Lantas sekarang harus bagaimana? Evan yang penasaran sejak awal karena pertemuannya dengan Renata, hingga mengetahui hadirnya kedua anak kembar wanita itu. Andai dia mengabaikan dan tidak menaruh rasa penasaran, mungkin sekarang dia tidak akan sebimbang ini. Setelah dia tahu jika Renata melahirkan anaknya, Evan harus bagaimana? Menikahi? Mengakui kesalahannya? Atau mengambil anak kembar itu? Tapi untuk apa dia mengambil, lagi pula dia tidak butuh atau dikejar-kejar untuk cepat mendapatkan anak. Sungguh semua ini membuat Evan frustasi. “Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sekarang aku bingung sendiri?” Evan menyugar rambut ke belakang, lantas menatap kertas hasil lab di tangan. “Kamu kenapa?” Suara Renata mengejutkan Evan, hingga dia buru-buru menyembunyikan amplop berisi hasil tes DNA. Renata sendiri keluar dari kamar Dhira karena putrinya itu merengek ingin makan es krim. Dia tidak kuasa menolak, apalagi Dhira sampai menangis. Evan terlihat gelagapan, tangan yang memegang amplop
“Papa!”Dhira berlari begitu kencang, hingga tas yang tersemat di punggung bergoyang ke kanan dan kiri. Dhira sudah keluar rumah sakit dari dua hari lalu dan hari ini dia akan pulang ke kotanya bersama sang mama dan kakak.Evan sendiri sengaja belum pulang, karena menunggu Renata mengajak anak-anak pulang. Dia dan Renata saling diam akibat perdebatan di rumah sakit tempo hari.Begitu tahu kalau Renata akan pulang hari itu, Evan pun melakukan hal yang sama, hingga sekarang mereka bertemu di lobi dan Dhira langsung menghampiri.“Papa akan pulang bareng kami?” tanya Dhira saat sudah sampai di depan Evan, ditatapnya sang papa yang tinggi hingga dia harus mendongak.Dharu menatap dengan ekspresi wajah datar ke Evan, dia tetap berdiri di samping Renata.Evan memandang ke arah Renata dan Dharu, sebelum kemudian menggandeng tangan Dhira dan satu tangan menarik koper. Dia mengajak Dhira berjalan menuju ke Renata.“Kalian mau pulang sekarang, ‘kan? Kebetulan aku juga. Aku sudah menyewa mobil un
“Apa di sana ada kendala? Kenapa kepulanganmu sampai diulur begitu lama?”Max menatap Evan yang mengajaknya bertemu setelah dokter muda itu selesai praktek. Keduanya kini duduk di kafe bersama, memesan secangkir kopi sambil menikmati sore yang lumayan indah.“Tidak ada kendala, hanya saja ….” Evan menjeda ucapannya, kemudian melirik Max yang sedang menyesap kopi. “Apa aku lebih baik bercerita ke Max dan menceritakan tentang anak Renata?” Evan kemudian bertanya-tanya dalam hati.“Hanya apa?” tanya Max saat mendengar ucapan menggantung Evan.Evan berpikir sejenak, hingga kemudian menjawab, “Aku bertemu teman dan memintaku jadi pendengar setianya.”Max menaikkan satu sudut alis mendengar jawaban Evan. Sejak kapan Evan jadi pendengar dan mau sabar mendengar keluh kesah orang lain, biasanya juga tidak peduli dan bersikap cuek.“Teman mana?” tanya Max penasaran.“Teman jauh,” jawab Evan sedikit ragu.“Memangnya dia cerita apa?” tanya Max lagi.Evan berdeham seolah mencoba melegakan tenggoro
“Kalau nanti papanya Dhira datang, kamu jangan nakal, ya.” Dhira sedang mengajak bermain bonekanya yang ada di kamar.Dharu melihat sang adik yang sedang bermain, mendengar kalau Dhira masih sangat berharap kepada Evan.“Jangan terlalu berharap! Lagi pula, dia bukan papa kita, jangan terus menyebutnya papa!” Suara Dharu cukup keras, hingga membuat Dhira terkejut dan menoleh.“Dia papa Dhira. Papa yang ngebolehin Dhira panggil begitu,” bantah Dhira yang masih kesal kepada Dharu sejak mereka pulang.“Bukan! Dia bukan papa kita, jadi jangan menyebutnya papa!” tolak Dharu begitu keras.“Kok Dharu maksa!” Dhira pun tidak terima, berdiri memeluk boneka kelincinya, hingga saling berhadapan dengan Dharu.“Kamu yang maksa. Dia bukan papa kita, kenapa kamu terus memanggilnya papa?” Dharu pun tidak mau kalah.“Kalau Dharu ga mau, ya sudah. Itu papa Dhira saja!” kekeh Dhira.“Kamu tuh ga tahu apa-apa, jadi jangan sok tahu! Berhenti panggil dia papa!” amuk Dharu, bahkan membentak dengan begitu ker
“Akhirnya, setelah kamu sibuk kerja. Kamu bisa meluangkan waktu untuk makan malam bersama,” ucap Margaret yang senang ketika melihat Evan datang untuk makan malam di restoran yang dipesannya.“Jika hanya untuk makan malam, bukankah Mama dan Papa bisa makan di rumah saja,” ucap Evan dengan santainya, bahkan langsung menarik kursi dan duduk di samping sang papa.Margaret melirik suaminya, hingga kemudian menatap Evan yang terlihat kesal dan tidak bersemangat.“Sebenarnya mama ada janji makan malam dengan teman juga, jadi sekalian,” balas Margaret saat melihat wajah kesal putranya.Evan tidak lagi banyak bicara dan memilih diam. Mereka pun menunggu teman yang dimaksud Margaret, hingga teman yang dimaksud Margaret datang. Dua orang tua dan seorang gadis. Margaret langsung menyapa mereka.“Wah, Keysha sekarang semakin cantik,” ucap Margaret ke gadis berumur dua puluh delapan tahun yang datang bersama teman Margaret.“Terima kasih, Tan. Tante juga masih terlihat muda di umur sekarang,” ucap
“Kapan Mama akan pulang?” Dhira menatap Renata yang berpamitan.“Besok, setelah acara selesai langsung pulang,” jawab Renata sambil mengusap lembut rambut Dhira.“Jangan lama-lama, nanti kalau Dharu marah-marah lagi gimana?” Dhira tampaknya masih trauma karena Dharu beberapa hari ini mudah marah.Dharu terkejut mendengar ucapan Dhira, kemudian meraih telapak tangan sang adik.“Selama Mama pergi, Dharu janji ga akan marah-marah,” ucap Dharu.Renata menoleh Dharu, lantas tersenyum karena putranya begitu pengertian. Renata ingin mengajak keduanya ikut, tapi di sana hanya sebentar dan langsung pulang setelah selesai. Lagi pula Dharu dan Dhira baru saja masuk ke sekolah lagi, tidak mungkin jika harus libur lagi.Dhira menoleh Dharu, memasang wajah memelas kemudian berkata, “Janji Dharu jangan marah-marah.”“Iya, tapi Dhira juga ga boleh bantah.”Renata senang melihat anak-anaknya akur. Dia pun mencium pipi keduanya secara bergantian, rasanya berat saat meninggalkan anak-anaknya, tapi mau b
“Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini, Re? Kamu ke mana saja? Kenapa menghilang?”Stef terlihat begitu senang melihat Renata lagi. Dia melepas pelukan kemudian menatap lekan Renata dengan binar di matanya. Tentu saja Stef ada di sana, karena Dean adalah sepupu Stef, begitu juga dengan Evan.Renata merasa kikuk dan canggung, tujuh tahun menghilang agar semua orang melupakan dirinya, tapi siapa sangka Stef masih mengingatnya jelas, dengan segala perubahan yang terjadi kepadanya.“Aku--” Renata ingin menjawab, tapi Stef kembali bicara.“Aku ingin ngobrol banyak hal denganmu, ayo.” Stef langsung menarik dan hendak mencari tempat agar bisa bicara dengan Renata.“Tu-tungga, Stef.” Renata mencegah Stef menarik tangannya.Stef pun menoleh dan menatap Renata, dia melihat sahabatnya itu merasa kikuk, hingga menatap ke tangan yang digenggam, sebelum kemudian melepasnya dengan cepat.“Maaf, aku hanya terlalu senang melihatmu lagi,” ucap Stef yang merasa jika Renata tidak
“Maaf, penampilanku sedikit berantakan,” ucap Renata ke Kasih karena merasa tidak bisa maksimal menghibur tamu yang datang.“Tidak masalah. Kamu jangan cemas, tidak akan ada yang menyadari kekuranganmu. Bagiku kamu menampilkan musik dengan luar biasa,” ucap Kasih memuji.Renata tidak enak hati, padahal dia yakin jika Kasih pasti tahu kalau dia gugup. Renata sendiri tidak tahu, kenapa mendadak gugup.“Re.” Stef langsung menghampiri Renata yang sedang bicara dengan Kasih.Renata menoleh ke Stef, begitu juga Kasih dan Dean. Kasih tentunya tahu kalau Stef adalah saudara Dean.“Kamu kenal Renata?” tanya Kasih keheranan.Stef menatap Renata dengan seulas senyum, kemudian kembali memandang Kasih.“Iya, Kak. Dia teman kuliahku, bahkan kami berteman sejak SMA.” Stef menjelaskan.Kasih cukup terkejut, selama ini Renata tidak pernah memberitahu dari mana asal usulnya, hingga membuat Kasih tidak menyangka jika Renata dulunya satu kota dengan Stef.Renata melipat bibirnya, bertemu dengan Stef, lam
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan