Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca karya dari saya, dan menikmati karya saya. Semoga ke depannya saya bisa terus menyajikan karya yang berkualitas. Terima kasih, salam kenal dari saya.
“Masa, papanya Dhira mau diambil sama tante jahat!” Dhira mengerucutkan bibir, mengadu ke Bibi Santi yang sedang mengambilkan pakaian ganti.“Tante jahat mana?” tanya Bibi Santi sambil membantu Dhira mengganti baju.“Ga tahu, pokoknya jahat. Itu lihatin Dhira kayak ga suka sama Dhira. ‘Kan Dhira kesel!” Dhira merajuk saat mengingat tatapan Keysha kepadanya tadi.“Ya, mungkin karena Dhira ga kenal, jadinya kelihatan kalau jahat. Coba kalau sudah kenal, pasti nanti baik,” ujar Bibi Santi yang berusaha membuat Dhira berpikiran positif.“Ga Bibi, dia memang jahat. Bahkan bilang Papa jahat, bilang Mama jahat, padahal dia yang jahat,” kekeh Dhira memayunkan bibir.Dharu hanya mendengarkan celotehan Dhira, dia masih merasa pusing dan wajahnya kembali pucat, serta tidak memiliki tenaga untuk menanggapi ucapan Dhira, sehingga memilih hanya diam dan mendengarkan saja.“Nanti kalau Dharu lihat, Dharu pasti juga akan bilang kalau itu tante jahat.” Dhira memandang ke Dharu yang duduk di ranjang.“
Renata menatap Evan sambil menelan ludah susah payah, kenapa kata yag diucapkan Evan terdengar begitu horor di telinganya.“Bagaimana jika tidak berhasil?” tanya Renata ragu.“Bagaimana bisa bilang tidak akan berhasil, sebelum mencoba?” tanya balik Evan.“Ya, kita bukan anak remaja. Masa mau coba-coba, lagian yang kita pikikan seharusnya itu fokus akan sesuatu, bukan iseng mencoba,” jawab Renata tegas.Umurnya tidak muda lagi, termasuk Evan juga. Renata tidak mau ada istilah pacaran seperti anak remaja, kemudian berakhir dengan kata pisah karena tidak ada kecocokan.“Memangnya kalau kamu tidak mau mencobanya, maunya apa? Misal aku mendadak mengajakmu menikah, kamu pasti akan lebih tidak percaya lagi. Mendengar kata aku nyaman bersamamu saja kamu tidak percaya, apalagi menikah,” gerutu Evan yang merasa kalau Renata terkesan bertele-tele dan seolah menghindari dari pernyataan yang Evan lontarkan.Sebagai seorang pria, tidak mungkin Evan berkata ‘aku mencintaimu’, di umurnya sekarang kal
Malam itu Renata, Evan, Dhira, dan Dharu makan malam bersama. Evan sengaja mengajak makan di luar agar anak-anaknya senang, terutama Dharu sebab setelah ini Renata dan Evan hendak membahas masalah penyakit Dharu.“Dhira mau minta dipotongin,” kata Dhira sambil mendorong piringnya.“Sini, biar papa yang potongin,” ucap Evan lantas mengambil piring Dhira yang berisi daging.Renata memperhatikan, melihat bagaimana perhatiannya Evan ke Dhira ataupun Dharu. Mereka makan bersama, sesekali bercanda dan anak-anak tampak begitu senang.“Apa kita bisa sering-sering makan seperti ini?” tanya Dhira.“Bisa, kenapa tidak?” Evan menanggapi dengan seulas senyum.Dhira sangat senang mendengar balasan dari Evan, lantas memilih makan dengan lahap. Evan beralih memperhatikan Dharu yang sejak tadi makan dengan tenang, lantas mencoba memberikan perhatian ke putranya itu.“Kamu mau memesan menu lain? Kamu harus banyak makan agar lekas sehat,” kata Evan.Dharu sedang mengunyah makanan, menatap Evan dan buru-
“Kalian nakal! Kenapa Dhira ga diajak pelukan?”Dhira terbangun dan tidak mendapati Dharu di kamar, membuat gadis kecil itu mencari keberadaan kakak kembarnya dan menemukan di kamar Renata, sedang berpelukan dengan kedua orangtunya.Dhira melipat kedua tangan di depan dada, memayunkan bibir sebagai tanda protes kepada tiga orang yang dilihatnya sedang berpelukan.Renata yang menangis pun buru-buru mengusap air matanya, hingga tertawa bersama Evan dan Dharu ketika melihat Dhira kesal.Dhira berjalan cepat masuk kamar Renata, lantas Evan menyambut dan memangku gadis kecil itu.“Kenapa Mama nangis? Kenapa Dharu nangis? Kenapa Dhira ga diajak pelukan?” tanya Dhira bertubi.“Ga ada apa-apa, tadi Dhira ‘kan bobok, terus ngajak pelukannya gimana,” jawab Dharu. Dia tidak mungkin mengatakan ke adiknya itu kalau sakit parah.“Ih … bangunin dong, masa Dhira ditinggal sendirian,” protes Dhira.“Iya, iya, besok lagi dibangunin kalau mau pelukan,” balas Dharu.Renata memperhatikan Dharu, putranya m
Operasi Dharu dijadwalkan cepat mengingat kondisi Dharu yang stabil dan akan mempermudah jalannya operasi transplantasi.Renata sedang bersiap mengemas pakaian dan beberapa kebutuhan yang diperlukan saat di rumah sakit.“Mama, apa Dharu sakit lagi? Kenapa Dharu harus ke rumah sakit lagi?” tanya Dhira ketika melihat Renata yang sibuk mengemas pakaian.“Dharu ga sakit lagi, Sayang. Hanya saja harus kontrol agar semakin sehat,” jawab Renata sambil sibuk mengemas barang.“Tapi, masa mau kontrol harus menginap? Mama bawa barang banyak juga,” kata Dhira lagi.Dharu baru saja selesai berganti pakaian, hingga kemudian menjawab, “Karena kontrolnya berkali-kali, jadi biar Dharu ga bolak-balik ke rumah sakit sampai selesai kontrol.”Renata langsung menoleh ke Dharu mendengar ucapan putranya itu. Senang karena Dharu begitu tenang dan tidak tertekan sama sekali, meski tahu jika harus masuk ke ruang operasi. Kondisi mental Dharu sangat stabil, mungkin karena adanya Evan di sana yang juga mendukung
“Pak.” Albert menatap Evan yang diam menatap ke seseorang yang dilihat.Evan membuang napas kasar melalui mulut, sebelum akhirnya memilih melangkah, menghampiri Margaret yang sudah ada di perusahaan itu. Evan tidak menyangka kalau sang mama akan menyusulnya ke sana, tentu saja Evan bisa menebak maksud kedatangan wanita itu, untuk marah kepadanya.Margaret menatap tidak senang ke arah Evan, tentu saja dia ke sana bukan hanya sekadar untuk berkunjung.“Ma.” Evan langsung menyapa sang mama, bahkan hendak memeluk wanita itu.Namun, bukannya menyambut baik uluran tangan Evan, Margaret langsung melayangkan tamparan ke pipi Evan. Tentu saja hal itu membuat Albert, juga beberapa staf terkejut dan panik dengan yang dilakukan Margaret.Evan memalingkan wajah, terasa panas saat mendapat tamparan itu dari sang mama. Meski keduanya beberapa waktu ini sering bersitegang karena perbedaan pendapat, tapi tidak pernah sekali pun menampar dirinya. Dia pun berusaha untuk tenang, lantas menatap Margaret y
Evan membawa Margaret ke rumah sakit karena terkena serangan jantung. Sang mama langsung dibawa ke IGD dan mendapat penanganan di sana.“Al, hubungi Papa dan katakan kalau Mama terkena serangan jantung di sini,” perintah Evan ke Albert.Albert mengangguk, lantas keluar dari IGD untuk menghubungi Edward. Evan sendiri menghubungi Max untuk agar menyusul ke IGD.“Halo, Max.” Evan bicara sambil memijat kening.“Kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu? Dharu sejak tadi menanyakanmu,” ucap Max dari seberang panggilan.Evan semakin pusing, hingga kemudian membalas, “Bisakah kamu ke IGD, aku di sini karena Mama datang dan terkena serangan jantung.”“Apa?”Di kamar inap Dharu, Max sangat terkejut mendengar ucapan Evan, tentu saja hal itu membuat Renata langsung menatap ke Max.“Baiklah, aku akan segera ke sana,” kata Max kemudian.“Max, jangan beritahu Renata dulu jika mamaku di sini,” ucap Evan dari seberang panggilan.Max paham akan maksud Evan, hingga berkata agar Evan tenang saja. Panggilan
“Apa benar kalau kamu sebenarnya sudah memiliki anak karena menghamili wanita yang tidak kamu kenal?”Pertanyaan itu terlontar saat Edward baru datang dan duduk bersama Evan.Edward sampai di sana setelah menempuh perjalanan beberapa jam menggunakan mobil bersama sopirnya. Dia ingin naik pesawat tapi tidak ada penerbangan di jam itu, membuat Edward memutuskan untuk menggunakan mobil.Selama menunggu Edward datang, Evan memilih hanya diam saat menjaga Margaret karena tidak ingin memicu perdebatan di antara keduanya. Kini Evan harus menghadapi Edward sebab sang ayah yang tahu akan masalah itu, sebab sang mama langsung mengadu.“Ya,” jawab Evan tegas.Edward menghela napas kasar, lantas menoleh dan melihat Margaret yang masih membuang muka dan tidak mau menatap Evan.“Kenapa kamu tidak pernah menceritakan masalah ini ke kami? Bagaimana bisa kamu yang selalu kami banggakan karena bersikap baik, bisa-bisanya menghamili seorang wanita?” tanya Edward lagi yang ingin meminta penjelasan dari E