“Boleh Dhira makan cake strawbery pagi ini?”“Pagi-pagi jangan makan cake, nanti gemuk.”Dhira mengerucutkan bibir karena apa yang diinginkan, dibantah oleh Dharu, membuat kedua saudara kembar itu saling debat.Renata menggeleng kepala pelan sambil tersenyum mendengar perdebatan anaknya itu, sudah biasa dan kebal jika keduanya bertengkar karena selisih paham.“Aku minta sama Mama, bukan sama kamu. Mama boleh, ya!” rengek Dhira sambil menarik tangan Renata yang menggenggam telapak tangannya.“Jangan kasih, Ma. Lihat giginya sudah habis, pipinya makin chubby. Begitu bilangnya mau seperti idol. Apanya? Tidak mirip,” celetuk Dharu masih mencoba menghalangi Dhira makan kue.“Dharu jelek, nakal. Dhira ga suka!” Dhira merajuk karena terus dicegah Dharu.“Biarin saja, siapa bilang aku jelek. Mama selalu bilang, ‘Anak mama yang tampan.’ Nah, berarti aku tampan,” elak Dharu menirukan Renata saat sedang memujinya.Dhira memayunkan bibir, hingga terlihat kesal dan membuang muka karena Dharu terus
[Selama ini dia tinggal di sebuah pedesaan. Hamil, melahirkan, dan membesarkan anak kembarnya sampai usia dua tahun, kemudian pindah ke kota dan bekerja sebagai guru les biola di sekolah swasta. Saat anak-anaknya berumur lima tahun, dia bisa mendirikan sekolah musik sendiri, meski tempat yang digunakan masih kontrak, serta dia juga mulai ikut audisi untuk bisa bermain dengan grup orkestra luar negeri. Jadi kesimpulannya, selama tujuh tahun ini, dia tidak ada jejak menikah atau dekat dengan pria. Dan, tanpa saya sebutkan, Anda pasti bisa menebak.] Evan terdiam membaca pesan dari Albert, hingga kemudian membuka file yang dikirimkan bersama pesan itu, hingga melihat dengan jelas jika di Akta lahir juga kartu keluarga, tidak ada nama ayah Dhira dan Dharu. Dia mencengkram erat ponsel itu, lantas menoleh ke arah Renata yang terduduk lemas menunggu dokter selesai menangani Dhira. Renata menunduk sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dia sedang merutuki kebodohannya karena tidak
“Jika ingin menangis, menangis saja. Tidak usah ditahan.” “Aku tidak mau nangis. Aku cowok, jadi harus kuat. Nangis hanya buat anak cewek.” Evan mengajak Dharu ke kantin atas keinginannya karena bocah itu belum makan sama sekali, sedangkan Renata berada di ruang inap menjaga Dhira yang sedang tidur. Dharu memalingkan wajah saat Evan memintanya menangis, dia tidak suka memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain, meski sebenarnya memang ingin menangis sebab tidak tega melihat Dhira. “Kamu tahu sesuatu? Bahkan pria dewasa pun menangis jika sedih, lalu apa ada alasan untuk anak sekecil dirimu tidak mau menangis dan harus bersikap kuat? Tidak semua orang bisa terus bersikap kuat, adakalanya merasa lemah dan menangis itu perlu,” ujar Evan menjelaskan. Evan tidak tahu apa yang sudah dialami Dharu, sehingga anak kecil itu bersikap layaknya orang dewasa. Dharu sendiri selalu merasa jika perlu bertanggung jawab ke ibu dan adiknya, sebab dia pria di
“Terima kasih karena sudah mau menolong dan mengajak Dharu makan. Aku pasti akan membalas kebaikanmu,” ucap Renata, saat Evan kembali ke kamar inap Dhira.“Tidak perlu berterima kasih,” ucap Evan dengan ekspresi datar.Renata melipat bibir, penilaiannya akan pria itu sepertinya benar karena Evan memang dingin dan kurang ramah, meski begitu Renata juga berpikir kalau Evan memiliki sisi baik.“Apa--”“Jika--”Evan dan Renata bicara bersamaan, tapi keduanya terdiam bersamaan pula.“Apa yang mau kamu katakan. Katakan dulu,” ucap Evan memberi kesempatan Renata untuk bicara lebih dulu.Renata mengangguk, kemudian berkata, “Jika kamu mau pulang, tidak masalah. Maaf sudah merepotkan. Aku tadi tanya ke ruang perawat, katanya kamu sudah membayar setengah biaya rumah sakit Dhira. Boleh aku minta nomor rekeningmu, untuk mengganti biaya yang sudah kamu bayarkan?”&ldquo
“Aku sangat terkejut mengetahui kamu membantu Renata, bahkan sampai ikut menjaga di sana. Kupikir kamu tidak menyukainya, apalagi semalam kamu terlihat tak acuh sama sekali.” Kasih memperhatikan Evan. Keduanya pergi keluar untuk bicara, karena Evan masih tidak nyaman jika membahas banyak hal di depan Renata. “Aku hanya kasihan, apalagi dia menjaga dua anak,” balas Evan tanpa ekspresi. Kasih mengangguk-angguk, kemudian berkata, “Syukurlah kamu kasihan, setidaknya kamu memiliki rasa peduli dengan orang lain.” Evan langsung melotot mendengar ledekan Kasih, hingga kemudian mencebik kesal. “Oh ya, apa Dean sudah menghubungimu?” tanya Kasih kemudian. Evan langsung memandang Kasih begitu menyebut nama Dean—sepupu Evan. Dean dan Evan pernah menyukai Kasih secara bersamaan, tapi Evan memilih mengalah sebab tahu jika Kasih lebih menyukai Dean. “Belum, ada apa?” tanya Evan kemudian. Kasih tersenyum lebar mendengar pertanyaan Evan, hingga kemudian menjawab, “Padahal minggu depan dia akan m
“Kapan Dhira boleh pulang? Dhira kangen rumah, kangen sekolah,” kata Dhira saat Renata sedang menyuapinya.“Nanti, kalau Pak Dokter sudah bilang kalau Dhira boleh pulang, maka kita bisa pulang ke rumah,” balas Renata, kemudian menyuapi Dhira.“Hm … apa masih lama?” tanya Dhira lagi. Dia membuka mulut dan membiarkan sang mama menyuapi.“Entah, mama juga belum tahu,” balas Renata.Dhira terlihat berpikir, hingga kemudian kembali berkata setelah selesai menelan makanan yang ada di mulut.“Ga apa-apa, deh. Asal ada Papa tampan, Dhira ga papa dirawat terus,” ujar bocah itu.Renata terkesiap dan menatap Dhira dengan perasaan heran, sebelum kemudian menoleh ke arah sofa, di mana Evan ada di sana dan kini menatap Renata juga sebab mendengar ucapan Dhira.Dharu juga heran, kenapa Dhira masih saja terus memanggil Evan dengan sebutan papa, yang bagi Dharu tidak sopan karena takut Evan tidak berkenan.“Dhira, ga sopan manggil orang lain dengan sebutan papa,” ujar Dharu menasihati.Dhira memayunka
Lantas sekarang harus bagaimana? Evan yang penasaran sejak awal karena pertemuannya dengan Renata, hingga mengetahui hadirnya kedua anak kembar wanita itu. Andai dia mengabaikan dan tidak menaruh rasa penasaran, mungkin sekarang dia tidak akan sebimbang ini. Setelah dia tahu jika Renata melahirkan anaknya, Evan harus bagaimana? Menikahi? Mengakui kesalahannya? Atau mengambil anak kembar itu? Tapi untuk apa dia mengambil, lagi pula dia tidak butuh atau dikejar-kejar untuk cepat mendapatkan anak. Sungguh semua ini membuat Evan frustasi. “Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sekarang aku bingung sendiri?” Evan menyugar rambut ke belakang, lantas menatap kertas hasil lab di tangan. “Kamu kenapa?” Suara Renata mengejutkan Evan, hingga dia buru-buru menyembunyikan amplop berisi hasil tes DNA. Renata sendiri keluar dari kamar Dhira karena putrinya itu merengek ingin makan es krim. Dia tidak kuasa menolak, apalagi Dhira sampai menangis. Evan terlihat gelagapan, tangan yang memegang amplop
“Papa!”Dhira berlari begitu kencang, hingga tas yang tersemat di punggung bergoyang ke kanan dan kiri. Dhira sudah keluar rumah sakit dari dua hari lalu dan hari ini dia akan pulang ke kotanya bersama sang mama dan kakak.Evan sendiri sengaja belum pulang, karena menunggu Renata mengajak anak-anak pulang. Dia dan Renata saling diam akibat perdebatan di rumah sakit tempo hari.Begitu tahu kalau Renata akan pulang hari itu, Evan pun melakukan hal yang sama, hingga sekarang mereka bertemu di lobi dan Dhira langsung menghampiri.“Papa akan pulang bareng kami?” tanya Dhira saat sudah sampai di depan Evan, ditatapnya sang papa yang tinggi hingga dia harus mendongak.Dharu menatap dengan ekspresi wajah datar ke Evan, dia tetap berdiri di samping Renata.Evan memandang ke arah Renata dan Dharu, sebelum kemudian menggandeng tangan Dhira dan satu tangan menarik koper. Dia mengajak Dhira berjalan menuju ke Renata.“Kalian mau pulang sekarang, ‘kan? Kebetulan aku juga. Aku sudah menyewa mobil un
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan