“Kalian nakal! Kenapa Dhira ga diajak pelukan?”Dhira terbangun dan tidak mendapati Dharu di kamar, membuat gadis kecil itu mencari keberadaan kakak kembarnya dan menemukan di kamar Renata, sedang berpelukan dengan kedua orangtunya.Dhira melipat kedua tangan di depan dada, memayunkan bibir sebagai tanda protes kepada tiga orang yang dilihatnya sedang berpelukan.Renata yang menangis pun buru-buru mengusap air matanya, hingga tertawa bersama Evan dan Dharu ketika melihat Dhira kesal.Dhira berjalan cepat masuk kamar Renata, lantas Evan menyambut dan memangku gadis kecil itu.“Kenapa Mama nangis? Kenapa Dharu nangis? Kenapa Dhira ga diajak pelukan?” tanya Dhira bertubi.“Ga ada apa-apa, tadi Dhira ‘kan bobok, terus ngajak pelukannya gimana,” jawab Dharu. Dia tidak mungkin mengatakan ke adiknya itu kalau sakit parah.“Ih … bangunin dong, masa Dhira ditinggal sendirian,” protes Dhira.“Iya, iya, besok lagi dibangunin kalau mau pelukan,” balas Dharu.Renata memperhatikan Dharu, putranya m
Operasi Dharu dijadwalkan cepat mengingat kondisi Dharu yang stabil dan akan mempermudah jalannya operasi transplantasi.Renata sedang bersiap mengemas pakaian dan beberapa kebutuhan yang diperlukan saat di rumah sakit.“Mama, apa Dharu sakit lagi? Kenapa Dharu harus ke rumah sakit lagi?” tanya Dhira ketika melihat Renata yang sibuk mengemas pakaian.“Dharu ga sakit lagi, Sayang. Hanya saja harus kontrol agar semakin sehat,” jawab Renata sambil sibuk mengemas barang.“Tapi, masa mau kontrol harus menginap? Mama bawa barang banyak juga,” kata Dhira lagi.Dharu baru saja selesai berganti pakaian, hingga kemudian menjawab, “Karena kontrolnya berkali-kali, jadi biar Dharu ga bolak-balik ke rumah sakit sampai selesai kontrol.”Renata langsung menoleh ke Dharu mendengar ucapan putranya itu. Senang karena Dharu begitu tenang dan tidak tertekan sama sekali, meski tahu jika harus masuk ke ruang operasi. Kondisi mental Dharu sangat stabil, mungkin karena adanya Evan di sana yang juga mendukung
“Pak.” Albert menatap Evan yang diam menatap ke seseorang yang dilihat.Evan membuang napas kasar melalui mulut, sebelum akhirnya memilih melangkah, menghampiri Margaret yang sudah ada di perusahaan itu. Evan tidak menyangka kalau sang mama akan menyusulnya ke sana, tentu saja Evan bisa menebak maksud kedatangan wanita itu, untuk marah kepadanya.Margaret menatap tidak senang ke arah Evan, tentu saja dia ke sana bukan hanya sekadar untuk berkunjung.“Ma.” Evan langsung menyapa sang mama, bahkan hendak memeluk wanita itu.Namun, bukannya menyambut baik uluran tangan Evan, Margaret langsung melayangkan tamparan ke pipi Evan. Tentu saja hal itu membuat Albert, juga beberapa staf terkejut dan panik dengan yang dilakukan Margaret.Evan memalingkan wajah, terasa panas saat mendapat tamparan itu dari sang mama. Meski keduanya beberapa waktu ini sering bersitegang karena perbedaan pendapat, tapi tidak pernah sekali pun menampar dirinya. Dia pun berusaha untuk tenang, lantas menatap Margaret y
Evan membawa Margaret ke rumah sakit karena terkena serangan jantung. Sang mama langsung dibawa ke IGD dan mendapat penanganan di sana.“Al, hubungi Papa dan katakan kalau Mama terkena serangan jantung di sini,” perintah Evan ke Albert.Albert mengangguk, lantas keluar dari IGD untuk menghubungi Edward. Evan sendiri menghubungi Max untuk agar menyusul ke IGD.“Halo, Max.” Evan bicara sambil memijat kening.“Kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu? Dharu sejak tadi menanyakanmu,” ucap Max dari seberang panggilan.Evan semakin pusing, hingga kemudian membalas, “Bisakah kamu ke IGD, aku di sini karena Mama datang dan terkena serangan jantung.”“Apa?”Di kamar inap Dharu, Max sangat terkejut mendengar ucapan Evan, tentu saja hal itu membuat Renata langsung menatap ke Max.“Baiklah, aku akan segera ke sana,” kata Max kemudian.“Max, jangan beritahu Renata dulu jika mamaku di sini,” ucap Evan dari seberang panggilan.Max paham akan maksud Evan, hingga berkata agar Evan tenang saja. Panggilan
“Apa benar kalau kamu sebenarnya sudah memiliki anak karena menghamili wanita yang tidak kamu kenal?”Pertanyaan itu terlontar saat Edward baru datang dan duduk bersama Evan.Edward sampai di sana setelah menempuh perjalanan beberapa jam menggunakan mobil bersama sopirnya. Dia ingin naik pesawat tapi tidak ada penerbangan di jam itu, membuat Edward memutuskan untuk menggunakan mobil.Selama menunggu Edward datang, Evan memilih hanya diam saat menjaga Margaret karena tidak ingin memicu perdebatan di antara keduanya. Kini Evan harus menghadapi Edward sebab sang ayah yang tahu akan masalah itu, sebab sang mama langsung mengadu.“Ya,” jawab Evan tegas.Edward menghela napas kasar, lantas menoleh dan melihat Margaret yang masih membuang muka dan tidak mau menatap Evan.“Kenapa kamu tidak pernah menceritakan masalah ini ke kami? Bagaimana bisa kamu yang selalu kami banggakan karena bersikap baik, bisa-bisanya menghamili seorang wanita?” tanya Edward lagi yang ingin meminta penjelasan dari E
Evan sedang bercanda dengan Dharu dan Dhira. Renata mengamati sambil mengupas buah untuk ketiganya. Dia senang, di saat mental Dharu dipertaruhkan, ada Evan yang mendukung, menyemangati, serta menjaga mental Dharu agar lebih berani, dan meyakinkan jika semua akan baik-baik saja.“Buah.” Renata menyodorkan piring berisi potongan buah ke Evan.Evan mengulas senyum mendapat tawaran itu, lantas mengambil potongan buah dari piring, bukan untuk dimakan sendiri, tapi untuk disuapkan ke Dhira dan Dharu.“Dharu di rumah sakit sampai kapan?” tanya Dhira dengan mulut penuh buah.“Sampai Dharu benar-benar sembuh,” jawab Renata.Dhira terlihat berpikir, bahkan sampai menghitung dengan jari.“Masih lama, ya?” tanya Dhira lagi.“Nanti kalau Dhira bosan di rumah sakit, papa akan ajak keluar atau tidur di rumah,” ujar Evan.Dhira melebarkan senyum, bahkan sampai memperlihatkan deretan gigi putihnya. Dia senang karena Evan paham dan tahu maksud ucapannya.Renata mengambil sepotong apel, lantas menyodor
Sesaat sebelumya."Katakan, apa yang akan dilakukan Evan?" tanya Margaret penasaran."Kondisi Tante sedang kurang baik, nanti saja aku ceritakan. Maaf kalau sudah membuat Tante cemas," ucap Keysha menarik ulur."Katakan saja, Key. Tidak usah ada yang disembunyikan." Margaret tidak sabaran karena penasaran.Keysha terlihat berpikir, hingga akhirnya bercerita."Gini, Tan. Sebenarnya waktu itu aku membuntuti Evan pergi ke rumah sakit ini. Aku dengar kalau Evan akan mendonorkan sumsum tulang belakang untuk anak wanita itu," ujar Keysha akhirnya menjelaskan."Apa?" Margaret sangat terkejut."Entahlah, Tan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Evan, padahal dia seharusnya tahu, kalau melakukan transplantasi itu, akan berdampak pada kesehatannya," ujar Keysha sambil menunjukkan rasa simpatinya.Margaret semakin syok dan tidak terima. Dia semakin yakin kalau Renata hanya memanfaatkannya saja. "Tidak bisa, aku tidak bisa diam dan membiarkan Evan melakukan itu." Margaret emosi dan men
“Ap-apa yang kamu katakan?” Margaret begitu syok mendengar ucapan Evan.“Ada mental anak-anak yang perlu dijaga di sini, Ma. Jadi kumohon, pergi dari sini!” Evan mengusir Margaret demi menjaga mental Dhira dan Dharu, terutama Dhira yang memang sangat labil.Dhira masih menangis sesenggukan, Renata memeluk dan ikut merasakan betapa sakitnya perasaan sang putri yang menangis sampai seperti itu.Edward menarik paksa Margaret agar mau keluar. Jika Evan sudah berkata demikian, berarti putranya itu sudah benar-benar tidak bisa bersabar menghadapi segala ucapan Margaret.Keysha menatap Evan yang kini berjongkok dan ingin menenangkan Dhira, hingga kemudian memilih untuk pergi menyusul Margaret dan Edward.“Dhira, maafin mamanya papa, ya.” Evan mencoba membujuk agar Dhira tidak terus marah dan menyimpan dendam.“Nenek itu jahat. Dia marahin Mama terus.” Dhira bicara dengan sesekali sesenggukan.Renata masih memeluk Dhira, lantas menatap Evan yang tulus menenangkan Dhira, sebab pria itu juga ti