“Ada apa, Re?” Evan menegakkan badan ketika melihat Renata yang terlihat panik dan cemas.Renata belum selesai mendengarkan ucapan Murni. Dia terlihat mengangguk-angguk, kemudian kembali bicara.“Ya, aku akan segera ke sana. Tolong jaga oma baik-baik,” ucap Renata, kemudian mengakhiri panggilan.“Ada apa?” tanya Evan karena tadi Renata belum menjawab pertanyaannya.“Oma masuk rumah sakit, kondisinya menurun sejak pagi,” jawab Renata yang bingung mau melakukan apa setelah mendengar kabar itu.“Kamu ingin pergi sekarang? Tidak sesuai rencana kita?” tanya Evan memastikan.Renata panik, hingga mengusap wajah kasar.“Aku juga bingung. Aku tidak bisa membiarkan oma dalam kondisi sekarang, apalagi mbok Murni berkata jika oma sakit sejak minum teh yang diberikan paman,” ujar Renata frustasi.Evan terkejut mendengar ucapan Renata, hingga dia langsung bisa menangkap situasi yang terjadi.“Sepertinya pamanmu ingin menguasai perusahaan dengan cara membuat omamu tidak berdaya. Lalu dia akan mengam
Kevin benar-benar senang karena Veronica harus dirawat di rumah sakit sampai beberapa hari, atau sampai wanita itu benar-benar sembuh.“Seharusnya semua tidak harus terjadi, kalau mama segera memberi semua akses perusahaan kepadaku. Jangan salahkan aku berbuat jahat, salahkan mama yang selalu memikirkan Kenzi, bahkan setelah dia mati pun masih memikirkan Renata.”Kevin tersenyum jahat. Dia menenggak minuman yang ada di gelas, merayakan kondisi Veronica yang mungkin akan lama membaik. Mungkin jika Veronica mati akan lebih baik untuknya, tapi karena ucapan pengacara yang mengatakan jika warisan akan jatuh ke tangan satu orang jika Veronica mati dalam waktu dekat ini, membuat Kevin memilih membuat ibunya sendiri sakit dan lemah. Dia harus memastikan dulu, siapa satu orang yang dimaksud, sebelum mengambil tindakan. Jangan sampai setelah mengakhiri hidup Veronica, ternyata warisan jatuh ke tangan Renata dan bukan dirinya.“Aku tidak akan sejahat ini, kalau mama memahami dan berpihak kepada
“Oma.” Renata benar-benar sedih dan tidak tahu harus bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk dengan sang oma. Dia menangis dan mencium punggung tangan neneknya itu.Evan sendiri juga kasihan melihat Renata yang sedih karena memikirkan Veronica.“Oma belum mati, kenapa kamu nangis sampai seperti itu?”Suara Veronica mengejutkan Renata dan Evan, keduanya langsung menatap wajah wanita tua itu.“Oma.” Renata buru-buru menghapus jejak air mata yang membasahi wajah.Veronica membuka mata, melihat cucunya yang terlihat sangat sedih.“Kamu sangat mencemaskan oma sampai menangis seperti itu, hm?” Veronica malah tersenyum seolah bahagia karena Renata mencemaskan dan sampai menangisi dirinya.Renata masih bingung dan menatap Veronica yang terlihat baik-baik saja.“Bantu aku bangun,” ucap Veronica sambil mencoba bangun karena ingin duduk.Evan dan Renata dengan sigap membantu, masih keheranan karena Veronica terlihat baik-baik saja.Veronica duduk kemudian memandang Evan dan Renata, lan
Renata menatap Evan yang terlihat tidak senang, bahkan suaminya itu langsung memalingkan wajah.“Van.” Renata berusaha membujuk.“Kita pikirkan itu nanti.” Evan tidak mau membahas hal yang menyangkut tentang Stef.Ya, salah satu pemegang saham di perusahaan Veronica adalah Stef. Renata sendiri terkejut karena Stef memiliki saham di sana, meski tidak besar, asal bisa membujuk Stef agar memihak Renata, maka setidaknya Renata akan memiliki pendukung melawan Kevin.Evan hendak berdiri, tapi tangannya langsung ditahan Renata.“Ayolah, Van. Aku akan bicara dengannya hanya untuk urusan perusahaan saja, aku janji,” pinta Renata membujuk.Evan menghela napas kasar, menoleh Renata dan memasang wajah tidak senang. Tentu saja dia percaya Renata akan bisa menahan diri, tapi dia tidak percaya Stef akan bisa menahan diri saat bersama Renata. Evan ingin cuek karena kesal, tapi takut Renata menyalah artikan seperti saat di pesta.Evan duduk menatap Renata, kesal saat istrinya tidak paham kalau dia cem
Stef datang ke sebuah restoran saat siang hari untuk menemui Renata sesuai janji. Namun, saat sampai di sana dia terlihat tidak senang karena ternyata Renata menunggu bersama Evan.Renata langsung berdiri begitu melihat Stef. Bahkan dia langsung tersenyum untuk menyambut, sampai membuat Evan kesal.“Stef.” Renata melambaikan tangan agar Stef mendekat.Stef sendiri sebenarnya sedikit malas, tapi tidak punya pilihan hingga akhirnya memilih mendekat dengan wajah masam.“Aku senang melihatmu, duduklah.” Renata mempersilakan Stef duduk.Stef duduk berhadapan dengan Renata. Dia seharusnya sudah bisa menebak jika Renata pasti bersama Evan. Stef terlalu besar kepala karena berpikir Renata menghubungi sebab ingin bertemu hanya berdua dengannya.“Aku sudah memesan minuman dan makanan yang kamu suka, tapi tidak tahu apa seleramu sudah berubah,” ucap Renata sambil menunjuk makanan yang ada di meja.Evan terkejut mendengar ucapan Renata, jadi makanan itu adalah kesukaan Stef, membuat Evan cemburu
“Bagaimana bisa dia seegois itu, mengatakan jika aku tidak akan mampu. Dia pikir aku lemah? Hanya karena dulu aku tidak berminat pada bisnis, lalu dia pikir aku tidak tahu apa-apa? Dia pikir aku bodoh dan akan kalah jika perang!”Renata begitu kesal, geram, dan marah karena ucapan Stef yang seolah merendahkan dirinya. Dia berjalan mondar-mandir di kamar hotel, tidak bisa melupakan kekesalannya karena sikap Stef yang dianggapnya berubah.“Aku pikir dia masih sama seperti dulu, ternyata sudah berubah,” geram Renata belum berhenti mengumpat karena kesal.Evan melihat Renata yang berjalan mondar-mandir tidak jelas. Dia sampai menghela napas kasar, tidak menyangka jika istrinya bisa sampai seperti itu ketika kesal.“Re, dengan kamu mondar-mandir seperti itu, tidak akan membuatmu mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucap Evan yang pusing sendiri.Renata menghentikan langkah, menoleh sang suami kemudian menghampiri dan duduk di samping Evan. Dia memasang wajah kesal sambil melipat kedua tang
“Boleh ya, ya, Evan.” Renata masih mencoba membujuk Evan agar mengizinkan pergi. Evan melepas kedua tangan Renata yang memeluknya. Dia lantas menatap Renata yang sudah memandangnya. Istrinya menatap penuh harap kepadanya. “Baiklah, jangan memasang wajah itu,” ucap Evan yang tidak mau melihat ekspresi wajah Renata saat merayu, atau dia akan menjadi gemas ke istrinya. “Kamu ngizinin?” tanya Renata memastikan. “Ya, dengan catatan benar-benar di kafe, tidak ada alasan pindah tempat lain atau apa,” jawab Evan setengah ikhlas. Renata mengembangkan senyum, hingga secara iseng mengecup pipi suaminya untuk berterima kasih. “Terima kasih, aku akan langsung kembali begitu urusannya selesai,” ucap Renata penuh semangat. Evan benar-benar gemas tapi juga kesal karena Renata begitu semangat ingin bertemu Stef. “Tunggu!” Saat Renata baru saja akan menuju pintu, Evan memanggil dan membuat Renata berhenti melangkah. Renata membalikkan badan, hingga terkejut dengan yang dilakukan Evan. Sang sua
Renata sangat terkejut karena ada yang membekap menariknya menjauh dari jalan. Merasa dalam bahaya, Renata pun berusaha menginjak kaki seseorang yang menariknya.“Dasar psikopat!” Renata mengayunkan tas ketika sudah terlepas, menghantamkan tas itu ke wajah pria yang menariknya.“Agh! Re!”Renata terkejut mendengar suara yang menyebut namanya, hingga memperhatikan dan baru menyadari siapa yang menariknya.“Van, apa yang kamu lakukan?” Renata benar-benar tidak habis pikir dengan yang dilakukan suaminya itu.Evan mengusap pipinya yang sakit terkena gampar tas Renata, belum lagi kakinya yang diinjak oleh istrinya itu.“Iseng,” ucap Evan.Renata melongo mendengar jawaban suaminya. Bisa-bisanya Evan berkata kalau iseng, padahal dia sudah takut setengah mati.“Ngapain iseng? Untung aku ga teriak, atau kamu akan digebuki masa. Lagian kenapa kamu di sini?” tanya Renata bertubi karena heran.“Mau nyari makan, lihat kamu jadi iseng ngerjain. Lagi pula, kenapa tidak menghubungiku untuk menjemput