“Pak Evan, tunggu ….” Mely mencoba memahami status antara Evan dan Renata.Renata sudah bisa menebak jika Mely akan terkejut, begitu juga dengan Stef. Evan sendiri merasa canggung karena akhirnya ada yang tahu statusnya.“Evan itu suaminya Renata,” bisik Stef.Mely terkejut dan langsung menoleh Stef. Ekspresi wajahnya sangat mewakili perasaan bingung, panik, juga syok.“Jadi, Pak Evan suaminya Bu Renata.” Mely memastikan meski otak cerdasnya sudah bisa menebak.Renata dan Evan sama-sama tersenyum canggung, lantas mengajak Mely untuk duduk terlebih dahulu. Dia pun menceritakan alasan Evan menjadi asistennya, agar tidak ada yang salah paham dan menganggap rendah suaminya.“Oh … jadi seperti itu,” ucap Mely akhirnya paham.Mely melirik Stef, kesal juga karena pria itu tidak memberitahunya terlebih dahulu. Andai tahu lebih dulu, Mely pasti akan mempersiapkan diri bertemu Renata dan Evan.“Maaf jika tidak memberitahumu atau yang lain soal status sebenarnya suamiku di kantor. Aku hanya tida
“Bagaimana bisa sampai seperti ini? Pria itu harus merasakan hukuman karena sudah menganiaya dan berusaha membunuh kalian!”Margaret sampai di kota itu saat sore hari. Dia langsung ke rumah sakit untuk melihat kondisi putranya.“Papa kenapa kakinya sakit?” Dhira bertanya sambil memandang kaki Evan yang diperban.Dhira dan Dharu diajak karena Margaret tidak bisa meninggalkan cucu-cucunya di rumah hanya bersama pembantu.Evan bingung harus menjawab pertanyaan siapa terlebih dulu, sebab Dhira dan Margaret bertanya secara berurutan.“Awalnya sudah luka karena kecelakaan, Ma. Lalu Paman kembali menginjak kaki Evan yang sakit, hingga membuat pembengkakkan di beberapa bagian. Tapi dokter sudah mengecek keseluruhan juga melakukan rongent dan tidak ada luka fatal pada jaringan otot atau tulang,” ujar Renata menjelaskan.Dhira dan Dharu mendengarkan Renata bicara, hingga Dhira kembali buka suara.“Jadi, Papa kecelakaan dan sakit?” tanya Dhira sambil memberikan tatapan iba.“Iya, tapi papa baik-
“Papa, kenapa sakit tidak bilang Dhira? Kalau bilang, Dhira ‘kan bisa jagain.”Dhira masih duduk di samping Evan, sambil menatap kaki Evan yang terluka.“Memangnya kamu bisa jagain?” tanya Dharu yang tentu saja meragukan itu.“Bisa,” jawab Dhira penuh keyakinan. “Dhira bisa bantu jagain Papa pas bobok, terus ambilin makannya Papa, juga bisa bantu yang lain,” imbuh Dhira yang tidak mau disepelekan.Dharu menghela napas kasar, tidak mau berdebat lagi karena tahu betul bagaimana sang adik.Evan mengusap kepala Dhira karena gemas, anak-anaknya sangat peduli dan menyayanginya, meski mereka baru saja bertemu setelah Dhira dan Dharu besar, tetapi semua itu tak lantas membuat kedua anaknya tidak mau dekat dengannya.“Dhira boleh tinggal di sini sama Papa dan Mama, kan?” tanya Dhira penuh harap. Dia rindu jika harus terus berjauhan dari orang tuanya.“Mana bisa, Dhira. Sekolah kita gimana? Masa pindah lagi,” protes Dharu yang tidak sependapat dengan keinginan adiknya, meski dia sendiri pun san
“Evan sepertinya belum tahu masalah perusahaan. Itu lebih baik, apalagi kondisinya saat ini yang sedang tidak stabil,” ucap Edward.Margaret baru saja merapikan pakaiannya yang dikenakan, mereka akan pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Evan. Margaret memang tidak mau kembali, sampai memastikan kondisi Evan benar-benar baik.Mereka menginap di rumah orang tua Stef, karena adik Edward tahu sang kakak di kota itu, hingga memaksa sang kakak menginap.“Ya, mungkin benar katamu, Pa. Memang lebih baik jangan memberitahu Evan,” ujar Margaret yang merasa keputusan suaminya benar.“Ya sudah, pokoknya kita pura-pura semua baik-baik saja,” ujar Edward kemudian. “Lagian Evan sepertinya jarang pegang ponsel, itu lebih baik lagi, dengan begini dia tidak iseng mengecek pasar saham.”Margaret mengangguk, mereka pun keluar dari kamar bersama. Dhira dan Dharu sudah di luar kamar sejak tadi, duduk menonton televisi sambil menunggu oma dan opa mereka selesai berganti pakaian.“Kamu ikut?” tanya Edw
Renata dan Hellen sedang duduk bersama Margaret juga anak-anak, sedangkan Edward duduk di kursi sebelah ranjang Evan.“Apa kata dokter? Apa kamu sudah diperbolehkan pulang?” tanya Edward.“Mungkin besok atau lusa, dokter masih memastikan kakiku tidak ada pembengkakkan lagi juga kerusakan saraf,” jawab Evan sambil menatap Edward.Edward mengangguk-angguk mendengar penjelasan Evan,Pria itu sendiri menatap Edward seolah ingin mengatakan sesuatu tapi masih dipendamnya.“Pa.”Edward menatap Evan yang sudah memandangnya.“Papa tidak ingin menyampaikan sesuatu kepadaku?” tanya Evan.Edward mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Evan. Awalnya terkejut tapi mencoba bersikap biasa saja.“Menyampaikan soal apa?” tanya Edward balik.“Entah, mungkin soal perusahaan atau apa. Apalagi perusahaanku yang sudah aku tinggal selama beberapa waktu karena membantu Renata di sini,” jawab Evan sambil menatap Edward dengan tatapan serius.Edward sangat terkejut mendengar ucapan putranya itu. Hingga tersenyum
Stef baru saja keluar dari kamar mandi memakai celana chinos panjang dengan kaus berwarna hitam pendek. Rambutnya basah kini sedang diusap dengan handuk kecil.Stef mengambil ponsel, hingga melihat pesan dari Mely. Dia pun sangat terkejut saat membaca pesan jika Mely ketakutan.Stef pun langsung mendial nomor Mely, untuk bertanya apa yang terjadi.“Mel, jawab!” Stef ikut panik karena Mely tidak buru-buru menjawab.Di sisi lain, ternyata Mely menjatuhkan ponsel saat akan menghubungi Stef. Melihat ponsel yang tergeletak di trotoar, hingga kemudian berdering dan terlihat nama Stef terpampang di layar, membuat Mely buru-buru mengambil ponsel. Sebelum menjawab panggilan itu, Mely menoleh dan melihat pria tadi berjalan ke arahnya.“Kenapa dia mengejarku?” Mely semakin panik.Dia berjalan sambil mengeser tombol hijau untuk menjawab panggilan dari Stef.“Mel, apa yang terjadi?” tanya Stef dari seberang panggilan.“Ada pria yang mengikutiku sejak dari perusahaan sampai aku turun dari bus.” Mel
“Ini tempat siapa?” tanya Mely bingung saat Stef membawanya ke sebuah apartemen.Stef menoleh Mely yang panik. Dia pun menghentikan langkah, kemudian menjelaskan.“Ini apartemenku, tapi lama tidak ditinggali. Aku membelinya hanya untuk investasi juga saat aku ingin sendiri saja,” jawab Stef menjelaskan.Mely menatap Stef dengan perasaan bingung, hingga pria itu kembali bicara.“Tidurlah di sini malam ini. Aku hanya cemas pria tadi masih menguntitmu, bagaimana jika tiba-tiba dia menerobos masuk kamarmu?” tanya Stef.Mely tentunya terkejut dan kembali takut jika sampai benar pria tadi masih mengawasinya. Hingga dia pun secara spontan menggelengkan kepala.“Ya sudah, malam ini tidur di sini dulu, baru memikirkan besok harus bagaimana,” ucap Stef membujuk agar Mely tidak ragu.Mely tidak punya pilihan, hingga memilih menuruti ide Stef. Dia tidak memiliki banyak teman ataupun teman dekat karena pendiam. Bantuan dari Stef satu-satunya yang bisa diharapkan untuk saat ini.Mereka sudah sampai
“Halo, halo Pak!” Albert memanggil karena Evan tidak membalas ucapannya.Evan sendiri sedang panik karena Renata bangun dan kini sudah menatapnya. Bahkan tatapan sang istri terlihat menakutkan, entah karena memang bangun tidur jadi seperti itu, atau karena perasaan bersalah saja yang membuat Evan takut.Renata menatap Evan, benar dugaannya jika sang suami akan menghubungi Albert saat dia tidur. Sebab itu Renata memilih berpura-pura sudah tidur, agar bisa memergoki suaminya menghubungi Albert.“Pak!” Suara Albert begitu keras dari seberang panggilan.“Akan aku hubungi nanti.” Evan buru-buru mengakhiri panggilan itu.Renata turun dari ranjang, berjalan menuju ranjang Evan, lantas melipat kedua tangan di depan dada, memandang suaminya dengan tatapan seolah baru saja memergoki sang suami jalan berdua dengan selingkuhan.“Kamu ingin menyembunyikan sesuatu dariku.” Renata menatap Evan dengan mata menyipit penuh kecurigaan.Evan terkejut sampai menelan ludah. Namun, meski begitu dia tetap ti
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan