sambil menenteng plastik berisi makanan yang baru saja dibelinya. Saat baru saja akan sampai di ruang inap Evan, dia menyipitkan mata melihat seorang pria sedang mengintai di depan pintu.Renata pun mendekat, hingga langsung melontarkan pertanyaan yang membuat pria itu terkejut.“Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Renata mengulang pertanyaan, sebab pria itu tidak menjawab.“Oh, saya sedang mencari kamar inap milik kakak saya, namanya Herman. Apa benar ini kamarnya?” tanya pria itu asal-asalan karena takut ketahuan.Renata membentuk huruf O dengan bibir, sebelum kemudian menjawab, “Bukan, ini kamar inap suami saya dan dia bukan bernama Herman.”Pria suruhan Damar itu mengangguk-anggukan kepala, lantas pergi dan berpura-pura mengecek kamar lain.Renata masih memperhatikan pria itu, hingga saat sudah jauh, dia pun masuk ke kamar.Evan melihat istrinya datang, lantas melontarkan pertanyaan.“Kamu bicara dengan siapa? Aku mendengarmu bicara dengan