“Ga, ini ga mungkin.”
Renata menyugar rambut bagian depannya sambil diremas, sedangkan satu tangan memegang sebuah alat tes kehamilan di tangan.
Renata merasa ada yang aneh dengan tubuhnya beberapa hari ini. Dia bahkan baru ingat jika belum datang bulan dan membuatnya panik ketika ingat kejadian sebulan lalu. Kini ketakutan Renata terbukti, saat melihat dua garis merah di tangan.
“Ga, ini ga mungkin! Ini ga mungkin terjadi!” Renata melempas testpack dengan garis dua itu ke tempat sampah, dia tidak bisa menerima kenyataan jika sedang hamil.
Renata meremas perutnya, masih banyak impian yang ingin digapai saat ini. Renata tidak mau hamil, apalagi hamil di luar nikah. Namun, sekuat apa pun dia berusaha memungkiri, tapi jika takdir sudah berkata, Renata tidak bisa mengubahnya.
**
Evan seharian tidak fokus bekerja, membuat pria itu memilih pulang dan istirahat di apartemen. Dia terus saja merasa mual dan pusing, meski sudah meminum obat yang diresepkan Max.
“Kalau sakit ke rumah sakit, kenapa kekeh istirahat saja. Lihat mukamu, pucet begitu.” Margaret—ibu Evan.
Evan menatap lelah karena sang mama terus mengomel. Dia tidak memberitahu sang mama jika sakit, tapi ternyata sekretarisnya mengatakan ke Margaret jika Evan sakit dan tidak berada di kantor.
“Sekarang makan dulu, jangan sampai tambah sakit.” Margaret menyajikan semangkuk sup hangat yang dibelinya saat menuju ke apartemen Evan.
Evan tidak berkata apa-apa, memilih menyantap sup itu daripada terus mendengar omelan sang mama jika tidak makan.
Margaret terus menatap Evan, hingga dia kemudian berkata, “Andai kamu menikah, pasti ada yang merawatmu saat sakit.”
“Aku masih muda, tidak mau memikirkan tentang pernikahan,” balas Evan tanpa menatap sang mama dan terus memasukkan suapan ke mulut.
Margaret menghela napas kasar, sudah menebak jika sang putra tidak mungkin menikah di waktu dekat, meski Margaret berharap memiliki menantu secepat mungkin dan bisa segera mendapat cucu.
“Padahal mama sebenarnya sempat ingin menjodohkanmu dengan anak teman mama. Sayangnya teman mama mengalami kecelakaan, dan mama sudah tidak tahu lagi, bagaimana kabar putri teman mama selama dua tahun terakhir ini,” ujar Margaret saat mengingat kesepakatan dengan temannya dulu. Dia ingin menjodohkan Evan dengan putri temannya ketika si gadis lulus kuliah, tapi takdir berkata lain karena temannya meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu.
Evan melirik sang mama, tapi tanpa kata memilih untuk menghabiskan supnya tanpa berkomentar.
“Sepertinya anak teman mama tahun ini lulus kuliah, andai tidak putus kontak, pasti mama sudah paksa kamu menikah dengannya,” ujar Margaret lagi karena Evan tidak membalas ucapannya.
“Jangan harap!” tolak Evan mentah-mentah.
“Jangan harap apa, hah! Mama juga mau punya mantu, punya cucu kayak teman mama, biar ada yang mama pamerin ke mereka,” amuk Margaret kesal karena Evan terkesan tidak mau menikah.
“Aku belum mau menikah. Lagi pula, untuk apa punya mantu dan cucu hanya untuk pamer,” balas Evan dengan santainya.
Margaret sangat terkejut mendengar balasan Evan, hingga akhirnya hanya bisa kesal dan memilih diam karena merajuk.
**
“Yakin ini milik Renata?”
Kevin sedang bicara dengan pembantu rumah. Pembantu menemukan testpack dengan garis dua di sampah yang berasal dari kamar Renata, kemudian memberitahukan ke Kevin.
“Benar Tuan, saya yakin seratus persen, apalagi di rumah ini yang kemungkinan bisa hamil hanya Nona Renata.”
Kevin memandang testpack itu, hingga kemudian tersenyum miring dan meminta pembantu agar tidak mengatakan apa pun ke orang lain tentang penemuan itu.
Renata baru saja pulang dari rumah sakit. Dia bingung dan ragu, semua hal yang dialaminya benar-benar membuat Renata merasa jatuh di tingkat paling bawah dalam hidupnya.
Kevin baru saja keluar dari dapur dan melihat Renata yang berjalan lesu, apalagi keponakannya itu terlihat pucat. Kevin menyeringai, lantas mendekati Renata yang sedang berjalan masuk menuju anak tangga.
“Dari mana kamu?” tanya Kevin.
Renata terkejut mendengar suara Kevin, hingga menatap sang paman yang tersenyum tapi terlihat memuakkan.
“Apa aku harus terus melapor kalau mau pergi?” Renata bicara dengan nada sindiran.
Kevin menyeringai lagi, lantas berdiri lebih dekat dengan Renata, sebelum kemudian berkata, “Kamu baru menemui pria itu, hah! Sampai kapan kamu akan merahasiakannya?”
Renata mengerutkan dahi mendengar ucapan Kevin, hingga kemudian membalas, “Apa maksud Paman? Aku tidak paham.”
Kevin membuang napas melalui mulut seolah mencibir, kemudian memperlihatkan testpack yang didapatkan, hingga membuat bola mata Renata melebar.
Renata gelagapan dan panik, tapi kemudian berusaha untuk menyembunyikannya.
“Paman ngelantur, aku tidak paham dengan ucapan Paman!” Renata ingin mengabaikan sang paman, tapi langkah terhenti ketika mendengar ucapan sang paman lagi.
“Kamu hamil dan masih mau mengelak! Siapa yang menghamilimu!” teriak Kevin begitu lantang.
Tubuh Renata membeku mendengar teriakan sang paman, hingga membuat seluruh penghuni rumah mendengar, termasuk sang nenek.
“Apa maksudnya itu? Siapa yang hamil?” Veronica memang terkenal keras dan galak, hingga saat mendengar Kevin berkata jika Renata hamil, wanita tua itu langsung menatap tajam ke Renata.
Renata begitu panik, tampaknya dia tidak bisa mengelak.
“Lihat, Ma. Cucu yang Mama jaga, bahkan selalu diprioritaskan dalam segala hal, ternyata berperilaku buruk dan sekarang hamil di luar nikah!” Kevin mengadu tentang kehamilan Renata, dengan menunjukkan testpack yang didapat.
Renata kebingungan, tubuhnya gemetar karena Kevin mengadu ke Veronica.
Veronica begitu syok, bahkan sampai memegangi dada karena sesak mengetahui cucu satu-satunya hamil.
“Apa ini benar, Renata! Anak siapa yang kamu kandung!” amuk Veronica, terlihat jelas wanita itu kecewa dan syok.
Renata langsung berlutut dan memeluk kaki Veronica, meminta ampun karena sudah bertindak ceroboh.
“Ampun Oma. Aku benar-benar tidak tahu siapa ayahnya, semua kejadian itu terjadi dengan cepat, Oma.” Renata menangis sambil memeluk kaki Veronica.
“Bohong! Mana mungkin kamu tidak tahu! Kamu pasti hanya melindungi pria itu saja! Kamu ini aib, selalu membawa sial!” Kevin memanfaatkan kondisi yang dialami Renata agar semakin dibenci Veronica.
Veronica tidak bisa berkata-kata, hingga akhirnya bicara dengan begitu tegas, sampai tidak memikirkan perasaan Renata.
“Gugurkan kandungan itu, atau tinggalkan rumah ini jika kamu masih mempertahankannya!”
Renata begitu syok, kenapa Veronica memberinya sebuah pilihan yang begitu sulit.
**
Evan terus merasa gelisah dan tenang sejak dirinya sering mual juga pusing, hingga akhirnya demi memastikan kondisi yang sedang dialami, terlebih karena pemeriksaan medis menunjukkan dia baik-baik saja, Evan meminta Albert untuk mencari tahu siapa wanita yang ditidurinya malam itu, serta bagaimana kondisi wanita itu sekarang. Evan cemas jika dugaan Max terbukti, jika dia mengalami Morning Sickness karena wanita yang ditidurinya malam itu sedang hamil.
“Pak, saya sudah mendapatkan rekaman yang Anda minta.” Albert bicara dari seberang panggilan.
Setelah sebulan tidak peduli akan kejadian yang menimpanya, akhirnya sekarang Evan memaksa Albert untuk mendapatkan rekaman itu bagaimanapun caranya.
Evan membuka file video yang dikirimkan Albert, hingga melihat seorang gadis yang berjalan keluar dari lift, lantas berjalan menuju ke kamar 221.
“Tunggu! Dia?” Evan membulatkan bola mata melihat wanita yang tidur dengannya, adalah gadis yang dilihatnya di rumah Stef.
Evan pun terlihat berpikir, apakah benar teman sepupunya yang dia tiduri. Semua itu benar-benar membuat Evan frustasi.
“Cari wanita itu dan dapatkan alamatnya!” perintah Evan.
“Pak, saya sudah mendapatkan alamatnya,” ucap Albert dari seberang panggilan, tapi terdengar sedikit ragu.
“Lalu?” tanya Evan sambil mengerutkan alis karena Albert terdengar tidak yakin.
“Saya mendapat informasi, kalau wanita itu sudah tidak tinggal di sana.”
“Apa maksudmu?” Evan mengerutkan alis mendengar ucapan Albert, hingga terdiam ketika sang asisten kembali menyampaikan apa yang diketahuinya.
“Saya pikir Anda tidak perlu mencemaskannya lagi, Pak. Informasi yang saya dapat, dia tampak baik dan tidak ada tanda yang Anda takutkan. Lagi pula dia juga sudah meninggalkan kota, itu menandakan jika semuanya baik-baik saja. Dan sakit yang Anda alami, saya yakin bukan karena itu penyebabnya.”
Evan terdiam lagi, berpikir apakah yang dikatakan Albert benar. Jika sudah begini, haruskah dia melupakan apa yang terjadi.
“Sangat menggemaskan.” Renata menatap bayi yang baru saja lahir dan kini berada di ruang perawatan bayi. Beberapa bayi di sana terlihat masih memejamkan mata dan begitu lucu. Dia memegangi perut dan kemudian berpikir keras akan keputusan yang akan diambilnya. Renata memejamkan mata, mengingat momen saat melihat bayi di rumah sakit membuatnya mengambil keputusan yang begitu mencengangkan. Saat ke rumah sakit untuk konsultasi tentang prosedur pengguguran, Renata malah urung melakukan niatnya saat melihat bayi-bayi tidak berdosa yang tidur dengan lelap dan sangat damai. Hingga pada akhirnya, ketika Veronica memberinya sebuah pilihan, Renata memilih mempertahankan janin di rahimnya, karena dia tidak mau menggugurkannya. Sudah cukup dosanya tidur dengan pria yang tidak dikenal, Renata tidak mau menambah dosa dengan membunuh bayi di rahimnya. Kini dia berdiri menatap pematang sawah yang luas, kemudian melirik biola yang ditenteng di tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang perut. “M
“Penampilanmu selalu luar biasa.”Evan menyodorkan buket bunga mawar sambil memuji wanita yang kini berdiri di hadapannya.“Kamu memuji atau merayu? Padahal tidak selalu datang di konser yang aku ikuti, tapi kamu bisa menyimpulkan kalau penampilanku selalu luar biasa. Kamu pembual,” balas Kasih—sahabat dan wanita yang disukai Evan. Dia tertawa kecil setelah berhasil meledek sahabatnya itu.Evan menggeleng kepala dengan seulas senyum di wajah, hingga mendengar Kasih kembali bicara.“Oh ya, aku pernah cerita kalau kenal dan dekat dengan wanita luar biasa, bukan?” Kasih mengingat akan sesuatu yang pernah diceritakan.“Ya, kenapa?” tanya Evan keheranan.“Ayo, aku kenalkan dengannya. Konser kali ini dia diundang untuk tampil, dia ini wanita yang bagiku sangat luar biasa. Bahkan lebih luar biasa dariku,” ucap Kasih bicara dengan nada berlebihan.Evan tidak banyak tanya dan memilih untuk mengikuti Kasih yang mengajaknya bertemu dengan wanita itu. Kasih adalah wanita yang hendak ditemuinya tu
“Dhira kembali manggil pria asing sebagai papa, Ma.” Dharu mengadukan tingkah adiknya itu ke sang mama yang baru saja masuk ke kamar hotel. Andharu Candrama dan Andhira Candrama adalah anak kembar Renata, anak yang Renata pertahankan tujuh tahun lalu. Renata yang awalnya ingin mengugurkan, malah begitu bahagia karena sudah diberi anugerah anak kembar untuk menemani kesepiannya. Renata langsung menatap Dhira yang berdiri di belakang sofa, mengintip dari sana dengan bibir terlipat. “Dhira hanya main, siapa tahu dapat Papa.” Gadis kecil itu membela diri karena diadukan oleh sang kakak. Renata menghela napas kasar. Ini bukanlah pertama kali Dhira meminta pria asing menjadi papanya, atau berkata kalau pria asing itu papanya. Dharu berpikiran lebih dewasa daripada Dhira, dia mengambil kotak biola dari sang mama, membawanya ke dekat koper, kemudian mendekat ke arah sang mama yang sudah menghampiri Dhira terlebih dahulu. “Bukankah mama sudah bilang agar jangan memanggil pria asing dengan
Evan duduk di sofa kamar hotel yang ditempatinya. Dia menggigit pelan kepalan tangan, sambil memikirkan Renata. Semua yang didengarnya dari Kasih, seketika membuat Evan gelisah dan tidak bisa tenang.“Bisa saja setelah malam itu dia menikah, lalu punya anak dan kemudian berpisah karena sakit hati, hingga membuatnya tidak mau menceritakan tentang mantan suami ke orang lain.”Evan menolak pemikiran kalau Renata melahirkan anak darinya, dia terus mengelak dan berusaha meyakinkan jika semua yang terjadi adalah hal yang sangat kebetulan.Namun, saat ingat ucapan Kasih tentang kemiripian Dharu dan dirinya, membuat Evan kembali gelisah, apalagi dia juga merasa kalau Dharu memang mirip dengannya saat masih kecil, sehingga saat pertama kali dia melihat Dharu, Evan merasa melihat dirinya saat masih kecil.“Sialan!” Evan memukul sofa karena geram karena pemikiran yang pro dan kontra di kepalanya saat ini.Dia kembali menggigit kepalan tangan, sampai kemudian mengingat kejadian malam itu. Kejadia
“Boleh Dhira makan cake strawbery pagi ini?”“Pagi-pagi jangan makan cake, nanti gemuk.”Dhira mengerucutkan bibir karena apa yang diinginkan, dibantah oleh Dharu, membuat kedua saudara kembar itu saling debat.Renata menggeleng kepala pelan sambil tersenyum mendengar perdebatan anaknya itu, sudah biasa dan kebal jika keduanya bertengkar karena selisih paham.“Aku minta sama Mama, bukan sama kamu. Mama boleh, ya!” rengek Dhira sambil menarik tangan Renata yang menggenggam telapak tangannya.“Jangan kasih, Ma. Lihat giginya sudah habis, pipinya makin chubby. Begitu bilangnya mau seperti idol. Apanya? Tidak mirip,” celetuk Dharu masih mencoba menghalangi Dhira makan kue.“Dharu jelek, nakal. Dhira ga suka!” Dhira merajuk karena terus dicegah Dharu.“Biarin saja, siapa bilang aku jelek. Mama selalu bilang, ‘Anak mama yang tampan.’ Nah, berarti aku tampan,” elak Dharu menirukan Renata saat sedang memujinya.Dhira memayunkan bibir, hingga terlihat kesal dan membuang muka karena Dharu terus
[Selama ini dia tinggal di sebuah pedesaan. Hamil, melahirkan, dan membesarkan anak kembarnya sampai usia dua tahun, kemudian pindah ke kota dan bekerja sebagai guru les biola di sekolah swasta. Saat anak-anaknya berumur lima tahun, dia bisa mendirikan sekolah musik sendiri, meski tempat yang digunakan masih kontrak, serta dia juga mulai ikut audisi untuk bisa bermain dengan grup orkestra luar negeri. Jadi kesimpulannya, selama tujuh tahun ini, dia tidak ada jejak menikah atau dekat dengan pria. Dan, tanpa saya sebutkan, Anda pasti bisa menebak.] Evan terdiam membaca pesan dari Albert, hingga kemudian membuka file yang dikirimkan bersama pesan itu, hingga melihat dengan jelas jika di Akta lahir juga kartu keluarga, tidak ada nama ayah Dhira dan Dharu. Dia mencengkram erat ponsel itu, lantas menoleh ke arah Renata yang terduduk lemas menunggu dokter selesai menangani Dhira. Renata menunduk sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dia sedang merutuki kebodohannya karena tidak
“Jika ingin menangis, menangis saja. Tidak usah ditahan.” “Aku tidak mau nangis. Aku cowok, jadi harus kuat. Nangis hanya buat anak cewek.” Evan mengajak Dharu ke kantin atas keinginannya karena bocah itu belum makan sama sekali, sedangkan Renata berada di ruang inap menjaga Dhira yang sedang tidur. Dharu memalingkan wajah saat Evan memintanya menangis, dia tidak suka memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain, meski sebenarnya memang ingin menangis sebab tidak tega melihat Dhira. “Kamu tahu sesuatu? Bahkan pria dewasa pun menangis jika sedih, lalu apa ada alasan untuk anak sekecil dirimu tidak mau menangis dan harus bersikap kuat? Tidak semua orang bisa terus bersikap kuat, adakalanya merasa lemah dan menangis itu perlu,” ujar Evan menjelaskan. Evan tidak tahu apa yang sudah dialami Dharu, sehingga anak kecil itu bersikap layaknya orang dewasa. Dharu sendiri selalu merasa jika perlu bertanggung jawab ke ibu dan adiknya, sebab dia pria di
“Terima kasih karena sudah mau menolong dan mengajak Dharu makan. Aku pasti akan membalas kebaikanmu,” ucap Renata, saat Evan kembali ke kamar inap Dhira.“Tidak perlu berterima kasih,” ucap Evan dengan ekspresi datar.Renata melipat bibir, penilaiannya akan pria itu sepertinya benar karena Evan memang dingin dan kurang ramah, meski begitu Renata juga berpikir kalau Evan memiliki sisi baik.“Apa--”“Jika--”Evan dan Renata bicara bersamaan, tapi keduanya terdiam bersamaan pula.“Apa yang mau kamu katakan. Katakan dulu,” ucap Evan memberi kesempatan Renata untuk bicara lebih dulu.Renata mengangguk, kemudian berkata, “Jika kamu mau pulang, tidak masalah. Maaf sudah merepotkan. Aku tadi tanya ke ruang perawat, katanya kamu sudah membayar setengah biaya rumah sakit Dhira. Boleh aku minta nomor rekeningmu, untuk mengganti biaya yang sudah kamu bayarkan?”&ldquo
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan