“Dia menyayangi melebihi nyawanya sendiri. Bahkan sebelum kecelakaan itu terjadi, Kenzi berkata ingin memberikan beberapa saham miliknya untukmu, agar kamu bisa mendapatkan posisi yang tinggi di perusahaan. Namun sayangnya, keserakahanmu membawa petaka untuk dirimu sendiri.” Veronica bicara sambil berdiri dari duduk.Kevin diam tanpa suara, banyak suara-suara yang kini berbisik di hati dan pikirannya, setelah mendengar semua cerita Veronica.“Sekarang. Kamu harus menebus semua perbuatanmu. Terima hukumanmu, renungi semua perbuatan yang sudah kamu lakukan,” ucap Veronica lantas memilih pergi, tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan Kevin, atau dia akan berubah pikiran.Kevin tertunduk, memandang kedua tangan yang diikat. Hingga sedetik kemudian, sebulir kristal bening luruh dari kelopak mata, mengiringi sebuah penyesalan mendalam atas ketidaktahuan serta semua perbuatannya.Polisi datang untuk membawa Kevin. Pria itu tidak memberontak atau melawan, pasrah karena kini sudah mengakui
Veronica baru saja bangun, setelah semua kerjadian yang terjadi semalam. Saat baru saja membuka pintu kamar, dia sudah disuguhi pemandangan yang cukup membuat perasaannya tenang.Veronica melihat Adam yang sedang bermain di lantai sendirian, memainkan mobil-mobilan kesukaannya dengan ceria dan penuh kebahagiaan.Veronica pun mendekat, lantas berdiri di dekat Adam. Semalam Veronica tidak sempat menanyakan atau melihat kondisi Adam yang sempat menangis terus menerus. Dia terlalu lelah dengan semua beban dan masalah yang terjadi akhir-akhir ini.“Kamu main sendiri? Di mana Bibi Zahra?” tanya Veronica ke Adam.Adam menoleh dan melebarkan senyum saat melihat Veronica. Bocah itu lantas menunjuk ke dapur, menjawab pertanyaan Veronica hanya dengan tunjukan jarinya.“Bibi Zahra di dapur?” tanya Veronica lagi.Adam mengangguk menjawab pertanyaan Veronica, lantas kembali bermain dengan tenang, melupakan kejadian semalam di mana dia sempat melihat sebuah kekerasan.Veronica masih berdiri memandan
Kevin keluar dari sel dengan kedua tangan diborgol. Dia berjalan lesu menuju ruang khusus kunjungan. Dia tidak berani menatap siapa yang datang untuk menemuinya, sadar diri jika siapapun yang datang pastinya hanya untuk menyalahkan dan menghakimi dirinya.Namun, ternyata dugaan Kevin salah. Yang datang ke sana adalah Sandra. Wanita itu datang membawa rantang makanan, langsung berdiri saat melihat Kevin datang.“Tuan.”Kevin terkejut mendengar suara Sandra di sana, hingga mengangkat kepala dan melihat wanita itu di sana.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kevin keheranan.“Saya datang membawakan makanan untuk Anda,” jawab Sandra sambil memperlihatkan rantang di meja.Tatapan Kevin tertuju ke rantang, hingga kembali menatap Sandra yang berdiri memulas senyum ke arahnya.“Kenapa kamu ke sini?” tanya Kevin bingung.“Tuan duduklah dulu, saya bawa makanan untuk Tuan.” Sandra masih bersikap baik dan ramah, setelah apa yang dilakukan Kevin kepadanya.Kevin bingung, tapi anehnya menurutui
Stef pergi ke perusahaan Renata karena diminta mengambil berkas sesuai keinginanya. Ya, juga karena Stef memiliki maksud lain datang ke perusahaan itu.“Aku datang mau menagih makan siang.”Mely sangat terkejut melihat kedatangan Stef di sana. Dia sampai berdiri dengan mulut menganga karena bingung.“Kenapa kamu di sini? Maksudku kenapa kamu tidak menghubungiku saja jika ingin menagih janji makan siang?” tanya Mely yang kikuk dan bingung.Stef malah tersenyum melihat Mely yang kebingungan, merasa jika wanita itu sangat lucu dan menggemaskan ketika sedang panik.“Sebenarnya aku ke sini karena ingin mengambil berkas yang diminta Renata, sekalian menagih janji makan siang,” jawab Stef menjelaskan.Mely paham dan mengangguk. Dia mencari berkas yang butuh tanda tangan Renata, hingga teringat akan berita yang beredar di perusahaan pagi ini.“Oh ya, Bu Renata tidak masuk dan memintamu mengambil berkas, apa ada hubungannya dengan penangkapan Pak Kevin semalam?” tanya Mely yang penasaran.Stef
“Pak Evan, tunggu ….” Mely mencoba memahami status antara Evan dan Renata.Renata sudah bisa menebak jika Mely akan terkejut, begitu juga dengan Stef. Evan sendiri merasa canggung karena akhirnya ada yang tahu statusnya.“Evan itu suaminya Renata,” bisik Stef.Mely terkejut dan langsung menoleh Stef. Ekspresi wajahnya sangat mewakili perasaan bingung, panik, juga syok.“Jadi, Pak Evan suaminya Bu Renata.” Mely memastikan meski otak cerdasnya sudah bisa menebak.Renata dan Evan sama-sama tersenyum canggung, lantas mengajak Mely untuk duduk terlebih dahulu. Dia pun menceritakan alasan Evan menjadi asistennya, agar tidak ada yang salah paham dan menganggap rendah suaminya.“Oh … jadi seperti itu,” ucap Mely akhirnya paham.Mely melirik Stef, kesal juga karena pria itu tidak memberitahunya terlebih dahulu. Andai tahu lebih dulu, Mely pasti akan mempersiapkan diri bertemu Renata dan Evan.“Maaf jika tidak memberitahumu atau yang lain soal status sebenarnya suamiku di kantor. Aku hanya tida
“Bagaimana bisa sampai seperti ini? Pria itu harus merasakan hukuman karena sudah menganiaya dan berusaha membunuh kalian!”Margaret sampai di kota itu saat sore hari. Dia langsung ke rumah sakit untuk melihat kondisi putranya.“Papa kenapa kakinya sakit?” Dhira bertanya sambil memandang kaki Evan yang diperban.Dhira dan Dharu diajak karena Margaret tidak bisa meninggalkan cucu-cucunya di rumah hanya bersama pembantu.Evan bingung harus menjawab pertanyaan siapa terlebih dulu, sebab Dhira dan Margaret bertanya secara berurutan.“Awalnya sudah luka karena kecelakaan, Ma. Lalu Paman kembali menginjak kaki Evan yang sakit, hingga membuat pembengkakkan di beberapa bagian. Tapi dokter sudah mengecek keseluruhan juga melakukan rongent dan tidak ada luka fatal pada jaringan otot atau tulang,” ujar Renata menjelaskan.Dhira dan Dharu mendengarkan Renata bicara, hingga Dhira kembali buka suara.“Jadi, Papa kecelakaan dan sakit?” tanya Dhira sambil memberikan tatapan iba.“Iya, tapi papa baik-
“Papa, kenapa sakit tidak bilang Dhira? Kalau bilang, Dhira ‘kan bisa jagain.”Dhira masih duduk di samping Evan, sambil menatap kaki Evan yang terluka.“Memangnya kamu bisa jagain?” tanya Dharu yang tentu saja meragukan itu.“Bisa,” jawab Dhira penuh keyakinan. “Dhira bisa bantu jagain Papa pas bobok, terus ambilin makannya Papa, juga bisa bantu yang lain,” imbuh Dhira yang tidak mau disepelekan.Dharu menghela napas kasar, tidak mau berdebat lagi karena tahu betul bagaimana sang adik.Evan mengusap kepala Dhira karena gemas, anak-anaknya sangat peduli dan menyayanginya, meski mereka baru saja bertemu setelah Dhira dan Dharu besar, tetapi semua itu tak lantas membuat kedua anaknya tidak mau dekat dengannya.“Dhira boleh tinggal di sini sama Papa dan Mama, kan?” tanya Dhira penuh harap. Dia rindu jika harus terus berjauhan dari orang tuanya.“Mana bisa, Dhira. Sekolah kita gimana? Masa pindah lagi,” protes Dharu yang tidak sependapat dengan keinginan adiknya, meski dia sendiri pun san
“Evan sepertinya belum tahu masalah perusahaan. Itu lebih baik, apalagi kondisinya saat ini yang sedang tidak stabil,” ucap Edward.Margaret baru saja merapikan pakaiannya yang dikenakan, mereka akan pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Evan. Margaret memang tidak mau kembali, sampai memastikan kondisi Evan benar-benar baik.Mereka menginap di rumah orang tua Stef, karena adik Edward tahu sang kakak di kota itu, hingga memaksa sang kakak menginap.“Ya, mungkin benar katamu, Pa. Memang lebih baik jangan memberitahu Evan,” ujar Margaret yang merasa keputusan suaminya benar.“Ya sudah, pokoknya kita pura-pura semua baik-baik saja,” ujar Edward kemudian. “Lagian Evan sepertinya jarang pegang ponsel, itu lebih baik lagi, dengan begini dia tidak iseng mengecek pasar saham.”Margaret mengangguk, mereka pun keluar dari kamar bersama. Dhira dan Dharu sudah di luar kamar sejak tadi, duduk menonton televisi sambil menunggu oma dan opa mereka selesai berganti pakaian.“Kamu ikut?” tanya Edw