Siang ini Alex mengumpat-umpat kesal saat keluar dari ruangan meeting, pasalnya ia sudah membuat janji dengan untuk menemui karyawan baru yang ingin menjadi staf di kantornya, namun meeting malah terlambat beberapa menit.
“Ah sial! Kenapa meeting bisa terlambat sampai beberapa menit?!”Seorang yang perfeksionis seperti Alex tentu saja pilih-pilih dalam banyak hal, termasuk mencari karyawan di kantornya.“Tuan Alex!”Suara Benigno menghentikan langkah Alex, laki-laki itu menoleh dan kembali berdecak.“Tuan sudah ditunggu di ruang VIP, George sudah membaca surat lamaran pekerjaannya dan data-datanya juga, Tuan bisa langsung ke sana,” ujar Benigno.“Ya,” jawab Alex singkat.“Baik Tuan, saya akan....”“Kerjakan perintahku Benigno! Sebelum aku membuatmu mennggembel di Barcelona!” sinis Alex dengan lirikan sinis dan senyuman smirknya meninggalkan Benigno.Sementara di dalam sebuah ruangan, nampak Alana yang memegangi dadanya berupaya untuk lebih tenang. Sejak pagi tadi ini ia sudah berada di dalam sebuah kantor dan diminta menunggu pimpinan kantor terlebih dahulu, selama berjam-jam.Ruangan berwarna abu-abu dan aroma maskulin yang menyeruak. Alana duduk merapikan blazer abu-abu yang ia pakai, dan rambut panjang hitam lurus rapi dengan bando putih yang ia pakai.“Huffttt... Kenapa seperti mau perang saja, tenanglah Alana... Tenang,” lirih Alana menepuk dadanya dan menarik napasnya panjang-panjang.Gadis itu menoleh ke arah pintu yang terbuka sedikit, ia langsung berdiri dan tersenyum tipis melihat seorang laki-laki yang berdiri di sana.Alana dengan semangat tersenyum lebar membungkukkan badannya memberi hormat.“Selamat Pagi, Pak,” sapa Alana dengan sangat manis.Lain dengan laki-laki tampan menawan berbalut stelan tuxedo hitam yang berdiri mematung menatap gadis cantik di depan sana yang sudah dicarinya selama lima tahunan ini. Tatapan matanya penuh perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan.Bagai terhantam batu besar dada Alex saat senyuman manis gadis itu tertangkap kedua matanya dengan rasa hangat yang menyeruak.Tanpa menjawab apapun, Alex berjalan angkuh mendekati Alana. Laki-laki itu menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki sebelum gadis itu mengulurkan tangannya.“Perkenalkan Pak, saya Alana Stesia, saya yang semalam mengirimkan email ke kantor Bapak setelah saya tahu di sini menerima karyawan baru,” ujar Alana masih dengan tangannya yang menunggu dan senyumannya yang begitu manis.Alex menerima jabatan tangan Alana dan malah menggenggamnya, menatapnya dalam-dalam.“Kau sedang berpura-pura kan?” tanya Alex pelan dan dingin.“Hah? Ma... Maksud Bapak apa? Ehh....” Alana memekik saat Alex menarik lengannya hingga Alana kian mendekat dan ia melindungi tubuhnya saat tubuh mereka begitu dekat.“Harusnya kau tidak sebodoh ini, Alana!” bisik Alex dengan suara dalam yang mengerikan.Tidak paham dengan apa yang Alex lakukan padanya, Alana langsung mendorong dada bidang laki-laki itu dengan tatapan nyalang.Bisa-bisanya ia diperlakukan seperti ini padahal ia dan laki-laki di hadapannya ini belum pernah bertemu sama sekali.“Tolong yang sopan ya, Pak! Saya ke sini hanya melamar pekerjaan karena saya butuh. Apa yang Bapak maksud tadi, saya sama sekali tidak mengerti!” pekik Alana.Alex tertawa sumbang mengusap wajahnya dan memutar tubuhnya memunggungi Alana kemudian menatapnya lagi.“Aku mencarimu selama ini, Alana! Aku mencarimu!” teriak Alex menggema di ruangan itu.Tubuh Alana bergetar hebat dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya mundur perlahan.“Saya tidak mengenal Bapak, saya ke sini hanya ingin....” Ucapan Alana terhenti, tubuhnya bergetar dan kedua matanya berkaca-kaca, dibentak laki-laki ini membuat Alana teringat saat Papanya membentaknya, bahkan memukulnya saat dulu tahu Alana hamil, tanpa suami.Tanpa mengatakan apapun, Alana meraih tasnya dan hendak berlari pergi sebelum Alex menarik pergelangan tangannya, menahan Alana untuk pergi.“Tunggu!” Alex menariknya hingga Alana memberontak.“Lepas!”Alex menyerah, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Laki-laki itu melepaskan Alana, namun ia beralih berdiri di hadapannya membelakangi pintu.“Okay, maafkan saya... Saya, saya mungkin salah orang,” ujar Alex mengusap wajahnya dan mengembuskan napasnya frustrasi.Barulah Alana diam dan mengusap air matanya. Laki-laki itu menatap lekat wajah Alana yang sedih, wajah itu menyimpan banyak kepahitan yang tidak bisa Alex pahami.“Apa kau benar-benar tidak mengenaliku? Alexsander Verolov,” ujar Alex.Alana langsung mengangkat wajahnya, menatap Alex dan menggeleng-gelengkan kepalanya.“Mana mungkin saya mengenal orang terhormat seperti Bapak, saya hanya orang kecil,” jawab Alana, naik turun napasnya menatap Alex dengan aneh.Senyuman tipis terbit di sudut bibir Alex, ia menyentuh satu pundak Alana dan memintanya kembali duduk.“Lupakan kejadian barusan, silakan duduk,” ujar Alex.Alana masih ragu, ia meremas map cokelat yang ia bawa dan duduk di kursi berhadapan dengan Alex.Alex meletakkan sebotol air mineral di hadapan Alana, wajah takut gadis itu membuat Alex bergetar. Hatinya berteriak mengatakan sesuatu, entah kenapa Alana asing menatapnya.“Dari mana asalmu, Nona Alana?” tanya Alex.“Saya, saya tinggal di sekitar kota Barcelona saja Pak,” jawab Alana mencoba tenang.Alex mengangguk, ia meraih berkas milik Alana. Data-data yang aneh, tidak seperti data Alana dulu, tanggal lahir, bulan, dan tahun pun berbeda.“Ekhem....” Alex berdehem pelan, ia menatap Alana lekat-lekat, “jadi, kau ingin melamar sebagai staff di sini?”“Iya Pak,” jawab Alana mengangguk kecil.“Baiklah, kau diterima di sini. Aku akan membentuk team yang bisa bekerja sama denganmu nanti, di bawah naunganku!” seru Alex tersenyum tulus, untuk kali pertama.Kedua mata Alana berbinar, “Bapak serius, saya diterima?!”Alex mengangguk pelan, dapat ia lihat dengan jelas wajah bahagia Alana setelah tadi takut padanya. Nampak ada sesuatu yang begitu Alana perjuangkan saat ini. Entah gadis ini, Alana-nya yang dulu ia kenali, atau Alana yang hanya sekedar mirip wajah dan namanya, kebetulan gila bisa terjadi kapan saja.**Jam makan siang di kantor, Alana tidak pergi ke manapun, ia tetap diam di dalam ruangannya bersama tumpukan berkas-berkas.Semua rekan kerjanya yang sudah kembali dari luar, mereka nampak bergurau dan mengabaikan Alana.“Hei Alana, kau tidak makan siang?” tanya Bella, dia satu-satunya teman baru Alana yang sudi dekat dengannya.“Aku lupa membawa bekal, aku pikir tadi tidak langsung bekerja. Jadi aku tidak membawa makan siang,” jawab Alana.“Astaga Alana, harusnya kau bilang padaku. Aku bisa mentraktirmu,” ujar Bella.Alana tersenyum manis, “terima kasih Bella. Tidak perlu repot-repot.”Obrolan mereka terhenti saat pintu kaca ruangan tersebut terbuka, semua karyawan kembali ke tempatnya masing-masing dan semuanya diam.Seorang Alexsander berjalan masuk ke dalam sana, wajah tampannya dingin dan datar.“Tumben sekali dia masuk ke sini?” Bella berucap lirih.Alana menoleh seketika, “memangnya tidak pernah ya?”Bella menggelengkan kepalanya hingga akhirnya Alana gugup begitu sorot mata Alex tertuju padanya.Kalang kabut Alana begitu Alex berjalan mendekatinya, jemarinya saling meremas sampai laki-laki itu berdiri di hadapannya.“Sudah selesai tugas yang saya berikan?” tanya Alex dengan tenang, dalam suasana yang hening.Alana langsung bangkit dan menyerahkan dokumen yang sejak satu jam lalu usai ia ketik.Pekerjaan Alana selalu rapi, Alex semakin yakin kalau gadis ini adalah Alana. Tapi tidak mengingatnya, berpura-pura pun tidak akan sepolos ini.“Bagus Alana, saya suka kinerjamu yang rapi dan cepat. Kalau kau menunjukkan potensimu pada kantor ini, aku bisa menaikkan jabatanmu dalam hitungan hari!” ujar Alex.Semua orang mendongak menatap Alex terkejut, begitu pula dengan Alana.“Sa... Saya?” Alana menunjuk dirinya sendiri.Alex menganggukkan kepalanya, tersenyum tipis menatap rindu pada gadis di hadapannya ini.“Ya, tentu! Karena kau, karyawan baru yang sangat istimewa, Nona Alana Stesia!”Hari sudah gelap, Alana gelisah karena tidak biasanya hujan turun sore ini. Ia seharian meninggalkan si kembar di rumah. Alana berdiri di depan kantor dan ia menatap beberapa rekan kerjanya yang sudah pulang dengan mobil masing-masing. "Ya Tuhan, bagaimana dengan si kembar di rumah?" lirih Alana kepanikan. Tatapan mata Alana tertuju pada langit yang mendungnya semakin tebal. Demi anaknya ketakutan di runah, Alana tidak akan peduli air membasahinya. Alana hendak berlari menembus hujan, namun seseorang menahan lengannya hingga membuatnya menoleh dengan cepat. "Apa kau tidak tahu kalau sedang hujan?!" Kedua mata Alana mengerjap pelan menatap Alex yang begitu dalam menatapnya, perhatian Alana tertuju pada tangan Alex yang begitu erat mencengkeram lengannya. "I... Itu Pak, ada yang saya tinggalkan di rumah dan sangat membutuhkan saya, jadi saya harus pulang sekarang," jawab Alana dengan wajah panik dan cemas. "Tapi sedang hujan Alana, kau bisa sakit. Aku akan mengantarkan...." "Ti
"Selamat pagi Pak Alex, sedang apa di sini?" Benigno dan beberapa karyawan lainnya tengah memperhatikan Alex yang berdiri di depan pintu kantor miliknya. Dengan balutan tuxedo hitam rapi, wajah cemas menanti-nanti. Laki-laki itu membiarkan Benigno bertanya-tanya. "Ck! Dia bilang akan datang lebih awal," gerutu Alex berdecak seraya merlirik jarum jam di pergelangan tangannya. "Ohh... Pak Alex sedang membuat janji dengan seseorang?" tanya Benigno lagi. Sekali ini Alex langsung menoleh dan memberikan tatapan sengit pada Benigno. "Apa kau tidak bisa diam hah?! Jangan mengurusiku! Lakukan saja sana tugasmu!" sentak Alex dengan keras, bahkan beberapa karyawan lainnya yang ikut mau tahu pun langsung bubar. "Ba... Baik Pak Presdir," jawab Benigno. Mereka semua kembali masuk dan Alex masih setia berdiri bersedekap dengan wajah kesal dan siap mengomeli Alana. Namun kekesalan Alex perlahan berkurang saat ia melihat seorang gadis cantik baru saja turun dari dalam bus dan memeluk sebuah r
"Kenapa Pak Alex belum kembali, ini sudah malam. Bagaimana dengan anak-anakku di rumah, Ya Tuhan...." Alana duduk dengan cemas mengusap wajahnya berulang kali. Pasalnya ia tidak berani beranjak dari ruangan kerjanya sampai Alex kembali, dan jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.Bayangan Alana tentang kembar yang kesepian di rumah begitu tergambar jelas di benaknya, bisa saja mereka menangis menunggunya. "Bagaimana ini?" lirih Alana berdiri dan menatap dinding kaca yang menunjukkan pemandangan malam hari di Barcelona. Alana menoleh cepat saat pintu ruangan kerja tersebut terbuka, di sana nampak Alex yang berjalan masuk. Tatapan cemas Alana membuat Alex langsung mendekat. Jelas ia melihat kepanikan pada Alana saat ini. Gadis itu juga langsung mengambil tas miliknya. "Ada apa Alana?" tanya Alex mendekat."Pak, saya harus pulang sekarang. Ini sudah malam," ujar Alana cemas. "Ya, aku akan mengantarkanmu," ujar Alex dengan sabar. Alana terdiam, ia ingin menolak karena Alana be
"Mom, habis ini Mommy tidak ke mana-mana, 'kan? Ikut kita berdua ya Mom, kita bertemu Om tampan." kenzo merayu-rayu Alana, anak itu berdiri di atas kursi yang ada di dapur seraya menemani Mamanya memasak. "Mau ya Mom," pinta Kenzi tiba-tiba datang dan langsung memeluk kaki sang Mama dari belakang. "Mommy sibuk sayang. Ini hari libur Mommy, jadi sekarang Mommy ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan kalian, jangan dengan yang lainnya," seru Alana menatap kedua putranya. Kenzo langsung cemberut kesal dengan jawaban Mamanya. "Mommy tidak asik, Mommy tidak tahu ya kalau kita ini tidak ingin apapun yang bisa Mommy beli!" jawab Kenzo. "Betul! Kami ini ingin punya Daddy! Teman-teman di sekolah pulangnya dijemput Mommy dan Daddy-nya, terus kita kapan kayak gitu?!" imbuh Kenzi mengeroyok Alana. Seketika Alana meletakkan sendok di tangannya dan menatap marah kedua anaknya yang meluapkan kekesalannya pada Alana. Kenzo dan Kenzi langsung beranjak meninggalkan Alana begitu saja saat m
"Apartemen Pak Alex, kenapa dia kaya raya tinggalnya malah di apartemen?"Alana mengomel sendiri seraya berjalan mencari apartemen milik Alex. Hingga senyumannya mengembang saat menemukan tempat yang ia cari. Alana mengulurkan tangannya mengetuk pintu apartemen Alex, butuh beberapa detik lamanya hingga pintu itu terbuka dan menunjukkan seorang Alexsander Verolov yang berdiri di hadapannya tanpa atasan dan memamerkan tubuh atasnya. "Astaga!" pekik Alana terjingkat hingga beberapa berkas yang ia bawa terjatuh di hadapan Alex. Laki-laki itu mengerutkan keningnya dan tersenyum tipis. Ia mengambil berkas yang terjatuh dan menatap Alana yang menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Penuh rasa santai Alex berdiri di tengah ambang pintu. "Hai Alana, kenapa?" tanya Alex menarikkan salah satu alisnya. "Ba... Baju Bapak ke mana?!" pekik Alana kesal. Ia membuka kedua tangannya dan memberikan tatapan protes. "Ayo masuk," ajak Alex. Kekehan pelan Alex terdengar gemas saat ia melirik
Alana tertidur pulas hingga tidak menyadari hari sudah larut dan ia masih berada di apartemen milik Alex. Gadis itu perlahan membuka kedua matanya. Terkaget Alana menyadari dirinya tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ia terbaring di sofa, dan seorang Alexsander Verolov yang tengah duduk di sampingnya memangku laptopnya. "Kenapa bangun?" tanya Alex menatap perhatian pada Alana dan menahan selimut yang hendak jatuh. "Ini jam berapa?" Alana terlihat panik menoleh mencari-cari. "Aku harus pulang!" Alana jauh lebih panik, ia hendak menyibak selimutnya sebelum Alex mencekal pergelangan tangannya dan menahannya. "Alana tenang! Ini sudah malam, menginaplah di sini!" pekik Alex menahannya. "Tidak bisa, tidak bisa...." Kali ini Alana benar-benar menangis. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul setengah satu malam. Alana menyentak tangan Alex, ia meraih tas miliknya dan langsung bergegas bangun pergi. Gadis itu berlari ke arah pintu yang ternyata sudah dikunci oleh Alex. Laki-laki i
"Om tampan-ku!" Kenzo dan Kenzi berlari merentangkan kedua tangannya saat mereka melihat Alex yang berjalan ke arah mereka. Kedua anak itu langsung memeluknya dengan erat. Entah apa yang membuat mereka datang ke tempat ini, Alex juga belum tahu. "Om, orang jelek itu mau ngusir kita!" pekik Kenzo menunjuk ke arah Gerald. "Iya Om, marahin dia Om! Marahin pokoknya!" pekik Kenzi dengan suara kerasnya. Tatapan mata Alex tertuju pada Gerald dan beberapa karyawan di sana yang menatapnya dengan terkejut. Alex berdiri tegap menggandeng si kembar. Tatapannya tidak lepas dari Gerlad yang beraninya memarahi dan mengusir si kembar. "Jangan mengusir anak-anak ini, aku mengenalnya! Lain kali kalau ada hal semacam ini, kau bisa memanggilku!" seru Alex. Gerald menunduk. "Ba... Baik Pak Presdir." "Aaa, baru tahu rasa kan! Kasihan deh loh...." Si kembar bersorak bahagia, kedua anak itu setia memeluk Alex dengan ekspresi mengejek-ejek pada Gerald. Senyuman Alex mengembang seketika, ia langsung
Alex mengantarkan Alana dan si kembar sampai di depan rumah mereka. Kedua anak itu langsung berlari masuk ke dalam pekarangan rumah mereka begitu sampai. Sedangkan Alex dan Alana masih di luar, gadis itu sangat canggung pada Alex. Anaknya sudah membuat keributan di kantor dan kini malah merepotkan dengan minta antar pulang. "Pak Alex, terima kasih banyak sudah mengantarkan saya pulang. Eumm... Terima kasih juga selama ini sudah mengenal dan baik pada anak-anak saya," ujar Alana tersenyum manis. Alex hanya tersenyum dan memberikan Alana senyuman yang tulus. "Bukan masalah besar Alana, aku sangat menyukai anak kecil. Apalagi anakmu sangat pintar dan berani," jawab Alex mengulurkan tangannya menepuk pundak Alana. Semakin canggung Alana di hadapan Alex, ia menggaruk tengkuk lehernya berulang kali dan enggan menatap Alex. "Apa kau tidak mempunyai tawaran mengajakku mampir?" tanya Alex dengan nada bercanda. Alana langsung mengangkat wajahnya dan mengangguk cepat. "Oh, boleh... Mari
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu