“Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini, Re? Kamu ke mana saja? Kenapa menghilang?”Stef terlihat begitu senang melihat Renata lagi. Dia melepas pelukan kemudian menatap lekan Renata dengan binar di matanya. Tentu saja Stef ada di sana, karena Dean adalah sepupu Stef, begitu juga dengan Evan.Renata merasa kikuk dan canggung, tujuh tahun menghilang agar semua orang melupakan dirinya, tapi siapa sangka Stef masih mengingatnya jelas, dengan segala perubahan yang terjadi kepadanya.“Aku--” Renata ingin menjawab, tapi Stef kembali bicara.“Aku ingin ngobrol banyak hal denganmu, ayo.” Stef langsung menarik dan hendak mencari tempat agar bisa bicara dengan Renata.“Tu-tungga, Stef.” Renata mencegah Stef menarik tangannya.Stef pun menoleh dan menatap Renata, dia melihat sahabatnya itu merasa kikuk, hingga menatap ke tangan yang digenggam, sebelum kemudian melepasnya dengan cepat.“Maaf, aku hanya terlalu senang melihatmu lagi,” ucap Stef yang merasa jika Renata tidak
“Maaf, penampilanku sedikit berantakan,” ucap Renata ke Kasih karena merasa tidak bisa maksimal menghibur tamu yang datang.“Tidak masalah. Kamu jangan cemas, tidak akan ada yang menyadari kekuranganmu. Bagiku kamu menampilkan musik dengan luar biasa,” ucap Kasih memuji.Renata tidak enak hati, padahal dia yakin jika Kasih pasti tahu kalau dia gugup. Renata sendiri tidak tahu, kenapa mendadak gugup.“Re.” Stef langsung menghampiri Renata yang sedang bicara dengan Kasih.Renata menoleh ke Stef, begitu juga Kasih dan Dean. Kasih tentunya tahu kalau Stef adalah saudara Dean.“Kamu kenal Renata?” tanya Kasih keheranan.Stef menatap Renata dengan seulas senyum, kemudian kembali memandang Kasih.“Iya, Kak. Dia teman kuliahku, bahkan kami berteman sejak SMA.” Stef menjelaskan.Kasih cukup terkejut, selama ini Renata tidak pernah memberitahu dari mana asal usulnya, hingga membuat Kasih tidak menyangka jika Renata dulunya satu kota dengan Stef.Renata melipat bibirnya, bertemu dengan Stef, lam
Renata menutup mulut mendengar Dhira bicara sambil menangis, hingga membuatnya menatap Evan yang ada di depannya.“Ada apa?” tanya Evan yang melihat Renata begitu terkejut.Renata tidak menjawab pertanyaan Evan. Dia pun mencoba menenangkan putrinya terlebih dahulu.“Iya, mama akan pulang sekarang. Kamu tenang, tetap di sana bersama Dharu, ya.” Meski Renata begitu cemas, tapi dia berusaha untuk tetap tenang demi Dhira.Evan tidak sabar karena Renata tidak menjawab pertanyaannya. Dia pun kembali melontarkan pertanyaan.“Ada apa, Re?” tanya Evan. Dia mendadak cemas karena mendengar Dhira menangis dan tidak mendengar jelas apa yang dikatakan setelahnya ke Renata.Renata mencoba tenang, hingga kemudian menatap Evan sambil mengembuskan napas panjang.“Dharu mimisan dan dibawa ke rumah sakit karena badannya sangat panas. Aku harus pulang,” ucap Renata kemudian bersiap melangkah melewati Evan.Evan sangat terkejut, lantas menahan lengan Renata sampai berhenti.“Kamu mau pulang dengan apa mala
“Dharu kenapa, Bibi?” Dhira masih menangis melihat Dharu yang sekarang terbaring dengan selang infus menancap di kulit tangan. “Kok Dharu keluar darah, badan Dharu panas. Dharu ga kenapa-napa, ‘kan?” Dhira benar-benar mencemaskan kondisi kakaknya. Bibi Santi pun memeluk Dhira, kemudian menatap Dharu yang sedang menunggu ruang inap disiapkan, mereka masih di UGD. “Dharu baik-baik saja kok. Mungkin Dharu tadi kecapean, bukankah tadi Dharu main terus sama Dhira, jadi capek terus panas,” ucap Bibi Santi menjelaskan. Dhira menatap sang kakak, kemudian mengangguk pelan. “Mama sudah mau pulang, ‘kan?” tanya Dhira dengan suara pelan. “Iya, tadi ‘kan Dhira sudah bilang kalau Mama disuruh pulang, jadi sekarang pasti dalam perjalanan pulang,” jawab Bibi Santi. “Bi, Dhira ngantuk,” ucap Dhira lagi, sebelum kemudian menguap. “Ya sudah, sekarang tidur dulu. Nanti bibi gendong,” kata Bibi Santi. “Dhira mau bobok di sebelah Dharu. Kalau Dhira sakit, Dharu selalu bobok di samping Dhira buat ja
Renata berjalan cepat menuju ke ruang inap Dharu. Dia sudah menghubungi nomor yang biasa digunakan Dharu dan yang menjawab Bibi Santi.“Kamarnya di depan,” kata Evan yang sudah melihat nomor kamar yang diberitahu Bibi Santi.Renata mengangguk, kemudian mempercepat langkah dan langsung masuk begitu saja. Mereka melihat Bibi Santi yang masih terjaga sambil memangku Dhira, sedangkan Dharu sendiri berbaring dengan tangan terpasang selang infus.“Bi.”Bibi Santi menoleh dan melihat Renata datang. Dia lega karena Renata cepat pulang, padahal awalnya tidak yakin karena Renata pasti susah mendapat transportasi di malam hari.“Bibi pikir kamu akan datang besok,” ucap Bibi Santi.“Aku tidak mungkin tenang kalau pulang besok, Bi.” Renata mendekat dengan wajah cemas.Tatapan Bibi Santi tertuju ke Evan, lantas menatap Renata seolah sedang melontarkan siapa pria yang bersama Renata.“Biar aku yang gendong Dhira.” Evan mengambil Dhira dari pangkuan Bibi Santi.Wanita itu tidak mencegah, karena Renat
“Kenapa kamu bicara seperti itu, aku tidak pernah memaksamu,” ucap Evan berusaha bersikap lembut, karena bagaimanapun Dharu sedang sakit, dia pun tidak punya hak bicara keras ke anak itu.“Kamu memang bisa menyembunyikan dari Dhira dan Mama, tapi tidak denganku. Aku tidak bodoh, aku tidak akan menerimamu sebagai papaku.” Dharu memalingkan wajah ke arah lain karena enggan menatap Evan.Evan terkesiap, semakin bingung dengan ucapan Dharu.“Dharu, jika aku salah, aku minta maaf. Tapi jelaskan, kenapa kamu berkata seperti itu? Apa yang aku sembunyikan?” tanya Evan yang tidak bisa menebak maksud Dharu.Dharu menoleh ke Evan, hingga kemudian menjawab, “Aku tidak perlu menjelaskan, pokoknya aku tidak mau kamu menjadi papaku!”Evan benar-benar bingung, kenapa Dharu berkata demikian, sedangkan dia sama sekali tidak pernah memaksa agar Dharu menerimanya, meski sudah tahu kalau Dharu adalah darah dagingnya.“Aku tidak akan memintamu memanggil papa seperti Dhira, jadi kamu yang tenang dan fokus k
“Al, tolong urus sesuatu untukku,” ucap Evan yang kini sedang duduk di kursi selasar panjang di koridor rumah sakit.“Mengurus apa?” tanya Albert dari seberang panggilan.“Akan aku rincikan di pesan,” jawab Evan, kemudian mengakhiri panggilan dan mulai merincikan hal-hal yang diinginkan Evan.Setelah mengirimkan pesan, Evan pun diam menatap layar ponsel dan mendapat balasan pesan dari Albert. Asistennya itu marah-marah di pesan karena permintaan Evan yang tidak masuk akal dan begitu mendadak.[Bapak kira aku ini Doraemon yang memilki kantong ajaib, sehingga bisa mengabulkan permintaan Bapak hanya dalam sekali kedip.]Evan menahan tawa membaca pesan asistennya itu. Dia kembali mengetik pesan dan mengirimkan ke Albert.[Ya, kamu adalah Doraemon yang bisa memberikan alat-alat canggih untuk mengabulkan permintaan bodohku.]Albert masih mengirimkan pesan marah-marah, membuat Evan tertawa tapi kemudian tidak mengirim pesan lagi.“Kenapa kamu di luar?”Bibi Santi datang dan langsung menyapa
Setelah dirawat sehari dan kondisi Dharu membaik. Renata pun mengajak pulang Dharu. Dia dan Evan kembali berdebat masalah Dharu, sampai keduanya kembali diam lagi seperti sebelumnya, entah tiap kali berdebat, mereka pasti akan saling Diam. Renata kesal karena Evan tidak memberitahukan alasan kenapa Evan sangat ingin dekat dengan anak-anaknya.“Apa apartemen sebelah akan ditempati?” tanya Renata saat melihat cleaning service keluar dari unit yang berada tepat di samping unit milik Renata.“Entah, mungkin saja,” jawab Bibi Santi yang tidak tahu.Mereka pun berjalan melewati unit itu dan masuk ke unit mereka. Dharu langsung pergi ke kamar bersama Dhira, sedangkan Renata membereskan barang-barang.“Re, apa kamu dan pria itu bertengkar?” tanya Bibi Santi karena tidak melihat Evan setelah keduanya bicara.Renata terkejut mendengar pertanyaan Bibi Santi, hingg tersenyum dan menjawab, “Hanya ada perbedaan pendapat sedikit, Bi. Bukankah wajar? Lagi pula, jika dia tidak ada juga wajar saja, dia
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan