“Saya ingin tahu, siapa yang check in kamar 221?” tanya Evan sambil mengembalikan kunci kamar ke resepsionis.
“Maaf, kami tidak bisa memberikan data tamu ke Anda. Meskipun Anda yang mengembalikan kunci kamarnya,” jawab respsionis itu dengan senyum ramah.
Evan memberikan tatapan dingin begitu mendengar jawaban respsionis, seolah dalam tatapan itu melontarkan sebuah pertanyaan 'apa maksudmu?', bahkan dia sampai mengepalkan telapak tangan karena geram sebab pihak hotel merahasiakan nama wanita yang tidak sengaja tidur dengannya.
“Apa kamu tahu kalau ini sangat penting. Berikan informasi tentang orang yang memesan kamar ini!” perintah Evan dengan nada paksaan.
Resepsionis itu mengulas senyum, hingga kemudian kembali berkata, “Maaf, saya hanya menjalankan prosedur hotel. Jadi mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa memberikan informasi yang Anda minta.”
Evan benar-benar geram. Dia bertekad menemukan wanita yang ditidurinya karena takut jika wanita itu memanfaatkan dirinya saja. Hingga Evan teringat akan pelayan hotel yang sudah berbohong kepadanya semalam dan memberikan kamar yan seharusnya tidak didatangi.
"Pihak hotel ini sudah merugikan saya. Apa kalian ingin saya menuntut!" Evan berusaha menekan, karena baginya mendapat informasi tentang wanita yang ditidurinya lebih penting.
"Minta respsionis yang semalam berjaga, untuk menemui saya!" Evan kembali bicara dengan sedikit penekanan agar mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan dia sampai mengetuk meja, menunjukkan kalau dia tidak sabar menanti.
"Mohon maaf, tapi kami tidak mendapati indikasi kekerasan di sini, serta tamu yang memesan kamar itu pun tidak melakukan komplain, jadi kami tidak bisa membantu," ujar resepsionis itu penuh kesabaran, meski dalam hatinya ingin mengumpat karena Evan terus bicara dengan keras.
"Untuk staff yang berjaga semalam. Anda bisa datang kembali nanti malam, untuk menanyakan masalah yang Anda alami saat ini," ucap resepsionis dengan ramah. "Staff hotel sudah melakukan pekerjaan sesuai prosedur, jadi kami tidak bisa membantu banyak untuk keluhan Anda."
Evan geram, hingga kemudian pergi meninggalkan meja resepsionis tanpa kata, lantas keluar dari hotel dengan rasa kesal yang bercokol di dada. Saat baru saja keluar dari hotel, ponselnya berdering dan nama sepupunya terpampang di sana.
“Aku dengar kamu ada urusan bisnis di sini, kenapa tidak mampir ke rumah?” Suara seorang pria terdengar dari seberang panggilan.
Evan terlihat berpikir. Dia tidak mungkin melepas masalah semalam begitu saja, karena cemas jika jebakan semalam hanya untuk menjatuhkannya. Hingga dia pun berpikir untuk menginap beberapa hari di sana sambil menyelidiki apa yang terjadi.
“Ya, aku ada urusan bisnis di sini. Katakan pada paman dan bibi, aku akan mampir ke sana,” ucap Evan kemudian, sebelum akhirnya mengakhiri panggilan itu.
**
“Kenapa kamu terus menatap ponsel?” tanya Stef—sepupu jauh Evan.
Evan sedang menunggu kabar dari Albert—asistennya, tapi sampai saat ini sang asisten belum juga menghubunginya lagi. Evan pun menatap Stef yang sudah memandang dirinya, kemudian mendengkus kasar dan meletakan ponsel di meja.
“Menunggu informasi dari asistenku,” jawab Evan dengan ekspresi wajah kesal.
“Semalam kamu menginap di mana? Kenapa tidak langsung mampir ke sini?” tanya Stef lagi. Pemuda berumur dua puluh tiga tahun itu mengambil camilan di piring dan memasukkan ke mulut dengan tatapan terus tertuju ke Evan.
Evan menghela napas kasar, dia tidak mungkin mengatakan ke Stef jika sudah meniduri seorang gadis perawan, hingga Evan pun hanya menjawab, “Queen Hotel.”
“Benarkah?” Stef langsung menegakkan badan mendengar jawaban Evan, hingga dia buru-buru mengunyah makanan di mulut, sebelum kemudian berkata, “Semalam aku mengadakan pesta kelulusan di sana.”
Evan kini yang terkejut dan menatap Stef dengan rasa tidak percaya. “Pesta di sana?”
“Ya, kami menyewa ballroom di sana untuk pesta. Kalau saja tahu kamu di sana, sudah pasti aku akan mengajakmu juga,” ucap Stef kemudian.
Evan terlihat berpikir, mungkinkah wanita yang ditidurinya adalah teman Stef, tapi rasanya itu aneh dan tidak mungkin. Mana mungkin teman Stef menginap di hotel.
Saat Evan sedang berpikir, ponsel milik Stef berdering. Evan melihat sepupunya itu langsung menjawab panggilan itu. Evan pun memilih untuk menikmati secangkir kopi yang disediakan. Dia dan Stef duduk di teras rumah.
“Ya, Re. Kamu di depan gerbang? Oke, aku ke sana sebentar.” Stef memandang ke arah gerbang, memastikan orang yang menghubunginya benar-benar ada di depan gerbang.
“Ada apa?” tanya Evan saat melihat Stef berdiri.
“Temanku datang, aku akan menemuinya sebentar,” jawab Stef yang kemudian buru-buru berdiri dan pergi ke arah gerbang.
Evan sendiri hanya mengangguk dan kembali menikmati kopinya. Dia lantas menoleh ke arah Stef pergi dan melihat seorang gadis berdiri di depan gerbang. Evan memperhatikan punggung gadis berambut panjang itu, dahinya berkerut karena merasa seperti pernah melihat.
Stef sendiri buru-buru menghampiri temannya yang tidak lain adalah Renata. Wanita itu kini menunggu Stef datang sambil sesekali menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan.
“Re!” panggil Stef kemudian membuka gerbang.
Renata menoleh dan melotot, sebelum kemudian menghujani Stef dengan pukulan bertubi.
“Re, ampun! Ya Tuhan, kamu datang hanya buat mukulin aku!” Stef pun berusaha menghindari pukulan Renata.
“Kamu sih! Gara-gara kamu, semalam aku mabuk berat dan terkena cibiran pamanku lagi!” amuk Renata yang baru saja berhenti memukul.
“Maaf, aku tidak berniat begitu.” Stef pun merasa bersalah. Dia tahu bagaimana paman Renata yang sangat membenci sahabatnya itu.
Renata memandang ke rumah Stef, melihat Evan yang duduk dan ternyata juga memperhatikan ke arahnya.
“Kamu sedang ada tamu?” tanya Renata.
Stef menoleh ke arah Evan, hingga kemudian mengangguk dan menjawab, “Ya, itu sepupuku dari luar kota. Dia di sini untuk urusan bisnis beberapa hari.”
Renata mengangguk-angguk paham, hingga kemudian berkata, “Ya sudah kalau begitu, aku tidak akan mengganggu.”
“Memangnya ada apa? Kamu butuh teman curhat?” tanya Stef yang melihat kegelisahan dalam tatapan Renata.
Renata mencoba tersenyum, kemudian menggelengkan kepala.
“Nggak juga, hanya ingin bertemu denganmu. Mungkin next time, aku akan menghubungimu lagi saat kamu sudah ada waktu,” ucap Renata yang kemudian berpamitan untuk pergi.
“Re, yakin kamu tidak mau curhat?” tanya Stef sambil menahan tangan Renata. Stef tahu jika Renata sampai mendatangi rumahnya, pasti ada masalah besar yang sedang dihadapi.
“Ga kok, santai aja. Ntar aku calling kamu, ya.” Renata membuat gerakan menelepon dengan jarinya, masih mempertahankan senyum, sebelum kemudian pergi meninggalkan Stef.
Evan terus memperhatikan Renata, merasa tidak asing tapi lupa di mana melihat wanita itu. Dia pun masih memperhatikan Renata yang sedang bicara dengan Stef, sebelum kemudian ponselnya berdering dan nama Albert terpampang di sana. Evan pun menjawab panggilan itu, tepat saat Renata berpamitan pergi.
“Halo, bagaimana?” tanya Evan begitu menjawab panggilan itu.
“Saya sudah mengecek jadwal perjalanan bisnis dan siapa saja yang dihubunginya, tapi semuanya tidak ada yang mengarah ke jadwal perjalanan Anda,” ucap Albert dari seberang panggilan.
Evan terdiam, dia mencurigai satu nama yang mungkin menjebaknya, tapi tidak menemukan bukti untuk menuduhnya.
“Terus minta orang untuk memantaunya. Aku benar-benar yakin jika itu dia.”
Setelah mengakhiri panggilan itu, Stef datang menghampiri setelah bicara dengan Renata.
“Kenapa temanmu tidak masuk?” tanya Evan penasaran.
“Oh, sepertinya dia sedang ada masalah. Dia mau bicara denganku, tapi tidak enak karena ada kamu. Jadi dia memilih pergi dan akan menemuiku lagi nanti,” jawab Stef.
Evan kembali menoleh ke arah gerbang, masih penasaran karena merasa pernah melihat Renata.
“Ada apa?” tanya Stef ketika melihat Evan yang terlihat berpikir.
“Tidak ada.”
Evan pergi ke Queen Hotel untuk kembali bertemu dengan resepsionis yang semalam memberinya kunci kamar lain, sehingga dia terjebak dan akhirnya tidur dengan wanita yang tidak dikenalnya.“Aku ingin bertemu dengan staff yang berjaga di sini tadi malam,” kata Evan ke staff yang berjaga di bagian penerima tamu.Staff itu malah terlihat bingung, menoleh dan terlihat berbisik dengan staff lain, membuat Evan memicingkan mata karena tidak senang dengan sikap resepsionis itu.“Jika ada masalah, bisakah kamu mengatakan langsung dan jangan berbisik di depan tamu!” bentak Evan yang geram. Dia sudah cukup bersabar menunggu sampai sore agar bisa bertemu staff itu, tapi sekarang malah harus melihat sikap staff lain yang sangat tidak mengenakkan.Staff itu meminta maaf, kemudian dengan hati-hati bicara. “Maaf atas ketidaknyamanan yang Anda rasakan. Staff yang Anda maksud dan berjaga di sini semalam, tadi pagi ditemukan tewas di rumahnya karena bunuh diri.”Tentu saja hal itu membuat Evan sangat terk
“Tidak ada gelagat mencurigakan. Dia benar-benar melakukan pekerjaan dan kegiatan seperti biasanya, Pak.”Sudah beberapa hari semenjak kejadian yang menimpa Evan. Dia pun tidak mendapatkan bukti kejahatan orang yang dicurigainya, serta tidak menemukan wanita panggilan yang menjebaknya. Semua ini membuat Evan benar-benar cemas.Evan terlihat berpikir mendengar laporan dari asistennya. Dia menyangga dagu dengan kepalan tangan, sedangkan siku bertumpu di meja.“Apa kamu sudah memastikannya? Bagaimana dengan asistennya atau orang yang dekat dengannya? Apakah kamu sudah memantaunya semua?” tanya Evan merasa tidak puas dengan laporan Albert, jangan sampai dia lengah dan memberikan celah untuk musuhnya menyerang.“Saya sudah memastikan semua, Pak. Saya bahkan meminta orang untuk terus mengawasi, tapi apa yang dilakukan tidak ada yang mencurigakan,” ujar Albert meyakinkan jika laporannya tidak salah.Evan kembali berpikir. Dia benar-benar buntu dan tidak mendapatkan titik terang sama sekali,
“Ga, ini ga mungkin.”Renata menyugar rambut bagian depannya sambil diremas, sedangkan satu tangan memegang sebuah alat tes kehamilan di tangan.Renata merasa ada yang aneh dengan tubuhnya beberapa hari ini. Dia bahkan baru ingat jika belum datang bulan dan membuatnya panik ketika ingat kejadian sebulan lalu. Kini ketakutan Renata terbukti, saat melihat dua garis merah di tangan.“Ga, ini ga mungkin! Ini ga mungkin terjadi!” Renata melempas testpack dengan garis dua itu ke tempat sampah, dia tidak bisa menerima kenyataan jika sedang hamil.Renata meremas perutnya, masih banyak impian yang ingin digapai saat ini. Renata tidak mau hamil, apalagi hamil di luar nikah. Namun, sekuat apa pun dia berusaha memungkiri, tapi jika takdir sudah berkata, Renata tidak bisa mengubahnya.**Evan seharian tidak fokus bekerja, membuat pria itu memilih pulang dan istirahat di apartemen. Dia terus saja merasa mual dan pusing, meski sudah meminum obat yang diresepkan Max.“Kalau sakit ke rumah sakit, kena
“Sangat menggemaskan.” Renata menatap bayi yang baru saja lahir dan kini berada di ruang perawatan bayi. Beberapa bayi di sana terlihat masih memejamkan mata dan begitu lucu. Dia memegangi perut dan kemudian berpikir keras akan keputusan yang akan diambilnya. Renata memejamkan mata, mengingat momen saat melihat bayi di rumah sakit membuatnya mengambil keputusan yang begitu mencengangkan. Saat ke rumah sakit untuk konsultasi tentang prosedur pengguguran, Renata malah urung melakukan niatnya saat melihat bayi-bayi tidak berdosa yang tidur dengan lelap dan sangat damai. Hingga pada akhirnya, ketika Veronica memberinya sebuah pilihan, Renata memilih mempertahankan janin di rahimnya, karena dia tidak mau menggugurkannya. Sudah cukup dosanya tidur dengan pria yang tidak dikenal, Renata tidak mau menambah dosa dengan membunuh bayi di rahimnya. Kini dia berdiri menatap pematang sawah yang luas, kemudian melirik biola yang ditenteng di tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang perut. “M
“Penampilanmu selalu luar biasa.”Evan menyodorkan buket bunga mawar sambil memuji wanita yang kini berdiri di hadapannya.“Kamu memuji atau merayu? Padahal tidak selalu datang di konser yang aku ikuti, tapi kamu bisa menyimpulkan kalau penampilanku selalu luar biasa. Kamu pembual,” balas Kasih—sahabat dan wanita yang disukai Evan. Dia tertawa kecil setelah berhasil meledek sahabatnya itu.Evan menggeleng kepala dengan seulas senyum di wajah, hingga mendengar Kasih kembali bicara.“Oh ya, aku pernah cerita kalau kenal dan dekat dengan wanita luar biasa, bukan?” Kasih mengingat akan sesuatu yang pernah diceritakan.“Ya, kenapa?” tanya Evan keheranan.“Ayo, aku kenalkan dengannya. Konser kali ini dia diundang untuk tampil, dia ini wanita yang bagiku sangat luar biasa. Bahkan lebih luar biasa dariku,” ucap Kasih bicara dengan nada berlebihan.Evan tidak banyak tanya dan memilih untuk mengikuti Kasih yang mengajaknya bertemu dengan wanita itu. Kasih adalah wanita yang hendak ditemuinya tu
“Dhira kembali manggil pria asing sebagai papa, Ma.” Dharu mengadukan tingkah adiknya itu ke sang mama yang baru saja masuk ke kamar hotel. Andharu Candrama dan Andhira Candrama adalah anak kembar Renata, anak yang Renata pertahankan tujuh tahun lalu. Renata yang awalnya ingin mengugurkan, malah begitu bahagia karena sudah diberi anugerah anak kembar untuk menemani kesepiannya. Renata langsung menatap Dhira yang berdiri di belakang sofa, mengintip dari sana dengan bibir terlipat. “Dhira hanya main, siapa tahu dapat Papa.” Gadis kecil itu membela diri karena diadukan oleh sang kakak. Renata menghela napas kasar. Ini bukanlah pertama kali Dhira meminta pria asing menjadi papanya, atau berkata kalau pria asing itu papanya. Dharu berpikiran lebih dewasa daripada Dhira, dia mengambil kotak biola dari sang mama, membawanya ke dekat koper, kemudian mendekat ke arah sang mama yang sudah menghampiri Dhira terlebih dahulu. “Bukankah mama sudah bilang agar jangan memanggil pria asing dengan
Evan duduk di sofa kamar hotel yang ditempatinya. Dia menggigit pelan kepalan tangan, sambil memikirkan Renata. Semua yang didengarnya dari Kasih, seketika membuat Evan gelisah dan tidak bisa tenang.“Bisa saja setelah malam itu dia menikah, lalu punya anak dan kemudian berpisah karena sakit hati, hingga membuatnya tidak mau menceritakan tentang mantan suami ke orang lain.”Evan menolak pemikiran kalau Renata melahirkan anak darinya, dia terus mengelak dan berusaha meyakinkan jika semua yang terjadi adalah hal yang sangat kebetulan.Namun, saat ingat ucapan Kasih tentang kemiripian Dharu dan dirinya, membuat Evan kembali gelisah, apalagi dia juga merasa kalau Dharu memang mirip dengannya saat masih kecil, sehingga saat pertama kali dia melihat Dharu, Evan merasa melihat dirinya saat masih kecil.“Sialan!” Evan memukul sofa karena geram karena pemikiran yang pro dan kontra di kepalanya saat ini.Dia kembali menggigit kepalan tangan, sampai kemudian mengingat kejadian malam itu. Kejadia
“Boleh Dhira makan cake strawbery pagi ini?”“Pagi-pagi jangan makan cake, nanti gemuk.”Dhira mengerucutkan bibir karena apa yang diinginkan, dibantah oleh Dharu, membuat kedua saudara kembar itu saling debat.Renata menggeleng kepala pelan sambil tersenyum mendengar perdebatan anaknya itu, sudah biasa dan kebal jika keduanya bertengkar karena selisih paham.“Aku minta sama Mama, bukan sama kamu. Mama boleh, ya!” rengek Dhira sambil menarik tangan Renata yang menggenggam telapak tangannya.“Jangan kasih, Ma. Lihat giginya sudah habis, pipinya makin chubby. Begitu bilangnya mau seperti idol. Apanya? Tidak mirip,” celetuk Dharu masih mencoba menghalangi Dhira makan kue.“Dharu jelek, nakal. Dhira ga suka!” Dhira merajuk karena terus dicegah Dharu.“Biarin saja, siapa bilang aku jelek. Mama selalu bilang, ‘Anak mama yang tampan.’ Nah, berarti aku tampan,” elak Dharu menirukan Renata saat sedang memujinya.Dhira memayunkan bibir, hingga terlihat kesal dan membuang muka karena Dharu terus
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan