Tujuh Tahun Berlalu, Berlin, Jerman
Elina mencoba tidak mengingat semua masa lalu yang telah terjadi. Semuanya telah berlalu sejak tujuh tahun yang lalu, sekarang Elina sudah bahagia hidup bersama dengan kedua anak kembarnya.
Elina tidak peduli apapun yang terjadi di sana sejak dirinya memutuskan untuk pergi meninggalkan suaminya. Mungkin sekarang mereka tengah berbahagia menyambut cucu pewaris Maheswara dari rahim Shanika.
Itu kan yang suaminya inginkan. Elina telah mengabulkan keinginan suaminya dan semoga mereka hidup bahagia.
“Hua... Nda. Nana ndak mau tinggal baleng kak Iyam. Kak Iyam nakal.” Liana masuk ke dalam kamar Elina sembari membawa sebatang lolipop buntar berukuran jumbo. Waj
Liana tersenyum lebar menyambut kedatangan Devan dengan neneknya. Gadis kecil itu langsung berlari menuruni tangga."Dev!" panggil Liana mengangkat tangan mungilnya menagih hadiah dari Devan."Besok kalau Nana lari-lari seperti tadi. Dev tidak akan kasih," peringat anak laki-laki itu menatap Liana datar. Kalau sampai Liana kenapa-kenapa bagaimana."Nana janji, Dev. Mana lollipop??" Liana kembali menagih."Jangan kasih anak nakal seperti Nana," timpal Liam mengejek adiknya yang belum dikasih lollipop oleh Devan.Liam juga kesal dengan adiknya yang berlari dari lantai atas menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Ini semua salah Devan, anak laki-laki sebaya
Liam dan Liana tengah mendongak memperhatikan wajah Elina yang tengah membacakan mereka dongeng bertema Cinderella.Si kembar memutuskan untuk bermalam di kamar Elina. Kini mereka berdua tidur bertiga dalam satu ranjang yang lumayan luas dan Liana berada di tengah memeluk bundanya."Bunda! Cinderella cantik, ya?" tanya Liana polos."Iya sayang. Liana juga cantik. Tinggal polesan make up dan memakai gaun yang besar. Pasti nanti lebih cantik.""Liana tidak pantas menjadi Cinderella, Bunda. Soalnya anaknya manja dan cengeng. Sedikit-sedikit 'Bunda' sedikit-sedikit 'Dev' pokoknya gak pantes," ucap Liam membuat Liana mengerucutkan bibirnya lucu.Li
"Tidak mau ikut dengan Bunda ke butik, hem??" tanya Elina mengelus rambut kedua anak kembarnya sayang."Besok-besok deh Bunda. Soalnya kita mau main di taman seperti biasa," balas Liam."Oke, Liana tidak mau ikut dengan, Bunda??""Tidak untuk sekarang, Bunda. Nana ikut dengan kak Liam."Baiklah kedua anaknya tidak ada yang mau ikut. Elina telah mempersiapkan bekal untuk Liana berisi buah dan juga susu. Untuk Liam, anak laki-laki itu tidak mau."Ingat janji Liam semalam," peringkat Elina. Liam mengangguk mengingatnya dengan baik. Ia harus menjaga adiknya."Bunda berangkat,
Si kembar tengah sibuk mengotak atik komputer di depannya. Liam memperhatikan setiap data yang ia search di google mengenai semua data-data konglomerat di negaranya."Kata Dev. Kita berasal dari Indonesia. Sama seperti Dev," kata Liana berada di samping sang kakak.Bagaimana anak sekecil Dev mengetahuinya?? Karena mereka sama seperti dirinya. Setiap negara maupun benua memiliki ciri ras yang berbeda. Dan semua itu mereka pelajari, namun Liam tidak memperhatikannya dengan baik ciri ras mereka.Di dunia, ada empat jenis ras yang umumnya dikenal. Empat jenis ras tersebut adalah ras Mongoloid, ras Negroid, ras Kaukasoid, dan ras khusus. Masyarakat Indonesia sendiri dikategorikan sebagai ras Mongoloid, tepatnya Malayan Mongoloid. Jadi, jika ingin mengetahui ciri-ciri ras Malayan
Tujuh tahun yang laluAldi menghela nafas sembari membawa photo pernikahan mereka masuk ke dalam kamar Elina, yang berjarak dua kamar dari kamar Shanika sekarang."Aku hanya mau mengembalikan ini, Elina. Shanika terganggu dengan photo kita berada di kamarnya."Elina sempat memperhatikan bingkai photo yang Aldi bawa, lalu mengambilnya langsung tanpa permisi. Bukannya ini yang suaminya ingin kan."Terima kasih, telah menyisakan waktu anda untuk istri pertama mu," jawab Elina datar."Kita telah membicarakan ini sebelumnya Elina. Semua telah disepakati. Jadi jangan egois."
Berlin, Jerman"Anak Bunda harus bangun, sekarang hari senin. Katanya mau berangkat ke sekolah." Elina mengusap lembut rambut Liana, mata cantik itu perlahan terbuka."Bunda! Kak Liam sudah jadi??" tanya Liana mengusap matanya pelan, wajah cantik bundanya masih samar-samar di penglihatan gadis kecil itu."Tuh kakak, kamu." Elina menunjuk dengan dagunya keberadaan Liam yang sudah rapi dengan kemeja biru dan celana jeans. Terlihat seperti orang dewasa.Liana beralih menatap sang kakak dengan wajah cemberut karena lebih dulu bersiap-siap, tidak menunggu dirinya terdahulu."Kenapa ndak bangunin Nana dulu, Kak Liam??" protes Liana.&
Jakarta, IndonesiaAldi menunduk tidak berani memperlihatkan wajahnya ke sang ayah yang berada di depannya sekarang."Ada perlu apa kamu kesini?? Bukannya semua impianmu telah terwujud??" tanya Surya dengan suara dingin memperhatikan Aldi yang terlihat gugup dengan mata memerah.Aldi tidak pergi ke kantor pusat hari ini. Ia dengan keberanian minim mencoba bertemu dengan sang ayah yang berada di kantor cabang perusahaan.Semenjak kepergian Elina, ayahnya bahkan tidak pernah mengeluarkan suaranya sedikitpun ketika di rumah.Semakin membuat Aldi merasa bersalah."Aldi telah mencari
Perhatian Liana tertuju ke arah seorang gadis yang diantar oleh Deddy mereka menggunakan mobil mewah dengan beberapa bodyguardnya.Mata indah itu terlihat sendu memancarkan wajah sedih. Sedangkan Liam ikut memperhatikan gadis kecil di seberang sana dengan pandangan datar tanpa minat.Setelah diantar oleh sang bunda sampai gerbang sekolah. Bunda mereka pamit karena akan segera mencari nafkah di butik milik nenek Devan."Apa yang Nana lihat??" tanya Devan tiba-tiba membuyarkan lamunan gadis kecil itu. Wajah yang tadi terlihat sedih kini digantikan dengan wajah ceria seperti biasanya.Devan baru datang dengan diantar oleh sang sopir. Namun pandangan nya terusik ketika melihat Liana yang memperhatikan seorang gadis tidak jauh darinya diantar oleh deddy mereka."Merindukan sang deddy, seperti biasa," balas Liam datar.Liana menoleh ke arah sang k
Elina tersenyum melihat kebersamaan mereka yang tengah bermain basket berempat. Terlihat Liam dan Liana merebut bola basket dari Aldi dan juga Andre yang tengah senang menggoda mereka yang masih pendek.Liam mengambil bola basket tersebut dan melemparnya dengan gaya memukau. Berhasil! Masuk dengan sempurna membuat mereka bersorak ria. Aldi menggendong Liana, sedangkan andre menggendong Liam yang dengan wajah membanggakan dirinya dan bertepuk tangan.Elina sampai meneteskan air matanya karena terharu. Akhirnya kehidupannya bisa ia rasakan sampai detik ini juga. Setelah badai begitu dahsyatmemporak-porandakan hidupnya.Tuhan memiliki rencana yang sangat indah, untuk kehidupan Elina. Elina selalu percaya, sk
Setelah acara pemakaman selesai, mereka semua sekarang berkumpul di kediaman dokter Andre. Memakai pakaian serba hitam dan duduk di sofa ruang keluarga.“Elina! Saya selaku kedua orang tua almarhum, ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada, Nak Elina. Atas kelakukan almarhum yang telah membuat Nak Elina hampir depresi karena trauma.”Elina mengusap kepala Liana, yang berada di pangkuannya, tersenyum dan mengangguk, “Saya sudah memaafkannya, sejak bertahun-tahun yang lalu. Bahkan saya berhutang budi kepada almarhum, karena telah menyelamatkan putri saya.”“Maafin, Nana!” lirih Liana menatap mereka semua dengan wajah polos dan sendunya.Mereka semua menghela nafas. Ini
“Bagaimana keadaan Naufal, Dokter Andre?” tanya Keyra langsung menghampiri Andre yang sudah keluar dari ruangan.Keyra tidak sabar menunggu kabar dari Andre. Jantungnya berdetak dengan cepat. Keyra khawatir dan juga takut. Dalam lubuk hatinya, masih tersimpan rasa cinta untuk Naufal walaupun hanya secuil.Andre menghela nafas pelan, membuat semua orang yang ada di sana was-was. Tidak biasanya Andre berbelit-belit seperti ini ketika menjelaskan sesuatu. Apalagi ini soal keadaan seseorang.“Naufal gak apa-apa kan, Dok?!” bentak Keyra menggoyang tangan Andre dengan keras. Ia tahu ini sangat lancang, namun Keyra merasakan perasaan yang tidak enak.“Saya sudah berusaha semaksimal mungk
"Masukkan ke dalam mobil!” perintah Shanika memperhatikan ke sekelilingnya, Shanika tahu mereka akan segera tertangkap karena melawan orang-orang yang berkuasa.Liana dimasukkan ke dalam mobil, namun dalam keadaan mulut disumpal dengan lakban dan tidak diikat seperti beberapa jam yang lalu.“Nana ngak mau ke luar negeri. Jangan paksa Nana. Bunda! Tolongin Nana!"Liana tidak ingin pergi jauh dari bundanya. Liana tidak bisa membayangkan nasibnya, apabila Shanika membawanya pergi sangat jauh dari negaranya.Liana telah masuk ke dalam mobil. Dijaga oleh dua anak buah Shanika. Mereka berbicara sebuah rencana selanjutnya. Apabila mereka gagal, maka mereka akan menga
Liana menggelengkan kepalanya, ketika dua preman dengan tubuh kekar dan brewok yang terlihat sangat menyeramkan, menyuapinya roti untuknya. Liana yang diikat di kursi dengan tubuh mungilnya bergetar sedari tadi ketakutan.“Nana mau ketemu bunda. Nana mau pulang, Paman.”“Kamu tidak akan pernah pulang selamanya,” jawab mereka. Liana kembali menggelengkan kepalanya karena tidak ingin mendengar perkataan kedua pria menyeramkan itu.Liana, beberapa jam yang lalu , bangun dari pingsannya ternyata telah terikat di sebuah kursi. Liana ingin menangis, namun bundanya selalu berkata, jangan pernah takut. Hal itu akan membuat mereka semakin menindas kita. Liana masih mengingat pesan bundanya itu.
Liana mengelilingi halaman rumahnya sendiri, dengan mengayuh sepeda. Ia tersenyum sembari menaruh boneka sapi berukuran sedang di ranjang sepeda sebagai temannya bermain.Kakaknya sedang belajar di dalam kamarnya, untuk persiapan olimpiade antar sekolah. Kedua anak laki-laki seperti Liam dan Devan mengambil mata pelajaran matematika dalam satu kelompok, yang sudah disaring dan dipilih.“Nana main sama Vivi, saja.” Nama boneka sapi berwarna pink dan putih itu adalah Vivi.Liana mengayuh sepedanya dekat dengan gerbang. Liana menatap aneh ke arah seorang wanita yang membelakanginya berada di luar gerbang. Penjagaan di rumah Andre, tidak seketat seperti dimension Syahreza. Bahkan satpamnya, entah pergi kemana.“Bunda!” Liana memanggil wanita itu
Berlin, Jerman, 2013Setelah dokter memberikan kabar baik kepada Elina, wanita hamil itu tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan bahagianya sekarang. Ia bersandar di sofa sambil menonton acara televisi dengan menikmati secangkir kopi.“Huek!” elina segera berlari ke kamar mandi yang berada di lantai bawah. Dengan wajah pucat dan perut yang bergejolak, Elina memuntahkan cairan kental dan bening. Kepalanya kembali pusing seperti pertama kali dirinya muntah karena kehamilannya.Elina membasuh wajahnya dengan air dan menatap dirinya di cermin. Entah angin apa, Elina terisak merasakan sakit di dadanya. Elina menghapus air matanya sembari mengingat kembali kebersamaanya dengan mantan suami.Elina harus m
Tok! Tok! Shanika dengan malas mengetuk pintu kamar Elina beberapa kali. Kalau tidak disuruh oleh suaminya. Shanika tidak akan sudi melakukannya. "Elina! Kau belum juga bangun?! Istri macam apa, belum bangun sampai jam segini," cibir Shanika di depan pintu kamar Elina. "Kenapa Sayang?" tanya Aldi menghampiri Shanika yang terlihat kesal dan cemberut. Shanika menoleh, "Ini loh, Mas. Elina belum juga mau bangun." Aldi kembali mengetuk pintu kamar Elina. Jauh lebih keras. Bahkan banyak pasang mata yang melihatnya, karena mendengar gedoran terdengar nyaring. "Kasihan ya, No
Elina memandang bangunan di depannya dengan wajah tegar dan tatapan sendu. Ia mengeratkan pegangannya di koper yang tengah ia bawa. Keputusannya sudah bulat. Walaupun hatinya bagai tertusuk ribuan duri, entah kalau bisa dijabarkan, mungkin sekarang hatinya tengah berdarah dan sakit.“Elina,” panggil Surya kepada Elina, yang sudah berada di dalam mobil menunggu Elina.Elina menoleh dan terisak. Dadanya sesak. Air mata menetes dari pelupuk matanya tiada henti. Surya mengerti akan posisi menantunya sekarang. Tangannya terkepal. Ia berjanji tidak akan merestui kembali hubungan Elina dengan Aldi esok apabila Aldi telah menyesali perbuatannya dan ingin rujuk kembali.Elina mencoba menguatkan diri dan menghapus air matanya sampai bersih. Ia kembali berbalik melihat kedi