Sesaat sebelumya."Katakan, apa yang akan dilakukan Evan?" tanya Margaret penasaran."Kondisi Tante sedang kurang baik, nanti saja aku ceritakan. Maaf kalau sudah membuat Tante cemas," ucap Keysha menarik ulur."Katakan saja, Key. Tidak usah ada yang disembunyikan." Margaret tidak sabaran karena penasaran.Keysha terlihat berpikir, hingga akhirnya bercerita."Gini, Tan. Sebenarnya waktu itu aku membuntuti Evan pergi ke rumah sakit ini. Aku dengar kalau Evan akan mendonorkan sumsum tulang belakang untuk anak wanita itu," ujar Keysha akhirnya menjelaskan."Apa?" Margaret sangat terkejut."Entahlah, Tan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Evan, padahal dia seharusnya tahu, kalau melakukan transplantasi itu, akan berdampak pada kesehatannya," ujar Keysha sambil menunjukkan rasa simpatinya.Margaret semakin syok dan tidak terima. Dia semakin yakin kalau Renata hanya memanfaatkannya saja. "Tidak bisa, aku tidak bisa diam dan membiarkan Evan melakukan itu." Margaret emosi dan men
“Ap-apa yang kamu katakan?” Margaret begitu syok mendengar ucapan Evan.“Ada mental anak-anak yang perlu dijaga di sini, Ma. Jadi kumohon, pergi dari sini!” Evan mengusir Margaret demi menjaga mental Dhira dan Dharu, terutama Dhira yang memang sangat labil.Dhira masih menangis sesenggukan, Renata memeluk dan ikut merasakan betapa sakitnya perasaan sang putri yang menangis sampai seperti itu.Edward menarik paksa Margaret agar mau keluar. Jika Evan sudah berkata demikian, berarti putranya itu sudah benar-benar tidak bisa bersabar menghadapi segala ucapan Margaret.Keysha menatap Evan yang kini berjongkok dan ingin menenangkan Dhira, hingga kemudian memilih untuk pergi menyusul Margaret dan Edward.“Dhira, maafin mamanya papa, ya.” Evan mencoba membujuk agar Dhira tidak terus marah dan menyimpan dendam.“Nenek itu jahat. Dia marahin Mama terus.” Dhira bicara dengan sesekali sesenggukan.Renata masih memeluk Dhira, lantas menatap Evan yang tulus menenangkan Dhira, sebab pria itu juga ti
“Biar aku bantu.” Evan mengambil alih kompres yang dipegang Renata.Renata meminta ke perawat untuk mengompres pipi yang lebam, hingga Evan yang baru saja menidurkan Dhira, menghampiri dan mengambil alih kompres itu.Renata menatap Evan yang mulai mengompres pipinya, hingga tanpa sadar memuji wajah tampan pria itu, sebelum akhirnya sadar dan mengalihkan pandangan.“Dhira sepertinya lelah karena terus menangis, sedangkan Dharu tampak pucat karena mungkin tertekan. Mereka sekarang tidur semua,” ucap Evan sambil mengompres pipi Renata.Renata mengembuskan napas kasar mengingat kejadian tadi.“Aku tidak menyangka kalau ini semua akan terjadi. Dhira emosinya labil, dia akan langsung marah jika merasa terancam atau tersakiti, beda dengan Dharu yang diam dan berpikir sebelum bertindak,” ujar Renata.Evan menghentikan gerakan tangan, lantas menatap Renata yang tampak sedih.“Maaf, karenaku kamu dan anak-anak harus menghadapi situasi seperti tadi,” ucap Evan menyesal.Renata mengulas senyum ti
“Kenapa Papa ke sini? Bagaimana dengan Mama?” Evan keheranan saat melihat sang papa datang ke kamar inap Dharu, kemudian mengajak Evan berbincang di luar. “Biarkan saja mamamu, biarkan dia berpikir sendiri,” ucap Edward santai. Pria itu membeli dua cup kopi untuknya dan Evan, duduk berdua sambil merasakan embusan angin malam yang lembab dan dingin. Evan meminum kopi pemberian sang papa. Masih panas dan bisa sedikit membuat tubuhnya hangat. “Mama masih marah?” tanya Evan kemudian. “Masih, tapi biarkan saja. Dia bukan anak kecil lagi, seharusnya dia bisa berpikir dengan jernih saat tenang, bukan terus menuruti egonya saja,” jawab Edward. Evan menoleh sang ayah, tersenyum dan senang karena sang papa mendukung keputusannya, padahal selama ini sang papa bersikap seolah tidak peduli kepadanya, tapi ternyata itu tidak benar. Edward tanpa sengaja menoleh Evan, hingga melihat putranya itu sedang memandang dirinya. “Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Edward merasa aneh dengan tatapan
“Apa nanti akan sakit?” tanya Dharu yang terlihat takut karena akan menjalani operasi.Evan duduk di sebelah Dharu, menggenggam telapak tangan bocah itu dengan erat, lantas mengulas senyum agar Dharu tidak cemas.“Tidak akan sakit, nanti Dharu akan dibuat tidur, jadi tidak akan merasakan apa-apa,” ucap Evan menjelaskan.“Tidur pun, kalau dipukul atau diganggu akan bangun. Apa nanti Dharu tidak akan bangun, waktu dokter mau operasi?” tanya Dharu lagi.“Tidak akan, ini tidurnya beda. Dharu tidak akan bangun, sebelum Dharu diminta bangun. Jadi jangan cemaskan apa pun dan jangan takut. Nanti papa juga akan di sana, jadi Dharu jangan cemas, hm ….” Evan mencoba memberi pemahaman yang mudah dimengerti, memberikan dukungan agar Dharu tenang dan tidak cemas.Renata menatap Dharu yang terlihat takut, hingga mendengar apa yang dikatakan Evan untuk menenangkan, sebelum akhirnya merasa sedikit lega.“Mama, apa itu operasi? Kenapa Dharu harus operasi?” tanya Dhira yang mendengar pembicaraan antara
“Dhira, Sayang. Kamu ga papa, hm?” tanya Renata yang sudah berjongkok dan mengecek kondisi Dhira setelah membentur tembok.“Tangan Dhira sakit. Nenek itu jahat, kenapa dia terus marahin Mama!” Dhira menangis sambil memegangi lengannya yang sempat membentur dinding.Renata begitu sedih melihat anaknya menangis, belum lagi Dhira memegangi lengan dan kesakitan. Dia menggendong Dhira, kemudian membalikkan badan dan menatap tajam ke Margaret.Margaret sendiri sedang kesakitan karena tangan digigit Dhira. Bahkan tampak bekas gigitan dari gigi-gigi Dhira di tangannya.“Dasar anak tidak pernah dididik. Bagaimana bisa menggigit orang sembarangan.” Margaret meringis melihat tangan dengan luka gigitan.Dhira masih menangis dalam gendongan Renata, dia benar-benar tidak bisa membiarkan begitu saja sikap arogan Margaret.“Anda boleh menghina saya, atau melakukan tindak kekerasan kepada saya. Tapi, saya tidak akan pernah mengizinkan Anda melukai anak saya!” bentak Renata yang geram.Edward hendak me
“Mana lagi yang sakit?” tanya Renata ketika Dhira baru saja dicek dan diobati oleh perawat.Lengan Dhira hanya lebam karena terbentur tembok dan sudah diberi salep oleh perawat, sehingga Renata sedikit lega.“Sudah ga ada, tapi ini masih sakit,” kata Dhira sambil melirik lengannya, masih terasa panas meski sudah diberi salep.Renata menatap nanar, hingga kemudian meniup lengan putrinya itu.“Bagaimana? Sudah?” tanya Renata mencoba menghibur dengan meniup lengan Dhira.Dhira tertawa dan mengangguk, hingga pandangannya beralih ke seseorang yang baru datang. Dhira langsung terlihat tidak senang, mungkin berpikir jika akan mendapatkan perlakuan sama dari Edward.Edward tersenyum ke Dhira, paham jika mungkin gadis kecil itu akan trauma sebab tadi mendapat perlakuan buruk.“Bagaimana lengannya?” tanya Edward.Renata buru-buru berdiri begitu melihat Edward di sana. Dia sampai menyelipkan helaian rambut sebab merasa tidak enak karena tadi mengamuk.“Tidak ada masalah, hanya lengannya lebam se
Dharu sudah selesai operasi. Kini Renata berada di ruang inap menunggu Dharu bangun. Evan juga masuk ruang inap tapi berbeda dengan Dharu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Edward yang baru saja datang bersama Dhira.Dhira terlihat senang dan melupakan rasa sakit akibat membentur dinding.“Masih belum sadar, mungkin karena efek obat bius,” ujar Renata menjawab sambil menatap Dharu yang masih tidur.Dhira naik ke pangkuan Renata, di tangan membawa camilan yang dibelikan Edward.“Evan ada di ruangan lain, aku belum melihat kondisinya. Mungkin istri Anda di sana sekarang,” ujar Renata kemudian.Saat keluar dari ruang operasi, memang Evan dulu yang keluar, tapi melihat Margaret yang langsung mengikuti perawat yang membawa Evan, membuat Renata memilih menunggu Dharu keluar.“Baiklah, aku akan melihat kondisi Evan. Semoga Dharu segera bangun agar kamu bisa tenang,” ucap Edward.Renata mengangguk dan melihat Edward yang keluar dari kamar inap Dharu.“Opa baik,” ucap Dhira yang terlihat senang.“